Kopi Jawa di Takhta Dunia

Foto: mic.com
Organisasi Kopi Internasional (ICO), dalam laporan tahun 2013, melansir dafatar peringkat produsen kopi terbesar di dunia. Dokumen terebut menempatkan Brazil di urutan pertama, disusul Vietnam dan Kolombia, baru kemudian Indonesia pada peringkat ke-4. Jika Brazil tahun tersebut tercatat memproduksi 2,5 juta ton, Indonesia terpaut jauh dengan hanya menghasilkan 411 ton. 
Cerita berbeda terjadi pada abad ke-18. Ketika itu, kopi dari Tanah Jawa, pulau terpadat di Indonesia hari ini, menguasai pasar dunia. Lebih dari itu, negara-negara yang hari ini menjadi penghasil kopi terbesar, termasuk Brazil, Kolombia, dan Vietnam, semua mendapatkan benih kopi yang berasal dari Pulau Jawa. Kopi tersebut dikenal di dunia sebagai java coffee.

Berbagai fakta yang tak banyak diketahui soal java coffee dirangkum dalam buku “The Road to Java Coffee”. Buku tersebut ditulis Prawoto Indarto, seorang peminat kopi, alumni Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Menghadiri peluncuran buku tersebut pertengahan Mei 2014, saya mencatat sejumlah cerita menarik dari Prawoto.  

Prawoto mengisahkan, kopi sebagai minuman pertama kali ditemukan di Etiopia, lantas berkembang di Timur Tengah sebagai minuman kaum sufi dan para sultan. Meluasnya popularitas kopi membuat orang-orang Eropa melirik prospek perniagaan minuman herbal tersebut di benua mereka. Sejak semula, para pedang Belanda-lah yang menjadi pionir bisnis kopi. 

Seiring dengan terbukanya penguasaan Belanda atas Nusantara, pada 1696, mereka mendatangkan bibit kopi dari Malabar di India ke Tanah Jawa. Sayang, percobaan pertama mereka gagal. Baru pada uji coba ke dua mereka menjumpai keberhasilan, berkat bibit yang didatangkan dari Ceylon (Srilanka) pada 1699. 

Perkebunan kopi Belanda di Pulau Jawa mula-mula dikembangkan di daerah Batavia (sekarang Jakarta). Namun kemudian kawasan Priangan Barat-lah yang memberikan hasil signifikan. Tahun 1711, 400 kg kopi yang dibawa VOC dari Cianjur memecahkan rekor penjualan di Balai Lelang Amsterdam. Sejak saat itu, java coffee merajai pasar dunia, hingga pada 1726, kopi dari Tanah Jawa menguasai 90 persen total perdagangan kopi di Amsterdam, yang kala itu menjadi sentra pergangan kopi dunia. 

Popularitas kopi merebak di Amerika Serikat pada pertengahan abad ke-18, seiring berkembangnya sentimen anti-Inggis yang kala itu menghegemoni mereka. “Rakyat Amerika kemudian menolak segala sesuatu yang berbau Inggris, termasuk teh yang menjadi minuman utama dalam pergaulan sosial Bangsa Inggris. Mereka berpindah pada kopi,” ujar Prawoto. 

Menurut Prawoto, masyarakat AS lalu menjadi konsumen kopi terbesar di dunia, terutama kopi dari Tanah Jawa. “Namun pada pada akhir abad-18, terjadi krisis kopi di Jawa akibat hama yang menyerang perkebunan kopi. Perkebunan kopi Jawa hampir habis. Dari sana masuk ke AS produk-produk dari Amerika Latin,” ujar dia.

Meski begitu, java coffee kadung populer di tengah masyarakat AS. Saking terkenalnya kopi jawa, marak pemalsuan merek dagang yang yang mengatasnamakan java coffee ketika pasokan kopi dari Tanah Jawa anjlok. Kondisi tersebut sampai-sampai memaksa pemerintah Amerika Serikat melalui Departemen Pertanian mereka, pada 1906 mengeluarkan pernyataan untuk melindungi konsumen. “Mereka menyatakan, hanya kopi dari Pulau Jawa yang boleh dipasarkan dengan nama java coffee,” kata Prawoto.

Menurut Prawoto, java coffee sangat memasyarakat di Amerika Serikat ketika itu. “Sampai-sampai mucul istilah ‘no java no work’, yang artinya, tak ada kopi tak akan kerja,” kata dia. 


Sejarah Java Coffee dalam Buku dan Poster

Foto: the5marketeers.wordpress.com


Sudah sejak lama kopi sangat digemari penduduk Bumi. Konon, hanya air putih saja yang mampu mengalahkan kopi dalam segi popularitas dan kuantitas konsumsi. Di tanah air, seperti juga di belahan dunia lain, kopi telah menjadi budaya dan bahasa pergaulan. Sayang, tak banyak orang Indonesia tahu, mayoritas rakyat dunia pada abad ke-18 meminum kopi dari Tanah Jawa. Kopi itu terkenal dengan sebuatan java coffee, merek dunia yang tetap bergengsi hingga hari ini.

Cerita panjang-lebar soal java coffee kini terbit dalam buku berjudul “The Road to Java Coffee”, ditulis Prawoto Indarto, seorang mantan direktur kreatif sebuah biro iklan yang memiliki minat terhadap kopi. Buku hasil riset panjang tersebut merekam sejarah, mulai dari datangnya benih kopi ke Pulau Jawa bersama Belanda, hinga berbagai cerita minor yang unik dan mencengangkan. 

Beberapa fakta menarik dari buku tersebut kemudian dinukil, lantas dikemas Prawoto dalam bentuk puluhan poster iklan layanan masyarakat. Bersamaan dengan diskusi buku “The Road to Java Coffee”, poster-poster tersebut dipamerkan dalam tema “Ada Jawa Ada Kopi”. Bertempat di Bentara Budaya Jakarta, pertengahan Mei 2014, acara diskusi buku dan pameran, di antaranya dihadiri para praktisi bisnis kopi dan perwakilan sejumlah instansi pemerintah.

Kata Prawoto, gagasan melakukan studi atas java coffee bermula ketika dia melakukan penelitian kecil soal kopi ketika masih bekerja di bidang periklanan. Saat itulah dia menemukan istilah java coffee dan menjumpai berbagai fakta hebat yang membuat dia semakin tertarik. Sebagai contoh, dia berasumsi, kopi dari Tanah Jawa punya andil dalam revolusi Perancis. 

Kata Prawoto, Voltaire, filsuf yang sering dianggap salah satu sosok sentral dalam Revousi Perancis ternyata adalah salah satu penggila kopi. Menurut Voltaire, secangkir kopi, selain memberikan kenikmatan, juga menstumulus gelombang syaraf otaknya untuk melahirkan ide demokrasi modern. 
"Ketika dia mengungkapkan hal tersebut pada akhir abad 18, ketika itu 90 persen kopi di di Amsterdam yang merupakan sentra perdagangan kopi dunia berasal dari Tanah Jawa. Jadi kemungkinan besar dia meminum kopi dari Tanah Jawa," ujar Prawoto.

Selain Revolusi Perancis, kata Prawoto, persis ketika java coffee berjaya, terjadi migrasi konsumsi teh di tengah masyarakat Amerika Serikat. Hal tersebut, menurut dia adalah bentuk perlawanan rakyat Amerika Serikat terhadap dominasi budaya kaum kolonial Inggris. Java cofee ketika itu menjadi merek yang sangat populer di AS, jauh sebelum mereka memiliki brand Starbuck yang popular hari ini.

Penyusunan buku setebal 120 halaman art paper dengan sampul hardcover tersebut disponsori oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI), lembaga standarisasi dan sertifikasi kopi yang terafiliasi secara internasional. Ketua AKSI Agam Lehman Pahlevi, dalam sambutannya berharap, Prawoto bisa melanjutkan penelitian dan dokumentasi, tak hanya untuk Java Coffee, tapi juga unutk kopi-kopi dari tanah Nusantara lainnya. Dalam kesempatan tersebut, Agam juga bertindak sebagai pembicara, mendampingi Prawoto. 

Sejarah dan berbagai fakta unik soal Java Coffee yang sisampaikan Prawoto juga bisa ditemui di ruang pameran dalam bentuk-bentuk poster. Menghadirkan berbagai foto lawas, termasuk gambar-gambar perkebunan dan para petani kopi di Pulau Jawa, posoter-poster tersebut begitu memanjakan mata serta memicu penikmatnya menghayalkan kehidupan di Pulau Jawa satu-dua abad silam. 

Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply