Sabtu Sore di Taman Suropati

Foto: Septo Sulistio
Duduk di antara rimbun pepohonan berhawa sejuk, dilenakan gemericik air mancur, bisa jadi para pengunjung Taman Suropati lupa mereka masih berada di wilayah Jakarta. Berbeda dengan hiruk-pikuk dan kebisingan jalan-jalan protokol, suasana di taman itu terasa begitu damai. Tak heran, arena seluas satu setengah lapangan sepak bola itu siang-malam tak pernah sepi pengunjung.
Mengunjungi Taman Suropati Sabtu sore, pertengahan April 2014, tampak orang-orang tumpah-ruah dalam berbagai aktivitas. Ada yang bergerombol dalam kelompok besar, ada keluarga kecil asik bersenda-gurau, ada pasangan muda-mudi sedang berkasih-kasihan di bangku-bangku taman, ada juga yang berlahraga sore. Tak ada wajah meradang atau sahut galak seperti yang lumrah terjadi dalam drama kemacetan di jalanan Ibu Kota. Semua terlihat santai dan begitu akrab.
Dibangun sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, taman Suropati terletak di kawasan strategis Menteng, Jakarta Selatan. Ia berada di titik persimpangan tiga jalan besar, yakni Jalan Teuku Umar, Jalan Diponegoro, dan Jalan Imam Bonjol. Area tersebut memang terkenal sebagai kawasan kelas satu. Sejumlah fasilitas penting melingkungi taman Suropati, seperti Rumah Dinas Wakil Presiden, Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta, Rumah Dinas Kedutaan Besar Amerika Serikat, dan beberapa objek vital yang lain.
Sebelum dibangun dengan arsitektur dan ornamen-ornamen urban pada 2010, Taman Suropati tak ubahnya taman-taman lain, hanya ditumbuni rumput dan pepohonan. Kini, di sana  berdiri sejumlah monumen karya para perupa ASEAN, bangku-bangku artistik, serta dilengkapi layanan internet nirkabel (wirless) cuma-cuma.
Eka, Martono, Agus duduk lesehan di atas ubin, tampak begitu larut dalam perbincangan mereka. Ketiganya bukanlah teman sehari-hari. Eka dari Rawamangun, Martono dari Cipinang, sementara Agus jauh-jauh datang dari Tangerang. Mereka adalah para penggemar musang, salah satu hobi baru yang sedang menjadi tren di kalangan masyarakat urban. Ketiganya, dan sejumlah kawan mereka yang lain, sore itu menyepakati sebuah pertemuan.
Tak ada yang serius dalam obrolan mereka, hanya bercakap ini-itu dan bermain dengan musang-musang mereka. Selain bersilaturahmi, kata Eka, mereka ingin mengajak masyarakat untuk lebih mengenal musang. “Di sini tempatnya asyik dan berada di pusat kota, jadi mudah diakses dari sana-sini,” ujar dia, sambil mengelus-elus musangnya yang lekat mencengkram pundaknya.
Ketiganya sepakat, sejauh pengalaman mereka mengunjungi taman-taman kota lainnya di Jakarta, Taman Suropati adalah yang paling bagus dan terawat. “Mungkin karena di kawasan elit, kali, ya? Malu juga kalau dibiarkan jelek,” ujar Agus seraya tertawa.
Mereka berharap, akan lebih banyak lagi taman yang dipercantik dan dirawat agar masyarakat semakin betah beraktivitas di taman. Menurut mereka, selain berarti besar dari segi lingkungan, taman juga besar manfaatnya bagi masyarakat. Banyak kelompok-kelompok masyarakat menjadikan taman sebagai ajang bersosialisasi. Mereka mencontohkan, selain komunitas peminat hewan seperti mereka, ada juga kelompok-kelompok lain yang biasa berkumpul di sana. Ada komunitas motor tua, skuter, musik, fotografi, dan lain sebagainya.
Di sudut yang lain, beberapa remaja juga terlihat berkerumun, duduk santai di lantai taman. Mereka adalah sekelompok mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. “Kami teman sekelas, tadi beres dari kampus, mumpung punya waktu luang, jadi main ke sini,” ujar Qodriatul, salah seorang dari mereka.  
Meski memuji Taman Suropati, menurut Qadriatul, beberapa hal masih harus ditingkatkan, seperti soal kebersihan dan kehadiran PKL yang sebenarnya dilarang. Selain para pengunjung, memang tampak banyak pedagang berkeliaran, dari mulai penjaja kopi, tahu gejrot, dan lain sebagainya. Problem PKL agaknya memang menjadi maslah klasik yang tidak sederhana untuk diurai.



POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply