Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya

Foto: www.ads.natamedia.com
Dalam bentuknya yang paling dikenal hari ini, musik keroncong hadir dari komposisi permainan sejumlah alat musik, yakni ukulele (cak dan cuk), biola, selo, flute, dan sejumlah instrumen modern lainnya. Musik keroncong biasanya bertempo lambat dengan tembang yang mendayu-dayu. Tak heran, remaja dewasa ini menganggap musik tersebut membosankan.
Penghargaan kaum muda kini terhadap keroncong bisa jadi lebih besar andai mereka tahu sejarah panjang lahirnya keroncong di bumi Nusantara. Sejumlah sejarawan musik Tanah Air percaya keroncong lahir dari tradisi kesenian masyarakat Moor-Portugis bernama fado yang dibawa para pelaut mereka ke Nusantara pada Abad ke-16.
Kekalahan Portugis dari Belanda pada 1648 telah menyebabkan Portugis terusir dari Tanah Malaka dan Maluku yang mereka kuasai. Dalam kondisi tersebut, para budak-budak niaga mereka, yang merupakan bangsa Moor (etnis keturunan Arab-Afrika di Portugal), serta etnis India dari daerah Bengali, Malabar dan Goa, menjadi tawanan pihak Belanda.
Oleh Belanda, para budak tersebut dibawa dan ditahan di Batavia, sebelum akhirnya dibebaskan pada 1661. Para budak yang tak punya pilihan akhirnya menetap di Batavia, di sekitar rawa-rawa Cilincing, lebih khusus di Kampung Tugu—tempat yang kemudian melahirkan varian keroncong tugu.
Mereka hidup dengan bercocok tanam dan berburu. Sesekali, ketika senggang, mereka memainkan kesenian fado, atau dalam tradisi bangsa Moor disebut Moresco, yakni tradisi bertutur dengan iringan musik. Umumnya, cerita yang dibawakan berbicara tentang kesedihan. Sejak saat itu, bermula dari Batavia, kesenian tersebut berakuluturasi dengan kebudyaan Indonesia dan mendapatkan nama baru: keroncong.
Istilah keroncong konon mengacu pada bunyi “crong” yang dihasilkan ukulele. Ada juga yang mengangap istilah kerconong berasal dari kata kata Portugis ‘croucho’ (kecil), kata yang digunakan Bangsa Portugis menyebut ukulele yang merupakan gitar dalam bentuk kecil. Terlepas dari asal-usul namanya, keroncong terus menyebar ke seluruh Indonesia, bahan hingga ke Malaysia, dan sangat populer pada awal Abad ke-19.
Di daerah Solo, Jawa Tengah, keroncong mendapatkan pengaruh dari kesenian Jawa, sehingga mulai dimainkan dengan gamelan atau seruling bambu, begitu pun iramanya yang mendayu-dayu sebagaimana musik Jawa pada umumnya. Akulturasi tersebut melahirkan genre keroncong yang disebut langgam jawa, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya seni musik campur sari. Penyanyi keroncong legendaris yang membawakan gaya ini, di antaranya adalah Waljinah.
Selain langgam jawa, keroncong juga banyak memiliki gaya lain dan berpadu dengan berbagai alat musik lain. Kelompok musik Koes Plus, misalnya menciptakan komposisi berjudul Keroncong Pertemuan, yakni memadukan antar keroncong dan rock. Ada juga istilah congdut, mengacu pada perpaduan antara keroncong dan musik dangdut yang belakangan lebih digandrungi masyarakat.
Keroncong semakin pudar sejak masuknya musik rock pada dekade 1950-an, serta genre-genre musik baru dari luar yang masuk ke Indonesia setelah periode tersebut. Hari ini, keroncong masih di mainkan oleh sejumlah kelompok musik, termasuk anak-anak muda yang kembali tertarik terhadap kesenian tersebut.


Cara Keroncong Menyapa Kaum Muda
Foto: www.spanel.server1.
natamedia.com
Bagi gernerasi muda hari ini, musik keroncong boleh jadi dianggap sebagai kesenian dari masa lalu, yang tersisa hanya untuk dinikmati kakek-nenek mereka. Jarang terdengar para remaja berbondong-bondong mendatangi pertunjukan keroncong. Atau bisa jadi karena keroncong sudah tak banyak lagi tampil di depan publik, utamanya di lingkaran pergaulan anak muda.
Cerita miring tersebut agaknya ingin dikikis sejumah akademisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Kamis malam, 19 Juni 2014, mereka menginisiasi sebuah pertunjukan bertema “KRL, Keroncong, Rhytm and Light”, yang mengambil tempat di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jakarta Barat. Tak hanya menyuguhkan musik keroncong, KRL menawarkan konsep pertunjukan eksperimental yang unik dan berhasil mengundang decak kagum para hadirin.
Digelar di pelataran terbuka, pertunjukan diawali dengan sebuah kejutan kecil. Begitu pengarah acara memanggil para musisi, mereka yang ditunggu-tunggu hadirin tak datang dari belakang panggung, melainkan dari kerumunan penonton. Tiga puluhan pemusik yang didominasi wajah-wajah muda tampil ke panggung, membuat formasi orkestra yang sudah ditata sebelumnya.
Di bawah pimpinan Liliek Jasqee, komponis yang juga pengajar di Jurusan Seni Musik IKJ, KRL menyuguhkan sejumlah komposisi gubahan mereka sendiri. Setiap nomor dikarang dengan eskplorasi musik yang unik. Ada yang bergaya jazz, dengan sentuhan permainan flute yang lembut, seperti pada lagu “Rindu”. Ada yang bertempo dinamis didominasi permainan ukulele dan petikan kontrabas, seperti pada tembang “Langgam Tsunami”. Ada pula suguhan harmonisasi keroncong dan orkestra klasik dalam nomor berjudul “Keroncong Concerto”.
Sebagai bagian dari keunikan konsep pertunjukan, setiap lagu dibawakan oleh penyanyi berbeda, yang hadir bergantian dari balik panggung. Mereka terdiri dari penyanyi muda, sejumlah nama yang sudah tersohor di dunia keroncong, seperti Tuti Maryati dan Endah Laras, serta ada juga penampilan khusus musisi Singapura, Rudy Djoe.
Dalam beberapa jeda, disuguhkan pemutara video dokumenter pendek bertema keroncong, perkembangan keroncong hari ini, serta petikan-petikan pendapat para pelaku seni keroncong. Selain itu, ada juga sejumlah kejutan-kejutan kecil yang dihadirkan ke dalam pertunjukan. Dalam tembang  berjudul “Lumpia Semarang”, misalnya, tiba-tiba beberapa orang masuk ke dalam barisan penonton. Sambil melenggak-lenggok, mereka menjajakan lupia di atas nampan yang mereka bawa.
Dalam penampilan tembang “Lumpia Semarang” tersebut, juga hadir secara tiba-tiba dua anak muda berpenampilan hiphop memasukan musik rap dalam tembang mendayu tersebut. Sontak aksi bagi-bagi lumpia dan kejutan musik rap tersebut mengundang tepuk tangan dari para hadirin. Sang komponis Liliek Jasqee pun sempat beberapa kali berganti kostum, termasuk mengenakan pakaian adat Jawa dalam tembang berjudul “Gethuk Magelang”.
Liliek menutup suguhan musik yang menghibur tersebut setelah lagu kesepuluh. Namun dari bangku pentonton, beberap orang memaksa mereka tampil kembali. Liliek dan orkestranya menyanggupi, penonton pun bersorak senang. Namun rupanya hal tersebut juga bagian dari sekenario pertunjukan. Dalam persembahan lagu Jali-Jali yang dimainkan, sejumlah hadirin berdiri dari duduknya, lalu menjadi paduan suara mengisi penampilan tersebut. Itulah kreativitas yang sengaja disiapkan, dan terbukti berhasil menjadi klimaks dalam pertunjukan.
Suguhan Keroncong, Rhytm and Light tersebut sejatinya merupakan kolaborasi tiga mahasiswa pascasarjana IKJ, yakni Liliek Jasqee di bidang musik, Rika Hindra di bidang film, serta Koes Adiati yang berlatar belakang Ekonomi Manajemen. Dengan kemampuan masing-masing, mereka bekerjasama atas dukungan IKJ dan BBJ untuk menciptakan pertunjukan KRL tersebut. Di akhir pertunjukan, ketiganya tampil memberikan salam penutup. Berdiri berjejer Koes Adiati, Rika Hindra, serta Liliek Jasqee. Dari huruf depan nama merekalah rupanya pertunjukan digagas.
Pertunjukan berdurasi sekitar dua jam tersebut dihadiri seratusan pengunjung. Selain orang tua, sebagian penonton adalah remaja. Salah seorang dari mereka, Arum (20), mengaku datang ke tempat pertunjukan tersebut karena diundang salah seorang temannya yang juga turut tampil dalam orkestra. Arum mengaku terkesan dengan pertunjukan keroncong pertamanya itu.  “Saya excited, ternyata keroncong yang jadul bisa juga dibuat modern, jadi menarik,” ujar dia.
Selain Arum, ada juga Shafira, siswi kelas 2 SMP, yang juga adalah putri Liliek Jasqee, komponis dalam pertunjukan tersebut. Shafira bercerita, mula-mula mengenal keroncong dari sang ayah, seperti remaja lain dia merasa ngantuk mendengarkan musik tersebut. Tapi kesan tersebut kemudian berubah begitu dia mulai dijarkan cara bermain musik dan menyanyikan keroncong. 

Cat.:tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply