40 Tahun Memilin Keretek

Foto: Elyvia Inayah
Suatu hari di tahun 1976, seorang gadis 17 tahun larut dalam kegembiraan. Remaja belia yang hanya lulus madrasah itu diterima bekerja di pabrik Gudang Garam, Kediri, Jawa Timur. Itulah awal kisahnya menjadi buruh pemilin rokok keretek. Gadis lajang itu bernama Mahmuda.
Hampir 40 tahun berlalu, berbagai perubahan terjadi dalam hidupnya. Kini dia adalah nenek dengan tiga anak dan sejumlah cucu. Beberapa hari yang lalu, nenek Mahmuda mendapat uang Rp 57 juta dari pabrik tempat dia bekerja.

Bersama ribuan ibu lainnya, dia memutuskan menerima tawaran pensiun dini dari perusahaan. Meski begitu, rupanya uang bukan semata-mata alasan dia ingin berhenti bekerja. Sejak dua bulan yang lalu, nenek Mahmuda sudah tidak mampu lagi bekerja setelah kaki kirinya bengkak dan memborok karena diabetes.

Nenek berpenampilan sederhana itu terseok-seok menyeret langkahnya ketika saya berkunjung ke rumahnya di Desa Karangrejo, Kediri, Ahad (12/10). Didampingi sang suami, Muhamad Chalim (55), Mahmuda tak sungkan berbagi cerita.

Menurut Mahmuda, uang Rp 57 juta yang dia terima adalah akumulasi pesangon, bonus dan klaim Jamsostek. Meski begitu, dia mengaku tak tahu bagaimana perhitungan dan perinciannya. Uang itu kini dia simpan di rekening bank. Dia mengaku tak tergoda untuk berinvestasi untuk usaha apapun. Alasannya, uang itu untuk bekal hidup dia di hari tua.

Mahmuda pun sadar betul, uang yang tak banyak itu sewaktu-waktu bisa saja habis seketika. “Bisa saja saya masuk rumah sakit, atau anak atau saudara tiba-tiba mendapat musibah,” ujar dia. Nenek Mahmuda dan Chalim tinggal di rumah tua yang sudah mereka tinggali sejak 1980. Meski terbilang luas, rumah berdinding lapuk itu seperti tak terurus dan berdebu. Dua dari tiga anak lelaki mereka masih tinggal menumpang di sana. Satu sudah berkeluarga, satu lagi masih membujang.   

Sepanjang mengabdi di PT Gudang Garam, Tbk., Nenek Mahmuda mengaku telah mengalami berbagai lika-liku perjalanan perusahaan. Tahun 90-an dianggapnya sebagai masa keemasan industri rokok keretek. Waktu itu, setiap hari dia bahkan sempat bekerja dari pukul 04.00 subuh hingga pukul 02.00 dini hari. Itu lantaran larisnya merek-merek keretek Gudang Garam di pasaran.

Beberapa tahun terakhir, Mahmuda merasakan betul menyusutnya konsumen rokok keretek. Dalam beberapa tahun belakangan pula dia hanya bekerja beberapa jam saja, dari pukul 06.00 hingga pukul 09.30. Upahnya, tak lebih dari Rp 20 ribu sehari.   Mahmuda mendengar, itulah alasan yang melatarbelakangi kebijakan pensiun dini besar-besaran di pabrik Gudang Garam. “Orang muda sekarang kan rokonya filter, semakin jarang yang mau keretek, kayak anak-anak saya juga rokoknya keretek,” ujar dia.

Namun begitu, Mahmuda tak benar-benar percaya jika perusahaan beralasan merugi. Menrurut dia, yang menurun penjualannya hanya rokok keretek, sementara rokok-rokok filter yang diproduksi mesin terus digenjot dan mereknya semakin banyak.

Kini, hampir dua bulan Nenek Mahmuda berhenti dari rutinitasnya memilin batang-batang rokok di pabrik. Selain menahan nyeri di kaki kirinya, dia juga memendam kesepian karena terpisah dari teman-teman yang telah puluhan tahun bekerja bersama-sama. “Kadang saya kangen ngumpul-ngumpul hiburan sama teman-teman,” kata dia lirih.

Adik Mahmuda, Sri (50) tidak seberuntung kakanya. Juga karena sakit, yakni darah tinggi, Sri yang juga hampir 40 tahun menjadi buruh Gudang Garam mengambil kesempatan pensiun dini tahun 2013 lalu. Tak seperti tahun ini, tahun lalu dia tak mendapatkan bonus. Hanya Rp 30 juta saja yang dia terima.

Hanya berselang beberapa bulan, Sri mengaku uang itu ludes untuk membayar utang ke sana-sini. Kini, Sri yang masih memiliki tanggungan anak lajang dan satu anak sekolah membantu-bantu suami bekerja serabutan. “Kalau ada, saya ikut kerja ngupas-ngupas buah. Ada nanas, salak, banyak. Itu, lho, Mas, buat saus tembakau,” ujar dia.

Mahmuda dan Sri adalah dua dari ribuan pekerja yang memilih pensiun dini atau dipensiunkan karena sudah berakhir masa kerja mereka. Sejak 2013, PT Gudang Garam, Tbk. merayu ribuan kariawannya untuk mengambil kesempatan pensiun dini.

Kepala Bagian Humas PT Gudang Garam Tbk. Iwhan Tricahyono menjelaskan, untuk kebijakan pensiun dini tahun ini, tercatat sudah lebih dari 4 ribu orang mendaftar. “Kami tidak ada target jumlah, kami tidak memaksa dan tidak ada sanksi. Kami menawarkan kesempatan ini untuk mengantisipasi situasi yang lebih buruk karena lesunya bisnis rokok ke depan,” ujar Iwhan dikonfirmasi.

Iwan mengklaim, berbagai regulasi yang diterbitkan pemerintah, seperti pembatasan sarana promosi dan penyertaan peringatan bergambar dalam kemasan rokok sedikit banyak memengaruhi penjualan. Meski begitu, dia mengaku belum memiliki data sebesar apa penurunan penjualan yang dialami perusahaannya.

Cat.: Tulisan ini pernah terbit di Harian Republika, 14 Oktober 2014. 

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Rumah Munir, Sepuluh Tahun Setelah Dia Pergi


Foto: Andi Nurroni
Ahad, 7 September 2014, rumah dua lantai di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu, Jawa Timur, mendadak riuh. Tenda, kursi, serta panggung tertata di halaman bak dekorasi pesta perkawinan. Tapi orang-orang di sekitar tahu belaka itu bukan perayaan pernikahan.
Rumah tua di pinggir jalan itu milik Munir Said Thalib, pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang kini sudah almarhum. Sepuluh tahun lalu, 7 September 2004, pria kelahiran Malang 1965 itu ditemukan tak bernyawa dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam.

Pada 7 September tahun ini, persis satu dekade dia berpulang. Para pegiat HAM, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa dan banyak kalangan lainnya memperingati hari bersejarah tersebut. Di Kota Batu, kawasan wisata berhawa sejuk dekat Kabupaten Malang, peringatan berlangsung di rumah Munir.

Rumah tua itu tak lagi menjadi hunian sejak Istri Munir, Suciwati, merelakannya menjadi ruang publik pada Desember 2013. Rumah itu kini bernama Omah Munir. Sebuah museum kecil bertema HAM yang secara khusus didedikasikan mengenang sosok dan pemikiran Munir.

‘Omah’ dalam bahasa Jawa berarti rumah.  “Kalau namanya museum terkesannya tua dan dingin. Kalau ‘omah’ itu kan jadi terasa seperti tempat tinggal yang hidup,” ujar Nong Darol Mahmada, salah satu pentolan relawan.

Omah Munir menyajikan berbagai informasi tentang Munir dan isu HAM di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan Munir.  Sosok Munir, ditampilkan dalam berbagai media. Ada sejumlah panel poster berisi info grafik, foto, patung, serta video. Selain itu, dipajang juga berbagai benda memorabilia, dari mulai sepatu, jam tangan, hingga rompi antipeluru.

Dibandingkan peringatan serupa di sejumlah kota, baik di dalam maupun luar negeri, acara menganang satu dekade Munir di kediamannya terbilang istimewa. Cukup banyak pesohor dari Jakarta menyempatkan hadir. Sebut saja budayawan Butet Kertaradjasa, duet sineas Riri Riza dan Mira Lesmana, penyanyi Glenn Fredly, komika Ernest Prakasa dan kawan-kawan, serta sejumlah wajah layar kaca lainnya.

“Munir Ada dan Berlipat Ganda” begitu bunyi tema kegiatan tersebut, seperti tertulis dalam spanduk yang menjadi latar panggung. “Jika Anda bertanya siapa itu Munir, pulang dan bercerminlah. Anda adalah Munir. Anda yang memperuangkan kehidupan adalah Munir,” ujar Vincent, pegiat HAM yang didaulat mencjadi pemandu acara.

Kampanye “melawan lupa” yang terus digaungkan rekan-rekan Munir dan para pegiat HAM di Tanah Air terbukti tak sia-sia. Di salah satu sudut di Omah Munir, saya bertemu Zeze dan Bai. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, kampus almamater Munir.

Sebelum berkuliah, Zeze mengaku tak mengenal sama sekali Munir. “Pertama kali tahu Munir itu tahun 2012. Waktu itu banyak mahasiswa berdemonstrasi di jalan. Oh, baru saya tahu, mereka memperingati meninggalnya Munir,” ujar dia.

Sejak tahu tentang Munir, Zeze tak lantas menjadi aktivis atau demonstran. Dia malah mengaku tidak terlalu simpatik dengan demonstrasi. Zeze tetap hanya mahasiswa biasa yang belajar, pulang dan main bersama kawan-kawannya.

Meski begitu, perempuan berkerudung itu mengaku, sosok Munir adalah teladan yang bisa menjadi contoh. “Ya, kita harus peduli sama sesama. Misal kalau teman saya perlu bantuan, saya akan mengusahakan untuk membantu,” ujar dia sambil melirik kawannya yang menyungging senyum.

Pendapat lebih ‘politis’ diutarakan Fajar (24). Fajar adalah salah seorang komika asal Malang yang tampil menghibur hadirin dengan lelucon bermuatan isu politik dan HAM. Bagi Fajar, Munir mengajarkan satu pesan, bahwa HAM adalah mutlak menjadi milik setiap orang. “Tapi harus ingat, hak orang lain adalah batasan dari hak kita,” ujar dia.

Ahad sore itu, Omah Munir didominasi wajah muda-mudi. Jumlahnya ratusan, hingga meleber tak tertampung kursi dan tenda. Di dalam, museum kecil Omah Munir juga disesaki pengunjung. Sebagian sibuk mengambil gambar berlatarbelakang replika, patung dan foto-foto Munir.

Beruntunglah mereka. Generasi muda yang telah berkenalan dengan sosok dan pemikiran Munir. Merekalah adalah tunas-tunas Munir yang kini tersebar di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, Suciwati, pejuang HAM yang juga istri almarhum Munir, tampak sibuk hilir-mudik menyapa orang-orang. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan begitu melihat Ibu dua anak itu lepas dari kerumunan orang.

Singkat saja Suciwati memberi komentar. Seperti biasa, air wajahnya selalu emosional jika diminta berpendapat soal tragedi yang merengggut suaminya. “Boleh saja pemerintah tidak peduli, tapi masih banyak rakyat yang akan menyuarakan ini. Tak hanya di di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Kami akan menagih sampai kapanpun,” ujar dia.  

Cat.: Tulisan ini pernah terbit di Harian Republika, 8 September 2014. 


POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Adu Gendut Sapi di Situbondo

Foto: Totok Tugas
Namanya Bagong. Meski baru berusia tiga tahun, berat tubuhnya sudah mencapai 1,1 ton. Harap dimaklum, Bagong adalah sapi hasil persilangan jenis Limosin dan Simental. Kamis siang, 11 September 2014, Bagong diarak berkeliling lapangan alun-alun Besuki, Situbondo, Jawa Timur. Membawa badan yang tambun, Bagong terlihat kepayahan melangkahkan kaki.
Bagong adalah jenis sapi jantan pedaging. Pada 2013 lalu, dia meraih juara pertama sapi tergemuk se-Jawa Timur. Namun, apa arti menjadi juara Bagong pastinya tak paham. Suroso-lah, orang yang paling bergembira atas kemenangan Bagong. Selain mendapat kebanggaan dan gengsi, pria 47 tahun itu menerima uang hadiah sebesar Rp 15 juta.

Dituntun Suroso, Bagong ibarat pragawati di lintasan catwalk yang menjadi pusat perhatian. Punggungnya yang lebar ditutupi selembar kain berwarna ungu. Tak ubahnya selendang yang dikenakan puteri sejagat, tertulis pada kain tersebut tanda kemenangan: "Juara 1 Tingkat Jawa Timur 2013". Ratusan pasang mata mengikuti dia melenggak-lenggok, termasuk Bupati Situbondo Dadang Wigiarto.

Selain Dadang, turut menyaksikan juga Atase Perdagangan Jepang untuk Indonesia Horyu Matsuzaki dan pengusaha tambang Dody Iwa Kusumanjaya. Dua orang tersebut berperan sebagai promotor investasi di Situbondo. 

Siang itu, Bagong rupanya tidak ikut berlomba. Kelas Bagong dianggap sudah level provinsi. Dia hanya didaulat menjadi bintang. Ketika saya jumpai di tenda peristirahatannya, Bagong terlihat gelisah. Sesekali dia membentur-benturkan tanduknya ke tiang bambu. "Kalau banyak orang dia stres," ujar Suroso yang merupakan warga RT 16/RT 03, Desa Wonorejo, Kec. Banyuputih, Situbondo.

Suroso yang sehari-hari berternak menceritakan, dalam beberapa bulan ke depan, Bagong akan dia jual. Maklum saja, sapi pedaging seusia Bagong memang waktunya untuk dilego. Menimbang bobotnya, kata Suroso, Bagong akan dihargai sekitar Rp 40 juta di rumah potong. Meski bertubuh lebih besar dari sapi pada umumnya, Suroso mengaku tak ada yang istimewa dalam cara dia memperlakukan Bagong.

Di Situbondo dan daerah sekitanya, kontes adu gendut sapi sering di lakukan. Jawa Timur memang dikenal sebagai penyuplai sapi nomor satu di Indonesia. Sapi-sapi tersebut di antaranya dikirim dari Situbondo. Di Situbondo, memelihara sapi menjadi budaya turun-temurun. Bupati Situbondo Dadang Wigiarto menceritakan, di Situbondo, sapi berkembang dalam populasi besar dan menjadi penopang perekonomian.

Menurut Dadang, populasi sapi terus meningkat, meskipun tak pernah ada program masif dari pemerintah, serta tak ada juga peternakan-peternakan besar seperti di luar negeri. "Itu artinya memlihara sapi memang sudah menjadi budaya masyarakat Situbondo," kata Dadang. Dokter Hewan Etty Nurhayati, panitia kontes dari Dinas Kesehatan Situbono, berpendapat, tradisi memelihara sapi di bawah oleh para perantau dari Pulau Madura.

Memang, di Situbondo dan sekitarnya, warga keturunan Madura mendominasi. Sehari-hari, sebagian besar masyarakat Situbondo berkomunikasi dalam Bahasa Madura. "Masyarakat Situbondo sangat bersahabat dengan sapi. Mereka bahkan  rela rumahnya berdampingan dengan kandang sapi," ujar Etty.

Sejatinya, kontes hari itu tidak hanya sapi, melainkan juga hewan ternak lain, yakni kerbau, domba, dan kambing. Menurut Etty, kontes hewan ternak sudah kali ke enam digelar di Situbondo. Terdapat 12 kategori yang diperlombakan. Sementara peserta mewakili 17 kecamatan yang ada di Situbondo. Bupati Situbondo Dadang Wigiarto menyampaikan, Situbondo kaya dengan potensi ekonomi. Untuk itu, dia berharap, akan banyak investor yang tertarik menanamkan modal di Kota Santri tersebut. 

Cat.: Tulisan ini pernah terbit di Harian Republika, 17 September 2014. 

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments