Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota

Foto: Komunitas Salihara
Pemuda 30 tahunan itu menyandarkan tubuhnya yang kurus pada tiang-tiang besi di suatu sudut kota. Bercelana jins, mengenakan kaos lusuh, air wajahnya menyiratkan kelelahan panjang dan kepasrahan menghadapi hari depan. Rambutnya yang panjang dan kusut, serta larik-larik tato di tangan kiri-kanannya ibarat sebuah pengakuan atas perjuangan kerasnya mempertahankan hidup di jalanan kota.
Bertrand Meunier 
Foto: Komunitas Salihara
Adegan di atas terrekam dalam salah satu foto jepretan fotografer Perancis Bertrand Meunier, yang dipamerkan di Galeri Salihara, Jakarta Selatan, 25 Mei-10 Juni, 2014. Mengangkat tema “Hub Side Down”, pameran tersebut menghadirkan puluhan foto hitam-putih berlatar kehidupan orang-orang pinggiran di lima kota besar dunia, yakni Hong Kong, Bangkok, Tokyo, Shanghai, dan Jakarta.
Di ruang pameran yang bergaya melingkar, foto-foto Meunier dicetak dalam ukuran besar. Gambar-gambar tersebut dikelompokan dalam beberapa bagian yang mewakili subtema yang serupa. Foto pria bertato yang diceritakan sebelumnya, sebagai misal, bersandingan dengan dua gambar sosok lainnya. Satu adalah foto seorang pemuda yang tengah duduk melamun di emperan toko sambil memainkan bibirnya, yang lainnya adalah gambar seorang nenek berwajah kepayahan tengah berjalan meninggalkan hiruk-pikuk cafe-cafe tenda.
Berbagai subtema ditampilkan dengan mencampurkan berbagai foto yang diambil dari kota-kota berbeda. Si pemuda bertato sepertinya adalah orang Indonesia, diduga begitu karena pada kaosnya bertuliskan “Republik Malioboro”. Pemuda di emperan toko juga terlihat berwajah Indonesia, atau mungkin juga Thailand. Sementara si nenek tampaknya berasal dari Shanghai atau Hong Kong, terlihat dari dandanannya yang cenderung modis dan latar belang cafe-cafe di belakangnya yang rapi. 
Selain subtema ‘wajah’ dengan tiga sosok di atas ada sejumlah subtema lain, salah satunya menghimpun foto-foto aktivitas ‘seorang’ warga kota dalam berbagai aktivitas. Ada seorang gelandangan tengah mengemis mengenakan topeng, ada kuli dengan punggung penuh tato sedang duduk beristirahat, ada seorang perempuan muda tidur tertunduk di bangku kereta, dan beberapa gambar lainnya.     
Ditemui dalam pembukaan pameran, Meunier, sang juru foto mengatakan, gambar-gambar tersebut dia abadikan setiap kali dia mengunjungi kota-kota besar tersebut. Selama sepuluh tahun mendatangi kota-kota itu,kata dia, semakin resah jiwanya mencari jawaban, apa yang terjadi dengan kota dan manusia-manusia tersebut.
“Apa sebenarnya yang kita cari? Apa artinya hidup ini dengan ketimpangan sosial yang begitu mengganggu? Kebahagiaan seperti apa yang kita mau? iPhone? Mall, atau apa?” ujar Meunier kepada saya dan sejumlah wartawan lain.
Memerhatikan saksama foto-foto Meunier, jelas persoalan teknis memotret menjadi topik yang tidak terlalu menarik diperbincangkan. Berbagai pertanyaan filosofis yang dilayangkan sang juru foto tanpa basa-basi langsung menghinggapi perasan para pengunjung yang hadir mengapresiasi karya-karyanya.

“Kota boleh berbeda, tapi maslah sosial ternyata sama. Lihatlah foto-foto mereka,” ujar Muenir menutup pernyataannya.

Foto: Bertrand Meunier













Foto: Bertrand Meunier
Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, April 2014. 

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply