Terpikat Pesona Golek Pesisiran

Foto: jakculture.com
Menyaksikan pementasan wayang golek pesisiran, Sabtu malam pada akhir Mei 2014, menjadi keberuntungan tersendiri bagi sebagian kecil warga Jakarta. Bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, satu setengah jam emosi penonton dibongkar-pasang. Dagelannya berhasil membuat hadirin terkekeh, begitupun lakonnya yang romantis sukses membuat pemirsa nelangsa.
Membawakan cerita "Jamaludin The Robber”, lima dalang bermain di atas panggung secara kolosal. Ilustrasi tari yang cantik, tata musik yang kaya, serta alur pertunjukan yang penuh kejutan menghadirkan sebuah kebaruan yang mengesankan. Cerita dan tembang disuguhkan dalam Bahasa Indonesia, membuat pertunjukan begitu renyah dinikmati.

Sang sutrada sekaligus dalang utama adalah Sri Waluyo (37), seniman pewayangan asal Tegal, jebolan Institut Seni Seni (ISI) Surakarta. Dengan latar belakang kedaerahannya, Sri Waluyo memboyong kekayaan tradisi Tegal ke atas panggung. Golek pesisiran yang dia mainkan tak lain merupakan pembaruan dari wayang golek cepak tegal yang telah ada sebelumnya. Lakon “Jamaludin The Robber” dia adaptasi dari babad rakyat Tegal. Sementara para pementas tampil dengan balutan batik khas Tegal dari desa Pangkah.

Lakon “Jamaludin The Robber” mengisahkan cerita sepasang kekasih Jamaludin-Sutijah yang kandas dipisahkan kasta dan kekuasaan. Diceritakan, Jamaludin, seorang pemuda miskin dari Pedukuhan Sembung, terliibat hubungan asmara dengan Sutijah, putri Raja Anggrengturna dari Kerjaan Kali Kemiri. Cerita tersebut konon merupakan kisah nyata yang terus hidup di tengah masyarakat Tegal.

Niat hati melamar pujaan, Jamaludin mendapat penolakan dan hinaan yang menyakitkan dari sang Raja. Terbakar dendam, si pemuda mengobarkan perlawanan. Dia menjadi begal yang merampok upeti-upeti yang hendak dipersembahkan untuk raja. Di saat yang bersamaan, hasil rampasan tersebut dia bagikan kepada kaum jelata. Aksi heroiknya membuat dia dicintai rakyat.

Dengan konsep pertunjukan teater, tata panggung dan pencahayaan dibuat tidak konvensional. Selain panggung layar utama, ada beberapa panggung layar tambahan di bagian belakang dan di kanan-kiri bagian depan. Dengan berdiri, dari pangung satu ke panggung lain para dalang berbagi peran memainkan golek-golek mereka dengan begitu hidup.

Alur pertunjukan benar-benar penuh kejutan yang sangat tidak terduga. Romantisme percintaan Jamaludin-Sutijah dikisahkan oleh narator dalam Bahasa Indonesia yang puitis. Sepasang golek Jamaludin-Sutijah di panggung wayang terkadang lesap, lalu digantikan Jamaludin-Sutijah versi manusia yang menari-nari dengan gemulai.

Dagelan dan parodi dihadirkan melalui anak-anak wayang tak bernama, memotret realitas keseharian masyarakat pesisir. Guyonan terkadang disisipi dengan istilah-istilah lokal, yang membuat sebagian hadirin (warga Tegal) tertawa lebih keras. Sosok golek berandalan, misalnya, dikisahkan dengan jenaka tengah menenggak botol miras lalu menutupnya dengan ucapan astagfirullah. “Biar aman, tetap di tengah-tengah, tidak masuk surga, tapi jangan juga masuk neraka” jawab dia ketika diumpat teman-temannya.

Di antara cerita Jamaludin-Sutijah tersisip berbagai pertunjukan atraktif. Bisa saja para dalang tiba-tiba keluar dari balik panggung layar dan menari-nari kocak di penggung depan. Musik pengiring dihadirkan dalam tangga nada diatonis, dengan aransmen tradisional-modern yang sesekali terdengar seperti komposisi jazz. Di badian-bagian lawakan, musik berubah heboh dengan gaya panturaan.

Diceritakan, perlawanan yang dilakukan Jamaludin telah membuat kerjaan kacau balau. Raja Anggrengturna akhirnya merelakan sang putri, Sutijah, untuk menerima cinta Jamaludin. Sebagai syarat, raja meminta putrinya membujuk Jamaludin menghentikan keonaran yang dia buat.

Namun semua itu ternyata hanya siasat licik si Raja. Anak panah melesat menghujam tubuh Jamaludin, ketika si pemuda sedang memadu kasih bersama pujaan hatinya. Kegaduhan menjadi hening, musik mengalun lembut. Di panggung layar, golek Jamaludin meregang nyawa dalam dekapan golek Sutijah. Di panggung depan, penari Sutijah menangis meratapi kepergian kekasih hatinya.

Tepuk tangan penonton bergemuruh di seluruh ruangan. Tim penampil yang lalu menghambur ke lobi gedung pertunjukan banyak mendapat berbagai pujian dari para tamu, termasuk beberapa orang asing yang meminta berfoto. “Bagus banget, Mas. Sering-sering dong main di Jakarta,” ujar salah seorang Ibu kepada sang dalang. 


Di Balik Layar Golek Pesisiran

Foto: chich-id.com
Berbagai bentuk kesenian tradisional kini mulai susah ditemui di tengah masyarakat. Dahulu desa dan perkampung rakyat adalah arena pentas seni-budaya leluhur. Kini, semua serempak berganti ingar-bingar budaya populer. Tak pelak lagi, kampus-kampus seni menjadi benteng pertahanan terakhir bagi kesenian tradisional.

Lebih dari sekedar menjaga, para cendekia jebolan kempus-kampus seni tersebut ternyata sanggup menghadirkan kebaruan dalam seni tradisional. Salah satu contoh adalah wayang golek pesisiran karya dalang muda Sri Waluyo, alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

Keprihatinan terhadap terasingnya kalangan remaja dari pertunjukan wayang menjadi motivasi bagi Waluyo. Sejak tahun 2008, pria 37 tahun itu berupaya mewujudkan angan-angannya membuat sebuah pertunjukan wayang yang bisa dinikmati orang banyak. Kecintaannya pada tanah kelahiran, Tegal, Jawa Tengah, mendorong Waluyo untuk menggali tradisi dari kampung halamannya sendiri.

Semula, gagasannya membuat gebrakan dalam pertunjukan wayang banyak diragukan kawan-kawannya sesama dalang Tegal. Namun dengan ketekukan Waluyo, lahir juga kesenian yang dia inginkan, yang dia beri nama Wayang Golek Pesisiran. Wayang Golek Pesisiran dikembangkan Waluyo dari wayang golek cepak tegal, kesenian wayang yang telah ada sebelumnya.

Golek cepak tegal yang tadinya kecil dan bertelanjang dada, oleh Waluyo diperbesar hingga tiga kali lipat dan didandani dengan pakaian agar terlihat lebih gagah. Tema cerita golek cepak tegal yang berpusar pada kisah-kisah rakyat lokal dia pertahankan sebagai poin positif. Dengan begitu, cerita wayang di tidaknya kisah Ramayana atau Mahabarata.

Setelah beres dengan polesan pada golek dan urusan cerita, konsep pertunjukan baru dia reka. Tak cukup hanya satu dalang, Waluyo menciptakan pertunjukan kolosal dengan banyak dalang. Seperti yang dia pentaskan di gedung Kesenian Jakarta, mei 2014 lalu. Tak tanggung, lima dalang dia kerahkan membawakan cerita. “Saya, tuh suka nonton film kolosal. Jadi ketika saya main wayang, saya ingin orang seperti menonton film,” ujar Waluyo, ditemui seusai pementasan.

Dengan konsep pertunjukan teater, para dalang tidak duduk, melainkan berdiri di balik panggung layar sehingga bisa leluasa bergerak, bahkan menari-nari. Bahasa Indonesia digunakan Waluyo sebagai bahasa pengantar, dengan alasan biar lebih dekat dengan kalangan lebih luas. Tak kalah penting, gamelan yang bernada pentatonis dia ubah menjadi diatonis. Dia beralasan, nada diatonis lebih akrab di telinga pemirsa.

Tak cukup sampai di situ, pertunjukan dia ramu dengan tari-tarian, dengan didukung oleh tata panggung dan pencahayaan yang tidak konvensional. Walhasil, jadilah pertunjukan Wayang Golek Pesisiran begitu menghibur. Satu setengah jam pertunjukan berhasil mengusir stigma pertunjukan wayang yang membosankan. “Target saya sederhana, anak muda tahu wayang dan tahu gamelan, syukur-syukur mereka mau sekolah dan belajar itu,” kata Waluyo menutup percakapan. 

Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, April 2014.

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply