100 Tahun Ismail Marzuki

Foto: acara-event.com
Siapa yang tak bergetar hatinya mendengar komposisi musik “Gugur Bunga”. Jalinan nada minor yang mendayu serta syair yang mengharukan sungguh meremas perasaan. Tak jarang orang berurai air mata jika menghayatinya. Dikarang pada 1945, lagu tersebut menceritakan kesedihan yang mendalam atas tewasnya para prajurit kemerdekaan di medan pertempuran.
“Gugur Bunga” kemudian menjadi salah satu lagu wajib nasional. Selain diajarkan kepada para siswa di sekolah, tembang tersebut mustilah berkumandang setiap kali seorang pemimpin besar negara wafat. Salah satu frasa di dalamnya, “gugur satu, tumbuh seribu”, menjadi ungkapan yang populer di tangah masyarakat, yang berarti setiap hal baik yang hilang akan tergantikan oleh lebih banyak kebaikan.

Sang pengarang lagu tersebut adalah Ismail Marzuki, salah seorang komponis terbsesar yang pernah dimiliki Bangsa Indonesia. Lahir di Kampung Kwitang, kawasan Senen, Jakarta, pada 11 Mei 1914, Ismail Marzuki semasa hidupnya telah menciptakan lebih dari 200 tembang dengan berbagai aliran, mulai dari jazz, klasik hingga keroncong.

Selain “Gugur Bunga”, lagu-lagu kebangsaan karya Ismail yang terkenal, di antaranya adalah “Rayuan Pulau Kelapa” serta “Indonesia Pusaka”. Sejumlah tembang cinta romantis karyanya hingga kini juga masih sering banyak digubah dan dibawakan orang, semisal “Aryati”, “Juwita Malam”, dan “Slendang Sutera”.


Terlahir sebagai seorang Bumi Putera di zaman pahit kolonialisme, kepiawaian Ismail memainkan alat musik, dari piano hingga akordeon, serta kejeniusannya mereka komposisi musik, terasa sebagai keajaiban. Pada 11 Mei 2014 tahun ini, jika masih hidup, sang komponis kebanggaan Indonesia itu genap berusia 100 tahun.

Memperingati sebabad seniman besar itu, Taman Ismail Marzuki (TIM), pusat kebudayaan Pemerintah Jakarta yang dibangun mengabadikan nama besarnya, awal Mei 2014 menyelenggarakan sejumlah kegiatan. Berbagai mata acara digelar dalam kegiatan bertema “100 Tahun Ismail Marzuki” tersebut. Mulai dari pameran foto dan benda-benda peninggalan Ismail Marzuki, diskusi budaya, hingga pertunjukan teater dan sejumlah konser musik, diselenggarakan sejak tanggal 7 sampai 17 Mei 2014.

Pameran yang bertempat di gedung Teater Kecil, TIM, menghadirkan puluhan foto Ismail Marzuki. Foto-foto lawas tersebut menampilkan Ismail dalam berbagai latar suasana. Beberapa gambar memerlihatkan dia bersama sejumlah alat musik, seperti piano, akordeon, juga dalam formasi kelompok keseniannya. Ada juga potret-potret Ismail bersama istri dan keluarganya, foto dia tengah tampil di atas panggung, serta foto prosesi pemakamannya pada 1958 yang ramai dipadati pelayat.

Selain foto, dipertontonkan juga pada publik ratusan koleksi partitur musik Ismail. Lembar-lembar guratan komposisi nada tersebut asli karya tangan Ismail Marzuki. Garis-garisnya dibuat oleh tangan, dan ada juga beberapa lembar partitur yang diberi ilustrasi, seperti gambar pemandangan atau potret wajah seorang gadis. Benda antik milik Ismail yang dipajang adalah akordeon, biola, serta jam dinding, yang semuanya buatan luar negeri.

Berjalan-jalan melihat bermacam koleksi tersebut, pengunjung sedikit-banyak bisa merasakan alam sosial dan kebesaran ismail Marzuki. Dari perangkat audio, lamat-lamat mengalun sejumlah lagu syahdu karangan sang maestro, seperti “Selendang Sutera” dan “Bandung Selatan di Waktu Malam”. 


Sekilas Mengenal Ismail “Ma’ing” Marzuki

Foto: pahlawancenter.com
Namanya tersohor, bahkan di kalangan anak-anak SD. Dia adalah Ismail Marzuki, salah satu musikus terhebat Indonesia yang hidup pada masa pergerakan kemerdekaan. Dia dikenal terutama karena lagu-lagu kebangsaan ciptaannya, seperti “Gugur Bunga”, “Rayuan Pulau Kelapa”, serta “Indonesia Pusaka”. Lagu-lagu tersebut hari ini diajarkan di sekolah-sekolah dan sering dijadikan bahan ujian pelajaran bermusik.

Ismail Marzuki yang akarab disapa Ma’ing atau Bang Ma’ing, lahir pada 11 Mei 1914, di Kampung Kwitang, daerah Senen, Jakarta. Meskipun terlahir dari keluarga Betawi, ayah Ma’ing, Marzuki, termasuk kalangan terdidik dan berpenghasilan cukup. Dia bekerja sebagai teknisi di sebuah perusahaan reparasi mobil bernama Ford Reparatieer. Kegemaran Marzuki bermain kecapi serta hobinya membeli piringan hitam agaknya menjadi stimulus terhadap minat Ma’ing berkesenian.

Sejak di sekolah dasar hingga Ma'ing beranjak remaja, setiap kali naik tingkat, sang ayah biasa menghadiahkan berbagai alat musik, semisal gitar, mandolin, atau harmonika. Selepas lulus MULO (setara SMP), Ma'ing memiliki biola pertamanya, yang dia beli dari gajinya bekerja sebagai kasir di perusahaan bernama Socony Service Station.

Merasa tak sesuai dengan minatnya, pekerjaan sebagai kasir dia tinggalkan, lantas beralih profesi menjadi penjual piringan hitam di sebuah perusahaan musik. Sejak saat itu jalan dia menjadi musisi profesional semakin terbuka lebar. Ma’ing bekernalan dengan berbagai kalangan pemusik, serta semakin banyak mendapat referensi musik luar negeri dari piringan hitam yang dia beli.

Tahun 1936, Ma'ing memiliki grup musik sendiri bernama Lief Java. Dalam grup tersebut, dia bermain saksofon, gitar, dan akordeon. Lief Java semakin dikenal setelah stasiun radio yang didirikan Belanda pada 1934, Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM), sering memberi mereka kesempatan mengisi siaran musik.

Ma'ing dan grupnya mula-mula memainkan lagu-lagu Barat, sebelum akhirnya menciptakan lagu-lagu sendiri, seperti "Ali Baba Rumba" dan "Ohle le di Kotaraja". Sejumlah lagu diciptakan dengan berbagai genre berbeda, dari mulai jazz, hawaiian, hingga keroncong.

Pendudukan Jepang atas Indonesia, yang kemudian mengambil alih NIROM, menjadi titik mula Ma'ing produktif menciptakan lagu-lagu bertema perjuangan. Di seputar periode 1945, lahir lagu-lagu yang kelak melambungkan namanya, seperti "Rayuan Pulau Kelapa", "Indonesia Pusaka" dan "Halo-halo Bandung". Di masa itu pula, terlahir lagu "Gugur Bunga", yang terilhami oleh kesedihan ditinggal wafat sang ayah.

Semangat patriotisme tak kemudian menghentikan Ma'ing menulis lagu bertema cinta. Bedanya, tembang-tembang romantis itu dihadirkan dalam lantar heroisme perjuangan, seperti lagu "Sepasang Mata Bola", "Melati di Tapal batas", dan “Saputangan dari Bandung Selatan".

Ma'ing alias Ismail Marzuki menutup usia pada 25 Mei, 1958, pada usia 44 tahun. Dia meninggal akibat sakit paru-paru yang dideritanya sedari muda. Sejak 1968, Ismail Marzuki diabadikan menjadi nama pusat kesenian milik pemerintah DKI Jakarta. Pada 2004, musisi jenius dari Tanah Betawi itu dihadiahi gelar Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia. (Diolah dari berbagai sumber).

Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014. 

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply