‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya

Gambar Pintu Air Jagir, diambil dari sisi lokalisasi. Foto: Andi Nurroni 
Memancing, bagi sebagian orang adalah hiburan untuk melepaskan kepentatan. Bagi sebagian lainnya, memancing menjadi sumber mata pencaharian. Namun di Surabaya, memancing rupanya bisa juga menjadi modus prostitusi.

Hal itu terjadi di bantaran Kali Jagir, di sekitar Pintu Air Jagir. Sejak lama, kawasan Pintu Air Jagir memang dikenal sebagai tempat pemancingan. Tak peduli pagi, siang atau malam, banyak para bapak bertengger di tepian kali untuk mengail macam-macam ikan. Ada lele, patin, mujair dan masih banyak lagi.
Cerita tentang dunia memancing para bapak hidung belang mula-mula saya dapat dari seorang ibu penjaga warung kopi di sekitar Pintu Air Jagir. Ahad, 8 Januari 2015, saya datang ke lokasi untuk meliput aktivitas para pemancing. Itu sebelum perhatian saya teralihkan oleh cerita si ibu penjaga warung.
Kata si Ibu, selain banyak yang benar-benar memancing, ada juga yang pura-pura memancing alias ‘mancing plus-plus’. “Ya, bilangnya ke istri mau mancing, padahal mau mancing duyung bergincu di sebrang kali…,” ujar dia seraya tersenyum.
Bagi sebagian lelaki, memancing di Kali Jagir rupanya menjadi siasat mengelabui pasangan. Mendapat ikan atau tidak itu urusan nomor dua. Hal terpenting dan lebih menghibur bagi merka adalah pergi main ke seberang kali, ke tempat prostitusi murah-meriah. Oleh orang sekitar, tempat itu disebut Kampung Baru.
Menuju Kampung Baru, para pemancing dari tepian selatan Kali Jagir bisa berjalan melintasi pintu air yang memotong sungai, serupa jembatan. Bagi pengunjung yang tidak menggunakan modus memancing, mereka bisa langsung berkelok dari Jalan Ngagel di sebelah barat atau dari Jalan Raya Nginden di sebelah timur.
Cerita ibu warung tentang para pemancing hidung belang terbukti bukan isapan jempol. Selepas tengah hari, saya membuktikan sendiri kebenaran informasi tersebut. Masuk dari dari sisi selatan sungai, saya berjalan melintasi pintu air menuju tepian kali.
Pintu Air Jagir merupakan bangunan peninggalan Belanda yang dibuat pada 1917. Hingga kini, fasilitas pengendali air tersbut masih berfungsi baik mengatur debit air, entah untuk mencegah banjir ataupun menjaga pasokan air baku ke PDAM setempat.
Ketika saya datang, Pintu Air Jagir cukup ramai dengan manusia. Tempat itu agaknya menjadi persinggahan dan naungan bagi banyak orang. Mulai dari penjual alat-alat memancing, tukang beca, pemulung, hingga para pencari ikan sendiri.
Atmosfer prostitusi mulai terasa ketika seorang perempuan bercalana mini dan berkaus singlet melintas di sekitar saya. Perempuan berusia 35-an tahun itu mengerlingkan matanya kepada saya sambil memainkan alis sebagai isyarat. Aih, Saya hanya sanggup tersenyum lalu melemparkan pandang ke arah lain.
Dari Mbah Min (bukan nama sebenarnya), saya menggali cerita lebih dalam. Mbah Min adalah seorang pemulung yang mengumpulkan sampah-sampah sungai di Pintu Air Jagir. Sehari-hari, kakek 65 tahun itu tidur di sana, di atas becak yang kini sudah tak kuat lagi dia tarik.
Mbah Min mengaku sudah 40 tahun hidup di sekitar Pintu Air Jagir. Bermodalkan segelas kopi, saya menggoda dia dengan berbagai pertanyaan. Kakek kurus itu membenarkan, memang banyak pemancing nakal yang sering berkunjung ke Kampung Baru di seberang sungai sana, terutama di malam hari.
Bahkan, menurut dia, pernah kejadian seorang pemancing dicari-cari istrinya. “Dia bilang sama istrinya mau mancing, terus sama istrinya dicari ke kali, dianya ndak ada. Ya, ke situ,” ujar Mbah Min sambil menudingkan dagunya ke lokasi prostitusi di seberang kali.
Menurut Mbah Min, prostitusi di kampung pinggir Kali Jagir sudah lama ada. Sayang, dia kesulitan mengingat kapan persisnya lokalisasi itu ada. Modus ‘mancing plus-plus’ pun menurut dia sudah berlangsung lama. Jika benar cerita kakek beruban itu, desas-desus ‘mancing plus-plus’ hanya bergulir di komunitas sekitar Pintu Air Jagir.
Hal lucu lainnya, Mbah Min bercerita. Para pemancing nakal itu tidak benar-benar peduli mendapat ikan atau tidak. Karena, menurut Mbah Min, ikan bisa dibeli dari sesama pemancing atau dari nelayan sungai yang biasa menjerat ikan dengan jaring. Hal itu, menurut dia, banyak dilakukan para pemancing hidung belang.
Cerita lebih sahih saya dapat dari Rani (bukan nama asli), seorang PSK yang sedang beristirahat di bawah pilar beton Pintu Air Jagir. Perempuan kurus berpenampilan lusuh itu tampak masih linglung karena baru terbangun dari tidur siangnya. Ketika saya datang sebelumnya, dia masih terbaring pulas di atas beton berlas karpet.
Perempuan 27 tahun itu datang mendekat ketika saya panggil sambil dengan mengacungkan cangkir kopi. Insting ‘berburu’-nya seperti langsung menyala merespon panggilan saya. Ia berjalan menghampiri saya dan Mbah Min. Ia menolak tawari kopi saya dengan gelengan kepala. “Saya mau yang dingin,” kata dia.  
Rani berjalan ke lapak penjual minuman, lalu datang kembali dengan segelas minuman suplemen. Kami duduk di lantai beton, sementara Mbah Min nangkring di atas becaknya. Setelah sedikit berbasa-basi, saya ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mulai menjurus pada pekerjaannya. Soal kisah para pemancing hidung belang itu, Rani membenarkan cerita tersebut.
Kata dia, di antara para pemancing nakal, ‘mancing plus-plus’ sudah menjadi rahasia umum. “Kadang pancingannya dititip sama temannya di pinggir kali, dianya pergi. Kadang ada juga yang dibawa (alat pancingnya),” ujar Rani polos.
Rani melanjutkan ceritanya, selain pemancing, pelanggan lokalisasi Kampung Baru umumnya adalah kelompok masyarakat pinggiran. Ia menyebut beberapa di antaranya, seperti penarik becak, tukang bangunan, kuli pasar. Namun begitu, menurut dia, di malam hari, banyak juga anak-anak muda, mulai daris anak SMA sampai mahasiswa.

Lebih Semarak di Malam Hari
Pintu Air Jagir pada malam hari. Foto: Andi Nurroni
Mengamati dari atas jembatan Pintu Air Jagir, saya melihat di sekitar pintu masuk kampung lokalisasi itu, banyak pria bersepeda motor berhenti. Satu-dua perempuan berpakaian ketat datang bergantian. Mereka melenggak-lenggok merayu pria-pria yang bertengger di atas sepeda motor itu. Para pria di sana sepertinya sedang memainkan modus melihat-lihat kali.
Penasaran dengan kehidupan Kampung Baru di siang hari, saya memutuskan menengok sendiri ke sana. Berjalan sekitar 200 meter menyusuri jalan tanah bergelombang di samping sungai, saya tiba di lokasi. Kampung Baru rupanya tak lebih dari perkampungan kumuh di pinggir sungai. Hunian-hunian sederhana itu berupa bedeng-bedeng tripleks yang berjejer membelakangi sungai. Sebagin bedeng di sana dihuni para pengumpul barang bekas.
Tempat lokalisasi di kampung kumuh tersebut berada di blok pertama. Masuk melewati gapura usang, saya mendapati belasan perempuan berbusana minim hilir-mudik di sana. Sekali saja saya bersitatap dengan mereka, perempuan-perempuan penghibur itu menggoda saya dengan kerlingan dan senyum nakal mereka.
Di lorong kampung pinggir kali itu, sepeda motor berejer ditunggui beberapa tukang parkir. Tak ingin terlihat canggung, saya ‘banting stir’ masuk ke warung. Saya lantas memesan sebungkus rokok putih—meskipun sebenarnya saya tak lagi merokok. Saya pesan juga secangkir kopi, mengikuti gaya para perokok pada umumnya.
“Habis ngamar, Mas?” Penjaga warung, perempuan tomboy bertopi, menyergap saya dengan pertanyaan dan tatapan menelisik. “Enggak, Mbak, belum,” jawab saya spontan dan sedikit gerogi.
Duduk di dipan kayu, dari dalam warung, saya menebar pandang ke luar melihat perempuan-perempuan penghibur itu hilir-mudik. Umumnya, mereka sudah berumur dan tak lagi langsing. Ada sejumlah lelaki datang, lalu memarkir sepeda motor mereka di depan warung. Sebagian lainnya tampaknya sudah beres dan pergi membawa sepeda motor mereka.
Seorang perempuan 40-an tahun mengenakan blus merah ketat datang menghampiri saya. “Hey,” ujar dia berbisik menggoda di depan saya. “Ayo,” kata dia sambil memasang wajah merayu dan memainkan alis matanya.
Berlaku seperti pria hidung belang umumnya, saya membalas godaanya. “Nanti, masih siang,” ujar saya. Dia lalu duduk di samping saya. Saya sodorkan bungkus rokok. Tak sungkan ia mencabut  satu batang, lalu menyulutnya. Perempuan dengan bedak tebal itu terus berjuang menggoda saya dengan bisikan-bisikan nakalnya. Tak ketinggalan, ia juga memasang wajah memelas.
Sesekali saja saya menjawab. Selebihnya, saya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, menolak rayuannya. Lama-lama, perempuan berlipstik merah tua itu tampaknya bosan. Dia pergi meninggalkan saya. Fuih, saya menghembuskan nafas lega.
Dari penjaga warung saya diberi tahu, perempuan-perempuan yang lebih muda akan lebih banyak pada malam hari. Hal itu persis seperti dugaan saya sebelumnya. Demi merekam lebih dalam lokalisasi pinggir kali itu, saya putuskan untuk kembali lagi di malam hari. Setelah membayar rokok dan jajanan, saya meninggalkan tempat itu.
Malam, sekitar pukul 09.00, saya kembali lagi ke Kampung Baru. Kali ini, saya tidak sendiri. Seorang teman, jurnalis media lokal di Surabaya, menemani saya. Dalam urusan seperti ini, teman saya yang satu itu lebih bisa diandalkan.
Suasana lokalisasi Kampung Baru di tepi Kali Jagir lebih semarak di malam hari. Jalan bergelombang di depan kampung, di sisi kali, lebih ramai dengan para lelaki yang bertengger di atas sepeda motor mereka. Tak ada penerangan sama sekali di sana, kecuali bias lampu dari Pintu Air Jagir yang sengaja disorot secara artistik di malam hari.
Pria-pria pemburu kenikmatan berjejer di keremangan malam. Sepeda-sepeda motor yang datang sengaja mematikan lampunya. Para pria itu agaknya bertahan di sana menunggu untuk digoda dan ditawari. Di malam hari, terbukti, lebih banyak wanita penghibur yang ‘bergerilya’. Sebagian memang terlihat lebih muda. Sebagian sisanya terlihat telah berusia.
Di jalan temaram pinggir kali itu, mereka bersaing menjerat rezeki yang dibawa para pria kesepian itu. Jika transaksi deal di jalan gelap itu, ‘pembeli’ dan ‘penjual’ berjalan menuju kampung untuk check-in. Malam itu, telah kami putuskan untuk mencoba peruntungan mewawancara PSK di dalam ‘bilik kerja’-nya. Untuk itu, kami harus terlebih dahulu negosiasi harga, lalu membiarkan mereka membawa kami ke kamar mereka.    
Memasuki gapura usang lokalisasi pinggir kali itu, pengunjung disambut tembang-tembang karoke. Di sudut lorong itu, ada satu anjungan dengan meja dan botol-botol bir. Di sanalah sejumlah pria bertampang garang bergantian bernyanyi. Rupa-rupanya lagunya, mulai dari tembang kenangan hingga lagu-lagu berlirik religi milik Rhoma Irama. “Itu mereka premannya,” ujar kawan saya berbisik di telinga.
Para perempuan penjaja cinta kilat terlihat duduk-duduk manis memamerkan paha dan lekuk tubuhnya di kanan kiri gang.  Rata-rata mereka mengenalan hotpants, rok mini, atau dress ketat. Kondisi di gang itu hanya lebih terang sedikit saja dibandingkan dengan di pinggir kali sana. Dalam keremangan itu, tak cukup jelas bagaimana rupa perempuan-perempuan pemuas libido itu.
Sebelum kami menyiasati terjadinya wawancara dengan mereka, terlebih dahulu saya dan teman duduk di warung kopi. Itu adalah warung yang sama, tempat saya duduk mengopi siang sebelumnya. Di gang tersebut, terdapat empat blok bedeng tripleks. Pertama, yang paling ujung adalah warung tempat kami duduk. Kedua, adalah bedeng memanjang, tempat transaksi seks dilakukan. Ketiga, itu agaknya salah satu tempat beristirahat pada PSK. Bedeng terakhir juga merupakan warung, yang berada persis di depan anjungan tempat karoke.
Duduk di warung kopi, saya menghitung, dalam rentang waktu 15 menit, 11 pasangan telah masuk ke barak cinta. Durasi pasangan itu berada di dalam tergolong singkat, antara 5 hingga 10 menit saja. Para pria yang masuk bermacam-macam. Kebanyakan berusia 30 hingga 50 tahun. Namun, ada juga satu yang terlihat sangat belia. Seusia anak SMA.
Cukup mengamati dan menghitung transaksi di sana, saya dan teman berjalan melihat-lihat lebih dekat para perempuan pemuas syahwat itu. Sementara teman saya yang berpengalaman itu dengan santai membuka percakapan dengan mereka, perasaan saya malam itu cukup deg-degan.
Namun itu tak berlangsung lama, sebelum akhirnya saya bisa membuat tawar-menawar dengan seorang perempuan muda. Yanti, kita panggil saja begitu perempuan 26 tahun tersebut. Yanti mengenaan hotpants jins dan kaos hitam ketat yang lengket melekat ditubuhnya yang subur. Dari Yanti, saya mengetahui harga regular kecan singkat di sana adalah Rp 40 ribu. Kami sepakat.
Harga tersebut tentunya bisa diturunkan para kupu-kupu malam yang sudah berumur atau yang merasa dirinya kurang memikat. Yanti berjakan lebih dahulu menuju barak cinta berdinding tripleks itu, sementara saya mengekor dari belakang. Rasa cemas identitas saya sebagai wartawan terbongkar dan ancaman preman-preman di depan berusaha saya atasi. Teman saya juga telah memilih targetnya dan siap ngamar.
Masuk ke barak cinta itu, mula-mula Yanti mengambil potongan kain dari dalam ember plastik. Dari teman saya, belakangan saya ketahui, kain itu dijadikan ganjal pintu tripleks yang tak bisa merekat begitu saja. Kain yang dijepit itu sekaligus menandai bahwa kamar berpenghuni.
Ada sembilan kamar saling berhadapan di barak tripleks itu. Jumlah kamar tidak genap sepuluh, karena ruang di pojokan sana, saya melihat difungsikan sebagai jamban untuk bersih-bersih. Ketika Yanti membuka salah satu kamar untuk saya, saya menghadapi ruangan berukuran sekitar 2 x 1 meter. Ruangan dengan cahaya redup itu beralaskan kasur lepek yang ditutupi tikar di atasnya. Ada bungkus-bungkus kondom tercecer di sudut ruangan.
Begitu Yanti sempurna mengunci kamar, saya segera melarangnya membuka pakaian. Dengan modus klasik penelitian sosial mahasiswa, saya meyakinkan perempuan berambut panjang itu bahwa saya hanya ingin mengobrol saja. Dengan polos dan tak ambil pusing, ia menyanggupi. Saya menyetel jam tangan, meminta waktu lima menit untuk menggali informasi.
Dengan lugas, Yanti menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Yanti bercita, ia sudah dua tahun menjalani profesi sebagai wanita penghibur. Ia beralasan, semua itu dilakukan untuk menghidupi keluarga, yakni suami dan dua anaknya. “Suami, saya larang kerja. Saya suruh urus anak. Anak saya kan yang satu masih sembilan bulan. Satu lagi enam tahun,” kata dia setengah berbisik.
Yanti lanjut bercerita, ia berasal dari Sampang, Madura. Yanti berkisah, ia memiliki empat orang adik. Dua di antaranya sudah menikah, sementara dua lagi masih masih lajang. Sementara itu, kata dia, kedua orang tua mereka sudah meniggal.
Menurut Yanti, dalam semalam, dia bisa melayani 15 hingga 20 laki-laki. Tarif Rp 40 ribu yang dia dapat, Rp 5 ribu disisihkan untuk sewa kamar kepada sang mucikari. Dari Yanti saya ketahui, warung tempat saya nongkrong itu adalah ‘kantor’ sang mucikari. Itu kenapa, sebelumnya kami lihat, Yanti dan teman-temannya masuk ke warung sehabis ‘transaksi’.
Dalam semalam, menurut Yanti, penghasilannya berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu. Meski demikian, pendapatannya sesekali lebih kecil atau juga lebih besar dari itu. Menurut Yanti, PSK yang mangkal di Kampung Baru ada sekitar 100 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah, utamanya di Jawa Timur. Ia membenarkan, karena Dolly dan Jarak ditutup, ada sebagian yang pindah ke sana.
Seperti pengakuan Rani, Yanti juga membenarkan, banyak pria yang datang adalah para pemancing dari seberang kali. “Iya, ada. Banyaknya malam. Tapi siang juga kadang-kadang ada,” kata Yanti.  
Soal penyakit kelamin, Yanti mengaku tidak terlalu khawatir. Pasalnya, ia menjelaskan, selalu ada petugas kesehatan yang rutin memask kondom gratis. “Terus, tiap bulan juga ada pemeriksaan rutin (kesehatan reproduksi),” kata dia.
Yanti menyampaikan, sementara ini, dia tidak menginginkan pekerjaan lain. Ia mengaku pernah mencoba beberapa pekerjaan ‘normal’, tapi penghasilannya tidak bisa diandalkan untuk keluarga. Dengan menyandang status menikah, Yanti menambahkan, ia relatif lebih aman dari razia Satpol PP.
Yanti menjelaskan, kalau tidak tidak memiliki identitas jelas, PSK yang terjaring razia biasanya diberikan program pembinaan satu hingga dua bulan. “Kalau punya KTP, KK, atu buku nikah, paling cuma seminggu (dibina). Saya pernah kena (tertangkap) satu kali,” kata dia.
Usia lima menit waktu yang saya minta, saya menyudahi pertanyaan saya. Saya serahkan uang Rp 50 ribu dan memintanya tak perlu mengembalikan sisa Rp 10 ribu. Lima menit percakapan kami di ruang pengap itu membuat perut saya mual. Segera saya hirup udara dalam-dalam begitu keluar dari barak cinta itu.  
Keberadaan lokalisasi di pinggir kali itu lebih jauh menghadirkan permenungan bagi saya. Kerja keras Wali Kota Tri Rismaharini ‘membersihkan’ kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak, agaknya belum menjadi akhir riwayat bisnis prostitusi di Surabaya. Selain di Kampung Baru Kali Jagir, dikabarkan, sejumlah lokalisasi minor yang tersebar di sudut-sudut kota juga menjadi pelarian para PSK eks-Dolly dan Jarak.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Januari 2015 

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 2 Comments