Teater Mandiri, Teater Rakyat yang Mandiri

Foto: Yose Riandi/tukankpotrek.wordpress.com
Menjadi seniman teater di negeri ini adalah menapaki jalan pengabdian untuk seni dan kemanusiaan. Kecuali kepuasan batin, tak banyak yang bisa diharapkan. Di luar panggung, tak sedikit masyarakat yang masih menganggap seniman teater hanyalah orang ugal-ugalan. Apa lagi soal materi, pekerja seni teater sadar benar untuk tidak menghayal mendapat untung dari pertunjukan mereka.
Maka dari itu, sudah sepantasnya kita berdiri dan mengangkat topi untuk Teater Mandiri yang bertahan lebih dari empat dekade. Didirikan Putu Wijaya di Jakarta pada 1971, Teater Mandiri hingga kini masih lestari. Mereka tetap eksis di tengah kondisi para anggota yang tak lagi muda dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Awal April 2014, mereka kembali menyapa publik seni Tanah Air.
Bertempat di gedung Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Teater Mandiri mementaskan tiga judul drama dalam beberapa hari, yakni Bila Malam Bertambah Malam, Hah, dan Jpret. Semua naskah drama yang dipentaskan merupakan karya lama Putu Wijaya. Kali itu, ketiganya dipentaskan di bawah arahan sang empunya cerita. Pementasan itu merupakan bagian dari rangkaian ulang tahun Putu Wijaya ke-70. Ulang tahun yang terasa berbeda setelah Putu berkursi roda, seusai terkena pendarahan otak pada 2012 lalu.    
Selama ini, Teater Mandiri dikenal dengan gayanya yang khas. Kekhasan Teater Mandiri merupakan cerminan dari prinsip utama mereka dalam berkarya, yakni ‘bertolak dari yang ada’ dan menyuguhkan ‘teror mental’ untuk penonton. Sesuai dengan namanya, mereka ingin berkesenian dengan mandiri dan mendidik para anggotanya untuk menjadi pribadi-prbadi tangguh yang tidak bergantung pada orang lain.
Kreativitas mereka gali dari sumberdaya yang dimiliki, baik dari segi dana, peralatan, maupun kemampuan para aktornya. Dalam pertunjukan, Teater Mandiri berusaha untuk memberondong para penontonnya dengan kejutan-kejutan sejak awal mula layar disibak. Tema-tema yang dibawakan utamanya mengangkat refleksi dan kritik sosial, tapi dengan cara tidak menunjuk siapapun, kecuali mengundang penonton menertawakan getir diri mereka sendiri.
Hal yang unik, para aktor Teater Mandiri direkrut tak hanya dari kalangan anak-anak kampus, tapi juga dari golongan rakyat jalanan, seperti tukang sapu, tukang parkir, pemulung, bahkan bekas narapidana. Tak heran, seorang sutradara Taiwan menyebut mereka sebagai people theater atau teater rakyat. Mereka sendiri menyebut kelompoknya sebagai paguyuban.
Kini, setelah lebih dari 40 tahun berkesenian, para aktornya yang rata-rata sudah berusia matang memiliki kesibukan sendiri-sendiri, dari mulai insinyur bangunan, manajemen artis sinetron, pedagang, hingga ibu rumah tangga. Chandra, salah seorang aktor Teater Mandiri berbagi cerita, dia bergabung dengan Teater Mandiri sejak 1989, ketika dia masih remaja. Chandra mengenang, sebelum akhirnya diberi peran, satu tahun dia ditempa dengan latihan fisik dan mental.
“Setahun saya enggak dikasih kerjaan, cuma bantu-bantu. Enggak dikasih tahu juga kapan saya mau diajak pentas, sampai saya hampir nyerah,” ujar Chandra.
Pria 55 tahun tersebut kini bekerja sebagai manajemen pengorbit artis sinetron anak-anak. Dia juga sering mendapat peran-peran pembantu di berbagai sinetron. Chandra membenarkan, di Indonesia teater tidak bisa dijadikan topangan hidup. “Misalnya begini, kita menyiapkan satu pertunjukan kadang sebulan, kadang dua bulan. Nah, penghasilan dari tiket pertunjukan sendiri kan enggak seberapa,” ujar lelaki berkepala plontos tersebut.
Aktor lainnya, Bambang Ismantoro mengaku tidak terbayang bagai mana nasib Teater Mandiri sepeninggalaan Putu Wijaya kelak. Menurut dia, Teater Mandiri digolongkan sebagai teater sutradara, seperti banyak yang lainnya di Indonesia, seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C Noer, atau Teater Koma Riantiarno. “Setelah Putu, susah sepertinya. Putu tetaplah Putu. Cuma satu, dan tak ada yang bisa menggantikannya,” ujar Bambang. 

Cat.: tulisan pernah dipublikasikan di Harian Republika, April 2014

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

Suara-Suara di Seputar 1998

Foto: www. thejakartapost.com
Sebuah negara lahir melewati bermacam benturan kepentingan. Berbagai pihak menyuarakan kepentingan mereka dengan banyak cara, dari yang terang-terangan hingga yang sembunyi-sembunyi. Menyingkap berbagai motif kepentingan dalam suatu pergolakan besar kekuasaan selalu menjadi tema menarik, tak hanya bagi akademisi, tapi juga untuk seniman.
Di panggung itu berdiri sebuah rumah kaca, serupa etalase besar. Di depannya terdapat emperan, dengan meja dan sejumlah kursi melingkarinya. Di sekeliling, pelantang suara berbagai ukuran terikat pada tiang-tiang besi. Samar-samar terdengar banyak suara timbul-tenggelam. Lalu muncullah Po si teletubbies merah. Dia berjalan-jalan di dalam rumah kaca, lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah penonton.
Itulah tata panggung dan adegan pembuka pertunjukan drama-tari Sehabis Suara #1, yang dimainkan oleh Teater Garasi. Dibawakan di pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Rabu, 26 Maret 2014 lalu, karya terbaru  sutradara Yudi Ahmad Tajudin tersebut menyuguhkan interpretasi seni panggung atas huru-hara 1998 dan masa setelah itu.
Musik berubah gaduh dengan tetabuhan. Di rumah kaca itu tiga orang anonim berpakaian lusuh beratribut warna warni menarikan adegan demonstrasi. Seorang anonim lain berseragam memangku genderang, hilir mudik di antara mereka. Gerak mereka semakin liar, dengan iringan musik yang semakin cepat. Brak! Pintu rumah kaca itu mereka buka paksa.
Orang-orang tanpa nama lainnya keluar dari balik panggung, lalu berlarian keluar-masuk rumah tak menentu arah. Tiga orang dari mereka bersimpuh di bawah meja, di pelataran rumah. Dari belakang meja, seorang perempuan Jepang mencecar mereka dengan bahasa asing. Ia meracau sembari mengiris-iris dan mulut penuh dengan buah tomat. Di dalam rumah, orang-orang terus menarikan demonstrasi.
Begitulah beberapa potong adegan pertunjukan berdurasi 30 menit itu yang membuat penonton terpukau. Dengan tata panggung dan perlengkapan yang artistik, koreografi yang segar, serta metafora yang cerdas, Teater Garasi berhasil memukai penonton. Meski terasa sangat eksperimental dalam kemasan surealis, Sehabis Suara #1 begitu enak dinikmati.
Sehabis Suara #1 menggambarkan berbagai kepentingan yang hilir mudik di seputar tahun 1998 dan setelahnya. Rumah kaca bisa jadi melambangkan Indonesia. Di dalamnya ada pergolakan. Ada rakyat lusuh yang tak henti-hentinya bersuara. Ada juga aparat keamanan memangku genderang perang yang siaga menghalau mereka.
Diwakili oleh figur seorang perempuan Jepang, Sehabis Suara #1 mengemukakan kecurigaan adanya kepentingan-kepentingan asing yang terus mengawasi dan merongrong Indonesia. Orang-orang yang bersimpuh di hadapan si perempuan Jepang menjurus pada representasi penguasa dan pengusaha yang berebut menjual Indonesia demi kepentingan mereka.  
Menurut Yudi, sang sutradara, Sehabis Suara #1 lahir dari rasa penasaran para seniman Teater Garasi menyaksikan dinamika sosial yang berkembang di seputar dan setelah Reformasi 98. “Kami penasaran, apa sebenarnya yang terjadi ketika itu dan setelah itu, apa yang mendasari kelompok orang melakukan ini dan itu. Aku percaya ada suara-suara yang menggerakan setiap fenomena,” ujar Yudi, ditemui seusai pertunjukan.
Yudi menjelaskan, Sehabis Suara #1 merupakan karya awal dari konsep pertunjukan besar yang tengah mereka siapkan. Malam itu, sengaja mereka menampilkan versi 30 menit dari konsep besar tersebut sebagai perayaan kecil atas keberhasilan mereka meraih Prince Claus Award 2013.
Prince Claus Award adalah anugerah dunia untuk berbagai bidang seni, sosial dan kebudayan yang diterbitkan Price Claus Fund, lembaga sosial dan kebudayaan Belanda. Seperti halnya Noble Prize, panitia bekerja menilai para kandidat tanpa sepengatahuan mereka. Sebagai sebuah tradisi, selain mendapatkan penghargaan yang diberikan langsung di negeri Belanda, di negara asal pemenang, penghargaan juga diserahkan oleh Duta Besar Kerajaan Belanda.

Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, April 2014.

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Ridwan Hasan, Merubah Indonesia dengan ‘Seikhlasnya’

Foto: Republika Online
Menilik penampilan dan pembawaannya yang sederhana, kecil kemungkinan orang menduga lelaki 39 tahun itu adalah seorang jenius matematika. Juga tak akan banyak yang mengira, di dalam kepalanya yang kerap tertutup topi itu tersimpan cita-cita dan gagasan besar perubahan Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Ridwan Hasan Saputra. Orang-orang di sekitar akrab menyapanya Pak Ridwan. Dialah sosok yang belakangan dikenal karena keberhasilannya mengorbitkan banyak juara olimpiade matematika di tingkat dunia. Hal yang unik, dalam mencetak anak-anak gemilang  tersebut, Ridwan hanya meminta imbal jasa seikhlasnya.
Suatu sore awal April 2014, saya dan sejumlah rekan saya dan tim Republika bertamu ke kantornya, di Komplek Taman Pagelaran, Ciomas, Kabupaten Bogor. Kedatangan kami hendak membuat reportase tentang Ridwan yang terpilih menjadi salah satu Tokoh Perubahan Republika 2013. Di ruang kerjanya yang mungil, bapak dua anak itu dengan ramah dan antusias bercerita banyak soal aktivitas dan ide-idenya.
Sistem metode seikhlasnya, begitu Ridwan menamai prinsip kerjanya. Sistem tersebut yang dia gunakan dalam membangun Klinik Pendidikan MIPA, lembaga edukasi yang dia dirikan. Dengan prinsip tersebut, anak-anak yang menimba ilmu di tempatnya tidak dikenakan tarif, kecuali disilakan memasukan berapapun uang ke dalam keropak, istilah kotak kencleng dalam Bahasa Sunda.   
Ridwan bercerita, dia mulai membuka les matematika di rumahnya sejak 2001. Namun saat itu, dia masih menerapkan biaya adminstrasi seperti lembaga pendidikan pada umumnya. Gagasan ‘seikhlasnya’ yang terdengar nyeleneh itu sendiri, menurut Ridwan, bermula pada 2003. Ketika itu dia sakit, lantas bersedih karena tak ada satu pun muridnya datang menjenguk. Dia lantas berpikir, hal itu mungkin karena anak-anak didiknya merasa sudah membayar dia, sehingga tak merasa punya beban untuk berempati.
Selain itu, di saat yang sama, Ridwan juga mengalami goncangan keyakinan. “Saya musuhan sama Allah. Gara-gara, saya waktu itu sebagai guru matematika terbaik tingkat nasional, tapi tes matematika untuk PNS, saya tidak lulus. Itu sepertinya karena saya enggak nyogok, ” ujar ridwan dengan logat Sunda-nya yang kental.
Namun kemudian, dalam keterpurukkan itu Ridwan merenung dan merasa sikapnya keliru. “Saya berpikir, nikmat yang Allah berikan itu sangat banyak, saya berkedip, ibadah saya 60 tahun enggak akan bisa membalasnya. Saya merasa banyak hutang sama Tuhan, dan saya ingin membalas dengan cara bersukur” ujar Ridwan.
Sejak saat itu, Ridwan menapaki jalan pengabdian dengan menyebarkan pendidikan matematika tanpa memasang tarif. Mula-mula banyak orang yang ragu karena selain meminta imbalan seikhlasnya, dia juga sesumbar akan mengirimkan murid-muridnya keluar negeri mengikuti olimpiade. Alhasil, hampir semua muridnya pergi, dan hanya tersisa dua orang.
Namun tekadnya yang dibimbing keyakinan teguh tak sia-sia. Tahun 2007, Kelinik Pendidian MIPA (KMP) yang dia dirikan memberangkatkan empat orang anak SD hasil didikannya ke India untuk mengikuti ajang Wizard at Mathematics International Competition (Wizmic). Lebih dari itu, anak-anak asuhnya berhasil meraih tiga medali emas, satu perah, dan satu perunggu.    
Sejak saat itu, orang-orang tak lagi yang mencibir dan meragukan Ridwan. Orangtua semakin banyak yang  menitipkan anak-anak mereka untuk mendapat pengajaran darinya. Para siswanya kini  tak hanya berasal dari Bogor, tapi juga dari kawasan lain di Jabodetabek, termasuk dari Jakarta.
Dalam keilmuman matematika, Ridwan mengembangkan metode Matemarika Nalar Realistik (MNR), yang mengajarkan matematika kepada siswa dengan pendekatan persoalan-persoalan sehari-hari. Selain itu, Ridwan juga mengembangkan teknik-teknik pengajaran matematika dengan mengoptimalkan gerak dan peragaan. Selain dua hal tersebut, Ridwan juga menawarkan berbagai gagasan lain, yang banyak dia terbitkan sebagai buku.
Hingga tahun ini, tak kurang dari 200 siswanya berhasil mendapatkan medali dalam berbagai kejuaran matematika, baik nasional maupun di tingkat dunia. Tercatat, anak-anak didikan KPM telah turut serta di ajang-ajang internasional, di 18 negara di dunia, termasuk di Amerika Serikat, China, India, hingga Afrika Selatan.  
Kini, ibantu 25 staf dan lebih dari seratus pengajar, KPM telah memiliki enam cabang, yakni di Bogor, Depok, Bekasi, Solo, Semarang, dan Surabaya. Total murid tercatat mencapai 4500 siswa, baik kelas unggulan maupun kelas reguler. Kecuali yang terletak di Jabodetabek, cabang-cabang lain didirikan secara mandiri oleh guru-guru yang Ridwan latih. Cabang-cabang tersebut tak diwajibkan membayar apapun kepada Ridwan, bahkan bila perlu bantuan, dia selalu siap menyokong.
Serangkaian keberhasilan yang dia raih semakin menguatkan keyakinannya, bahwa hidup memang untuk berbuat baik. Bagi dia, beribadah adalah cara memperluas ruang rezeki. “Kalau kapasitas kita tidak ditambah, rezeki sebanyak apapun tidak akan tertampung. Ibadah itu cara meluaskan kapasitas kita,” kata ridwan sambil memperagakan maksudnya dengan tangan.
Ridwan secara bertahap memantapkan metode ‘seikhlasnya’ yang dia terapkan. Ridwan menyaratkan anak-anak didiknya untuk rajin beribadah. Setiap kelas selalu dimulai dengan surat Al-Fatihah, Sholawat Nabi, dan doa belajar. Semakin tinggi jenjang pendidikan anak, semakin ditingkatkan kewajiban ritual Islam yang harus dipenuhi, dari mulai sholat dhuha, puasa Senin-Kamis, sodakoh, dan ajaran sunat lainnya.
Aksi-aksi dan berbagai gagasan Ridwan semakin mengangkat reputasi Ridwan. Tak hanya di dalam negeri, dia sering diundang ke berbagai negara, entah untuk menjadi pelatih matematika ataupun menjadi juri kompetisi. Tak hanya itu, sejumlah penghargaan pun dia terima, termasuk Satyalancana Wirakarya yang langsung diserahkan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
KPM, lembaga pendidikan yang dia besarkan hingga kini masih memegang teguh prinsip ‘seikhlasnya’. Ridwan berharap, prinsip itu akan tetap terjaga sampai akhir hayatnya. Tak sampai di situ, Ridwan menekadkan, KPM akan menjadi warisan bagi umat. “Nanti, sepeninggalan saya, ini tidak saya wariskan ke istri atau anak-anak saya, tapi buat umat. Saya berharap ini bisa menjadi seperti NU atau Muhammadiyah,” ujar dia.
Dalam gagasan Ridwan, prinsip ‘seikhlasnya’ bisa menjadi jalan untuk menciptakan perubahan besar di Indonesia. Selain lewat matematika, kini Ridwan sudah merintis pendidikan di bidang lain dengan metode ‘seikhlasnya’, seperti Bahasa Inggris dan bela diri Taekwondo. Di tempat lesnya, dia juga sedang merintis tempat jual-beli yang dia namai ‘toko jarang untung’. Di sana orang-orang bebas menitipkan barang dan pihaknya tidak mengambil keuntungan kecuali diberi seikhlasnya.
“Banyangkan, ketika prinsip ‘seikhlasnya’ menyebar luas, akan semakin banyak anak Indonesia yang cerdas, sekaligus berakhlak mulia,” ujar Ridwan antusias.

Keajaiban Ikhlas Ridwan Hasan
Foto: detik.com
Banyak cara orang memaknai hidup. Ridwan Hasan, adalah salah satu yang meyakini bahwa hidup adalah untuk menyembah Tuhan. Momen sakit dan suatu kekecewaan telah mengantarkan guru matematika lulusan Insitut Pertanian Bogor (IPB) itu pada titik pencerahan. 
Dia yang sempat mengalami krisis keyakinan dan menganggap Tuhan tidak adil kemudian sadar bahwa karunia ilahi teramat besar dan tak akan pernah sanggup dia balas.  
Dalam pikirannya kemudian, bersyukur adalah cara terbaik untuk berterima kasih kepada Tuhan. Tahun 2003, dia memulai proyek yang membuatnya dicibir, yakni membuka pendidikan matematika tanpa memasang tarif. Dia hanya menyilakan murid-muridnya mengisi keropak atau kotak kencleng seikhlasnya. Hal itulah yang dia sebut metode ‘seikhlasnya’.
Pria kelahiran 16 April 1975 tersebut tidak merasa mengajar anak-anak itu adalah sebuah pekerjaan. Dia menganggap diri sedang bekerja kepada Tuhan, sehingga Tuhan-lah yang akan membayarnya. Itulah kepercayaannya, yang membuat dia teguh membangun lembaga edukasi Klinik Pendidikan MIPA (KPM), yang hanya mendapat bayaran seikhlasnya.
Tidak main-main dengan tekadnya, dia merelakan rumahnya, di Komplek Taman Pagelaran, Ciomas, Kabupaten Bogor, untuk menjadi tempat belajar-mengajar. Sementara itu, dia sendiri bersama keluarganya mengontrak rumah berpindah-pindah. Rumah itu pun kemudian dia bongkar dan diperbesar untuk lebih banyak menampung siswa.
Soal rezeki, Ridwan sendiri tidak mengerti, ada saja cara Tuhan memberi berkah, termasuk mengabulkan doa-doanya dengan cara yang ajaib. Ratusan juta hingga milyaran dana datang begitu saja, yang membuat lembaga binaanya terus berkembang. Bahkan hingga lembaga itu msih bertahan hingga hari ini, menginjak tahun kesepuluh sejak didirikan.
Terkadang, Ridwan terpaksa berhutang. Seperti yang terakhir, dia berhutang Rp 2 miyar untuk dua ruko yang dia jadikan tambahan tempat pendidikannya. Dia belum tahu bagaimana caranya membayar dana pinjaman itu. “Saya sudah enggak pakai otak memikirkan uang. Kalau pakai otak saya sudah selesai dari dulu. Saya berdoa sama Tuhan, ‘Tuhan, saya berbuat untuk menegakan kalimatmu, masa Engkau hinakan aku’”, begitu Ridwan menirukan doanya.
Kejadian yang paling terasa magis adalah ketika dia memohon jodoh. Kala itu, ketika usianya menginjak 29 tahun, dia merasa membutuhkan seorang pendamping. Malam hari dia berdoa, pada pagi hari seorang perempuan yang tidak dia bayangkan sebelumnya hadir dan menyanggupi untuk menjadi istrinya.
Ridwan percaya, ibadah dalah cara terbaik mendatangkan rezeki. “Kita akan lebih percaya menitipkan sesuatu kepada orang yang tidak menyukainya. Begitupun rezeki, Tuhan akan menitipkannya kepada mereka yang tidak menyukai harta,” begitu kata dia.  
KPM, lembaga yang dia dirikan kini banyak mengorbitkan juara-juara olimpiade tingkat dunia. Selain itu, lembaga tersebut juga sudah menyebar keberbagai daerah, dan memiliki ribuan peserta didik. Dengan membayar seikhlasnya, Ridwan mengikat siswa pada ketentuan agar mereka memperbanyak ibadah selama mendapatkan pendidikan darinya. Hal tersebut dia lakukan agar semakin banyak anak cerdas dan sholeh yang akan merubah bangsa ini.

Ridwan mengakui, terkadang dia kesulitan meyakinkan orang untuk bergabung dalam proyek ‘seikhlasnya’ yang dia inisiasi. Namun, ada saja orang yang bersimpati dan memberi dukungan. “Saya harus mencari orang dengan frekwensi yang sama. Orang-orang beriman yang bisa memahami apa yang saya kerjakan,” ujar Ridwan. 

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Membumikan Sastra untuk Orang Biasa


Foto: eppiix/kaskus.co.id
Perdebatan wacana soal sastra untuk sastra dan sastra yang berpolitik pernah menjadi bahan keributan hebat, tak hanya di tanah air, tetapi juga di seantero dunia. Kini, zaman yang sarat konflik itu telah berlalu. Peradaban manusia sudah sangat berbeda. Tak heran para cendekia sastra rindu memperbarui makna. Untuk apa dan untuk siapa mereka berkarya?
Di tengah kecanggungan banyak pihak untuk mulai berbicara soal sastra untuk apa dan untuk siapa, ASEAN Literary Festival (ALF) berinisiatif melempar wacana. “Anthems for The Common People”, begitu tema yang ditawarkan. Secara khusus, tema tersebut terinspirasi oleh dan didedikasikan untuk ikon penyair dan pejuang demokrasi Widji Thukul.
Agenda yang dihelat 21-23 Maret 2014 tersebut mengundang lebih dari 40  penulis, akademisi, serta pekerja seni dari ASEAN dan luar ASEAN, serta dihadiri ratusan peminat sastra dari seluruh Indonesia. Bertempat di Taman Ismail Marzuki, ALF diisi berbagai kegiatan, dari mulai diskusi publik, pameran penerbit dan komunitas literasi, bincang penulis, serta pertunjukan seni.   
Berbagai tema menarik disajikan dalam rangkaian diskusi, di antaranya soal sastra ASEAN kontemporer, soal demokrasi, HAM dan sastra, soal perempuan dan sastra, serta masih banyak lagi. Masing-masing diskusi diisi dan dipandu oleh para penulis dan akademisi kenamaan. Diskusi demokrasi, HAM dan sastra, misalnya, diisi oleh Todung Mulya Lubis, Chen Songsomphan dari Thailand, U Kya Win dari Myanmar, dengan moderator Laura Schuurmans asal Belanda.
Jumat malam, 21 Maret 2014, saya berkesempatan menghadiri pembukaan kegiatan tersebut. Berlokasi di Gedung Teater Kecil, TIM, prosesi pembukaan berlangsung santai sekaligus khidmat. Suasana khidmat dan heroik hadir karena dalam kesempatan itu ASEAN Literary Award dianugerahkan kepada Widji Thukul, seniman progresif yang dihilangkan oleh penguasa Orde Baru.
Saras Dewi, anggota panitia pengarah kegiatan menerangkan, ALF hadir untuk membuka ruang bagi para sastrawan dan akademisi sastra di ASEAN untuk berkumpul. “Dengan tema ‘Anthems fo the Common People’, kami ingin panggung ini menjadi milik semua orang, bahwa sastra bukan hanya untuk golongan elit atau kaum tertentu saja,” ujar pengajar filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut, dijumpai disela kegiatan.
Anggota panitia pengarah lain, kritikus sastra Tommy F Awuy menambahkan, ALF boleh dibilang sebagai yang pertama di Indonesia pada era ini, di mana festival sastra fokus pada persoalan demokrasi dan HAM. “Saya kira kita harus berani. Sastra tidak boleh hanya sekedar untuk sastra, tetapi juga untuk kemanusiaan, HAM dan demokrasi. Sastra harus terbuka untuk hal lain,” ujar Tommy.  
Malam pembukaan tersebut secara khusus menghadirkan Pete Lacaba, tokoh sastrawan dan sineas Filipina terkemuka, untuk memberikan kuliah umum. Dalam ceramahnya, Pete membagi kisah perjalanan hidupnya. Dia bercerita, ketika muda, sebagai penulis, dia berpikir bahwa tugas utamanya hanya sebagatas menulis. Ketika menjadi jurnalis, dia menjadi pengamat dinamika sosial yang terjadi. “Sampai akhirnya saya berpikir, apa kontribusi seorang penulis untuk keadilan dan masyarakat,” kata dia.
Bergabung dengan gelombang protes menentang kediktatoran Ferdinand Marcos pada 1970, Pete dijebloskan ke dalam penjara. Dua tahun dia lewatkan di balik teralis besi, saat-saat yang semakin menguatkan visi pro-demokrasi-nya sebagai seorang pekerja seni.
Nampak di antara hadirin figur-figur sastra tanah air, seperti Remy Silado, Saut Situmorang, dan Richard Oh. Tak hanya para sastrawan, hadir mewakili Menlu Marty Natalegawa, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Esti Handayani. Dalam kata sambutannya, Esti berharap bahwa seni dan sastra akan semakin merekatkan negara-negara ASEAN menyambut era Komunitas ASEAN tahun 2015.


Panggung ASEAN untuk Widji Thukul

Foto: fiskal.co.id
...
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu: pemberontakkan!
...
(Sajak Suara)


Namanya Widji Widodo, namun orang lebih akrab menyebutnya Widji Thukul. Seniman jalanan sekaligus aktivis sosial itu dinyatakan hilang dalam huru-hara politik di akhir kekuasaan Orde Baru. Banyak yang menduga, lenyapnya sang penyair propagandis tersebut didalangi penguasa. Petikan sajak di atas adalah satu dari ratusan karyanya yang bertema perlawanan, yang ditulis seiktar tahun 90-an.
Di tengah suasana politik yang mencekam dalam hegemoni rezim militeristik kala itu, Thukul adalah satu dari sedikit pribadi yang berani tampil mendeklarasikan resistensi. Lewat sajak-sajaknya yang lugas tanpa metafor, anak tukang becak yang tak sempat lulus SMK itu menghadirkan tema-tema penderitaan rakyat jelata. Sajak-saajaknya sekaligus membakar semangat rakyat untuk memperjuangkan nasib mereka.
Tak hanya berpuisi, pria kelahiran Solo, 26 Agustus, 1963 itu juga terlibat dalam berbagai demonstrasi, serta aktif dalam pengorganisasian buruh. Tak jarang, dia ditangkap dan dihajar tentara, termasuk dalam kejadian aksi protes buruh PT Sritex di Solo, tahun 1995. Ketika itu mata kanannya hampir buta karena dibenturkan aprat ke badan mobil.
Pengorbanannya yang hebat untuk kemanusiaan dan tegaknya demokrasi telah membuat banyak pihak memberi simpati dan rasa hormat. Sejumah apresiasi dalam bentuk penghargaan diberikan padanya, termasuk yang terakhir, ASEAN Literary Award 2014. Penghargaan tersebut dianugerahkan kepada Thukul bertepatan dengan pembukaan ASEAN Literary Festival 2014, 21 Maret 2014.
Abdul Khalik, Direktur ASEAN Literary Festival menerangkan, diangkatnya Widji Thukul sebagai ikon acara dan diberikannya penghargaan untuk dia merupakan upaya mengingat jasa-jasa sang penyair dalam seni dan perjuangan sosial di Indonesia. “Selama Orde Baru, Widji Thukul ditaruh di tempat sampah, masyarakat dipaksa melupakan. Kini sudah satnya dia diberi penghargaan yang selayaknya. Sekarang bukan lagi zaman Orde Baru. Kita harus berani,” ujar Kholik.
Bertempat di Gedung teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), piagam penghargaan untuk Thukul diterima oleh pihak keluarga, termasuk dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Prosesi tersebut berlangsung dalam suasana khidmat sekaligus heroik. Slide dokumenter tentang Thukul diputar pada layar besar, diiringi petikan musik puisi yang khusus didekisasikan untuk dia.
Sosiawan Leak dan Khairini Barokka tampil mendeklamasikan sejumlah sajak Thukul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dengan olah suara dan ekspresi tubuh penuh penghayatan, keduanya sukses menarik hadirin hanyut merasakan alam perjuangan sang penyair revolusioner. Deklamasi ditutup dengan sajak “Peringatan” (1986) yang sudah tidak asing di telinga para tamu undangan.  
...
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: ...


 “Lawan!”  Teriak para tamu undangan serempak, sambil mengacungkan tinju ke angkasa.  

Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Maret 2014

POSTED BY
POSTED IN , , ,
DISCUSSION 0 Comments

Menggali Akar Budaya Tanjidor

Foto: Kulatmabok/deviantart.net
Lebih dari sekedar kesenian musik, tanjidor ibarat diorama kehidupan masyarakat Betawi. Di dalamnya tersuguh dinamika sosial dan bentang zaman yang dilewati orang  Betawi di wilayah Ibu Kota dan sekitarnya. Sayang, orkestra rakyat itu kini nasibnya semakin tersisih oleh budaya hiburan modern.
Merespon kondisi tersebut, lembaga kebudayaan Bentara Budaya Jakarta (BBJ) mengelar pagelaran bertema “Parade Tanjidor”, pada 20 hingga21 Maret 2014. Bertempat di gedung kesenian BBJ, di Jalan Palmerah Utara, Jakarta Selatan, sejumlah mata acara disuguhkan. Di antaranya adalah diskusi publik, pertunjuan tanjidor, serta tak lupa sajian kuliner khas Betawi.
Sesi diskusi menghadirkan pemerhati budaya Rachmat Ruchiyat, serjarwan JJ Rizal, serta seniman sepuh Tanjidor, Said Neleng. Rachmat Ruchiyat yang pernah terlibat program pendokumentasian tanjidor zaman Gubernur Ali Sadikin bercerita, kesenian dengan peralatan musik serba-Barat tersebut memang lahir dari lingkungan para bangsawan Belanda.
Ketika itu, menurut Rachmat, demi memenuhi hasrat akan hiburan dan kemewahan, para juragan Belanda mendatangkan para pelatih musik dari negerinya untuk mengajar orang-orang bumiputera. Salah seorang bangsawan Belanda yang dicatat dalam sejarah tanjidor adalah Augustijn Michiels, atau lebih dikenal sebagai Mayor Jantje. Rachmat meriwayatkan, di istananya yang berada di wilayah Citeureup, Bogor, Mayor Jantje mempekerjakan tak kurang dari 320 pembantu.
Sejumlah kecil pembantu terpilih kemudian diberi tugas untuk menghibur keluarga sang majikan dengan musik. Kata Rachmat, ketika itu Mayor Jantje memiliki hingga enam kelompok pemusik, dari mulai pemusik gesek, pemusik gamelan, termasuk grup orkes. Grup yang terakhir kemudian dikenal sebagai kesenian tanjidor. Masing-masing memiliki waktu tampilnya sendiri. Kelompok tanjidor, misalnya, bermain untuk perayaan menyambut tamu, serta suasana lainnya yang bersifat meriah.
Rachmat tidak memungkiri, ketika itu, para pemusik kepunyaan tuan-tuan Belanda tersebut bisa diperjualbelikan, bahkan dihadiahkan dalam pergaulan sesama bangsawan. Rachmat mengibaratkan, mereka seperti para pesepak bola profesional hari ini yang memiliki nilai jual karena keahliannya. Berbeda dengan Rachmat, JJ Rizal tak canggung menyebut para pemusik pribumi itu sebagai kaum budak, sehingga muncul istilah slaven orchest atau orkes budak.
Rizal menambahkan, pada 1870, Pemerintah Kolonial Belanda menerbitkan larangan praktik jual-beli manusia, termasuk para pemusik. Ketika itulah orkes tanjidor yang semula musik para bangsawasan terusir dari istana. Tanjidor kemudian memasuki babak baru. “Setelah tidak di istana, mereka kemudian membentuk grup-grup tanjidor keliling, lalu mencari uang dengan ngamen dari rumah ke rumah,” kata Rizal.
Rizal melanjutkan, pada perjalanannya, bermunculan banyak grup tanjidor keliling. Mereka menjadi bagian dari berbagai perayaan hari besar, seperti Imlek, Lebaran, atau Tahun Baru. “Orang-orang Tionghoa waktu itu senang kalau rumahnya didatangi tanjidor, mereka menganggap itu sebagai pengusir roh jahat,” ujar dia.
Rachmat Ruchyat melanjutkan, setelah zaman kemerdekaan, tanjidor memasuki babak baru ketika Sudiro, Walikota Jakarta Raya waktu itu, melarang grup-grup tanjidor untuk ngamen. Menurut Rachmat, ketika itu Sudiro tak ingin orang-orang pribumi berkesenian dengan cara yang dia anggap mengemis, terlebih kepada warga keturunan Tionghoa.
Alhasil, kelompok-kelompok tanjidor pun semakin menyusut jumlahnya. Menurut Rachmat, sempat ada upaya untuk kembali membudayakan musik tanjidor pada masa Gubernur Ali Sadikin. Namun sayang, pada akhirnya kesenian tanjidor tak bisa menghindar dari perubahan zaman dan pergeseran paradigma masyarakat.
Secara khusus, Rachmat memuji perjuangan kelompok tanjidor sejauh ini. Menurut dia, tanjidor masih tersisa karena kemampunannya beradaptasi. Dia mencontohkan, tanjidor yang dulu hanya memainkan musik-musik Belanda, kemudian juga memainkan lagu-lagu tradisional, bahkan mengiringi dangdut.
Bukti lain fleksibilitas tanjidor, menurut dia, adalah hadirnya berbagai varian kesenian, sebagai buah dari penggabungan tanjidor dengan seni pertunjukan lain. Kesenian tersebut, contohnya jinong, merupakan penggabungan tanjidor dan lenong, atau jipeng, perpaduan tanjdor dan seni topeng.
Direktur Eksekutif Bentara Budaya Hariadi Saptono melaporkan, sejauh upaya pihaknya mencari kelompok tanjidor, hanya ada enam grup saja yang masih aktif berkesenian di Jakarta dan sekitarnya. Sisanya, sudah kurang aktif, atau dengan peralatan yang tidak lengkap.
Satu di antara sedikit kelompok tanjidor yang masih hidup adalah grup tanjidor Tiga Sodara, pimpinan Said Neleng. Malam itu, kelompok Tiga Sodara yang para pemainnya rata-rata sudah sepuh menjadi pembuka malam parade tanjidor. 

Musik Hibrida Bernama Tanjidor 

Foto: Dok. Enoch Atmadibrata/disparbud.jabarprov.go.id
Tanjidor adalah musik hibrida, percampuran berbagai kebudayaan yang ditempa oleh dinamika sosial yang panjang. Alat musiknya semua serba Eropa, terdiri dari berbagai jenis alat tiup dan tabuh, termasuk trompet kontrabass yang paling ikonik di antara yang lainnya. Dulu, di rumah-rumah para juragan kumpeni, orkes tanjidor hanya memainkan lagu-lagu Belanda. Kini, tanjidor juga mengiringi lagu-lagu tradisional.
Orkes tanjidor umumnya dimainkan oleh sembilan hingga sepuluh orang, yang semuanya laki-laki. Alat musik yang digunakan terdiri dari varian terompet, bass drum, serta simbal. Yang berperan memainkan irama adalah klarinet dan flute, sisanya menjadi pengiring. Terkadang, penabuh drum melontarkan saut-sautan yang membuat musik semakin semarak.
Setelah melalui proses asimilasi dengan budaya Betawi, para pemain tanjidor mengenakan baju adat muslim Betawi, yakni celana kain hitam, baju koko putih, peci, serta kain sarung tergantung di leher. Pada perkembangannya, orkes tanjidor kerap disandingkan dengan ondel-ondel, sepasang boneka raksasa, yang juga menjadi ikon kebudayaan Betawi.
Musik tanjidor diwariskan dari generasi ke generasi hanya berdasarkan ingatan, tanpa catatan partitur. Para seniman tanjidor merekam pakem lagu-lagu tanjidor dalam memori. Ketika mengajarkannya, mereka menyenandungkan lagu-lagu tersebut. Wajar saja, kalangan yang mengerti ilmu musik akan menemukan banyak nada sumbang dalam musik tersebut.
“Itulah tanjidor, kalau nggak sumbang, bukan tanjidor,” ujar sejarawan JJ Rizal, dalam diskusi tentang tanjidor di Bentara Budaya Jakarta, 21 Maret 2014. 
Para pemain tanjidor memiliki istilah untuk lagu-lagu yang mereka mainkan. Ada musik luar, mengacu pada lagu-lagu warisan Belanda. Ada musik dalem, yakni tembang-tembang dari dalam negeri, termasuk lagu-lagu tradisional. Hal yang unik, semua istilah lagu luar disebut dalam bahasa mereka sendiri. Lagu-lagu bertempo cepat untuk baris-berbaris prajurit mereka sebut mares, asal kata dari mars.
Ada macam-macam mares yang biasa mereka mainkan, yang juga disebut seingatnya. Ada mares wilmes, berasal dari Mars Wilhelminus, lagu untuk Ratu Belanda Wilhelmina. Ada juga yang disebut mares jalan, mares jerit, mares Jepang, dan judul-judul lainnya, yang menurut JJ Rizal, semua serba disebut sekenanya. Selain mares, dikenal juga lagu-lagu wos, asal kata dari waltz, musik lambat untuk berdansa.
Rachmat Ruchyat, peneliti kebudayaan Betawi berpendapat tanjidor telah menjadi simbol keselarasam masyarakat Ibu Kota. Dia menggambarkan, tanjidor mampu hadir dalam berbagai ruang sosial, seperti prosesi adat, misalnya pernikahan dan sunatan, juga dalam perayaan hari-hari besar, semisal Imlek, Tahun Baru, juga Lebaran.
Para pemerhati budaya Betawi tak sepenuhnya faham dari mana munculnya istilah tanjidor. Dalam manuskrip-manuskrip warisan zaman kolonial, tak ditemukan sebutan tersebut. Rachmat Ruchyat, peneliti budaya Betawi berasumsi, tanjidor berasal dari kata Portugis tanger, yang artinya musik. Ada juga yang berpendapat, akhiran dor dalam Tanjidor mewakili bunyi tetabuhan yang ada dalam orkes tersebut. 

Cat.: tulisan ini pernah dipublikasihan di Harian Republika, Maret 2014

POSTED BY
POSTED IN , , ,
DISCUSSION 0 Comments

Gawang ‘Portable’ Anak-Anak Cikini

Foto: Andi Nurroni
Perkembangan zaman modern telah menghadirkan inovasi perabot serba-portable. Orang-orang jenius menciptakan barang-barang semakin ringkas dan mudah dipindahkan atau dibawa ketika berpergian. Bocah-bocah di Kampung Cikini VII tak mau kalah. Tak punya lapangan rumput untuk bermain bola, mereka membuat gawang yang bisa dibongkar-pasang agar leluasa bermain di mana saja.
Sabtu sore, pertengahan Maret, 2014, adalah kali kedua perjumpaan saya dengan anak-anak yang semarak itu. Seperti sebelumnya, mereka tengah asyik bermain bola sepak di pelataran samping Gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Di arena bertegel seukuran lapangan futsal itu mereka meletakan sepasang gawang portable yang dibawa dari kampung mereka. Kampung mereka sendiri berada di samping TIM, di sebelah Barat, berjarak hanya sekira lima menit perjalanan.
Gawang mereka terbuat dari pipa paralon berdiameter sekitar dua jari. Setiap kaki-kakinya dipancangkan pada kaleng bekas cat yang diberi semen agar mantap ketika digunakan. Antara dua tiang samping dan dan pipa mistar dihubungkan oleh siku penyambung yang bisa dipasang-copot. Ukurannya jauh lebih mini dari gawang biasanya. Tingginya hanya sebahu penjaga gawang, lebarnya tak lebih dari dupa depa.
Sepasang gawang portable seharga Rp 42 ribu dibuat dengan hasil urunan. Kata Ebil, salah salah seorang dari mereka, itu gawang terbaru yang mereka miliki, setelah yang sebelumnya patah. Diceritakan bocah 11 tahun itu, dua gawang tersebut mereka buat dibantu oleh Mas Nano, penjaga mushola di kampung mereka. Atas jasanya, Adam (14), bocah lainnya, menjuluki sang marbot baik hati itu sebagai Roberto Manchini, nama mantan pelatih klub sepakbola Inggris Manchester City yang terkenal.   
Sore itu, ada 13 anak yang bermain. Hanya beberapa orang saja yang tidak ikut, kata Ebil. Bocah kelas dua di SD Menteng 03 itu mengaku sejak kecil sudah biasa bermain di sana. Bahkan, jauh sebelum generasinya, anak-anak kampung yang lebih tua juga suka bermain bola di sana. Dia bercerita, main bola di pelataran TIM bersifat musiman. Kadang di bulan tertentu mereka berhenti, kemudian melanjutkannya di bulan yang lain.
Ebil dan kawan-kawan nampak bermain dengan riangnya. Ada hukuman yang diberlakukan bagi yang kemasukan. Kata Ebil, kalau kebobolan satu gol, pra pemain yang kalah harus membuka kaos setengah bahu. Kalau kemasukan dua gol, mereka harus membuka kaos dan bertelanjang dada. Pihak yang mendapat hukuman baru bisa memakai bajunya lagi kalau berhasil menyamakan kedudukan.
Pergantian pemain mereka lakukan seenaknya. Formasi pun tidak pernah mereka atur. “Saya kadang striker, kadang bek,” ujar Adam. Tak lama setelah permainan, Adam memutuskan menarik dirinya dari lapangan. Kata dia, kakinya lecet akibat tersandung tegel. Adam bercerita, mendapat luka-luka gores atau lebam ketika bermain di sana sudah biasa.
Bocah-bocah kampung itu bermain dengan girang, tanpa terikat waktu pertandingan. Mereka hanya baru berhenti kalau sudah bosan atau merasa lelah. Seperti sore itu, permainan sesi pertama terhenti karena salah seorang anggota mereka datang dari warung membawa air kemasan. Setengah berebut, bocah-bocah itu bergantian menenggaknya. Permainan sesi pertama pun bubar begitu saja.

Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Maret, 2014 

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

‘The Muslim Show’, Gelak Tawa Islam di Perancis

Gambar: www.muslim-show.com
Seorang pria berjubah, lengkap dengan penutup kepala, berdiri di atas podium. Dikelilingi ratusan orang di sekitarnya, lelaki itu melontarkan seruan-seruannya. “Kita, umat Islam di Perancis harus bersatu melawan Islamofobia!” teriak dia sambil mengacungkan tangan ke angkasa.
Di suatu ruangan, melihat rekaman video aksi lelaki berjubah itu, seorang komandan biro keamanan bersungut-sungut penuh amarah. Atas perintahnya, sejumlah pasukan dikirm untuk menangkap pria berjubah itu. Si pria tersangka penghasutan itu kemudian digelandang untuk diperiksa. Dengan lantang, si Komandan berseru kepada para wartawan. “Saya putuskan untuk mendeportasi imam ini dari Perancis dan mengirim dia ke negara asalnya!” ujar dia berang.
Di tempat pemeriksaan imigrasi, sang Komandan mendadak terbengong keheranan. Petugas imigrsi melaporkan, setelah diperiksa, pria itu benar-benar asli orang Perancis dan bukan imigran seperti yang disangka. Jadi, tentu saja dia tak bisa dideportasi. Dengan tangan terborgol, sang Imam pun tersenyum simpul. Tampak dia tak lagi mengenakan penutup kepala, memerlihatkan wajah seorang pemuda berambut dan berjenggot pirang.
Kisah di atas adalah satu dari sekumpulan cerita bergambar The Muslim Show (TMS), karya komikus Muslim Perancis Noredine Allam beserta kedua rekannya, Greg Blondin dan Karim Allam. Dalam beberapa satu-dua tahun terakhir, serial TMS menjadi fenomena Facebook di berbagai negara. Di negeri Eiffel, tempat lahir si komik, fan page-nya mendapat tanda jempol lebih dari 300 ribu penggemar, mendudukannya pada peringkat ketiga fan page yang paling disukai di sana.  
Fan page edisi Bahasa Inggris lebih banyak lagi mendapat ‘like’. Tercatat, lebih dari 500 ribu orang memberi tanda jempol. Diluncurkan untuk penggemarnya di Indonesia akhir tahun lalu, halaman penggemar TMS berbahasa Indonesia terhitung sudah mendapatkan 22 ribu jempol. Selain Bahasa Perancis, Inggris, dan Indonesia, TMS juga hadir di Facebook dalam lebih dari dua20 bahasa lainnya.
TMS adalah berbagai kisah kehidupan sehari-hari kaum Muslim Perancis yang dituangkan dalam potongan-potongan cerita bergambar. Dengan jenaka dan terkadang satir, komik tersebut menyuguhkan refleksi kehidupan orang-orang Islam, yang di wakili oleh para Muslim Perancis. Tema yang diangkat beragam, mulai dari yang sederhana, seperti soal tren jilbab, hingga yang berbau politik, seperti tabiat anti-Islam pemerintah Perancis.
Beranjak dari kesuksesannya di dunia maya, TMS pun telah diluncurkan dalam bentuk cetak di sejumlah negara dalam berbagai bahasa. Di Perancis, dua judul TMS berhasil terjual lebih dari 20 ribu ekspemplar. Di Indonesia, dua kumpulan seri TMS berjudul “Ramadhan ala Muslim Show (judul asli: “Muslim Show Ramadhan”) dan “Hidup bertetangga ala Muslim Show” (judul asli: Muslim Show Voisin Voisin) diluncurkan penerbit Dar! Mizan. Terhitung sejak 6 hingga 16 Maret, ketiga kreator TMS diboyong Mizan untuk berkeliling sejumlah kota menghadiri peluncuran buku komik TMS edisi Bahasa Indonesia.
“Mulanya, kami hanya memaksudkan itu (TMS) untuk warga Muslim Perancis, tak disangka sambutan masyarakat Muslim di negara-negara lain sangat baik,” ujar sang komikus, Noredine Allam ketika saya wawancara di Jakarta, Maret, 2014.
Selain sebagai karya seni, Noredine mengakui, karya yang dia dan kedua rekannya buat juga termotivasi oleh niat dakwah. Noerdine ingin mengingatkan umat Islam pada agama mereka. Selain bertujuan menebar syiar di kalangan komunitas umat Islam, menurut dia, TMS juga dimaksudkan untuk menjembatani komunikasi antara umat Islam dengan kalangann non-Muslim.
“Saya ingin menggambarkan pada dunia, bahwa Islam itu tidak sekaku seperti yang mereka pikirkan. Saya ingin menebarkan Islam yang universal,” kata Noredine.
Noredine menceritakan, komunitas Islam di Perancis menghadapi tantangan berupa sikap Islamofobia pemerintah. “Masyarakat di sana cukup terbuka, justru pemerintahnya yang sering kali diskriminatif,” ujar pria tinggi berkepala plontos itu.
Dalam TMS, berbaagai karakter anonim dihadirkan tanpa nama. Menurut Noredine, hal tersebut sengaja, untuk membuatnya lebih universal. Namun demikian, Noredine mengakui, inspirasinya banyak didapat dari kehidupan komunitas Muslim keturunan Aljazair dan Maroko.
Mengapresiasi TMS, para pembaca akan menemukan banyolan-banyolan cerdas yang dihadirkan dalam gamabar-gambar warna-warni yang menarik. Khusus pembaca Indonesia, beberapa judul seri TMS bisa saja kehilangan sedikit daya humornya karena perbedaan budaya kedua bangsa.

Foto: PTS Malaysia
Para Komikus
Noredine Allam dan Karim Allam adalah kakak beradik dari tiga bersaudara. Mereka lahir dari ayah Aljazair yang Muslim dan ibu asli Perancis yang seorang mualaf. Sang ayah berprofesi sebagai tukang las, sementara ibu mereka mengurus keluarga di rumah. Sementara Greg Bondin, rekan mereka adalah orang asli Perancis dan seorang non-muslim.
Allam bersaudara tumbuh di Amiens, kota kumuh di Utara Perancis yang menjadi pusat para imigran di Perancis. Di Perancis, kota tersebut terkenal sering dilanada kerusuhan sosial.  Noredine, yang merupakan motor dalam tim TMS mengaku berlajar menggambar secara otodidak. Pada usia 17 tahun, pria kelahiran 1977 itu memilih meninggalkan sekolah dan menjalani hobinya sebagai pembuat grafiti, sebelum akhirnya memiliki studio gambar sendiri.
Studio 2HB yang didirikannya merupakan salah satu yang terkemuka di Perancis. Grafiti-grafiti karya Noredine banyak menghiasi sudut-sudut kota Perancis. Studio tersebut juga menggarap proyek pewarnaan ulang komik terkenal “Asterix”.

Pada tahun 2010, Norѐdine menciptakan BDouin, studio komik Muslim pertama di Eropa. Dalam menggarap karya bersama mereka, Noredine berperan memberikan ide dan membuat sketsa. Sementara Greg dan Karim berperan menebalkan gambar dan memberi perwarnaan. 
Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Maret, 2014.

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa

Foto: Andi Nurroni
Bendung Katulampa, apa pasal fasilitas pengaturan air di pangkal Ciliwung itu biasa demikian tenar? Tak hanya didatangi para menteri dan gubernur, tiga presiden terakhir republik ini, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan pernah menelepon langsung ke pos penjaga. Di musim penghujan, informasi dari bendung tersebut sangat dinanti. Kode-kode yang dikirimkan, ‘siaga empat’, ‘siaga tiga’, dan seterusnya, terkadang bisa membuat pemerintah dan masyarakat gonjang-ganjing. 
Berlokasi di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor, beton melintang sepanjang 74 meter itu menjadi vital dan istimewa karena perannya sebagai corong informasi terdini soal debit air Ciliwung. Dari informasi yang dikirimkan, pemerintah dan warga Jakarta bisa segera tahu ketika banjir sedang meluncur ke tanah mereka. Selain kode-kode informasi yang dipancarkannya, tak banyak yang tahu kisah-kisah kecil menarik seputar bendung tertua di Bogor itu.
Di suatu sore yang hujan pertengahan Januari 2014, sang penjaga, Andi Sudirman (46) berbagi cerita kepada saya. Di sela kesibukannya menanggapi berbagai panggilan lewat telepon, ponsel, handy-talky, hingga beberapa unit radio amatir yang terpasang di meja kerjanya, pria berkaca mata itu membagi konsentrasi meladeni berbagai pertanyaan yang saya ajukan.
Diceritakan Andi, Bendung Katulampa, atau mulanya disebut Katoelampa-Dam, selesai dibangun dan diresmikan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda pada 1912. Masa perencanaan bangunan itu sendiri, menurut dia, dimulai sejak 1889. Mengutip keterangan para ahli sejarah, menurut Andi, banjir hebat yang melanda Batavia (sekarang Jakarta) pada 1872, ditengarai menjadi latar belakang pembangunan bendung tersebut.
Selain untuk memberikan peringatan dini soal debit air, bendung karya Ir. Van Breen itu juga dibuat sebagai pintu saluran irigasi untuk mengairi 5 ribu hektar sawah di sekitar bendung pada masa itu. Tak hanya irigasi, saluran tersebut juga dimaksudkan sebagai pemasok cadangan air baku untuk warga Ibu Kota. Saluran itu diciptakan dengan membuat sodetan yang kini dikenal sebagai Kali Baru Timur, yang mengalir melewati Depok, Cilangkap, hingga bermuara di Tanjung Priok, Jakarta Utara. “Kini setelah sawah nggak ada, giliran pabrik-pabrik yang memanfaatkannya,” tutur Andi.
Dengan ekspresi takjub, berulang kali lelaki yang sehari-hari mengenakan peci itu memuji fasilitas ciptaan bangsa Belanda tersebut. Menurutnya, konstruksi bangunan Bendung Katulampa benar-benar kokoh, dengan besi-besi yang tahan karat. “Beda, lah sama besi-besi zaman sekarang,” kata dia.
Andi juga terkadang tak habis pikir dengan orang-orang Belanda pada zaman itu. Menurut dia, mereka berpikir sangat jauh ke masa depan. Terbayang di kepalanya, mereka yang notabene pendatang sampai memikirkan pengendalian banjir, irigasi, hingga menyiapkan pasokan air bagi keseharian warga ibu kota. Semua fasilitas itu, menurut Andi,  kini nyata sangat dirasakan manfaatnya. “Sekarang juga dengar-dengar Pemda Jakarta mau mengoptimalkan pasokan air baku dari Ciliwung, katanya air tanah mereka semakin asin dan tercemar” papar ayah tiga anak tersebut. 
Sebagaimana dijelaskan Andi, istilah ‘bendung’, bukan ‘bendungan’, yang dipakai untuk merujuk fasilitas pengaturan air tersebut memiliki penjelasan ilmiah. Menurut Andi, berdasarkan definisi Kementrian Pekerjaan Umum, bendung (weir) berarti pembatas yang dibangun melintasi sungai dengan tujuan mengubah karakteristik aliran sungai, sementara bendungan (dam), yang umumnya berukuran jauh lebih besar, memiliki fungsi menahan laju air dan menyimpannya untuk waduk atau danau.
Andi menyayangkan masih banyak masyarakat yang belum tahu perbedaan tersebut, sehingga ada saja yang berpikir Katulampa bisa mengendalikan air, seperti kejadian yang sudah-sudah. “Waktu banjir besar di Jakarta tahun 2013, beredar isu bahwa penyebabnya pintu air Katulampa dibuka. Itu salah,” tegas Andi. “Katulampa tidak bisa menahan laju air,” lanjutnya.
Sesekali percakapan kami terhenti karena Andi harus menjawab berbagai panggilan lewat seabrek alat komunikasinya. Maklum saja, hujan sedang mengguyur langit Bogor dan banyak pihak khawatir debit air naik. Sore itu, dia hanya dibantu seorang stafnya.
Selain Andi dan rekannya, pos tersebut sejatinya ramai oleh manusia. Tak hanya lelaki dan perempuan dewsa, anak-anak hingga balita ada di sana. Baru kemudian saya ketahui, mereka adalah warga sekitar yang penasaran menengok suasana bendung yang sedang ramai diberitakan itu. Kepada tamu-tamunya itu, Andi nampak begitu ramah. Dipersilakannya mereka masuk menduduki sofa dan kursi-kursi yang tersedia. Dengan berkelakar, Andi menyebut mereka sebagai ‘wisatawan banjir’.  
Kata Andi, Bendung Katulampa memang sudah tak ubahnya tempat wisata, terlebih di musim hujan. Banyak yang sengaja datang ke sana karena rasa penasaran. “Kebanyakan warga Bogor, tapi kadang ada juga orang Jakarta yang sedang liburan di Bogor mampir”, ujarnya.  
Andi menambahkan, selain musim hujan, Bendung Katulampa juga banyak dikunjungi orang ketika hari libur, bulan puasa, dan sering juga di malam Minggu, menjadi tempat muda-mudi berkasih-kasihan. Ketika air sedang besar, banyak pengendara motor yang sengaja berhenti untuk mengambil foto, seperti yang saya saksikan kala itu. 
Seperti umumnya bangunan bendung, konstruksi Bendung Katulampa melintang memotong sungai. Bagian atas bendung berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Sukaraja. Dengan lebar sekitar satu meter, jembatan berlapis aspal itu tak pernah sepi dilewati warga, baik pejalan kaki, pengendara motor, atau para pedagang yang mendorong gerobak mereka.
Sebagai fasilitas pengatur aliran air, bangunan Bendung Katulampa bisa dibedakan menjadi dua, yakni bangunan utama yang mengalirkan air ke Ciliwung, serta bangunan lainnya yang mengatur aliran air ke sungai sodetan. Terdapat sepuluh rongga pada bangunan utama, yang mana tiga di antaranya dilengkapi dengan daun pintu yang bisa dinaik-turunkan sesuai kebutuhan dengan tuas pemutar hidrolik.
Sementara pada bangunan pengatur sodetan, terdapat lima rongga dengan sepuluh daun pintu pada bagian depan dan belakangnya. Lima merupakan daun pintu utama, sedangkan lima lainnya adalah daun pintu cadang jika sewaktu-waktu daun-daun pintu utama macet.
Pada salah satu dinding beton di bendung utama, di jalur lalu lintas air, tergambar skala pengukur ketinggian air. Dari sana bisa diketahui berapa ketinggian air, apakah di bawah 50 cm atau dalam keadaan ‘normal’, ‘siaga empat’ (50-80 cm), ‘siaga tiga’ (80-150 cm), ‘siaga dua’ (150-200 cm), atau ‘siaga satu’ (di atas 200 cm). Ketika terjadi peningkatan debit air di Bendung Katulampa, diperkirakan 3-4 jam kemudian limpahan air tersebut akan sampai di Pintu Air Depok, dan sekitar 11 jam kemudian air akan tiba di Pintu Air Manggarai.
Setelah CCTV rusak tersambar petir akhir tahun lalu, pengamatan dilakukan dengan mata telanjang. Ketika air besar, seorang petugas akan memantau pengukur air dan melaporkan ke pos penjagaga melalui handy-talky.
Di samping kiri bangunan utama bendung, terletak pos penjaga yang bentuknya menyerupai rumah penduduk, menghadap ke arah bendung. Ada beberapa ruangan di sana, mencakup ruang utama, kamar tidur, kamar mandi, dapur, gudang, serta mushola. Di salah satu sudut di ruang utama, terdapat meja kendali komunikasi beserta kelengkapannya yang sederhana saja: telfon, beberapa unit radio amatir, serta tumpukan  berbagai berkas. Terkait keberadaan mushola di pos tersebut, Andi punya cerita menarik.
Dikisahkannya, mushola 6 x 8 meter yang sekarang berdiri di bagian belakang pos utama itu dibangun atas permintaan Gubernur Jakarta Joko Widodo (sekarang presiden) pada 2013 lalu. Ketika itu, sang Gubernur secara mengejutkan datang membawa rombongan untuk menjumpai Andi, memastikan kesiapan bendung menjelang musim banjir. “Waktu itu dia (Jokowi) mau sholat, dia menanyakan mushola. Ya, sayangnya memang enggak ada. Jadi dia minta ke orang PU (Kementrian Pekerjaan Umum,) untuk membangun mushola di sini,” papar Andi.
Sejak bertugas mengantikan pendahulunya pada tahun 2000, Andi banyak menyimpan kisah-kisah menarik tentang si Bendung. Misalnya, pernah beberapa kali Andi dan kawan-kawan menemukan jasad manusia yang terdampar di sana. “Tiga kali kami pernah menemukan mayat, salah satunya korban kecelakaan di tol Jagorawi yang jatuh ke sungai,” papar dia.
Selain, soal penemuan mayat, cerita ganjil lainnya adalah seringnya petir menyambar fasilitas bendung. Sudah tak terbilang unit televisi, komputer, termasuk perangkat CCTV yang rusak karena samabaran petir. Andi sendiri kurang tahu pasti penyebabnya. Tak hanya merusak perabot elektronik, Andi sendiri mengaku pernah tersambar petir. “Waktu itu hujan, saya lagi meriksa bendung. Petir nyamber, saya mental, ada kali sepuluh meter” ujar dia dengan antusias.
Tak heran, kini Andi sedikit trauma dengan petir. Setiap kali terdengar suara geledek, dia langsung sigap mematikan aliran listrik di kantornya. saya menyeksikan sendiri aksinya tersebut kala gemuruh petir mulai terdengar ketika itu.
Di pos Bendung Katulampa, Andi kini bekerja dibantu enam orang staf. Rata-rata mereka adalah pemuda setempat. Selain memberi laporan soal debit air, tugas mereka sehari-hari adalah merawat fasilitas bendung, serta membersihkan sampah di mulut bendung dua kali dalam sepekan. Sekali membersihkan sampah, tak tanggung-tanggung, Andi dan rekan-rekan bisa menjaring 15 karung limbah.
Pengabdian Andi dan kawan-kawannya telah banyak mengundang apresiasi dari berbagai pihak. Sejumlah piagam penghargaan banyak dijumpai tergantung di dinding ruangan serta pada lemari kaca di salah satu sudut ruangan. Sebagian besar piagam-piagam tersebut menyatakan rasa terimakasihnya atas kerja keras Andi dan kawan-kawan dalam menjaga Bendung Katulampa dan menjadi juru informasi yang mengamankan jutaan nyawa manusia.

Sejauh ini Andi mengaku senang dan merasa punya kepuasan tersendiri dalam menjalani pekerjaannya. Walau demikian, ketika ditanya harapannya, Andi tak sungkan menitip pesan agar para pejabat yang berwenang lebih memerhatikan fasilitas dan kesejahteraan para pekerja di sana.

Cat.: tulisan ini pernah dibuplikasikan di Harian Republika pada Januari 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Vila Hancur, Kami Pun Menganggur

Foto: Andi Nurroni
Mendengar kisahnya, niscaya banyak yang akan berkerut kening. Lelaki lusuh itu mengenalkan diri bernama Dedih. Dulu, usianya baru 15 tahun ketika dia memulai pekerjaanya, menjaga vila milik seorang bos asal Jakarta. Kini, empat tahun berselang, umurnya bertambah menjadi 19 tahun. Namun nahas, gajinya tak pernah berubah sejak semula, hanya Rp 300 ribu sebulan. Kepada saya, dengan haru Dedih menceritakan kisahnya pada Februari 2014.  

Selain menjaga vila, Dedih juga bertugas merawat kebun cengkih di sekitar vila. Kebun cengkih itu juga milik majikan yang sama. Di gubuk sederhana tak jauh dari vila, Dedih melewatkan hidup sehari-hari. Di sana dia tak tingal sendiri. Ada istri yang menemani, seorang perempuan belia yang dia nikahi dua tahun lalu, serta seorang balita buah hati mereka.
Walau hidup serba kekurangan, Dedih dan keluarga kecilnya tetap bertahan menjaga vila. Tentu bukan semata-mata karena sabar, tapi lantaran dia merasa tak ada pekerjaan lain. Maklumlah, Dedih sama sekali tak pernah bersekolah. Dia tak juga bisa membaca dan menulis. Sampai-sampai, sang majikan selalu menelepon, tak pernah mengajaknya berkomunikasi lewat sms.
November 2013, kisah hidup Dedih berubah tragis. Mesin-mesin penghancur dikerahkan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meratakan vila-vila yang dianggap tak berizin di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Salah satu yang menjadi sasaran adalah kepunyaan Haji Subroto, seorang pensiunan kaya asal Jakarta. Itu tak lain adalah vila yang Dedih jaga. Merasa nasibnya terancam, dia turut bersama ratusan penjaga vila lainnya untuk menghadang pasukan gabungan pemerintah.
Bentrokan pun tak terhindarkan. Nasib sial tak bisa terhindarkan, warga tak kuasa membendung aparat yang jumlahnya jauh lebih banyak. Vila Dedi runtuh diterjang ekskavator hanya dalam hitungan detik. Hancurnya vila mewah di atas bukit itu menimbun banyak barang yang belum sempat terselamatkan, termasuk dompet berisi sisa gajinya. Sejak saat, itu hidup Dedih berubah sangat sengsara.
Hampir dua bulan berlalu setelah penggusuran, sang majikan belum juga memanggilnya ke Jakarta. Biasanya, setelah dipanggil, Dedih sendiri yang menjemput gajinya ke rumah sang bos di daerah Kampung Rambutan. Menurut Dedih, pascapenggusuran itu, Pak Haji, begitu dia memanggil majikannya, jatuh sakit dan belum kunjung membaik.
Dengan mata berkaca, lelaki berkulit gelap itu meluapkan banyak isi hati yang selama ini dia pendam. Setelah tak lagi mendapat gaji, Dedih dan keluarga benar-benar kepayahan. Ia bercerita, beberapa waktu lalu, dia sekeluarga hampir tidak makan, kecuali menyantap mi instan yang dia dapat dengan cara menghutang ke warung tetangga.
Kini hutangnya ke warung langganan itu sudah mencapai Rp 400 ribu, sampai-sampai si pemilik sudah menolak dia untuk menambah tunggakannya. “Karena istri marah-marah terus dan saya kasihan sama anak, saya pinjam uang ke teman dan menitipkan dulu mereka ke rumah mertua,” ujarnya dalam Bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Faktanya, Dedih hanyalah satu dari ratusan para penjaga vila yang bernasib serupa. Tak hanya penjaga vila, program penertiban vila di Kawasan Puncak juga mengancam banya warga yang hidupnya bergantung pada keberadaan vila, semisal tukang ojeg, pemilik warung, calo vila, dan masih banyak lagi.
Di Desa Tugu Selatan, Ahmad Sobari, kakek berusia 107 tahun juga tengah meratapi nasibnya. Ketika ditemui akhir pekan lalu, dia tengah termenung menyaksikan vila yang dia jaga lebih dari tiga puluh tahun dirobohkan. Hal yang menarik, vila Sobari tidak dihancurkan oleh alat berat, seperti vila-vila sasaran pembongkaran lainnya. Vila sang majikan dirobohkkan dengan hantaman godam-godam kuli bangunan.
Dari sang kakek, diketahui ternyata sang majikan, Pak Hasan, berinisiatif melego bangunannya itu kepada seorang pemborong seharga Rp 7 juta. Dari vila itu, pemborong mengambil material yang bisa dimanfaatkan, seperti kayu-kayu jati, genting, batu-bata, hingga rangka-rangka besi.
Kakek Sobari mengeluh, dia hanya diberi seratus ribu oleh sang majikan dari penjualan material vila itu. Sobari sempat bertanya soal kelanjutan pekerjaanya, sang majikan hanya bergeming sembari menyesali nasibnya.  
Dikisahkan Kakek Sobari, sedianya, tahun lalu vila itu hendak dijual Hasan seharga Rp 2 miliar. Sang bos tak melepaskannya ketika ada yang menawar Rp 1,2 miliar. Padahal, jika vila itu berhasil terjual, Sobari berharap mendapat persenen atas jasa pengabdiannya. Dia membayangkan, uang itu akan dia gunakan untuk mewujudkan mimpi terakhirnya sebelum meninggal, yakni mengirim istrinya, Encum (60) pergi menunaikan haji ke tanah suci.
Alasan si kakek sederhana ingin mengirim Nenek Encum, istri keduanya itu, perg berhaji. Hal itu lantaran, istri pertamanya dahulu pernah dia ajak naik haji. Ketika itu, usahanya memang sedang makmur sebagai peternak sapi.
Kini, Sobari tinggal di rumahnya yang sangat sederhana, tak jauh dari vila yang dia jaga. Tak kepalang, rumah itu ditinggali lima keluarga anaknya dan satu keluarga cucunya. Anak-cucu itu selama ini masih hidup bernaung pada sang kakek, yang hanya menerima gaji Rp 300 ribu sebulan.


Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Februari 2014

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments