‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya

Gambar Pintu Air Jagir, diambil dari sisi lokalisasi. Foto: Andi Nurroni 
Memancing, bagi sebagian orang adalah hiburan untuk melepaskan kepentatan. Bagi sebagian lainnya, memancing menjadi sumber mata pencaharian. Namun di Surabaya, memancing rupanya bisa juga menjadi modus prostitusi.

Hal itu terjadi di bantaran Kali Jagir, di sekitar Pintu Air Jagir. Sejak lama, kawasan Pintu Air Jagir memang dikenal sebagai tempat pemancingan. Tak peduli pagi, siang atau malam, banyak para bapak bertengger di tepian kali untuk mengail macam-macam ikan. Ada lele, patin, mujair dan masih banyak lagi.
Cerita tentang dunia memancing para bapak hidung belang mula-mula saya dapat dari seorang ibu penjaga warung kopi di sekitar Pintu Air Jagir. Ahad, 8 Januari 2015, saya datang ke lokasi untuk meliput aktivitas para pemancing. Itu sebelum perhatian saya teralihkan oleh cerita si ibu penjaga warung.
Kata si Ibu, selain banyak yang benar-benar memancing, ada juga yang pura-pura memancing alias ‘mancing plus-plus’. “Ya, bilangnya ke istri mau mancing, padahal mau mancing duyung bergincu di sebrang kali…,” ujar dia seraya tersenyum.
Bagi sebagian lelaki, memancing di Kali Jagir rupanya menjadi siasat mengelabui pasangan. Mendapat ikan atau tidak itu urusan nomor dua. Hal terpenting dan lebih menghibur bagi merka adalah pergi main ke seberang kali, ke tempat prostitusi murah-meriah. Oleh orang sekitar, tempat itu disebut Kampung Baru.
Menuju Kampung Baru, para pemancing dari tepian selatan Kali Jagir bisa berjalan melintasi pintu air yang memotong sungai, serupa jembatan. Bagi pengunjung yang tidak menggunakan modus memancing, mereka bisa langsung berkelok dari Jalan Ngagel di sebelah barat atau dari Jalan Raya Nginden di sebelah timur.
Cerita ibu warung tentang para pemancing hidung belang terbukti bukan isapan jempol. Selepas tengah hari, saya membuktikan sendiri kebenaran informasi tersebut. Masuk dari dari sisi selatan sungai, saya berjalan melintasi pintu air menuju tepian kali.
Pintu Air Jagir merupakan bangunan peninggalan Belanda yang dibuat pada 1917. Hingga kini, fasilitas pengendali air tersbut masih berfungsi baik mengatur debit air, entah untuk mencegah banjir ataupun menjaga pasokan air baku ke PDAM setempat.
Ketika saya datang, Pintu Air Jagir cukup ramai dengan manusia. Tempat itu agaknya menjadi persinggahan dan naungan bagi banyak orang. Mulai dari penjual alat-alat memancing, tukang beca, pemulung, hingga para pencari ikan sendiri.
Atmosfer prostitusi mulai terasa ketika seorang perempuan bercalana mini dan berkaus singlet melintas di sekitar saya. Perempuan berusia 35-an tahun itu mengerlingkan matanya kepada saya sambil memainkan alis sebagai isyarat. Aih, Saya hanya sanggup tersenyum lalu melemparkan pandang ke arah lain.
Dari Mbah Min (bukan nama sebenarnya), saya menggali cerita lebih dalam. Mbah Min adalah seorang pemulung yang mengumpulkan sampah-sampah sungai di Pintu Air Jagir. Sehari-hari, kakek 65 tahun itu tidur di sana, di atas becak yang kini sudah tak kuat lagi dia tarik.
Mbah Min mengaku sudah 40 tahun hidup di sekitar Pintu Air Jagir. Bermodalkan segelas kopi, saya menggoda dia dengan berbagai pertanyaan. Kakek kurus itu membenarkan, memang banyak pemancing nakal yang sering berkunjung ke Kampung Baru di seberang sungai sana, terutama di malam hari.
Bahkan, menurut dia, pernah kejadian seorang pemancing dicari-cari istrinya. “Dia bilang sama istrinya mau mancing, terus sama istrinya dicari ke kali, dianya ndak ada. Ya, ke situ,” ujar Mbah Min sambil menudingkan dagunya ke lokasi prostitusi di seberang kali.
Menurut Mbah Min, prostitusi di kampung pinggir Kali Jagir sudah lama ada. Sayang, dia kesulitan mengingat kapan persisnya lokalisasi itu ada. Modus ‘mancing plus-plus’ pun menurut dia sudah berlangsung lama. Jika benar cerita kakek beruban itu, desas-desus ‘mancing plus-plus’ hanya bergulir di komunitas sekitar Pintu Air Jagir.
Hal lucu lainnya, Mbah Min bercerita. Para pemancing nakal itu tidak benar-benar peduli mendapat ikan atau tidak. Karena, menurut Mbah Min, ikan bisa dibeli dari sesama pemancing atau dari nelayan sungai yang biasa menjerat ikan dengan jaring. Hal itu, menurut dia, banyak dilakukan para pemancing hidung belang.
Cerita lebih sahih saya dapat dari Rani (bukan nama asli), seorang PSK yang sedang beristirahat di bawah pilar beton Pintu Air Jagir. Perempuan kurus berpenampilan lusuh itu tampak masih linglung karena baru terbangun dari tidur siangnya. Ketika saya datang sebelumnya, dia masih terbaring pulas di atas beton berlas karpet.
Perempuan 27 tahun itu datang mendekat ketika saya panggil sambil dengan mengacungkan cangkir kopi. Insting ‘berburu’-nya seperti langsung menyala merespon panggilan saya. Ia berjalan menghampiri saya dan Mbah Min. Ia menolak tawari kopi saya dengan gelengan kepala. “Saya mau yang dingin,” kata dia.  
Rani berjalan ke lapak penjual minuman, lalu datang kembali dengan segelas minuman suplemen. Kami duduk di lantai beton, sementara Mbah Min nangkring di atas becaknya. Setelah sedikit berbasa-basi, saya ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mulai menjurus pada pekerjaannya. Soal kisah para pemancing hidung belang itu, Rani membenarkan cerita tersebut.
Kata dia, di antara para pemancing nakal, ‘mancing plus-plus’ sudah menjadi rahasia umum. “Kadang pancingannya dititip sama temannya di pinggir kali, dianya pergi. Kadang ada juga yang dibawa (alat pancingnya),” ujar Rani polos.
Rani melanjutkan ceritanya, selain pemancing, pelanggan lokalisasi Kampung Baru umumnya adalah kelompok masyarakat pinggiran. Ia menyebut beberapa di antaranya, seperti penarik becak, tukang bangunan, kuli pasar. Namun begitu, menurut dia, di malam hari, banyak juga anak-anak muda, mulai daris anak SMA sampai mahasiswa.

Lebih Semarak di Malam Hari
Pintu Air Jagir pada malam hari. Foto: Andi Nurroni
Mengamati dari atas jembatan Pintu Air Jagir, saya melihat di sekitar pintu masuk kampung lokalisasi itu, banyak pria bersepeda motor berhenti. Satu-dua perempuan berpakaian ketat datang bergantian. Mereka melenggak-lenggok merayu pria-pria yang bertengger di atas sepeda motor itu. Para pria di sana sepertinya sedang memainkan modus melihat-lihat kali.
Penasaran dengan kehidupan Kampung Baru di siang hari, saya memutuskan menengok sendiri ke sana. Berjalan sekitar 200 meter menyusuri jalan tanah bergelombang di samping sungai, saya tiba di lokasi. Kampung Baru rupanya tak lebih dari perkampungan kumuh di pinggir sungai. Hunian-hunian sederhana itu berupa bedeng-bedeng tripleks yang berjejer membelakangi sungai. Sebagin bedeng di sana dihuni para pengumpul barang bekas.
Tempat lokalisasi di kampung kumuh tersebut berada di blok pertama. Masuk melewati gapura usang, saya mendapati belasan perempuan berbusana minim hilir-mudik di sana. Sekali saja saya bersitatap dengan mereka, perempuan-perempuan penghibur itu menggoda saya dengan kerlingan dan senyum nakal mereka.
Di lorong kampung pinggir kali itu, sepeda motor berejer ditunggui beberapa tukang parkir. Tak ingin terlihat canggung, saya ‘banting stir’ masuk ke warung. Saya lantas memesan sebungkus rokok putih—meskipun sebenarnya saya tak lagi merokok. Saya pesan juga secangkir kopi, mengikuti gaya para perokok pada umumnya.
“Habis ngamar, Mas?” Penjaga warung, perempuan tomboy bertopi, menyergap saya dengan pertanyaan dan tatapan menelisik. “Enggak, Mbak, belum,” jawab saya spontan dan sedikit gerogi.
Duduk di dipan kayu, dari dalam warung, saya menebar pandang ke luar melihat perempuan-perempuan penghibur itu hilir-mudik. Umumnya, mereka sudah berumur dan tak lagi langsing. Ada sejumlah lelaki datang, lalu memarkir sepeda motor mereka di depan warung. Sebagian lainnya tampaknya sudah beres dan pergi membawa sepeda motor mereka.
Seorang perempuan 40-an tahun mengenakan blus merah ketat datang menghampiri saya. “Hey,” ujar dia berbisik menggoda di depan saya. “Ayo,” kata dia sambil memasang wajah merayu dan memainkan alis matanya.
Berlaku seperti pria hidung belang umumnya, saya membalas godaanya. “Nanti, masih siang,” ujar saya. Dia lalu duduk di samping saya. Saya sodorkan bungkus rokok. Tak sungkan ia mencabut  satu batang, lalu menyulutnya. Perempuan dengan bedak tebal itu terus berjuang menggoda saya dengan bisikan-bisikan nakalnya. Tak ketinggalan, ia juga memasang wajah memelas.
Sesekali saja saya menjawab. Selebihnya, saya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, menolak rayuannya. Lama-lama, perempuan berlipstik merah tua itu tampaknya bosan. Dia pergi meninggalkan saya. Fuih, saya menghembuskan nafas lega.
Dari penjaga warung saya diberi tahu, perempuan-perempuan yang lebih muda akan lebih banyak pada malam hari. Hal itu persis seperti dugaan saya sebelumnya. Demi merekam lebih dalam lokalisasi pinggir kali itu, saya putuskan untuk kembali lagi di malam hari. Setelah membayar rokok dan jajanan, saya meninggalkan tempat itu.
Malam, sekitar pukul 09.00, saya kembali lagi ke Kampung Baru. Kali ini, saya tidak sendiri. Seorang teman, jurnalis media lokal di Surabaya, menemani saya. Dalam urusan seperti ini, teman saya yang satu itu lebih bisa diandalkan.
Suasana lokalisasi Kampung Baru di tepi Kali Jagir lebih semarak di malam hari. Jalan bergelombang di depan kampung, di sisi kali, lebih ramai dengan para lelaki yang bertengger di atas sepeda motor mereka. Tak ada penerangan sama sekali di sana, kecuali bias lampu dari Pintu Air Jagir yang sengaja disorot secara artistik di malam hari.
Pria-pria pemburu kenikmatan berjejer di keremangan malam. Sepeda-sepeda motor yang datang sengaja mematikan lampunya. Para pria itu agaknya bertahan di sana menunggu untuk digoda dan ditawari. Di malam hari, terbukti, lebih banyak wanita penghibur yang ‘bergerilya’. Sebagian memang terlihat lebih muda. Sebagian sisanya terlihat telah berusia.
Di jalan temaram pinggir kali itu, mereka bersaing menjerat rezeki yang dibawa para pria kesepian itu. Jika transaksi deal di jalan gelap itu, ‘pembeli’ dan ‘penjual’ berjalan menuju kampung untuk check-in. Malam itu, telah kami putuskan untuk mencoba peruntungan mewawancara PSK di dalam ‘bilik kerja’-nya. Untuk itu, kami harus terlebih dahulu negosiasi harga, lalu membiarkan mereka membawa kami ke kamar mereka.    
Memasuki gapura usang lokalisasi pinggir kali itu, pengunjung disambut tembang-tembang karoke. Di sudut lorong itu, ada satu anjungan dengan meja dan botol-botol bir. Di sanalah sejumlah pria bertampang garang bergantian bernyanyi. Rupa-rupanya lagunya, mulai dari tembang kenangan hingga lagu-lagu berlirik religi milik Rhoma Irama. “Itu mereka premannya,” ujar kawan saya berbisik di telinga.
Para perempuan penjaja cinta kilat terlihat duduk-duduk manis memamerkan paha dan lekuk tubuhnya di kanan kiri gang.  Rata-rata mereka mengenalan hotpants, rok mini, atau dress ketat. Kondisi di gang itu hanya lebih terang sedikit saja dibandingkan dengan di pinggir kali sana. Dalam keremangan itu, tak cukup jelas bagaimana rupa perempuan-perempuan pemuas libido itu.
Sebelum kami menyiasati terjadinya wawancara dengan mereka, terlebih dahulu saya dan teman duduk di warung kopi. Itu adalah warung yang sama, tempat saya duduk mengopi siang sebelumnya. Di gang tersebut, terdapat empat blok bedeng tripleks. Pertama, yang paling ujung adalah warung tempat kami duduk. Kedua, adalah bedeng memanjang, tempat transaksi seks dilakukan. Ketiga, itu agaknya salah satu tempat beristirahat pada PSK. Bedeng terakhir juga merupakan warung, yang berada persis di depan anjungan tempat karoke.
Duduk di warung kopi, saya menghitung, dalam rentang waktu 15 menit, 11 pasangan telah masuk ke barak cinta. Durasi pasangan itu berada di dalam tergolong singkat, antara 5 hingga 10 menit saja. Para pria yang masuk bermacam-macam. Kebanyakan berusia 30 hingga 50 tahun. Namun, ada juga satu yang terlihat sangat belia. Seusia anak SMA.
Cukup mengamati dan menghitung transaksi di sana, saya dan teman berjalan melihat-lihat lebih dekat para perempuan pemuas syahwat itu. Sementara teman saya yang berpengalaman itu dengan santai membuka percakapan dengan mereka, perasaan saya malam itu cukup deg-degan.
Namun itu tak berlangsung lama, sebelum akhirnya saya bisa membuat tawar-menawar dengan seorang perempuan muda. Yanti, kita panggil saja begitu perempuan 26 tahun tersebut. Yanti mengenaan hotpants jins dan kaos hitam ketat yang lengket melekat ditubuhnya yang subur. Dari Yanti, saya mengetahui harga regular kecan singkat di sana adalah Rp 40 ribu. Kami sepakat.
Harga tersebut tentunya bisa diturunkan para kupu-kupu malam yang sudah berumur atau yang merasa dirinya kurang memikat. Yanti berjakan lebih dahulu menuju barak cinta berdinding tripleks itu, sementara saya mengekor dari belakang. Rasa cemas identitas saya sebagai wartawan terbongkar dan ancaman preman-preman di depan berusaha saya atasi. Teman saya juga telah memilih targetnya dan siap ngamar.
Masuk ke barak cinta itu, mula-mula Yanti mengambil potongan kain dari dalam ember plastik. Dari teman saya, belakangan saya ketahui, kain itu dijadikan ganjal pintu tripleks yang tak bisa merekat begitu saja. Kain yang dijepit itu sekaligus menandai bahwa kamar berpenghuni.
Ada sembilan kamar saling berhadapan di barak tripleks itu. Jumlah kamar tidak genap sepuluh, karena ruang di pojokan sana, saya melihat difungsikan sebagai jamban untuk bersih-bersih. Ketika Yanti membuka salah satu kamar untuk saya, saya menghadapi ruangan berukuran sekitar 2 x 1 meter. Ruangan dengan cahaya redup itu beralaskan kasur lepek yang ditutupi tikar di atasnya. Ada bungkus-bungkus kondom tercecer di sudut ruangan.
Begitu Yanti sempurna mengunci kamar, saya segera melarangnya membuka pakaian. Dengan modus klasik penelitian sosial mahasiswa, saya meyakinkan perempuan berambut panjang itu bahwa saya hanya ingin mengobrol saja. Dengan polos dan tak ambil pusing, ia menyanggupi. Saya menyetel jam tangan, meminta waktu lima menit untuk menggali informasi.
Dengan lugas, Yanti menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Yanti bercita, ia sudah dua tahun menjalani profesi sebagai wanita penghibur. Ia beralasan, semua itu dilakukan untuk menghidupi keluarga, yakni suami dan dua anaknya. “Suami, saya larang kerja. Saya suruh urus anak. Anak saya kan yang satu masih sembilan bulan. Satu lagi enam tahun,” kata dia setengah berbisik.
Yanti lanjut bercerita, ia berasal dari Sampang, Madura. Yanti berkisah, ia memiliki empat orang adik. Dua di antaranya sudah menikah, sementara dua lagi masih masih lajang. Sementara itu, kata dia, kedua orang tua mereka sudah meniggal.
Menurut Yanti, dalam semalam, dia bisa melayani 15 hingga 20 laki-laki. Tarif Rp 40 ribu yang dia dapat, Rp 5 ribu disisihkan untuk sewa kamar kepada sang mucikari. Dari Yanti saya ketahui, warung tempat saya nongkrong itu adalah ‘kantor’ sang mucikari. Itu kenapa, sebelumnya kami lihat, Yanti dan teman-temannya masuk ke warung sehabis ‘transaksi’.
Dalam semalam, menurut Yanti, penghasilannya berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu. Meski demikian, pendapatannya sesekali lebih kecil atau juga lebih besar dari itu. Menurut Yanti, PSK yang mangkal di Kampung Baru ada sekitar 100 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah, utamanya di Jawa Timur. Ia membenarkan, karena Dolly dan Jarak ditutup, ada sebagian yang pindah ke sana.
Seperti pengakuan Rani, Yanti juga membenarkan, banyak pria yang datang adalah para pemancing dari seberang kali. “Iya, ada. Banyaknya malam. Tapi siang juga kadang-kadang ada,” kata Yanti.  
Soal penyakit kelamin, Yanti mengaku tidak terlalu khawatir. Pasalnya, ia menjelaskan, selalu ada petugas kesehatan yang rutin memask kondom gratis. “Terus, tiap bulan juga ada pemeriksaan rutin (kesehatan reproduksi),” kata dia.
Yanti menyampaikan, sementara ini, dia tidak menginginkan pekerjaan lain. Ia mengaku pernah mencoba beberapa pekerjaan ‘normal’, tapi penghasilannya tidak bisa diandalkan untuk keluarga. Dengan menyandang status menikah, Yanti menambahkan, ia relatif lebih aman dari razia Satpol PP.
Yanti menjelaskan, kalau tidak tidak memiliki identitas jelas, PSK yang terjaring razia biasanya diberikan program pembinaan satu hingga dua bulan. “Kalau punya KTP, KK, atu buku nikah, paling cuma seminggu (dibina). Saya pernah kena (tertangkap) satu kali,” kata dia.
Usia lima menit waktu yang saya minta, saya menyudahi pertanyaan saya. Saya serahkan uang Rp 50 ribu dan memintanya tak perlu mengembalikan sisa Rp 10 ribu. Lima menit percakapan kami di ruang pengap itu membuat perut saya mual. Segera saya hirup udara dalam-dalam begitu keluar dari barak cinta itu.  
Keberadaan lokalisasi di pinggir kali itu lebih jauh menghadirkan permenungan bagi saya. Kerja keras Wali Kota Tri Rismaharini ‘membersihkan’ kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak, agaknya belum menjadi akhir riwayat bisnis prostitusi di Surabaya. Selain di Kampung Baru Kali Jagir, dikabarkan, sejumlah lokalisasi minor yang tersebar di sudut-sudut kota juga menjadi pelarian para PSK eks-Dolly dan Jarak.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Januari 2015 

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 2 Comments

Pekerja Rumahan, Kemiskinan Tanpa Perhatian

Ilustrasi pekerja rumahan. Foto: Ulfah Rosyidah
“Pekerja rumahan” bisa jadi istilah yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal, mereka  adalah bagian yang sangat besar dalam kelompok masyarakat miskin di negeri ini. Pekerja rumahan bekerja dengan upah sangat rendah, tanpa kontrak, tanpa jam kerja, terlebih jaminan sosial. Mereka umumnya adalah kaum perempuan dari keluarga miskin.
Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan mendefinisikan, pekerja rumahan sebagai mereka yang bekerja di luar tempat pemberi kerja. Mereka banyak dijumpai, mulai dari lingkungan usaha yang sangat mikro hingga menjadi mata rantai dalam produksi industri besar. Selama ini, mereka dirayu dengan ungkapan “mengisi waktu luang di rumah”.
Keberadaan pekerja rumahan banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menekan ongkos produksi demi menggenjot pendapatan. Hal itu bisa terjadi karena relasi antara pemberi kerja dan pekerja rumahan tidak diatur dalam regulasi pemerintah dan tidak diawasi oleh pemerintah. Tah heran, para pemberi kerja bisa leluasa membayar pekerja rumahan seenaknya.
Pemilik usaha juga tidak usah repot memikirkan asuransi kesehatan, tunjangan hari raya serta tanggung jawab lainnya yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Karena tidak disatukan di dalam satu lingkungan kerja, pekerja rumahan juga tidak punya keleluasaan berserikat dan memperjuangkan nasib mereka. Itu adalah keuntungan lain bagi pemberi kerja, khususnya industri sekala besar.
Meskipun telah disebutkan dalam Konvensi ILO, Pemerintah Indonesia tidak mengakui secara resmi istilah pekerja rumahan. Tidak ada istilah tersebut dalam tabel statistik kependudukan atau ketenagakerjaan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Walhasil, jumlah pasti pekerja rumahan di Indonesia tidak diketahui.
Namun demikian, dari sejumlah klasifikasi ketenagakerjaan dalam laporan BPS, keberadaan dan jumlah merka bisa dipetakan.  Wakil Sekretaris Jenderal Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) Dardiri menggambarkan, berberdasarkan laporan BPS tahun 2013, angkatan kerja (15-64 tahun) Indonesia sebesar 118,20 juta jiwa atau 49,13 persen dari populasi.
Masih mengutip data BPS, dari jumlah angkatan kerja tersebut, menurut Dardiri, 110,8 juta orang atau 93,27 persen bekerja, sementara 8 juta sisanya atau 6,73 persen menganggur. Dari jumlah 93,27 persen yang bekerja, menurut Dardiri, 44,79 juta (37 persen) bekerja di sektor formal, sementara 66,1 juta (55,56 persen) bekerja di sektor informal.
"Pekerja rumahan adalah bagian besar dari pekerja informal tersebut," ujar Dardiri kepada Republika pertengahan Agustus 2015.
Ia lanjut menjelaskan, dari 66,1 juta total pekerja informal, BPS membagi lagi ke dalam lima kategori. Kategoti tersebut, pertama  adalah mereka yang berada di luar hubungan kerja atau "bekerja sendiri". Jumlah mereka mencapai 18,89 juta jiwa atau 16,89 persen dari total pekerja.
Sementara sisanya, 47,3 juta atau 42 persen dari total pekerja, merupakan pekerja informal yang berada dalam hubungan kerja, yang terbagi dalam empat kategori. Kategori tersebut adalah mereka yang "bekerja dengan dibantu buruh tetap/tidak dibayar" (18,66 juta/16.84 persen), "pekerja keluarga/tak dibayar" (17,62 juta/15,9 persen), "pekerja bebas di non-pertanian" (5,97 juta/5,39 persen) dan "pekerja bebas di pertanian" (5,05 juta/4,56 persen).
Menurut Daridiri, berdasarkan gambaran tersebut, posisi pekerja rumahan kurang-lebih berada pada kategori "pekerja bebas di non-pertanian" dan "pekerja keluarga/tak dibayar".  Berasarkan data BPS, ia menyimpulkan, jumlahnya mencapai 23,59 juta atau 21,29 persen. “Angka tersebut lebih besar dari jumlah pekerja formal,” ujar Dardiri menegaskan.
Berdasarkan data MWPRI, LSM berbasis di Malang yang fokus pada pendampingan pekerja rumahan, para pekerja rumahan berada di setiap kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia. Mereka, terutama berada di pinggiran kota dan sekitar sentra industri. Meski begitu, menurut Dardiri, kaum pekerja rumahan seperti tersembunyi dan jauh dari perhatian pemerintah.
Di Jawa Timur,  Dardiri menggambarkan, pekerja rumahan terlibat dalam produksi berbagai komoditas. Ia mencontohkan, di Malang, ada industri rumahan menganyam rotan untuk berbagai perabot rumah tanggga. Sehari, kata Dardiri, dengan bekerja sekitar delapan jam, mereka hanya mendapat 10 ribu rupiah.

Imbalan tersebut, menurut dia, tidak masuk akal. Apalagi jika mengingat risiko pekerjaan tersebut bagi kesehatan. Ia menggambarkan, bilah-bilah rotan sebelum diolah dipabrik dengan berbagai proses kimiwai, mulai dari penghalusan hingga proses memberian warna yang berisiko mengganggu sistem pernafasan dan kesehatan organ jika terpapar terus-menerus.
Dardiri melanjutkan, ada juga pekerja rumahan yang dipekerjakan menyulam hisan sepatu kain. Untuk sepasang sepatu, dengan waktu pengerjaan 6-7 jam, pekerja hanya mendapatkan Rp 7 ribu hingga Rp 8 ribu. “Sementara menyulam itu butuh konsentrasi dan berisiko merusak mata. Mereka tidak mendapatkan jaminan kesehatan,” ujar Dardiri.
Di Jember, menurut Dardiri, ada perajin tikar mendong yang hanya dibayar Rp 7-8 ribu per lembar. Sementara, butuh 2-3 hari menganyam satu lembar tikar. Di Mojokerto, menurut dia, ada pekerja rumahan penata kertas yang menerima pekerjakan dari perusahaan besar melalui tangan ketiga.
Sementara di Surabaya, ia lanjut mencontohkan, ada kelompok pekerja rumahan yang juga dipekerjakan pihak ketiga untuk memasok kebutuhan-kebutuhan perlengkapan hotel-hotel berbintang, mulai dari kemasan gula, the dan kopi hingga perlengkapan mandi. Baik pekerja rumahan penata kertas maupun pembuat kebutuhan hotel, menurut Dardiri, sama-sma diupah jauh dari layak.
Berkenaan dengan masalah pekerja rumahan, menurut Dardiri, MWPRI merupakan LSM yang pertama memiliki fokus secara khsus terhadap isu tersebut. Di Jawa Timur, sebagai basis kerja lembaga tersebut, Dardiri menceritakan, mereka melakukan pengorganisasian dan penguatan kapasitas para pekerja rumahan.
Ia merinci, saat ini mereka telah menginisiasi 70 kelompok di sembilan kabupaten/kota di Jawa Timur. Jaringan MWPRI tersebar di Kabupaten dan Kota Malang, Batu, Jember, Probolinggo, Surabaya, Sidoarjo, serta Kota dan Kabupaten Mojokerto. “Total ada sekitar 1800 pekerja rumahan. Satu kelompok 10-30 orang,” kata dia.
Di kelompok-kelompok itu, menurut Dardiri, pekerja rumahan diajarkan untuk melakukan negosiasi dengan pemberi kerja, seperti meminta kenaikan upah atau bantuan layanan kesehatan. Beberapa kelompok, menurut Dardiri sudah berhasil, meskipun hanya kenaikan upah Rp 250 hingga Rp 500 per satuan hasil kerja.
Selain mengorganisasikan pekerja rumahan, menurut Dardiri, kelompoknya juga terus membangun dialog dengan pemerintah maupun lembaga legeslatif untuk penyusunan regulasi yang mengatur pekerja rumahan.
Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur Agatha Retnosari sepakat, pekerja rumahan harus dinaungi oleh peraturan. Apalagi, menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan itu, Desember 2015 ini, Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA diberlakukan dan tenaga kerja asing siap menyerbu Indonesia.
“Kondisi pekerja rumahan sangat memprihatinkan. Mereka mayoritas adalah perempuan. Padahal kalau perempuan atau ibu tidak sejahtera, ia tidak bisa melahirkan generasi yang unggul. Belum lagi pekerja rumahan rawan memunculkan pekerja anak,” ujar Agatha.
Saat ini, menurut Agatha, meskipun belum masuk program legalisasi daerah (prolegda), soal isu pekerja rumahan sudah disepakati untuk dimasukan dalam Perda Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur yang sedang disipakan.
Peneliti Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya Dian Noeswantari tidak ragu menyebut praktik kerja rumahan adalah perbudakan modern. “Harusnya pemerintah bisa melindungi mereka dan menjamin terpenuhinya hak normarif mereka, termasuk hak atas jaminan kesehatan,” kata Dian.
Berbicara beberapa waktu lalu, Kepala Disnakertransduk Jawa Timur Edi Purwinanto mengakui, fenomena pekerja rumahan semakin besar di Jawa Timur. Menurut Edi, oleh pengusaha nakal, mereka rawan dijadikan modus menekan ongkos produksi. “Ada oknum pengusaha yang ingin mereduksi upah dengan memberlakukan mekenisme kerja borongan,” kata dia.
Edi mengakui, isu pekerja rumahan selama ini memang belum menjadi fokus perhatian pemerintah. Untuk urusan jumlah para pekerja rumahan di Jawa Timur pun, Edi mengaku, pihaknya belum memiliki angka. “Kita baru sebatas menemukan adanya fenomenanya saja. Fenomenanya, (kerja rumahan) memang tumbuh subur,” ujar dia.

Generasi Beda, Kemiskinan Sama
"Nenek Raket" Foto: Andi Nurroni
Kemiskinan bagi Siti Khoiriah (45) ibarat lorong labirin. Entah di mana jalan keluarnya, ia tidak punya bayangan. Sepanjang usianya yang hampir setengah abad, ia hanya mengenal satu pekerjaan: menganyam senar raket.
Siti bukannya tidak ingin bekerja yang lain. Apa lagi, pekerjaan yang ia sebut “meraket” itu upahnya sangat jauh dari layak. Tapi, nyaris tak ada pilihan lain bagi ibu dua orang anak itu. Ia harus tetap di rumah, mengurus suami, anak, ditambah kini seorang cucunya. Akhirnya, pekerjaan itu tetap ia jalani dengan sabar.
Di rumahnya di RT 4, RW 3, Kelurahan Balearjosari, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Siti melewatkan hari-harinya sebagai penganyam senar raket. Itu adalah pekerjaan yang sama seperti yang dilakukan banyak ibu di kampungnya. Mereka menjadi bagian dari produksi raket industri rumahan yang dimiliki sorang juragan di kampung mereka.
Beberapa hari sekali, Siti dan para ibu mendapat kiriman berlusin-lusin rangka raket. Oleh para ibu, raket-raket itu kemudian dipasangi selongsong plastik yang disebut mata ayam di sekeliling kepalanya, lalu dianyamkan senar. Untuk satu sulusin raket yang diselesaikan, mereka mendapatkan imbalan Rp 3.500.
Pekerjaan itu nyatanya tidak mudah. Dalam sehari, Siti hanya bisa menyelesaikan 2-3 lusin. Untuk menyelesaikan tiga lusin, diperlukan 7-8 jam. Bisa dibayangkan, dalam sehari, Siti hanya mendapatkan upah Rp 7 ribu hingga Rp 10.500.
Jika merujuk pada Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan, Siti bisa disebut sebagai pekerja rumahan. Menurut peraturan tersebut, pekerja rumahan adalah mereka yang bekerja di luar tempat pemberi kerja.
Siti mengenal pekerjaan itu sejak SD. Ibunya yang mewariskan pekerjaan itu padanya. “Dulu, dari SD, biasa bantu ibu ngeraket. Dulu, tahun 70-an, dibayarnya cuma Rp 300 per lusin. ” ujar Siti, ketika ditemui Republika di kediamannya pada pertengahan Agustus lalu.
Jika dulu ia diperkenalkan pekerjaan itu oleh ibunya di rumah, Siti pun telah mengenalkan pekerjaan itu pada anak-anaknya. Sejak kecil, anak-anaknya juga kerap membantu dia mengnyam raket di rumah. Meski begitu, ia sangat berharap, anak-anaknya bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Seperti si Sulung Ifa (24) yang kini telah bekerja di toko. Dulu, seperti ibu, saudara serta para tetangganya, Siti berpikir bahwa pekerjaannya hanya mengisi waktu luang. Pekerjaan itu mengalir saja ia lakukan untuk membantu suaminya, seorang karyawan bengkel yang hanya berpenghasilan Rp 1,2 juta per bulan.
Tapi sejak satu-dua tahun terakhir, pikiran Siti mulai terbuka. Itu sejak ia mendapat pembinaan dari Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), LSM yang bergerak dalam bidang penguatan kapasitas perempuan pekerja rumahan.
Setelah sering mendapatkan pelatihan, Siti mulai paham kedudukannya sebagai pekerja rumahan yang banyak direnggut haknya. Ia semakin berani berpendapat, termasuk mengajak ibu-ibu yang lain mogok kerja demi menuntut kenaikan upah beberapa bulan lalu. “Kita bosan diupah rendah, kita nolak kerja. Raket dikirim, ndak kita kerjain. Kita SMS-an sama ibu-ibu semua,” ujar Siti.
Hasilnya, setelah tidak manut kerja sepekan, sang juragan mengabulkan permintaan para ibu untuk menaikan upah, meski hanya Rp 250. Jika sebelumnya upah mereka hanya Rp 2.750 per lusin raket, setelah mogok kerja, upah mereka menjadi Rp 3 ribu per lusin. Beberapa bulan setelahnya, upah mereka kembali naik Rp Rp 500 menjadi Rp 3.500 per lusin raket.
Siti dan ibu Kelurahan Balearjosari hanya satu kelompok perempuan pekerja rumahan yang saat ini sedang dididik untuk berani angkat bicara memperjuangkan nasib mereka. Tak hanya berani bicara kepada majikan, mereka juga diajak untuk mendesak pemerintah untuk memerhatikan nasib jutaan pekerja rumahan di Indonesia. 

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Agustus 2015 

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

Bupati Azwar Anas, Menyulap Wilayah Teriosolasi

Azwar Anas dan istri. Foto: simomot.com
Kabupaten Banyuwangi tak lebih dari terminal persinggahan bagi wisatawan yang hendak berlibur ke Pulau Bali. Di ujung timur Pulau Jawa itu, para pelancong ‘terpaksa’ turun dari kereta atau bis mereka, untuk selanjutnya berganti kapal feri menuju Pulau Dewata. Dikelilingi hutan berbukit dan lautan, Banyuwangi adalah tanah terisolasi yang tidak menarik untuk dikunjungi.
Namun, kisah di atas telah menjadi sepenggal cerita lama. Sejak 2010, kabupaten berjuluk Bumi Blambangan itu berkembang menjadi primadona parwisata baru di Indonesia. Semua terjadi setelah politisi muda Abdullah Azwar Anas terpilih menjadi Bupati ke-28 Banyuwangi.

Lama bergelut di dunia politik dan tumbuh di kalangan intelektual Nahdlatul Ulama (NU), tak butuh waktu lama bagi Anas untuk merancang perubahan di tanah kelahirannya itu. Sedari awal ia memimpin, salah satu prinsip yang ia genggam erat adalah, pembangunan Banyuwangi harus berakar pada kondisi alam dan budaya masyarakat. Dengan kata lain, pantang bagi pria kelahiran 6 Agustus 1973 itu meniru bulat-bulat atau memfotokopi pembangunan di daerah lain.

Keadaan geografis Banyuwangi yang terisolasi, dilingkungi hutan berbukit-bukit serta selat dan samudera, menjadi catatan penting bagi Anas. Hal penting lainnya, masyarakat Banyuwangi yang mayoritas menganut Islam hidup dalam iklim kegamaan yang kental.   

Dari sana pria yang kini memahami, bukan Bali yang menjadi kiblat pembangunan wisata Banyuwangi. Anas juga tidak tertarik menyulap Banywangi menjadi metropolitan dengan banyak pusat perbelanjaan, misalnya seperti Surabaya atau Kota Bandung. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu lalu merancang Banyuwangi dengan konsep ekowisata.

“Saya baca, tren di dunia sekarang ini, orang-orang ingin kembali ke alam, menikmati pemandangan, menjelajah hutan, pergi ke laut atau naik ke puncak gunung. Kita punya semua,” ujar sang Bupati, ketika saya dan tim Republika menjumpainya di Banyuwangi awal April 2015.

Sejak saat itu Anas mengemas ulang berbagai potensi wisata alam Banyuwangi. Dia menata kawasan Pantai Boom yang kumuh menjadi kawasan pesisir asri, lengkap dengan teater terbuka untuk pertunjukan. Penataan juga dilakukan di pantai-pantai lain dengan karakteristik yang berbeda. Misalnya Pantai Teluk Hijau yang asyik untuk bersantai, atau Pantai Pulau Merah dan Pantai Plengkung yang menjadi favorit para peselancar.

Untuk memudahkan akses, Bandara Blimbingsari yang diresmikan pada 2010 diperluas dari 1400 meter menjadi 1800 meter.  Kini, tempat terisolasi itu memiliki rute penerbangan langsung ke Surabaya dan Jakarta. Infrastruktur jalan juga diterus diperpanjang dan diperbaiki hingga leluasa menjangkau tempat-tempat wisata unggulan lainnya, seperti Kawah Ijen dan Taman Nasional Alas Purwo.

Sejalan dengan itu, demi menarik perhatian masyarakat luas, Anas menggencarkan promosi. Tak kurang dari 38 ajang diselenggarakan pemerintah kabupaten setiap tahun. Macam-macam acara dihelat menggandeng generasi muda untuk menciptakan transformasi ilmu dan kecakapan. Tanpa perlu

Ajang yang diselenggarakan tidak melulu yang sarat hiburan, seperti Tour de Ijen, Jazz Ijen atau Gandrung Sewu. Selain ajang-ajang tersebut, ada juga kegiatan yang berdimensi edukasi, sosial dan religius, seperti Festival Toilet Bersih, Festival Anak Yatim, atau Festival Santri.

Berbagai kegiatan tersebut diselenggarakan, tanpa meninggalkan kultur masyarakat. Sebagai contoh, meski berjudul kompetisi Surfing Internasional, acara dibuka dengan pembacaan ayat Alquran massal oleh puluhan santri wati penghafal Alquran, lalu ditutup dengan kesenian rebana.

Di tangan Anas, pembangunan Banyuwangi berjalan secara menyeluruh. Sebagai gambaran, demi menjaga fokus pembangunan Banyuwangi sebagai destinasi ekowisata, sepanjang periode pemerintahannya, Anas tidak mengizinkan pendirian tempat-tempat hiburan malam, seperti diskotek atau karoke. Ia pun tidak membatasi pembangunan hotel, minimal berkelas bintang tiga. Alasan Anas, tempat hiburan malam dan hotel melati hanya akan menjadikan Banyuwangi tempat wisata esek-esek seperti di banyak tempat wisata di Indonesia hari ini.

Meskipun terkesan menggembar-gemborkan pembangunan pariwisata, Anas, tidak melupakan sektor perekonomian yang lain. Justeru, bagi dia, pariwisata hanya strategi untuk membuka jalan perekonomian di berbagai sektor. Sebagai contoh, suami Ipuk Festiandani itu getol mempromosikan sektor agrikukultur. Di masa pemerintahan Anas-lah, Banyuwangi dikenal sebagai sentra buah lokal, termasuk buah yang kini menjadi banyak buruan, yakni durian merah.

Gencarnya pembangunan di sektor pariwisata, disadari Anas, lambat-lambat laun akan mendatangkan kemajuan bagi Banyuwangi. Di lain sisi, Anas tidak ingin kelak warga Banyuwangi hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri. Demi menyiapkan para penerus pembangunan Banyuwangi, Anas menempuh berbagai diplomasi agar Banyuwangi memiliki perguruan tinggi negeri. Hanya butuh empat tahun di bawah kepemimpinannya, kini di Banyuwangi berdiri dua PTN, yakni Universitas Airlangga (Unair) cabang Banyuwangi dan Politeknik Negeri Banyuwangi.

Menjalang akhir periode masa jabatannya, di bawah arahan Anas, Banyuwangi meraih berbagai pencapaian dan prestasi. Anga kemiskinan berkurang signifikan, dari 20,09 persen pada 2010, menjadii 9,57 persen pada 2014. Jumlah APBD bertambah, dari 1,4 triliun pada 2010, menjadi 2,5 triliun pada 2015. Pada 2013 dan 2014, selama dua tahun berturut-turut, Banyuwangi juga diganjar penghargaan Adipura. Selain beberapa pencapaian dan prestasi tersebut, masih banyak kemajuan lain yang diraih Banyuwangi.

Anas menjelaskan, kemajuan pesat yang dicapai Banyuwangi tidak terlepas dari upaya reformasi birokrasi dan optimalisasi pelayanan melalui peran teknologi informasi. Meskipun satu desa dengan yang lainnya di Banyuwangi dipisahkan gunung, pelayanan birokrasi menjadi prima berkat pembangunan infrastruktur teknologi informasi.

Sebagai contoh, berbagai dokumen yang dibutuhkan warga bisa diurus, cukup di kantor desa. Berkat teknologi juga, setiap bayi yang lahir tidak perlu repot dan berlama-lama mengurus akta kelahiran. Cukup mendaftar di tempat persalinan, dalam beberapa hari akta akan di antar ke rumah.    

Meskipun berstatus kabupaten, Banyuwangi memang tidak ingin kalah dalam bidang teknologi informasi. Pada 2013, Banyuwangi mendapatkan status sebagai Kota Digital dengan 1100 titik internet nirkabel, yang berkembang hingga mencapa 1900 titik. Selain memudahkan pelayanan publik, menurut Anas, sambungan internet juga menjadi sarana bagi muda-mudi Banyuwangi untuk mengembangkan bisnis daring, sehingga mendorong ekonomi kreatif.  

Meskipun grafik pencapain Banyuwangi terus merangkak naik, Anas tidak lantas menjadi puas. Bagi dia, penambaan angka-angka harus berbanding lurus dengan tingkat kepuasan masyarakat. Oleh karena itu, setiap enam bulan sekali, lembaga Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang digandeng Pemkab Banyuwangi melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasan publik.


“Tidak hanya mengukut tingkat kepuasan, survei juga menjadi cara kami mengetaui bagian mana pelayanan kami yang kurang dan harus diperbaiki. Intinya, pencapaian yang ingin diraih adalah, masyarakat Banyuwangi bahagia lahir dan batin,” kata Anas.

Azwar Anas. Foto: firabannie.blogspot.com
Jurus Jitu Komunikasi

Tidak ada istilah ‘sulit’ dalam kamus kehidupan seorang Abdullah Azwar Anas. Begitupun ketika ia dipercaya memangku jabatan sebagai Bupati Banyuwangi. Semua persoalan yang dihadapi dinikmati sebagai tantangan yang merangsang insting kreatifnya untuk meretas jalan keluar.

Mewarisi Banyuwangi yang terisolasi, dengan pusat kota yang kumuh, birokrasi yang lemah, dan angka kemiskinan tinggi, Anas dipaksa berpikir inovatif. Semangat pengabdian yang tulus dan pola penyelesaian masaalah dengan cara-cara inovatif menjadi dua rumus yang mendasari kerja kerasnya merubah Banyuwangi.

Namun, dua kunci pembangunan Anas tersebut tidak akan menjadi apa-apa tanpa sebuah jurus andalan, yakni strategi komunikasi yang baik. Mengawali karir kepemimpinannya sebagai bupati, Anas berpegang pada sebuah rencana. Untuk merubah Banyuwangi, birokrasi harus kompak dan masyarakat harus mendukung.

Gagasan Anas menjadikan Banyuwangi menjadi destinasi ekowisata premium yang berakar pada karakter budaya masyarkat, harus dia artikulasikan dengan tepat. Satu-dua tahun pertama menjabat, ia banyak dicibir karena kebijakannya yang dianggap sok jagoan. Misalnya, melarang pembangunan pusat-pusat hiburan malam, hotel kelas melati, serta minimarket dan mal.  

Konsep Anas dianggap aneh, karena orang masih menggap pembangunan wisata harus didukung investasi sektor hiburan yang ingar-bingar. Dari situ Anas berupaya meyakinkan jajarannya, bahwa bukan wisata hiruk pikuk yang cocok untuk Banyuwangi, melainkan ekowisata yang senyap bernafaskan budaya lokal.

Pada masa-masa awal kepemimpinannya, ia banyak didemo masyarakat, termasuk kelompok PKL di pusat kota yang ia tertibkan. Demonstrasi besar-besaran juga dilakukan para pekerja seks komersial dan mucikari yang lokalisasinya ditutup Pemkab Banyuwangi. Bagi Anas, penutupan pusat prostitusi adalah harga mati. Itu salah satu janjinya kepada para kiai dan warga pesantren sebelum ia menjabat.

Dengan strategi komunikasi yang menjadi jurus andalannya, tidak perlu waktu empat tahun untuk menutup 13 lokalisasi di Bnyuwangi. “Kami tidak membuat perda syariah atau berbicara moral, kami hanya meyakinkan masyarakat bahwa lokalisasi adalah tempat penyebaran HIV/AIDS,” ujar Anas, ketika saya dan tim Republika jumpai di Banyuwangi awal April 2015.

Begitupun ketika melarang pusat hiburan malam, bukan ayat-ayat syariah yang dia kedepankan. Anas meyakinkan masyarakat bahwa pusat hiburan malam adalah sarang peredaran narkoba dan tempat perdagangan manusia.

Dalam upaya mengemas budaya tradisional sebagai daya tarik wisata, Anas membangun kepercayaan diri masyarakat untuk bangga dengan warisan tradisi. Namun, ia juga meyakinkan masyarakat untuk tidak tabu melakukan perubahan ke arah lebih baik. Sebagai contoh, busana tari gandrung yang semula banyak celah terbuka, ia dorong untuk lebih tertutup. Langkah tersebut berhasil, bahkan kesenian tersebut diterima lingkungan pesantren dengan para penari yang mengenakan jilbab.  

Sikap Anas yang arif menyayomi seluruh komunitas agama juga banyak mendapatkan apresiasi. Kerukukan antar umat beragama dirawat. Lebih dari itu, institusi keagamaan, seperti masjid, gereja, pura dan kelenteng menjadi corong bagi program-program pemerintah. Sebagai contoh, khutbah bertema gerakan Banyuwangi Hijau dititipkan Anas kepada para pemuka agama untuk disampaikan di rumah peribadatan masing-masing.

Cara berkomunikasi Anas yang tepat berhasil merangkul masyarakat untuk turut bergerak. Kepercayaan masyarkat pada Anas terus meningkat sejalan dengan bukti-bukti konkret pembangunan yang ia lakukan. Anas berhasil membuktikan, wisatawan justeru bertambah signifikan tanpa pembangunan pusat hiburan malam dan hotel esek-esek. Begitupun di sektor ekonomi, kemiskinan menurun drastis berkat pembukaan lapangan pekerjaan, penguatan, serta dan proteksi perkonomian masyarkat.


Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, April 2015

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 2 Comments

Penyintas Lapindo, Selalu Terbayang Kampung yang Hilang

Kampung terdampak semburan lumpur Lapindo, Desember 2014. Foto: Andi Nurroni
Jarum-jarum hujan mulai berjatuhan, begitu saya tiba di tepian Kali Porong, Sidoarjo, Sabtu (20/12) sore. Niat saya melihat infrastruktur pembuangan material lumpur Lapindo ke Kali Porong, akhirnya berujung di sebuah bangunan kayu sederhana di sisi sungai. Itu lah pos pemantau pengaliran lumpur di bawah kendali Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Di samping pos pemantau, sebuah instalasi pipa menyemburkan air lumpur ke sungai dalam jumlah besar. Cairan hitam itu terus di alirkan 24 jam sehari dan tujuh hari sepekan demi menjaga lumpur tidak meluap dari tanggul. Tentu, material lumpur yang dialirkan telah dioplos dengan air agar encer dan dapat disalurkan melalui pipa.

Aroma tidak sedap serupa belerang tercium hingga pos pemantau. Seorang pria tua dijumpai tengah duduk terpaku di tempat serupa warung kopi itu. Cung Arifin nama si Kakek. Dialah penjaga pos tersebut. Mengenalkan diri sebagi wartawan, Kakek Cung antusias menerima saya. Pria dengan empat anak dan lima cucu itu tak segan bercerita banyak hal, mulai dari urusan pekerjaan hingga keluarganya.

Kakek Cung menjelaskan, tugasnya di pos tersebut adalah memeriksa kandungan lumpur yang dibuang ke Kali Porong. Setiap satu jam sekali, menurut Cung, ia mengambil sampel air lumpur dan mencatat tingkat kepekatannya. Hal tersebut, menurutnya, dilakukan agar kepekatan tidak melebihi batas maksimal, yakni 25 persen, agar saluran tidak tersumbat dan tidak menimbulkan penadangkalan sungai.

Menejelaskan panjang lebar soal pekerjaannya, diketahui rupanya Kakek Cung adalah salah satu korban terdampak semburan lumpur. “Kampung saya dulu di sana,” katanya, sambil menjulurkan telunjuk ke lembah semak belukar tak jauh dari pos pantau.

Cung berkisah, dahulu dia adalah petani. Pekerjaan itu dia lakukan hingga tahun 2006, sebelum akhirnya berhenti karena tragedi semburan lumpur di kampung tetangga, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Semburan tak berhenti dan terus mendekat ke kampungnya di Desa Kedung Cangkring, Kecamatan Jabon.

Cung bercerita, karena tidak terdampak langsung lumpur, warga desanya tidak dimasukan sebagai korban yang berhak mendpatkan kompensasi. “Kami demo terus, akhirnya pemerintah turun, karena memang desa kami juga terkenda dampak, seperti dampak sosial dan ekonomi,” ujar pria kurus itu.

Sejak kehilangan pekerjaan, mulai tahun 2007 hingga 2010, Cung berkisah, dia menjadi kuli proyek pembangunan tanggul lupur. Baru pada 2010, menurutnya, dia mendapatkan pekerjaan baru sebagai petugas pemantau pos pembuangan lumpur.

Cung mengaku hingga kini, dia masih selalu terkenang kampung halamannya, yang kini menjadi ladang semak belukar di sisi tanggul bendungan lumpur. “Kalau naik motor sama istri, sama anak, istri saya sering bilang ke anak, itu, rumah kita dulu di situ,” ujarnya dengan nada haru.

Hidup di kampung tetangga, tempat ia dan korban lain direlokasi, ada saja hal yang kurang menyenangkan. Pernah suatu hari, kata Cung, gara-gara seorang anak dari anggot kelompoknya berkelahi dengan anak warga kampung lama, warga menyerbu perkampungannya.



Cat. Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014.

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Bergerilya di Hutan Mangrove

Mahasiswa menanam mangrove di pantai Surabaya, Desember 2014. Foto: Andi Nurroni
Hampir separuh badan Gatot terbenam ke dalam lumpur. Seperti lalat terjerat jaring laba-laba, mahasiswa tingkat akhir itu berjibaku menarik tububuhnya ke luar dari bekapan lumpur yang hitam pekat. Sekuat tenaga ia berusaha membebaskan diri, namun medan lumpur yang kelewat gembur dan licin itu sangat sulit ditaklukan.
Gatot tidak sendiri terjebak di dalam lumpur. Sejumlah temannya yang lain juga mengalami hal yang sama. Walhasil, keriuhan dan tawa meledak mengolok-olok sesama mereka. Gatot dan 40-an kawannya tidak sedang mengikuti lomba Agustusan. Awal Desember 2014 lalu, Rombongan peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) salah satu universitas swasta di Surabaya itu sedang melakukan bakti menanam pohon mangrove. Saya ada di antara mereka.

Lokasi penanaman ratusan benih mangrove tersebut berada di kawasan Muara Kali Gunung Anyar, Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya). Untuk mencapai titik itu, rombongan mahasiswa harus menyewa beberapa perahu nelayan yang bersandar di dermaga Desa Gunung Anyar Tambak. Menyusuri sungai yang diapit rawa hutan mangrove, butuh Sekitar 15 menit untuk mencapai lokasi.

Soni Mohoson, pemandu mereka, tak hentinya menyungging senyum melihat polah anak-anak muda itu. Soni-lah yang membawa para mahasiswa ke sana. Titik itu telah Soni survei sebelumnya untuk memastikan bibit-bibit mangrove yang baru ditancapkan tidak mengalami kekeringan, juga tidak karam ketika rob datang.

Waktu penanaman telah diperhitungkan benar, pagi-pagi, sebelum pukul 09.00. Itulah saat pertemuan surut dan psang. Jika air terlalu surut, menurut Soni, perahu bisa kandas. Sedangkan ketika pasang, lokasi penanaman telah terendam oleh air. Ibarat gerilyawan, Soni tahu betul medan pertempuran dan ancaman musuh yang dihadapi.

Turut membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur, lelaki 53 tahun itu menjelaskan berbagai hal tentang mangrove kepada para mahasiswa. Mula-mula, Soni menancapkan bilah-bilah kecil bambu, dengan memerhatikan kerapatannya. Selanjutnya, dicontohkan bagaimana tanaman mangrove harus dibenamkan ke dalam lumpur dan diikat dengan tali.

Koordinator Kelompok Tani Mangrove Wonorejo tersebut menjelaskan, jenis mangrove yang ditanam kali itu adalah sonneratia alba. Jenis tersebut, menurutnya tergolong dalam kategori mangrove mayor, yakni memiliki habitat di daerah pasang-surut. “Beda sama mangrove minor yang tumbuh di daerah yang jarang kena pasang-surut, sang Pencipta sudah mendesain dia (sonneratia alba) memiliki akar-akar yang menancap kuat hingga 20 meter ke dalam tanah,” ujar Soni.    

Lima belas tahun bergiat dalam konservasi mangrove, mantan pekerja kontrak PLN itu bisa dibilang saksi yang sahih bagaimana mangrove yang dulu disisia-siakan manusia kini menjadi simbol gerakan pro-lingkungan. Dahulu, Soni menggambarkan, tak banyak yang peduli ketika warga membabat hutan mengrove Pamurbaya untuk tambak atau menebang pohon-pohon mangrove besar untuk dijual sebagai material kayu.

Sejalan dengan berkembangannya kampanye lingkungan, menurut Soni, aktivitas menanam mengrove kini menjadi salah satu budaya yang popular. Tak heran, mulai dari masyarakat pesisir, murid TK, mahasiswa, hingga perusahaan-perusahaan besar kerap mencurahkan kontribusi mereka untuk penghijauan hutan mangrove.

Terlepas apapun motivasinya, entah senang-senang atau promosi perusahaan, Soni senang bisa membawa semakin banyak orang peduli hutan mangrove. Tak hanya giat menanam mangrove, karena kecintaan dan ketelatenannya, Soni yang hanya lulusan SMK itu telah berhasil mengembangkan berbagai produk pemanfaatan mangrove.


Buah tangannya yang paling terkenal adalah sirup dari buah mangrove. Selain itu soni juga membuat beras mangrove, dodol mangrove, brownies mangrove, dan masih banyak lagi. Kelompok Tani Mangrove Wonorejo yang dia dirikan sejak 2006. Bersama dia, kini bergabung para pemuda, termasuk sejumlah alumni pergguruan tinggi di Surabaya.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014.

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Sengkarut Mangrove di Pesisir Surabaya

Soni Mohson dan mahasiswa sehabis menanam mangrove, Desember 2015. Foto: Andi Nurroni
Siapa tak tergoda mengunjungi Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya? Coba Anda masukan kata kuncinya di mesin pencari Google, pilih fitur gambar, maka tampillah berbagai potret keindahan kawasan wisata alam di pesisir timur Surabaya itu. Ekowisata Mangrove Wonorejo didesain Pemerintah Kota Surabaya sebagai sarana rekreasi masyarakat yang murah-meriah.
Destinasi wisata tersebut adalah pelarian sempurna bagi mereka yang jenuh dengan hiruk-pikuk kota. Selain itu, tempat tersebut juga menyajikan petualangan menyenangkan. Semisal menyusuri jembatan papan menembus hutan mangrove, atau berperahu hingga jauh ke ujung muara Kali Wonokromo.

Tak sampai di situ, jika Anda ikut dalam tur perahu, Anda juga bisa memilih untuk bersantai di sejumlah anjungan yang berdiri di tepian selat Madura. Tak heran, Wali Kota Tri Rismaharini kerap membangga-banggakan objek wisatanya itu kepada para tamunya. Sekilas cerita, profil Ekowisata Mangrove Wonorejo pasti membuat Anda grerget dan penasaran ingin berkunjung.

Namun, alangkah lebih baik jika Anda mendengarkan cerita selengkapnya. Di luar pengatahuan khalayak umum tentang keindahan kawasan Ekosiwata Mangrove Wonorejo, banyak pegiat lingkungan yang geram dengan keberadaan wahana wisata tersebut.

Koordinator Kelompok Tani Mangrove Wonorejo Soni Mohson, salah satu di antaranya. Dijumpai di kediamannya di Desa Wonorejo, akhir November lalu, Soni mencurahkan banyak keresahannya tentang kawasan konservasi mangrove di kawasan pantai timur Surabaya, atau sering disebut Pamurbaya itu. Soni dengan keras menyatakan ketidaksepakaatannya terhadap konsep wisata yang dikembangkan Pemkot Surabaya di Pamurbaya.

Soni menggmbarkan, hutan mangrove bukan hanya berbicara tentang pepohonan, melainkan kesatuan ekosistem pesisir. Hutan mengrove Pamurbaya yang terbentang di wilayah pesisir empat kecamatan, yakni Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut dan Gunung Anyar, menurut Soni adalah rumah bagi berbagai spesies hewan. Di kawasan luas sekitar 2500 Haktare tersebut, menurut Soni, hidup berbagai spesies burung, kera, ikan, udang dan hewan-hewan lainnya. Apa yang sisampaikan Soni memang bukan isapan jempol.   

Hasil penelitian Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), hutan mangrove Pamurbaya memiliki tidak kurang dari 38 jenis flora, termasuk di dalamnya 19 jenis mangrove mayor, 13 jenis mangrove minor. Selain itu, di sana, hidup juga 98 jenis spesies burung, di mana 34 jenis di antaranya merupakan burung migran. Satwa lain yang juga hidup di sana adalah serangga, reptil, mamalia, ikan, udang dan masih banyak lagi.

“Nah, burung itu kan sangat peka terhadap tiga hal, suara, warna dan aroma. Itulah kenapa kita sudah jarang mendapati kawanan burung di sini. Pernah beberapa waktu lalu, pihak Bandara Djuanda kerepotan mengusir ribuan burung yang sempat menggangu penerbangan. Itu burung-burung air, ya dari sini,” kata pria 53 tahun itu. 

Soni juga mendengar cerita mengenai kawanan monyet yang menyerang warga sekitar hutan mangrove di perbatasan Sidoarjo. Kera-kera tersebut, menurut Soni, juga berasal dari hutan mangrove Pamurbaya. Selain itu, kata dia, akibat aktivitas wisata tersebut, penghasilan sampingan para penjaga tambak menurun drastis.

Menurut Soni, para penjaga tambak itu tidak diberi uang makan. Sebagai gantinya, mereka diperbolehkan menangkap udang liar di tambak. Kini, menurut Soni, para petani mengeluh tak banyak udang yang bisa ditangkap. Mereka curiga, aktivitas hilir-mudik perahu di Kali Wonokromo telah menghambat udang masuk ke pintu air tambak.

Soni berpendapat tegas, konsep wisata yang dikembangkan Pemkot telah keliru. Bukti nyata lain yang dianggap sebagai kesalahan adalah pembangunan jembatan papan dengan tiang-tiang beton di lokasi Ekosiwata Mangrove. “Kalau mau buat wisata, harusnya wisata edukasi dan penelitian. Pengunjung harus di batasi. Di perhitungkan kerapatan manusia di bandingkan dengan luas hutan,” ujar Soni.

Keberadaan Ekowisata Mangrove rupanya bukan masalah tunggal di kawasan hutan mangrove Pamurbaya. Akhir bulan lalu, pihak Sapol PP Surabaya melakukan penindakan terhadap aktivitas pembangunan tak berizin atas naman PT Tirta Agung Prakasa Makmur di kawasan hutan mangrove Kecamatan Gunung Anyar. Sedangkan awal bulan ini, pihak Satpol PP juga menindak praktik pemasangan patok-patok kavling atas nama PT SS di pesisir Kecamatan Sukolilo dan Mulyorejo.

Meski teah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak 2007 melalui Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Surabaya, para pengembang tetap rajin merayu warga agar menjual tanah dan tambak warga. Hasilnya, menurut, penelitian Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, di Kecamatan Wonorejo saja, sudah 95 persen tambak di miliki oleh perusahaan pengembang.

Pihak-pihak pengembang tersebutlah yang selama ini selalu mencari celah untuk melakukan penetrasi di kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya. Meski telah beberapa kali mendapati kasus-kasus perambahan hutan mangrove, Pemkot Surabaya belum juga bertindak tegas. Hal tersebut sangat disesalkan oleh Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha.

Masduki dengan tegas berpendapat, keterlibatan oknum-oknum di jajaran Pemkot Surabaya sangat kentara dalam kasus-kasus tersebut. “Sekarang logikanya, Wali Kota gembar-gembor (tentang Pamurbaya) di mana-mana, tapi pengawasan tidak dilakukan jajarannya di bawah, hingga camat atau lurah. Camat dan lurah mengaku kecolongan, apa pantas pejabat mengaku kecolongan? Dan mereka tidak ditindak,” ujar Masduki, ketika diwawancarai Senin (15/12).

Menurut Toha, ketidakseriusan Pemkot Surabaya mengurusi Pamurbaya terlihat dari tidakadanya patok-patok penetapan batas wilayah yang jelas. Hal tersebut, menurutnya menjadi celah bagi pengembang yang ingin berbuat nakal. Dengan kedudukan strategis kawasan Pamurbaya, Masduki mengusulkan agar regulasi yang mengatur tidak hanya Perda RTRW, melainkan perda menganai pengelolaan wilayah pesisir.

Selama ini, sejumlah lembaga dinas berbagi kewenangan menyangkut hutan mangrove Pamurbaya. Beberapa lembaga terkait adalah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Surabaya, serta Dinas Pertanian (Distan) Surabaya.

Dikonfirmasi mengenai sengkarut tata kelola Pamurbaya, Plt Kepala DCKTR Surabaya Eric Cahyadi mengakui, pihaknya sedang bekerja keras menata kawasan Pamurbaya. Soal para pengembang nakal, pendapat Eri mengesankan sikap permisif Pemkot Surabaya. 

“Kalau dia tahu itu, hukum harus berjalan. Kalau dia belum tahu itu, pemerintah kota harus melakukan sosialisasi. Intinya, dia ada di kawasan konservasi. Kalau itu sudah disosialisasikan, hukum sudah berjalan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Fisik Sarana dan Prasarana Bappeko Surabaya Dwija Wardhana menjelaskan, aktivitas penebangan mangrove yang dilakukan pengembang belum tentu bisa dibawa ke ranah kriminal. Pasalnya, tidak semua kawasan lindung itu diperuntukan untuk mangrove. Selain itu, menurut dia, ada juga kawasan perlihan yang memungkinkan adanya pemanfaatan secara terbatas.

Menurut Dwija, yang harus dipastikan adalah, apakah pengembang membangun di zona utama, atau di kawasan pemanfaatan terbatas. Menurut dia, zona utama luasnya sekitar 200 hingga 300 meter dari garis pantai, yang perhitungannya didasarkan pada Perda RTRW terbaru, yakni Nomor 12 Tahun 2014.

Selain itu, menurut Dwija, meski pun telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, masih banyak tanah-tanah bersertifikat yang dimiliki warga. Bahkan, menurut Dwija, tanah warga, terutama dalam bentuk tambak jumlahnya lebih besar daripada milik Pemkot Surabaya. “Untuk itulah kami telah menganggarkan dana untuk membeli tanah-tanah warga. Tapi syaratnya, warga yang mengajukan terlebih dahulu,” katanya.

Dimintai tanggapan, pihak Distan Surabaya selaku pihak yang diberiamanah pengelolaan hanya menjawab dengan bahasa normatif. Kepala Distan Surabaya Djoestamadji menyampaikan, pihaknya hanya berkewajiban mengawasi. Menrut dia, pengawasan selama ini dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. “Kami punya dinas khusus lapangan, mereka meakukan pendampingan terhadap petani dan nelayan agar mereka terberdayakan,” kata Djoetamadji. 


Pembenahan masalah tata kelola kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya bisa jadi adalah tantangan paling serius kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat ini. Penyelamatan kawasan lindung  hutan mangrove Pamurbaya tak diragukan akan berdampak signifikan, tak hanya untuk leingkungan, tetapi juga bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Surabaya.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 1 Comment