Gawang ‘Portable’ Anak-Anak Cikini

Foto: Andi Nurroni
Perkembangan zaman modern telah menghadirkan inovasi perabot serba-portable. Orang-orang jenius menciptakan barang-barang semakin ringkas dan mudah dipindahkan atau dibawa ketika berpergian. Bocah-bocah di Kampung Cikini VII tak mau kalah. Tak punya lapangan rumput untuk bermain bola, mereka membuat gawang yang bisa dibongkar-pasang agar leluasa bermain di mana saja.
Sabtu sore, pertengahan Maret, 2014, adalah kali kedua perjumpaan saya dengan anak-anak yang semarak itu. Seperti sebelumnya, mereka tengah asyik bermain bola sepak di pelataran samping Gedung Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Di arena bertegel seukuran lapangan futsal itu mereka meletakan sepasang gawang portable yang dibawa dari kampung mereka. Kampung mereka sendiri berada di samping TIM, di sebelah Barat, berjarak hanya sekira lima menit perjalanan.
Gawang mereka terbuat dari pipa paralon berdiameter sekitar dua jari. Setiap kaki-kakinya dipancangkan pada kaleng bekas cat yang diberi semen agar mantap ketika digunakan. Antara dua tiang samping dan dan pipa mistar dihubungkan oleh siku penyambung yang bisa dipasang-copot. Ukurannya jauh lebih mini dari gawang biasanya. Tingginya hanya sebahu penjaga gawang, lebarnya tak lebih dari dupa depa.
Sepasang gawang portable seharga Rp 42 ribu dibuat dengan hasil urunan. Kata Ebil, salah salah seorang dari mereka, itu gawang terbaru yang mereka miliki, setelah yang sebelumnya patah. Diceritakan bocah 11 tahun itu, dua gawang tersebut mereka buat dibantu oleh Mas Nano, penjaga mushola di kampung mereka. Atas jasanya, Adam (14), bocah lainnya, menjuluki sang marbot baik hati itu sebagai Roberto Manchini, nama mantan pelatih klub sepakbola Inggris Manchester City yang terkenal.   
Sore itu, ada 13 anak yang bermain. Hanya beberapa orang saja yang tidak ikut, kata Ebil. Bocah kelas dua di SD Menteng 03 itu mengaku sejak kecil sudah biasa bermain di sana. Bahkan, jauh sebelum generasinya, anak-anak kampung yang lebih tua juga suka bermain bola di sana. Dia bercerita, main bola di pelataran TIM bersifat musiman. Kadang di bulan tertentu mereka berhenti, kemudian melanjutkannya di bulan yang lain.
Ebil dan kawan-kawan nampak bermain dengan riangnya. Ada hukuman yang diberlakukan bagi yang kemasukan. Kata Ebil, kalau kebobolan satu gol, pra pemain yang kalah harus membuka kaos setengah bahu. Kalau kemasukan dua gol, mereka harus membuka kaos dan bertelanjang dada. Pihak yang mendapat hukuman baru bisa memakai bajunya lagi kalau berhasil menyamakan kedudukan.
Pergantian pemain mereka lakukan seenaknya. Formasi pun tidak pernah mereka atur. “Saya kadang striker, kadang bek,” ujar Adam. Tak lama setelah permainan, Adam memutuskan menarik dirinya dari lapangan. Kata dia, kakinya lecet akibat tersandung tegel. Adam bercerita, mendapat luka-luka gores atau lebam ketika bermain di sana sudah biasa.
Bocah-bocah kampung itu bermain dengan girang, tanpa terikat waktu pertandingan. Mereka hanya baru berhenti kalau sudah bosan atau merasa lelah. Seperti sore itu, permainan sesi pertama terhenti karena salah seorang anggota mereka datang dari warung membawa air kemasan. Setengah berebut, bocah-bocah itu bergantian menenggaknya. Permainan sesi pertama pun bubar begitu saja.

Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Maret, 2014 

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply