Mengudara ke Zaman Radio

Foto: www.pxleyes.com
Radio memang masih hidup di tengah masyarakat Indonesia. Sebagian orang, bahkan anak-anak muda, masih suka mendengarkan musik atau berita melalui radio. Tapi alam sosial sudah jauh berubah dibandingkan ketika Gueglielmo Marconi pertama kali menemukan pesawat tersebut pada 1894. Kini orang hanya sesekali saja memutar radio, misalnya ketika berkendara mobil. Selebihnya, televisi atau gawai dengan sambungan internet menjadi pilihan utama.

Generasi era 70-an hingga 80-an, seperti Didi Sumarsidi (60) dan kawan-kawannya, merasakan benar perubahan suasana itu. Di zaman mereka dulu, radio adalah bahasa pergaulan utama. Kaum tua mendengarkan berita atau lakon sandiwara melalui radio. Sementara anak-anak muda saling menyapa dan berkirim lagu juga lewat radio. Jauh sebelum itu, pada periode pergerakan, peran radio bahkan jauh lebih vital, yakni menjadi media perjuangan politik.
Tak heran, akhir April 2014, Didi terlihat sangat semringah. Dia beserta sejumlah kawannya diberi panggung oleh Bentara Budaya Jakarta untuk memamerkan koleksi radio-radio tua mereka. Didi dan kawan-kawan tak lain adalah para penghobi dan kolektor radio lama yang berhimpun dalam paguyuban Padmaditya, kependekan dari Pencinta Audio Lama dan Radio Tabung Yogyakarta.
Didi yang merupakan ketua Padmaditya bercerita, bagi dia, mengumpulkan dan merawat radio tua adalah kebahagiaan tersendiri. “Radio tua itu tidak akan pernah tergantikan. Suaranya sangat alami, terlebih bentuknya yang unik,” ujar pensiunan dokter militer tersebut.
Tak kurang dari 55 unit pesawat radio milik 15 anggota Padmaditya diboyong dalam pameran bertema “Layang Swara” tersebut. Radio-radio tersebut mereknya macam-macam, dengan rupa-rupa model dan ukuran, dari yang sebesar tip kompo zaman sekarang hingga yang seukuran televisi 21 inchi. Radio-radio tersebut tak hanya menjadi pajangan, tapi ternyata masih bisa berfungsi dengan baik.
Dalam kesempatan tersebut, Padmaditya menghadiahkan satu unit koleksi mereka untuk Dirut Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RII) Rosarita Niken Widiastuti. Niken menyengajakan hadir dalam agenda tersebut untuk memberi sambutan. Begitu menyalakan radio tersebut, Niken mendadak kegirangan. Dari kotak kayu itu mengalun sebuah komposisi orkestra, dengan kualitas suara khas zaman dahulu. “Ini tema pembuka siaran RRI, Pak. Dulu sebelum siaran kami pasti memutar ini,” ujar Niken tampak sangat senang.
Dengan senang hati, Niken mengikuti kemauan Didi dan kawan-kawan yang mendaulatnya mecontohkan pembuka siaran RRI. Musik diputar, Niken bersiap dengan mikrofonnya. “Pendengar, di manapun Anda bisa menjangkau siaran kami, selamat berjumpa lagi dengan Radio Republik Indonesia. Dipancarsiarkan dari kawasan Pal Merah, Jakarta. Sekali di udara, tetap di udara!” ujar Niken dengan suara bulatnya, yang langsung disambut riuh sorak hadirin.
Didi kemudian mengajak saya berkeliling ruang pameran untuk menunjukan beberapa koleksi yang dianggap istimewa. Pria berkacamata itu menghampiri salah satu pojok, menunjukan bongkahan radio kayu berbentuk setengah lingkaran setinggi sekitar 50 sentimeter. “Ini yang paling saya suka, ‘Tesla’ buatan 1957. Saya suka karena bentuknya yang unik, dan ini produksi Cekoslovakia,” ujar dia sambil mengusap-usap radio yang memiliki ornamen serupa kipas di bagian atasnya itu.
Menurut Didi, barang tersebut langka, karena kebanyakan radio tua yang beredar di Tanah Air buatan Eropa Barat dan Amerika Serikat. Seperti malam itu, sebagian besar radio bermerek Philips, produksi Belanda. Didi kemudian berjalan ke sudut lain mengenalkan radio bermerek Tombstone, yang diperkirakan dibuat di Belanda pada kurun 1930 hingga 1940.
Menurut Didi, radio tersebut istimewa karena bentuknya yang langka, yakni mernyerupai bagian depan keranda mayat. “Radio ini juga dikenal dengan sebutan ‘bandoso’, dalam Bahasa Jawa itu artinya keranda mayat,” ujar dia seraya tersenyum.
Soal komunitasnya, Didi bercerita, Padmaditya pada mulanya diinisiasi pada 2010 oleh beberapa orang penggemar radio tua. Sekarang, kata dia, anggota mereka mencapai 35 orang, yang rutin mengadakan pertemuan sebulan sekali. Selain berbagi cerita, menurut Didi, kadang pertemuan juga diisi salingtukar komponen radio. 

Radio dan Perjuangan Indonesia
Foto: Istimewa/Kaskus
Tanpa kehadiran radio, entah akan bagaimana jalan sejarah bangsa ini. Ketika tahun 1945, Soekarno dan sejumlah orang mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur, pada pukul 10.00, tak banyak rakyat Indonesia yang mengetahui itu, terlebih masyarakat dunia. Baru pada pukul 19.00, lewat drama penyusupan dan aksi sabotase sejumlah pemuda di kantor radio militer Jepang, Hoso Kyoku, berita tersebut dipancarluaskan. Mula-mula, berita kemerdekaan disiarkan melalui jaringan internasional.
Selain ditangkap stasiun-stasiun luar negeri sejumlah negara, seperti India, Vietnam, hingga Belanda, siaran tersebut rupanya sampai juga di telinga militer Jepang. Para pemuda tersebut, termasuk di antaranya Jusuf Ronodipuro, kelak menjadi pendiri Radio Republik Indonesia (RRI), sempat disiksa serdadu Jepang, sebelum akhirnya dibebaskan. Perjuangan mengudarakan pesan kemerdekaan juga dilakukan di beberapa stasiun radio lain di sejumlah kota.
Sepenggal kisah di atas dituturkan Dirut RII Rosarita Niken Widiastuti, dalam sambutannya pada pembukaan pameran radio lama, Kamis, 24 Juni lalu. Bertempat di Bentara Budaya Jakarta, Jakarta Barat. Pameran bertajuk “Layang Swara” tersebut menghadirkan 55 unit radio lama berbagai merek, produksi tahun 1930 hingga 1970.
Menurut Niken, para awak radio di jaman pergerakan telah menunaikan tugas perjuangan yang tidak kalah patriotiknya. Dalam huru-hara proklamasi kemerdekaan, Niken mencontohkan, para krustasiun radio di Solo sampai menggotong pemancar hingga 30 kilometer jauhnya demi menghindari penyegelan dari pihak tentara Jepang.
“Mereka menyembunyikannya di kandang kambing, dan membuat stasiun darurat untuk menyiarkan berita-berita kemerdekaan pada seluruh rakyat Indonesia. Itu tak hanya di Solo, tapi juga di berbagai kota lainnya,” ujar Niken kepada para hadirin.
Berkat para pejuang telekomunikasi tersebut, kata Niken, deklarasi kemerdekaan Indonesia sampai menyebar keseluruh pelosok Indonesia dan juga ke luar negeri. Pihak Kerjaan Belanda, yang saat itu yang masih berupaya mengambil alih kembali Indonesia, geram mendengar berita tersebut. Mereka tidak mau mengakui berita kemerdekaan yang sampai lewat gelombang radio tersebut.
Kata Niken, saking tidak sukanya, pemerintah Belanda menjuluki Indonesia dengan sebutan ‘republik mikrofon’. “Itulah, betapa besarnya peran radio dalam perjuangan politik waktu itu, saampai-sampai suatu negeri dijuluki ‘republik mikrofon’,” kata Niken, bercerita dengan antusias.
Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, lanjut Niken, rakyat Indonesia memiliki radionya sendiri. Pada 11 September 1945, Radio Republik Indonesia (RRI) berdiri, sebagai penggabungan dari sejumlah stasiun radio di berbagai kota, yang sebelumnya dikuasai Jepang. Sejak berdirinya hingga hari ini, kata Niken, RRI terus berupaya bersikap netral dan mengutamakan kepentingan publik. “Pascareformasi, kami terus menyongsong perubahan untuk menjadi lembaga penyiaran publik yang kredibel,” ujar dia.

Malam itu Niken tampak sangat senang. Dia berharap pameran tersebut akan terus mengingatkan publik tentang besarnya peran radio dalam pembangunan Indonesia. Sebagai penutup, Niken mengutarakan harapannya agar suatu saat Indonesia memiliki museum radio, untuk mengabadikan sejarah dan perjalanan radio di Tanah Air. 

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply