Jawa dalam Peta Teh Dunia


Foto: paryastrayudi.blogspot.com
Membicarakan kolonialisme Bangsa Belanda di Nusantara tak mesti melulu tentang penderitaan rakyat. Banyak cerita menarik bisa ditelusuri dari catatan sejarah Belanda di tanah yang sekarang bernama Indonesia ini. Salah satu tema asyik untuk diperbincangkan adalah soal teh.
Dari seorang peminat sekaligus penulis tentang teh, Prawoto Indarto, saya menelusuri cerita mengenai seluk-beluk teh di masa Hindia Belanda. Suatu sore di akhir Mei 2014, pria 50 tahunan yang akrab disapa Pak In itu mengundang saya dan beberapa kawan minum teh di kedai Siang Ming Tea. Konon, kedai teh itu merupakan yang pertama di Jakarta. Ditemani sang pemilik kedai, Suwarni Widjaja, Indarto berbagi cerita dengan antusias.

Dia mengisahkan, sebelum abad ke-17, teh hanya dikenal di Asia Timur, terutama Tiongkok dan Jepang. Pada tahap selanjutnya, teh mulai dikenal dan digemari bangsawan di darata Eropa. Melihat prospek bisnis yang bagus, tahun 1610, Belanda memelopori perdagangan teh di Eropa hingga Amerika Serikat. “Mereka mengangkut teh dari China, lalu mengapalkannya melalui Jawa, dari pelabuhan Banten,” ujar pria beruban itu.

Beberapa puluh tahun, menurut Indarto, Belanda mendominasi pedagangan teh di Eropa. Namun, kata dia, monopoli Belanda kemudian menghadapi rintangan ketika Inggris yang mengoloni Tiongkok mendapat hak monopoli perniagaan teh. Hal tersebut mendorong Belanda untuk membuka perkebunan teh sendiri. 

Sejak akhir abad ke-18, Belanda mulai melakukan percobaan menam teh di Tanah Jawa. Setelah menemui beberapa kali kegagalan, sekitar tahun 1827, Belanda sukses membudidayakan teh di Pulau Jawa, persisnya di daerah Wanayasa (Purwkarta) dan Raung (Banyuwangi).

Diceritakan Indarto, produksi masif teh di Pulau Jawa berlangsung semasa kekuasaan Gubernur Jenderal van De Bosch (1830-1870). Melalui politik tanam paksa (culture stelsel), teh menjadi salah satu komoditi wajib yang musti ditanam rakyat.  Tahun 1833, 1,7 juta pokok teh berhasil di tanam di Jawa dan Sumatra. Pada 1835, 200 peti teh asli Pulau Jawa untuk pertama kali memasuki pasar Eropa dan diikutkan pada pelelangan di Amsterdam.

Dia melanjutkan, dalam tahap selanjutnya, teh asal Pulau Jawa menjadi salah satu komoditas besar di Eropa, selain teh dari perkebunan Tiongkok dan Jepang. Produksi teh Nusantara, khususnya Jawa, mulai menurun pascanasionalisasi perkebunan-perkebunan teh oleh pemerintah Indonesia di era kemerdekaan.

Menurut Indarto, posisi Indonesia hari ini terus merosot dalam peringkat negera eksportir teh. Tahun 2013, Indonesia hanya berada pada posisi ke delapan negara pengekspor teh terbesar.  Indarto merasa prihatin, prestasi teh Jawa yang pernah menjadi pemain penting di dunia masa Hindia Belanda tidak mampu diteruskan bangsa Indonesia pascakemerdekaan. 

Belakangan, dia mendengar pemerintah mengalami kerugian dalam bisnis teh dan berencana melakukan alih fungsi lahan besar-besaran. “Jadi kita cuma maju tahunnya aja, prestasinya enggak. Ini gimana, coba?” Seloroh pria humoris itu. 


Sejumput Keakraban di Kedai Teh

Foto: Catur Guna/wisataseru.com
Setiba di Mangga Dua Squere, Jakarta Utara, berbegas saya memacu langkah. Jarum arloji menunjukan saya bakal sedikit terlambat tiba di pertemuan itu. Menyibak hiruk-pikuk pusat perbelanjaan, setelah menanyai satu-dua orang, saya temukan juga tempat yang dicari: kedai teh Siang Ming Tea.

Diskusi kecil tentang teh tampaknya sudah berlangsung. Kedatangan saya sejenak memotong percakapan mereka. Duduk melingkari meja kayu, hadir di sana Prawoto Indarto atau akrab disapa Pak In, seorang pencinta dan dokumentator teh, ada Ibu Suwarni Widjaja, pemilik kedai, serta dua rekan lainnya. Atas undangan Pak In dan Bu Suwarni, sore pada akhir Mei 2014, saya hadir di sana.

Bu Suwarni menuangkan untuk saya teh pada cangkir keramik seukuran sloki. Semua dia lakukan dengan gerakan yang lembut. Alih-alih mengikuti percakapan, perabotan minum teh yang ada di meja justeru lebih menyita perhatian saya. Dua buah poci diletakan pada alas kayu berceruk. Satu poci terbuat dari keramik, yang lainnya terbuat dari tanah liat. Kayu berceruk itu memiliki saluran pembuangan di salah satu sudutnya. Saluran itu mengalirkan tumpahan teh melalui selang ke guci keramik yang diletakan di bawah meja.

Setiap kali kami meneguk teh yang terhidang dalam cangkir, Bu Suwarni mengisi lagi cangkir tersebut. Cerita Pak In yang ahli sejarah teh itu begitu menarik. Dialah juru cerita sore itu. Setelah merampungkan beberapa buku tentang teh, mantan praktisi industri periklanan itu mengabarkan tengah menyiapkan buku khusus tentang Boscha, saudagar teh Belanda yang dianggapnya berdedikasi terhadap pembangunan masyarakat dan ilmu pengetahuan pada zaman itu.

Melalaui komputer jinjingnya, Pak In lalu mengajak kami menonton film dokumenter teh yang menjadi koleksi terbarunya. “Ini film dibuat tahun 1835 oleh seorang sutradara Hollywood. Di situ digambarkan perkebunan Malabar di Pangalengan yang dibangun Bosscha, dari mulai proses pembukaann hutan, produksi hingga pengapalan teh Jawa ke seluruh dunia,” ujar Pak In sambil terpaku ke layar komputer, mencari berkas film yang dia maksud.

Kedai Siang Ming Tea, tempat saya bernicang-bicang itu berukuran memanjang sekitar 8 x 4 meter per segi. Desainnya bergaya minimalis, dengan dominasi warna-warna teduh. Sejumlah meja-kursi tertata dengan cantik. Sementara pada dindingnya, tergantung hiasan-hiasan kaligrafi aksara China. Dua orang pramusaji melayani beberapa pengunjung yang datang.

Puas ‘menginterogasi’ Pak In, tanpa menyia-nyiakan waktu kami mengajak Bu Suwarni ke meja yang lain untuk menggali informasi tentang kedai yang dia kelola itu. Perempuan keturunan Tionghoa itu berbagi cerita dengan senang hati. Kata dia, salah satu motivasi besar yang mendorong kecintaannya terhadap teh adalah rasa sedihnya ditinggal sang ayah yang wafat di usia muda. Dia percaya, teh adalah jalan ampuh untuk menjaga kesehatan dan ketenangan jiwa.

Tahun 1995, dia mendirikan Siang Ming Tea, yang sekaligus merupakan kedai teh pertama di Jakarta ketika itu. Sempat hadir di bebera tempat, usahanya turut terimbas kerusuhan berbau rasial pada 1998. Beberapa kedai dia tutup. Kini, tinggal tiga kedai tersisa. Selain di Mangga Dua Squere, dua lagi dengan ukuran yang lebih kecil ada di Mal Kelapa Gading dan Mal gandaria.

Bagi Suwarni, yang juga seorang pengajar tatakrama perjamuan teh ala China dan Jepang, teh bukan lagi sekedar minuman. Bagi dia, teh adalah bagian dari jalan menyempurnakan hidup. “Dalam teh kita diajarkan perdamaian dan harmoni. Sehingga seorang peminum teh umumnya bersikap santun dan terpelajar. Itulah kenapa, seorang peminum teh akan merasakan kemudahan dalam pergaulan, katakanlah dalam urusan bisnis,” ujar dia.

Sempat kami tertegun ketika ibu yang tampil cantik dan anggun itu mengaku usianya sudah lebih dari 50 tahun. Lalu dari Pak In, kami diberi tahu bahwa dia sudah punya cucu. Suwarni begitu percaya, teh adalah obat yang mujarab untuk menjaga kesehatan.”Teh hitam pu erh, misalnya, baik untuk menekan kolesterol. Kalau teh hijau, itu sebagai antioksidan,” ujar, menceritakan berbagai macam jenis the dan khasiatnya.

Kedai Siang Ming Tea tak hanya menyajikan teh, tapi juga sejumlah hidangan, seperti mi kuah. Kata Suwarni, makanan itu hanya pendamping saja. Selebihnya, dia ingin teh yang dominan. Untuk satu kali minum teh, lengkap dengan perabotan dan mendapat pengarahan, Siang Ming Tea memasang tarif Rp 30 ribu hingga 75 ribu. Untuk harga tersebut, pengunjung sudah bisa mencicipi teh hitam Pu Erh dengan usia penyimpanan minimal 5 tahun.

Bukan sekedar pebisnis kedai teh, terlihat memang Suwarni adalah seorang pencinta teh. Pada sebuah etalase di kedainya, dia memejang koleksi poci-poci teh unik. Di bagian belakang, tertata juga berbagai jenis teh dalam berbagai kemasan. Dua koleksi langka miliknya, teh pu erh produksi 1945 dan mangkuk teh peninggalan Dinasti Sung abad pertengahan tidak pernah berencana dia jual. “Saya berharap, mudah-mudahan suatu hari saya punya museum untuk menyimpan benda-benda itu,” ujar dia. 

Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply