Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’

Foto: Giant Prastyo/Flickr.com
Akhir April 2014, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, kedatangan ribuan burung. Mereka hadir diboyong para majikan masing-masing untuk diikutkan lomba berkicau. Alih-alih datang bersama burung, seorang kakek malah membawa belalang dan jangkrik. Selidik punya selidik, ternyata kakek bernama Ibrahim itu menjajakan serangga-serangga tersebut untuk para pemilik burung.

Di salah satu pojokan, si kakek menggelar dagangannya, ditemani ‘asistennya’, seorang pemuda berpenampilan lusuh. Puluhan ekor belalalang cokelat kehijauan seukuran buah kurma nampak ramai mengisi sangkar besinya. Sementara, jangkrik-jangkrik sebesar jempol tangan dia taruh di botol-botol plastik bekas minuman yang sudah diberi lubang-lubang udara. “Yang ini namanya belalang kerek, kalau ini jangkrik gengggong ,” kata si kakek mengenalkan hewan-hewannya kepada saya, sambil menunjuk mereka satu per satu. 

Mendengar penjelasan Kakek Ibrahim, sadarlah saya telah salah sangka. Semula saya berpikir, belalang dan jangkrik itu adalah makanan burung. Ternyata, serangga-serangga berbunyi nyaring itu difungsikan untuk merangsang burung menirukan suara mereka yang unik. Dari si kakek, saya baru tahu bahwa ternyata, hampir semua burung berkicau bisa mengimitasi suara-suara di sekitarnya. Malah, kata salah seorang peserta lomba yang saya temui, burung yang sudah jago bahkan bisa menirukan bunyi pluit parkir atau serine ambulan. Tak habis pikir saya mendengarnya.

Semula, saya berpikiran, harga belalang dan jangkrik itu sangat mahal, masing-masing Rp 10 ribu per ekor. Setelah kakek Ibrahim menceritakan cara mendapatkan serangga-serangga itu, saya merasa wajar dia memasang tarif setinggi itu. Kata kakek 53 tahun itu, belalang-belalang dan jangkrik-jangkrik itu dia dapat dari hutan di kaki Gunung Salak, Bogor. Beberapa malam dalam sepekan, dia biasa berburu, lalu akhir pekan dia akan membawa hasil buruannya ke tempat kontes burung untuk dijual.

Burung yang berhasil menirukan suara serangga, atau suara lainnya, oleh para penghobi disebut burung ‘masteran’ atau burung ‘isian’. Menurut Ibrahim, hanya jenis serangga tertentu saja yang bisa dirumahkan untuk melatih burung masteran. “Biasanya serangga yang suaranya nyaring, juga harus yang tahan lama. Belalang kerek, misalnya, itu bisa kuat dua bulan. Kalau jangkrik genggong sebulan lah,” kata Ibrahim menjelaskan.

Ibrahim bercerita, dari rumahnya di Cibeureum, Kabupaten Bogor, perlu 45 menit untuk dia mencapai hutan tempat berburu, dengan menggunakan sepeda motor. Di hutan kemudian dia melewatkan waktu kurang-libih tiga jam. Kata dia, biasanya dari jam tujuh hingga jam sepuluh malam. Dengan bantuan cahaya petromaks, kakek Ibrahim memburu mangsanya. Dia mengikuti suara serangga-serangga tersebut hingga sampai pada sarangnya. “Pokoknya seperti mengintip maling, kalau kami berisik sedikit saja, mereka enggak bunyi lagi,” ujar dia antusias.

Kata Ibrahim, belalang kerek biasanya ada di pohon-pohon pendek, atau kadang di tebing. Sementara, jangkrik genggong, kata dia,  bersarang di lubang-lubang di dalam tanah. Dalam semalam, paling banyak Ibrahim hanya bisa mengumpulkan tak lebih dari 50 ekor belalang dan jangkrik. Selain belalang dan jangkrik, Ibrahim juga biasa menangkap orong-orong, kadal hijau seukuran lidi aren, seperti yang kali itu dia  bawa. Kadal-kadal tersebut sudah di atur dalam botol pelastik. Masing-masing botol berisi 10 ekor kadal, dan dijual seharga Rp 10 ribu.

Mula-mula menjalani pekerjaan tersebut, Ibrahim mengaku takut blusukan di hutan malam hari. Sudah tak terhitung lagi dia mendapati ular ketika berburu serangga. Pernah juga dia terjerembab masuk ke dalam sumur tua. Kadang, Ibrahim bercerita, dia juga mendapati hal-hal berbau mistis, seperti mendengar suara-suara aneh, mencium wewangian aneh, atau menyaksikan penampakan sosok yang membuat bulu kuduk merinding.

Kakek beranak lima itu ternyata bukan setahun-dua tahun menjadi pemburu dan penjual serangga dan kadal. Menurut pengakuannya, sudah 12 tahun dia menjalani pekerjaan ‘langka’ tersebut. Dia biasa beredar dari kontes ke kontes di wilayah Jabodetabek, nyaris tanpa seorang pun saingan. “Makanya orang-orang yang punya burung sudah akarab lah sama saya. Mereka menggil saya Ibrahim Belalang,” ujar dia seraya tertawa.  

Di usianya yang semakin senja, anak-anak Ibrahim kadang menyarankan dia berhenti keluar-masuk hutan. Tapi kakek Ibrahim masih tak rela meninggalkan sumber mata pencaharian yang masih tetap menggiurkan tersebut. Menurut dia, penghasilan dari usahanya lebih dari cukup untuk mengisi periuk nasi di dapurnya. Seepekan sekali, dari arena kotes burung, dia bis mendapat Rp 1,5 hingga 2 juta. “Kalau mau usaha begini, modalnya cuma satu, Mas, nekat,” kata dia seraya kembali terawa.


Adu Kicau Burung Puluhan Juta
Foto: Solopos

Kunjungan saya ke Indonesian Bird Championship (IBC) akhir April 2014 lalu, disambut teriakan orang-orang. “Ardo-ardo,” pekik seorang pemilik memanggil burung jagoannya. “Ke pinggir, dong, ke pinggir,” sahut yang lainnya lantang, meminta juri menengok burungnya. “Mohon tenang, ini bukan di terminal. Jangan sampai burung Anda kami diskualifikasi,” ujar panitia lewat pelantang suara.

Arena pertandingan itu seluas hampir setengah lapangan bola, dikelilingi pagar besi untuk menjaga para pemilik jauh dari burung mereka yang tengah bertanding di tengah lapangan. Panggung tempat kontes berupa petak-petak rangka pipa besi dengan ditempeli nomor-nomor berjarak satu rentangan tangan. Ruas-ruas pipa besi itu tak lain untuk menggantungkan sangkar burung peserta lomba. Arena tempat tim juri melakukan penilaian berdiri di sudut, teduh dinaungi tenda.

Kontes bersekala nasional kali itu diikuti 1500-an peserta dari pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Berbagai  jenis burung berkicau dipertandingkan dalam 27 kelas, dari yang berhadiah Rp 500 ribu hingga Rp 20 juta. Burung-burung tersebut di antaranya berjenis murai batu, cucak hijau, lovebird, dan kenari.

Pengawas Perlombaan, Kamiludin, menjelaskan, aspek penilaian mencakup keunikan, volume suara, durasi suara, ditambah penampilan fisik si burung. Dijelaskan Kamil, untuk menilai seluruh burung peserta yang jumlahnya berkisar dari 50 hingga 100 ekor per pertandingan, tim juri umumnya memerlukan waktu 15 hingga 30 menit. Menurut dia, setelah masing-masing juri mendapat kandidat juara, mereka kemudian memeberi laporan ke petugas pencatat.

“Setelah direkap dan diumumkan para kandidatnya, juri kemudian mengecek sekali lagi. Jika kandidat yang mereka pilih stabil kicauannya, masing-masing juri akan menaruh bendera pada kandidat juara. Yang paling banyak mendapat bendera, dia yang menang,” ujar Kamil, ditemui di sela kesibukannya bertugas.

Pemgamatan saya di lapangan, kontes burung berkicau berbeda dengan perlombaan-perlombaan pada umumnya. Tiap sesi perlombaan berjalan cepat, langsung seketika itu juga diumumkan para pemenangnya. Para pemilik burung juara yang tidak ingin menunggu sesi penyerahan piala dan hadiah di akhir lomba, bisa mendatangi tenda panitia untuk mendapatkannya lebih awal.

Salah satu burung juara bernama Thee Gee,  burung jenis lovebird yang dibawa Hengki, pemuda berumur 24 tahun. Thee Gee berhasil menyisihkan puluhan lawannya dan berhasil meraih hadiah Rp 10 juta. Meski begitu, menurut Henki, dia bukanlah pemilik burung jagoan tersebut. Dia bekerja merawat burung untuk Mulyana, seorang dokter kaya penghobi burung.

Hengki bercerita, dia mengurus Thee Gee sejak sebulan lalu, setelah bosnya memebeli burung juara tersebut dari rekannya. Sayang, Hengki mengaku tidak tahu harga Thee Gee. “Sepertinya di atas Rp 20 juta, Mas,” kata dia menerka.

Di antara para penonton pertandingan ada Eka Setiwana, pemuda 27 tahun. Kepada saya, eka mengaku juga menggemari burung, terutama sejak tiga tahun terakhir. Hanya saja, dari lima burung miliknya, dia merasa belum punya jagoan untuk diikutkan kompetisi tingkat nasional. Bersama istri dan anaknya yang masih balita, Eka datang untuk memberikan dukungan bagi teman-temannya sesama anggota Selemba Team, kelompok pecinta burung asal Salemba.

Melihat istri Eka di sisinya, saya meggodanya dengan pertanyaan guyon, ingin tahu perasaannya memiliki suami penggemar burung. “Yaa, ada keselnya juga kadang-kadang, Mas... Kadang dia pulang malam, bukan oleh-oleh yang dibawa buat anak, ini malah pakan burung. Tapi selama enggak mengurangi biaya dapur sih boleh saja, dan jangan lupa keluarga,” ujar dia, sembari tersenyum menggoda suaminya.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, April 2014

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 1 Comment

One Response to : Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’

Leave a Reply