Menengok PDS HB Jassin, Sebuah Museum Sastra

Foto: bengkelsastra.net
Lembaga itu diberi nama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Namun rasanya tak berlebihan jika menyebutnya museum sastra. Tak hanya menyimpan koleksi karya sastra Indonesia terlengkap, fasilitas tersebut juga mengabadikan manuskrip karya, korespondensi, hingga direktori foto para sastrawan dan kegiatan sastra di Tanah Air.

Seperti tertera pada namanya, kelahiran lembaga tersebut berjalinan erat dengan figur Hans Bague Jassin alias HB Jassin. Jassin adalah seorang penulis, kritikus, sekaligus akademisi bahasa dan sastra Indonesia yang telah menyumbangkan berbagai karya dan pemikiran. 

Semua yang tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin hari ini bermula dari hobi Jassin mengarsipkan berbagai dokumentasi sastra sejak 1930. Berkat prakarsa sejumlah tokoh, seperti sastrawan Ajip Rosidi dan Ramadhan KH, serta disokong oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta masa itu, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin atau sering disebut PDS HB Jassin diresmikan pada 1977.

Sejak didirikan, PDS HB Jassin berada di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Fasilitas tersebut menempati lantai dua di salah satu gedung tua di lingkungan TIM. Anak-anak tangga dari papan besi harus dititi untuk mencapai PDS HB Jassin. Berkunjung pada suatu siang awal Mei 2014, saya disambut dua petugas resepsionis.

Begitu mengajukan maksud melakukan peliputan, mereka mengarahkan saya kepada Kepala Pelaksana PDS HB Jassin Ariany Isnamurti. Ariany, atau kemudian terdengar rekan-rekan kerjanya memanggil dia Bu Rini, menerima kami dengan ramah. “Silakan duduk, informasi apa yang diperlukan,” ujar dia santun, sembari mengarahkan kami ke tempat duduk.

Meskipun terlihat agak sibuk, karena konon hendak menerima kunjungan rombongan mahasiswa dari Bandung, ibu 50-an tahun itu telaten menjawab pertanyaan saya satu per satu. Dia memberikan rincian, jumlah koleksi yang terdaftar di PDS HB Jassin, terdiri dari 21.300 karya fiksi, 17.700 buku nonfiksi, 475 buku referensi, 857 buku/naskah drama, 870 biografi pengarang, 130.534 kliping, 690 koleksi foto pengarang, 742 rekaman suara, serta masih ada sejumlah arsip lainnya. Dengan koleksi tersebut, kata dia, PDS HB Jassin menyandang gelar pusat dokumentasi terlengkap kesusastraan Indonesia di Tanah Air, bahkan di dunia.

Ariany kemudian mengajak kami masuk ke ruang koleksi. “Maaf, ya, agak panas. AC-nya lagi dibetulkan,” ujar dia, seraya tersenyum. Udara memang sedikit pengap di ruangan seluas lapangan futsal itu. Terlihat, lemari-lemari arsip setinggi dua meter rapat berjejer. Tak seperti perupstakaan pada umumnya, sebagian besar koleksi tersimpan di dalam map, yang disatukan berdasarkan kategori, serta ditempatkan pada kotak-kotak arsip. Kata Ariany, cara pengarsipan itu mereka teruskan sesuai cara HB Jassin.

Dia melanjutkan, karena bukan perpustakaan, PDS HB Jassin tidak meminjamkan arsip untuk dibawa pulang. Pengunjung hanya bisa membacanya di tempat, atau memfoto kopi arsip yang diinginkan di sana. Untuk sementara, kata dia, mereka belum punya katalog dan arsip digital yang bisa diakses melalui internet, sehingga akses terhada arsip hanya bisa dilakukan dengan cara berkunjung langsung.

Sembari berkeliling ruangan menunjukan berbagai koleksi, Ariany lanjut bercerita. Kata dia, selain warisan HB Jassin, tambahan koleksi juga didapat dari berbagai sumber, mulai dari membeli sendiri hingga mendapatkan hibah. Terakhir, sumbangan delapan lemari buku mereka dapat dari almarhumah Guru Besar UI Dr. Boen Sri Oemarjati. Kata Ariany, Boen dari jauh-jauh hari sudah berwasiat menghadiahkan buku-buku peninggalannya untuk DS HB Jassin. Ariany melanjutkan, hibah juga dia dapat dari para penulis yang mengirimkan karya-karya baru mereka.

“Koleksi apa yang istimewa di sini”, tanya saya penasaran. Sejenak dia berpikir. “Kami punya naskah-naskah asli, ada catatan tangan, ada ketikan karya para penulis, semisal Chairil Anwar, ada juga arsip-arsip surat pribadi, seperti surat cinta Montinggo Busye,” ujar dia.

Menurut Ariany, hampir semua pesohor sastra pernah datang ke sana, dari yang senior semisal Goenawan Mohamad hingga penulis muda seperti Ayu Utami. Sehari-hari, kata Ariany, PDS HB Jassin tidak pernah sepi kegiatan. Bermacam kegiatan biasa diangsungkan di sana, mulai dari menerima kunjungan sekolah/kampus, pameran dokumentasi sastra, diskusi sastra, peluncuran buku sastra, dan kegiatan lainnya seputar sastra dan budaya. Selain itu, menurut dia, tempat mereka juga hampir setiap hari mendapat kunjungan para peneliti yang sedang melakukan studi tentang sastra Indonesia, , baik dari dalam maupun luar negeri.

Menjelang empat  dekade PDS HB Jassin, Ariany mengaku, dia dan kawan-kawannya masih mempunyai mimpi yang belum terwujud. “Ini kan era teknologi. Kami ingin melakukan pengarsipan digital, dan satu lagi, kami ingin mewujudkan cita-cita Pak Jassin, memiliki gedung sendiri,” ujar dia. 

HB Jassin, Penjaga Taman Sastra Indonesia

Foto: stomatarawamangun.wordpress.com
Hans Bague Jassin atau populer dengan nama HB Jassin adalah penulis, kritikus, serta akademisi sastra terkemuka Indonesia. Dalam dunia kesusastraan Tanah Air, pria kelahiran Gorontalo, 13 Juli 1917 tersebut mendapat julukan Paus Sastra. Dengan kredibilitasnya, Jassin dianggap punya kekuatan ‘membaptis’ para penulis menjadi sastrawan hebat.

Hingga hari ini, buah pikirnya mengenai periodesasi dan angkatan sastrawan masih menjadi rujukan utama dalam dunia akdemik. Dialah yang melaharikan kategori ‘Angkatan Balai Pustaka’, ‘Angkatan Pujangga Baru’, ‘Angkatan ’45’, serta ‘Angkatan ’66’. Berbagai pemikiran dan kritiknya menjadi rujukan bagi masyarakat soal sastra Indonesia.

Sebagai contoh, Jassin-lah yang mula-mula membesarkan nama Chairil Anwar. Dia mengganggap karya-karyanya karya Chairil sebagai tonggak puisi modern Indonesia, dari segi bentuk maupun isi. Tentang Chairil Anwar, Kepala Pelaksana Pusat Dokumentasi (PDS) HB Jassin Ariany Isnamurti punya cerita. 

“Pak Jassin orang yang teguh dengan gagasannya. Pernah STA (Sutan Takdir Alisjahbana, red.) tidak sependapat dengan Pak Jassin yang mengangung-agungkan karya Chairil Anwar. Pada akhirnya, Pak Jassin yang menang,” ujar dia. 

Taufik Ismail, sastrawan senior seangkatannya mempunyai julukan lain untuk Jassin, yakni ‘penjaga taman sastra’. “Jika sastra indonesia adalah taman berbunga, maka HB Jassin adalah penjaganya,” ujar Taufik, pada suatu film dokumenter mengenai HB Jassin.

Ungkapan Taufik Ismail itu tentu tidak berlebihan. Tak hanya produktif menulis, karya Jassin yang tidak kalah monumental adalah prakarsanya atas Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Tahun 1997, Jassin merelakan seluruh koleksi arsip sastra yang diakumpulkan sejak 1930 untuk dimanfaatkan masyarakat luas.

Almarhum Penyair dan dramawan WS Rendra pun sempat memberikan pujian khusus untuk Jassin. “Saya sangat terkesan akan pribadi Jassin sebagai orang yang tidak mementingkan diri sendiri. Jassin sudah banyak merelakan waktunya, uangnya untuk membuat dokumentasi sastra Indonesia,” ujar dia.

Selain buku-buku dan berbagai pemikiannya, PDS HB Jassin kini menjadi warisan agung sang Paus Sastra untuk bangsa Indonesia. Berdiri di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, PDS HB Jassin menjadi dokumentator terlengkap karya sastra Indonesia. Kerap menghadapi kendala keuangan, lembaga nirlaba itu tetap berdiri dalam kesederhanaannya. 

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republiika, Mei 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply