Fin Komodo, Ketangguhan Mobil Patriotik

Foto: baliayutours.com
Mobil penjelajah serbaguna itu dinamai Fin Komodo. ‘Fin’, kependekan dari ‘formula Indonesia’, dan ‘komodo’ adalah satwa endemik kebangaan Indonesia. Sejak semula, Fin Komodo memang dirancang dengan semangat patriotik. Mobil mungil itu bermimpi besar menjadi kekuatan industri otomotif nasional yang berakar budaya Indonesia.
Didesain sesuai kondisi alam Nusantara, Fin Komodo berbentuk mungil, kokoh, sekaligus lincah dikendarai, bahkan di medan ekstrim. Rancang bangun mobil berkapasitas 250 cc tersebut dibuat dengan perhitungan matematis yang sangat cermat. Tak perlu diragukan, sang inovator adalah Ibnu Susilo, mantan insinyur PT Dirgantara Indonesia, yang juga pernah terlibat dalam proyek perancangan pesawat Airbus A380 dan A400M.  

Cukup lama mendengar nama harumnya, baru pada pertengahan Mei 2014, saya bertemu Fin Komodo. Mobil mungil itu saya jumpai ketika berkunjung ke ajang Indo Automotive, sebuah pameran otomotif berskala internasional yang berlangsung di Jakarta. PT Fin Komodo Teknologi, produsen Fin Komodo turut berpameran dalam ajang tersebut. Kepada saya, sang direktur yang juga pencipta Fin Komodo, Ibnu Susilo, berbagi cerita soal karya kreatifnya itu.

Dikisahkan Ibnu, proyek Fin Komodo mulai dirintis pada 2005 di Cimahi, Jawa Barat, melalui sebuah riset pasar. Tahun 2006 desain diciptakan, dilanjutkan dengan pembuatan prototipe pada 2007. Tahun 2008, generasi pertama mulai diproduksi. Dengan sejumlah perbaikan, generasi kedua hingga ke-4 kembali diproduksi dan dipasarkan mulai 2009 hingga 2011. Sejak 2011 sampai sekarang, tak banyak lagi perubahan berarti dilakukan, kecuali penambahan kecil serta polesan sejumlah aksesoris.

Foto: finkomodo.com
Bagi Ibnu, Fin Komodo diciptakan bukan sekedar sebagai kendaraan, melainkan sebentuk perjuangan mewujudkan kedaulatan industri otomotif Indonesia. Ibnu berani mengklaim, Fin Komodo seratus persen produk Indonesia, dari mulai kepemilikan paten hingga kepemilkan modal. Tak kurang dari 40 UKM digandeng untuk menyuplai berbagai komponen bahan baku yang dibutuhkan. “Semua harus dibangun setahap demi setahap agar menjadi budaya. Teknologi itu sendiri, kan bagian dari budaya,” ujar pria 50 tahunan itu.

Ke acara pameran kali itu, Ibnu membawa salah satu varian Fin Komodo tipe KD 250 AT, yang terlihat berbeda dengan jenis sebelumnya. Berwarna hijau toska, KD 250 AT dilengkapi dengan atap dengan ruang penyimpanan barang di atasnya, serta sejumlah aksesoris, seperti bagasi tambahan di bagian belakang, lampu kabut di sisi kanan dan kiri atas, serta tabung kawat penderek di bumper depan.

Menurut Ibnu, sejak mulai diproduksi, mobil kerkpasitas dua penumpang itu banyak mendapatkan apresiasi. Sejumlah penghargaan dihadiahkan, termasuk anugerah Presiden Republik Indonesia untuk kategori Rintisan Teknologi Industri pada 2012 lalu. Dari segi pemasaran, Fin Komodo, menurut Ibnu, banyak mendapatkan pesanan dari berbagai daerah di Indonesia, utamanya dari perusahaan perkebunan dan pertambangan.

Tak hanya menjadi kendaraan fungsional, di beberapa kota kini berdiri perkumpulan penghobi off-road dengan menggunakan Fin Komodo. Seperti dipertontonkan Ibu melalui layar video di stannya, saya tak ragu lagi dengan kehandalan mobil ceper itu. Mobil mungil berkapasitas dua penumpang itu begitu lincah menerjang tanah merah dengan lubang-lubang besar. 

Benar kata Ibnu, mobil tersebut dirancang ringan dan tahan guncangan, terinspirasi dari prinsip kerja pesawat terbang. Terlihat, si pengemudi hanya sedikit saja tergoyang meskipun mobil berguncang-guncang hebat akibat medan yang rusak. Kemudian, meski hampir setengah badannya terrendam air, Fin Komodo ternyata tetap melaju tanpa hambatan.  

Selain tangguh, Ibnu menambahkan, keunggulan lain Fin Komodo, di antaranya irit dan harganya terjangkau. Kata dia, karena bobotnya yang ringan, tak banyak energi yang dibutuhkan, sehingga sedikit saja bahan bakar yang diperlukan. Untuk tipe biasa, Fin Komodo dibanderol Rp 75 juta, belum termasuk ongkos kirim. Harga Fin Komodo bisa murah, kata Ibnu, karena semua material berasal dari dalam negeri. Ditambah, perusahaan tidak harus membayar paten dan lisensi ini-itu ke luar negeri, karena semua milik sendiri.

Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply