Teater Mandiri, Teater Rakyat yang Mandiri

Foto: Yose Riandi/tukankpotrek.wordpress.com
Menjadi seniman teater di negeri ini adalah menapaki jalan pengabdian untuk seni dan kemanusiaan. Kecuali kepuasan batin, tak banyak yang bisa diharapkan. Di luar panggung, tak sedikit masyarakat yang masih menganggap seniman teater hanyalah orang ugal-ugalan. Apa lagi soal materi, pekerja seni teater sadar benar untuk tidak menghayal mendapat untung dari pertunjukan mereka.
Maka dari itu, sudah sepantasnya kita berdiri dan mengangkat topi untuk Teater Mandiri yang bertahan lebih dari empat dekade. Didirikan Putu Wijaya di Jakarta pada 1971, Teater Mandiri hingga kini masih lestari. Mereka tetap eksis di tengah kondisi para anggota yang tak lagi muda dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Awal April 2014, mereka kembali menyapa publik seni Tanah Air.
Bertempat di gedung Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Teater Mandiri mementaskan tiga judul drama dalam beberapa hari, yakni Bila Malam Bertambah Malam, Hah, dan Jpret. Semua naskah drama yang dipentaskan merupakan karya lama Putu Wijaya. Kali itu, ketiganya dipentaskan di bawah arahan sang empunya cerita. Pementasan itu merupakan bagian dari rangkaian ulang tahun Putu Wijaya ke-70. Ulang tahun yang terasa berbeda setelah Putu berkursi roda, seusai terkena pendarahan otak pada 2012 lalu.    
Selama ini, Teater Mandiri dikenal dengan gayanya yang khas. Kekhasan Teater Mandiri merupakan cerminan dari prinsip utama mereka dalam berkarya, yakni ‘bertolak dari yang ada’ dan menyuguhkan ‘teror mental’ untuk penonton. Sesuai dengan namanya, mereka ingin berkesenian dengan mandiri dan mendidik para anggotanya untuk menjadi pribadi-prbadi tangguh yang tidak bergantung pada orang lain.
Kreativitas mereka gali dari sumberdaya yang dimiliki, baik dari segi dana, peralatan, maupun kemampuan para aktornya. Dalam pertunjukan, Teater Mandiri berusaha untuk memberondong para penontonnya dengan kejutan-kejutan sejak awal mula layar disibak. Tema-tema yang dibawakan utamanya mengangkat refleksi dan kritik sosial, tapi dengan cara tidak menunjuk siapapun, kecuali mengundang penonton menertawakan getir diri mereka sendiri.
Hal yang unik, para aktor Teater Mandiri direkrut tak hanya dari kalangan anak-anak kampus, tapi juga dari golongan rakyat jalanan, seperti tukang sapu, tukang parkir, pemulung, bahkan bekas narapidana. Tak heran, seorang sutradara Taiwan menyebut mereka sebagai people theater atau teater rakyat. Mereka sendiri menyebut kelompoknya sebagai paguyuban.
Kini, setelah lebih dari 40 tahun berkesenian, para aktornya yang rata-rata sudah berusia matang memiliki kesibukan sendiri-sendiri, dari mulai insinyur bangunan, manajemen artis sinetron, pedagang, hingga ibu rumah tangga. Chandra, salah seorang aktor Teater Mandiri berbagi cerita, dia bergabung dengan Teater Mandiri sejak 1989, ketika dia masih remaja. Chandra mengenang, sebelum akhirnya diberi peran, satu tahun dia ditempa dengan latihan fisik dan mental.
“Setahun saya enggak dikasih kerjaan, cuma bantu-bantu. Enggak dikasih tahu juga kapan saya mau diajak pentas, sampai saya hampir nyerah,” ujar Chandra.
Pria 55 tahun tersebut kini bekerja sebagai manajemen pengorbit artis sinetron anak-anak. Dia juga sering mendapat peran-peran pembantu di berbagai sinetron. Chandra membenarkan, di Indonesia teater tidak bisa dijadikan topangan hidup. “Misalnya begini, kita menyiapkan satu pertunjukan kadang sebulan, kadang dua bulan. Nah, penghasilan dari tiket pertunjukan sendiri kan enggak seberapa,” ujar lelaki berkepala plontos tersebut.
Aktor lainnya, Bambang Ismantoro mengaku tidak terbayang bagai mana nasib Teater Mandiri sepeninggalaan Putu Wijaya kelak. Menurut dia, Teater Mandiri digolongkan sebagai teater sutradara, seperti banyak yang lainnya di Indonesia, seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil Arifin C Noer, atau Teater Koma Riantiarno. “Setelah Putu, susah sepertinya. Putu tetaplah Putu. Cuma satu, dan tak ada yang bisa menggantikannya,” ujar Bambang. 

Cat.: tulisan pernah dipublikasikan di Harian Republika, April 2014

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply