Transmigrasi, Hari Pertama yang Penuh Tanda Tanya (Bagian 3)

Transmigran. Foto: Andi Nurroni
“Para penumpang yang terhormat, 30 menit lagi, kita akan tiba di Pelabuhan Pantoloan, Kota Palu. Bagi Anda yang akan turun di Pelabuhan Pantoloan, diharapkan bersiap-siap.”
Suara operator tersiar ke seluruh sudut kapal melalui jaringan parangkat audio.  Wajah-wajah para transmigran yang kuyu disengat lelah kembali semringah. Akhirnya, setelah berlayar sejak Jumat (21/8) sore dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada Ahad (23/8) pagi, kapal sampai juga di Sulawesi Tengah, provinsi yang dituju.

Dengan gesit, para bapak memikul berkarung-karung perabot mereka turun dari kapal. Tak hanya pakaian atau perlatan dapur, mereka juga membawa perabot pertanian, mulai dari cangkul hingga tanki punggung penyemprot hama. Beberapa dari mereka bahkan ada juga yang membawa sepeda.

Dari pelabuhan, para transmigran diangkut beberapa bus ke tempat transit milik Disnakertrans setempat. Jaraknya 10 menit perjalanan. Para transmigran memang tidak akan dibrengkatkan langsung ke lokasi. Kami diberi waktu istirahat hingga pukul 09.00 malam.  Perjalan malam sudah diperhitungkan agar rombongan tiba di lokasi pagi hari.

Jika kami tiba di sana malam, bisa dibayangkan, situasi akan berabe karena harus membongkar dan memindahkan barang-barang bawaan para transmigran dalam keadaan gelap. Rombongan diangkut menggunakan lima bus. Sedangkan seabrek logistik para transmigran dibawa oleh dua unit truk.

Pukul 21.00, rombongan transmigran memulai perjalan jilid ke dua dari Kota Palu menuju Kabupaten Poso. Menurut panitia, jika lancar, perjalanan dari Kota Palu ke Poso kota bisa ditempuh selama 5 jam. Sementara dari Poso kota ke area transmigrasi di Desa Kancu’u, Kecamatan Pamona Timur, bisa dicapai selama 4 jam.

Perjalan malam membuat kami tidak leluasa menikmati pemandangan. Kami hanya merasa dibawa melintasi kawasaan pegunungan yang berkelak-kelok seperti ular sedang melata. Kendaraan yang saya tumpangi bersama sejumlah transmigran dari Jawa Barat adalah bus sekolah dengan kursi berbahan plastik.

Kondisi itu membuat saya dan hampir seluruh penumpang tidak cukup leluasa beristirahat. Beberapa kali rombongan kami terhenti. Salah satu bus yang membawa kami mengeluarkan asap karena air radiatornya habis. Di lain kesempatan, giliran bus yang saya tumpangi kehabisan solar. “Ah, ada-ada saja,” umpat saya dalam hati.

Karena jok plastik, serta rute ekstrem yang mebuat bus selalu berguncang, badan saya serasa remuk dan perut terasa mual . Tapi untunglah, pemandangan di pagi harisedikit menghibur. Ketika mentari pagi mulai menebar cahayannya yang merah keemasan, kami mendapati diri tengah berada di kawsan pegunungan dengan hamparan lembah, hutan serta bukit-bukti cadas di sekeliling kami. Perkebunan kakao, kopi serta serta sawit timbul tenggelam di sepanjang jalur yang kami lalui.

Kami melewati beberapa perkampungan warga setempat dan titk-titik kampung transmigran terdahulu. Di sepanjang jalan yang kami lewati, kami lebih banyak menjumpai gereja daripada masjid. Pemandangan ini tentu berbeda dengan di Pulau Jawa sana. Di Poso, presentase penganut Islam dan Kristen memang hampir sama besarnya. Namun, jalur yang kami lalui pagi itu adalah bagian wilayah dengan mayoritas warga pemeluk Protestan.

Pukul 08.00, setelah melewati jalanan tanah bergelombang yang cukup terjal, bus yang membawa kami tiba di di lokasi permukiman transmigran di Desa Kancu’u. Lokasi perumahan para transmigran berada puncak-puncak bukit di kawasan lahan gambut yang subur ditumbuhi ilalang.

Transmigran. Foto: Andi Nurroni
Terdapat 100 unit rumah di daerah tersebut, yang terbagi menjadi tiga blok. Masing-masing blok berada di kawasan perbuktian dan berjarak kurang lebih 500 meter saatu sama lain. Jalan penghubung masih berupa tanah kapur, sehingga kerap menebarkan debu.

Rumah yang diperuntukan bagi para transmigran berukuran kurang lebih 5x7 meter per segi. Bagian bawahnya berupa tembok, sementara dinding bagian atasnya menggunakan papan. Lantai rumah itu dicor semen alakadarnya. Sedangkan atapnya adalah seng, tanpa langit-langit. Di dalam, terdapat satu ruang tamu, dua kamar, serta sepetak kecil dapur dan kamar mandi.

Setibanya kami di lokasi, terlebih dahulu rombongan mendapatkan penyambutan di balai terbuka di tengah permukiman. Sejumlah pejabat lokal dan warga setempat telah ada sejak pagi menunggu kami. Tiga orang ibu berpakaian adat Pamona menyalami rombongan yang datang. Memulai kegiatan, pemuka agama dipersilakan memimpin doa. Hal unik yang jarang terjadi dalam acara publik di Jawa, prosesi doa dipimpin dengan cara Kristiani.

Pertemuan warga setempat yang mayoritas berama Kristen dengan para pendatang dari Jawa yang seluruhnya Muslim menghadirkan pengalaman sosial yang jarang kami alami. Terlebih, pertemuan itu terjadi di Poso, wilayah yang pernah disinggahi kerusuhan berbau SARA. Tapi justeru dengan penyambutan itu, kami merasakan hangatnya persaudaraan dan ketulusan penerimaan mereka.

Usai prosesi penyambutan, para transmigran membongkar truk yang mengangkut barang-barang mereka. Dibantu satu mobil bak, para transmigran mengangkut perabot mereka ke rumah masing-masing. Rumah-rumah itu sebelumnya telah diundi ketika transmigran beristirahat di Palu.

Di perkampungan baru transmigran itu, dari total 100 rumah, 50 di antaranya sudah berpenghuni. Rumah-rumah itu diisi transmigran penduduk setempat atau disebut TPS. Mereka berasal dari desa dan kecamatan di sekitar lokasi transmigrasi.

Saya mengunjungi beberapa rumah transmigran untuk melihat apa yang mereka lakukan di hari pertama mereka. Saya di antaranya menjumpai Zaeni (49), transmigran asal Karawang. Di rumah barunya di Blok A, saya mendapati Zaeni dan keempat anaknya sedang beres-beres. Dua anaknya, Iwan (17) dan Ririn (16) bahu-membahu mengepel lantai kamar.

Anaknya yang lain, Ombih (12) tertidur lelap di di ranjang papan, di antara tumpukan bebagai perabot. Sedangkan si bungsu Cici (10) sedang bermain di rumah uwaknya yang juga transmigran dari Karawang. Dari tujuh anaknya, empat yang paling kecil ikut Zaeni ke Poso. Setelah ibu mereka meninggal beberapa bulan lalu, kini praktis Zaeni menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka.

Sebagai orang desa yang pernah bertani, menurut Zaeni, tanah di sana cukup subur, sehingga cocok ditanami padi atau palawija. Hanya saja, Zaeni bercerita, seperti disampaikan petugas Disnakertrans sebelum mereka berangkat, di sana mereka akan diarahkan untuk menanam sawit dengan cara bekerjasama bagi hasil dengan perusahaan. Di samping pemukiman mereka, perkebunan sawit seluas 3050 hektare milik PT Sawit Jaya Abadi memang sudah beroperasi. 

Seperti yang dijanjikan, menurut Zaeni, di sana mereka akan menerima 1,6 hektare lahan secara bertahap. Tahap pertama, mereka menerima 0,6 hektare, yang terdiri dari lahan rumah dan pekarangan seluas 0,1 hektare, serta lahan pertama atau L1, seluas 0,5 hekatre.

Jika mereka sudah berhasil mengolah lahan tersebut, satu-dua tahun selanjutnya, mereka akan mendapatkan lahan kedua atau L2 seluas 1 hekatare lagi. “Tidak apa-apa erjasama sama perusahaan sawit juga. Asal, bagi hasilnya yang adil,” ujar Zaeni.

Selain Zaeni, saya mengunjungi rumah Abdul Kudus (48) di Blok C. Ketika saya bertamu, transmigran asal Kabupaten Sidoarjo itu sedang uring-uringan. Pasalnya, bloknya itu terjangkau saluran air. Untuk mengambil air, ia harus turun ke blok B yang berjarak 500 meter. “Kalau keadaan rumah, bagaimanapun kondisinya, bisa kita maklumi. Tapi kalau tidak ada air, ini repot. Apalagi anak saya dua dan mau saya daftarkan sekolah,” kata dia. 

Program transmigrasi memang terkadang menjumpai berbagai persoalan, termasuk gesekan dengan perusahaan perkebunan, konflik dengan warga sekitar, serta kecurangan yang dilakukan oknum-oknum pejabat publik. Permukiman transmigrasi yang saya kunjungi agaknya juga tidak luput dari persoalan.

Sepertiyang saya dengar dari beberapa warga yang sudah menempati rumah sejak Januari, sudah lima bulan mereka tidak mendapatkan sembako atau disebut jatah hidup (jadup), yang seharunya menjadi hak mereka setiap bulan. Hak atas sembako yang seharusnya mereka terima dalam bentuk berbagai kebutuhan pokok, sudah lima bulan ini ditunggak.

Menurut Kabid Pembainaan Transmigrasi dan Pengembangan Kawasan Disnakertrans Poso Alfian Samudin, keterlambatan penyerahan sembako terjadi karena terlambatanya pencairan dana dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi akibat perubahan nomenklatur.

Tiga hari berselang setelah saya berpisah dengan para transmigran, salah seorang dari transmigran yang saya antar menelepon saya dan mengeluhkan hal serupa. Dia mengaku hanya mendapatkan sebagian dari sembako yang dijanjikan. Kata dia, selain beras, mereka hanya mendapatkan 1 kg ikan asin, 1 liter minyak goreng, dan 1 kg gula pasir.


Padahal seharusnya, mereka mendapatkan 5 kg ikan asin, 3 liter minyak goreng, 3 kg gula pasir, ditambah 3 botol kecap, 2 kg garam, 3 batang sabun dan 8 liter minyak tanah. “Tolong, Bang, ini harus disampaikan kepada Pak Menteri. Pak Menteri kan kemarin yang melepas kami,” kata dia dengan nada kecewa.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 1 Comment

One Response to : Transmigrasi, Hari Pertama yang Penuh Tanda Tanya (Bagian 3)

  1. Lucky Eagle Casino & Hotel - MapyRO
    Located in Eagle Pass, Lucky Eagle Casino & Hotel is within a 10-minute drive 양주 출장마사지 of Fort Worth International 속초 출장마사지 Airport. This eco-friendly casino resort offers  Rating: 태백 출장마사지 2.6 · 보령 출장샵 ‎3,406 reviews 충주 출장마사지 · ‎Price range: $

Leave a Reply