Kanvas Protes Yayak Yatmaka


Foto: goodhousekeeping.co.id
Tiga bocah perempuan itu, dua di antaranya bahkan tampak belum genap sepuluh tahun. Tapi masing-masing mereka sudah menggendong bayi, terlihat begitu biasa tak ubahnya para ibu. Di jalanan kota-kota besar, seperti Jakarta, pemandangan seperti itu mungkin sudah biasa. Para bocah peminta-minta itu mematut diri agar terlihat menyedihkan, tak lain demi mendapat belas kasihan para tuan-nyonya bermobil. 
Sebagian kita mungkin risih melihatnya, ada juga yang tidak peduli. Bagi Yayak Yatmaka, si pelukis sepuh yang tetap radikal itu, kenyataan tersebut benar-benar mengusik jiwanya. Dia pun lantas mengabadikan kisah para bocah penggendong bayi di atas pada kanvasnya, lantas memberinya judul “Pemburu Jendela Mobil Mewah”.  Dua pekan pada awal Mei 2014, bertempat di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Selatan, Yayak menggelar pameran tunggal bertema “Anak dan Perempuan Perkasa”.

Berbagai potret sosial seputar anak dan perempuan pinggiran dihadirkan secara realis. Ada dua orang ibu terbungkuk memikul masing-masing sekarung kubis dan wortel. Ada seorang nenek bersepeda ontel, menopang setumpuk keranjang anyaman bambu di kepalanya. Ada Anak pemecah batu, anak pembuat grabah, anak menjinjing tandan sawit, dan masih banyak lagi. Semua gambar itu, tak pelak adalah kritik sosial yang nyaris tanpa metafor.   

Berkunjung ke pameran Yayak beberapa hari lalu, beruntung saya bertemu dengan sang pelukis. Seniman yang terkenal ramah itu menyapa kami dengan hangat. “Selamat datang, silakan-silakan,” ujar dia sambil menganjurkan tangan, menyilakan saya melihat-lihat.

Kata sang pelukis, gambar-gambar di atas kanvas itu bukan cerita rekaan atau buah imajinasinya. Menurut Yayak, semua diambil dari foto-foto yang dia jumpai di berbagai media, dari mulai surat kabar, majalah, hingga internet. Potret-potret getir anak dan perempuan itu dipilih dengan pertimbangan keterwakilan golongan sosial. Ada perempuan petani, perempuan buruh, anak miskin perkotaan, anak dari suku bangsa minoritas, dan masih banyak lagi.  

Kata Yayak, sengaja dia mendasarkan gambar-gambarnya pada foto agar dia memiliki daya kritik yang kuat. “Ini fakta, tak terbantahkan lagi. Mau bilang apa lagi pemerintah,” ujar dia dengan nada tinggi.

Sejak masa Orde Baru, Yayak memang dikenal sebagai juru kritik hebat terhadap penguasa. Sebelumbya, Yayak dikenal karena kekhasan karikatur bertema orde baru, serta gambar-gambar perjuangan buruh dan petani. Sekarang, Yayak menawarkan permenungannya mengenai nasib anak dan perempuan marjinal. 

Kata dia, tema anak dan perempuan dia pilih karena dua golongan tersebut merupakan korban pertama dari setiap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak. Namun demikian, kata dia, selain bentuk kritik, karya-karya yang dia suguhkan juga ingin menyampaikan pesan. Bahwa di tengah himpitan berbagai kesulitan, anak dan perempuan marjinal itu hadir sebagai pejuang gigih untuk kemanusiaan. 

Dibuka secara khusus oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar, pameran Yayak ramai mendapat kunjungan. Diterangkan Yayak, seluruh hasil penjualan lukisannya itu akan dia gunakan untuk menjalankan Padepokan Neng Ning Nung Nang, lembaga pendidikan yang dia dirikan di Yogyakarta. 

Yayak Yatmaka, Pengabdian Sepanjang Usia
Foto: yayak-yatmaka.blogspot.com

Di kalangan kaum gerakan pro-demokrasi, nama Yayak Yatmaka sudah di kenal sejak lama. Lewat berbagai talenta seninya, dari mulai ganbar, musik, hingga teater, Yayak membela kaum sosial yang tertindas serta lantang menyuarakan kritiknya terhadap penguasa. Sejak kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1977, Yayak sudah terlibat berbagai aktivitas pengorganisasian rakyat. Kini, menjelang enam puluh tahun usianya, pria humoris kelahilaran Yogyakarta 1956 itu masih teguh dengan jalan perjuangan sosial yang dia tempuh.

Dua pekan pada awal Mei ini, Yayak kembali menggelar pameran lukisan tunggal, mengangkat tema “Anak dan Perempuan Perkasa”. bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, pameran tersebut menampilkan berbagai gambaran sosial anak dan perempuan pinggiran. Kepada saya, Yayak berbagi cerita seputar pameran teerbarunya itu, serta sejumlah kisah menarik soal gagasan dan perjalanan hidupnya. 

Kata dia, ide mengangkat tema anak dan perempuan dimotivasi oleh seorang kawannya. Kata Yayak, sang teman memberi saran, agar karya-karya lukisnya jangan terlalu frontal seperti sebelum-sebelumnya, agar lebih bisa diterima publik. Mereka yang akrab dengan karya-karya seniman sepuh itu sangat tahu bagaimana gambar-gambar Yayak. Karya dia umumnya karikatif, dengan tanpa tendeng aling-aling menggambar para penguasa dengan wajah-wajah monster dan metafor-metafor keras lainnya.  

Yayak bercerita, kemudian dia merenungkan saran itersebut. Dia pun merasa, saran tersebut sejalan dengan kegelisahan yang dia rasakan soal nasib anak dan perempuan di Indonesia. Menurut Yayak, negara hari ini telah berlaku inkonstitusional. Berbagai peraturan tidak dijalankan, termasuk Pasal 34 ayat 1. “Katanya fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara, mana buktinya?” Ujar kawan Widji Thukul itu.

Selain anak-anak yang terlantar di jalanan, dia juga mengaku sangat prihatin terhadap maraknya kejahatan seksual terhadap anak. “Itu kegagalan pemerintah. Mereka gagal mendidik orang dewasa,” Kata Yayak, seraya tertawa. 

Menurut Yayak, setiap anak berhak bermimpi dan mewujudkan cita-citanya. Namun sayang, kata dia, sistim  pendidikan Indonesia hari ini lebih banyak mencetak orang-orang gagagal daripada melahirkan genarasi emas penerus bangsa. Mengekspresikan ketidak puasannya terhadap tatanan pendidikan di Indonesia saat ini, Yayak hari ini mengelola lembaga pendidikan yang dia berinama Padepokan Neng Ning Nung Nang. 

Nama yang terdengar ganjil tersebut kata dia merupakan gagasan pendidikan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni Ning, berarti ‘hening, Neng, berarti diam, Nong adalah aksi dan Nang adalah menang. Di Yogyakarta, kata Yayak padepokan tersebut dihidupi oleh 170 orang guru relawan, baik dari dalam maupun luar negeri, termasuk kawan-kawannya dari Jerman, Perancis, dan Austria. 

Kata Yayak, tempat pendidikan itu mereka buat senyap, di tengah lingkungan alam yang masih asri. Kehiningan itu yang menrut dia akan efektif mendukung terjadinya transfer ilmu pengetahuan. Yayak melanjutkan, di sana para guru tak hanya mengajar, tapi juga berkarya. Mereka didorong untuk membuat berbagai buku panduan. 

“Buku-buku panduan praktis itu adalah bentuk berbgai ilmu. Itu yang dibutuhkan masyarakat hari ini. Panduan bercocok tanam, tanam ini-tanam itu, dan sebagainya,” ujar pria yang lama tinggal di Jerman itu. 5/18/14

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014 

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply