Surga Pewayangan Bernama Indonesia

Foto: Chimezombie/deviantart.com
Rasanya tak ada yang lebih pantas menyandang predikat surga pewayangan selain Indonesia. Negara lain tentu ada yang memiliki teater boneka. Sebagian bangsa juga punya pertunjukan teater tradisional. Tapi wayang adalah wayang. Milik Indonesia. Untuk urusan yang satu ini, bangsa kita tidak pernah tunduk pada penafsiran dan teori para pemikir luar.
Di Indonesia, wayang mencakup seni pertunjukan, baik figur tiruan maupun manusia, mengangkat cerita mitologi, babad, atau kisah rekaan baru, dengan iringan musik tradisional atau terkadang modern. Di luar wayang orang, medium karakter wayang amat beragam, dari mulai kulit, kayu, fiber, rumput, kertas, hingga video animasi.

Wayang dimainkan dengan berbagai medium bahasa, mulai dari bahasa daerah, Bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Konsep pertunjukan pun semakin kaya dalam perkembangannya akhir-akhir ini, tak hanya dengan gaya tradisional, tetapi banyak juga yang mengadopsi konsep tata panggung dan konsep pertunjukan modern.

Dari sejumlah kekhasan tersebut, jelas, tak ada bangsa lain yang memiliki wayang, termasuk India, tempat lahir cerita Ramayana dan Mahabarata yang kini jadi kisah utama dalam pewayangan tanah air. Tak heran, UNESCO, lembaga kebudayaan PBB, pada 2003 menobatkan wayang dari Indonesia sebagai warisan agung tak benda dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Tingginya apresiasi dunia terhadap wayang, serta semakin tercerahkannya kalangan terdidik soal pentingnya merawat kesenian tradisional, menepis pesimisme bahwa wayang akan segera punah. Buktinya, berbagai kreasi baru di dunia pewayangan terus bermunculan, di samping wayang tradisional yang juga terus sibuk berbenah.

Sejak hadirnya tradisi wayang sebagai media penyebaran agama Hindu pada abad-abad awal Masehi, telah hadir berbagai jenis wayang di Nusantara. Beberapa ragam wayang yang mucul pada beberapa abad terakhir terdokumentasikan di Museum Wayang, Jakarta.


Museum Wayang

Foto: niza-lilac.blogspot.com
Bersamaan dengan kunjungan saya ke Festival Wayang Indonesia 2014 di kawasan Kota Tua Juni 2014 lalu, sejenak saya menengok koleksi wayang milik Museum Wayang. Museum Wayang sendiri berada persis menghadap Lapangan Fatahilah. Menempati bangunan bersejarah bekas Gereja Lama Belanda yang dibangun pada 1640. 

Wayang-wayang koleksi Museum Wayang terkategorikan berdasarkan jenis material, desain, serta fungsi. Prinsip penamaan wayang-wayang tersebut didasarkan pada kekhususan yang dimiliki wayang terkait, misalnya asal daerah, lakon, atau karakter khusus yang dimiliki wayang terkait.

Dari segi jenis material, desain, dan fungsi, koleksi Museum Wayang dibedakan menjadi empat, yakni wayang kulit, wayang golek, wayang klitik, dan wayang mainan. Sebagaimana umum diketahui, wayang kulit dibuat dari kulit, utamanya kulit kerbau atau sapi. Sementara, wayang golek terbuat dari kayu, seperti kayu cendana.

Sementara itu, perpaduan antara material dan desain wayang kulit dan wayang golek menghasilkan wayang klitik yang unik. Wayang klitik berbadan kayu, namun pipipih seperti wayang kulit, sementara tangannya menggunakan bahan kulit. Wayang klitik atau disebut juga wayang kurcil dibuat oleh Raden Pekik di Surabaya pada 1648. Wayang tersebut dipentaskan siang hari tanpa layar, membawakan cerita rakyat, seperti Damarwulan dan Minakjinggo.

Dari segi fungsi, ada sejumlah koleksi wayang milik Museum Wayang yang tidak ditujukan untuk pertunjukan, yakni koleksi wayang-wayang mainan. Terdapat sejumlah wayang mainan dari bahan rumput, bambu, serta karton. Wayang-wayang tersebut dalam sejarahnya merupakan mainan yang dibuat untuk dimainkan anak-anak. Koleksi wayang karton milik Museum Wayang Indonesia bertitimangsa tahun 1963.

Terdapat 23 jenis wayang kulit koleksi Museum Wayang, yang dibernama berasarkan tempat, seperti wayang kulit banyumas, wayang kulit betawi, atau wayang kulit sumatera. Ada juga koleksi wayang yang dinamai berdasarkan nama lakon yang dibawakan, misalnya wayang kulit calon arang, wayang kulit revolusi, serta wayang kulit wahyu. Dua jenis yang terkahir tergolong sangat unik.

Wayang kulit revolusi, atau sebelumnya bernama wayang perdjoeangan, dibuat RM Syahid pada periode 1950-an. Mengangkat tema berlatar pergerakan kemerdekaan, tokoh-tokohnya mengadopsi figure-figur pejuang, seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Sementara itu, wayang kulit wahyu merupakan ekspresi kesenian umat Kristiani yang mengangkat cerita yang bersumber pada wahyu atau firman Tuhan. Wayang tersebut diprakarsai oleh Booeder Timo Heus Wignyosubroto, seorang pastur dari Surakarta pada 1959.

Dari kategori wayang golek, terdapat tujuh jenis koleksi jenis tersebut di Museum Wayang, yakni wayang golek bogor, wayang golek bandung, wayang golek ciawi, wayang golek lenong betawi, wayang golek menak cirebon, wayang golek pakuan, serta wayang golek mini pakuan. 

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply