Perjalanan Mudah dan Murah Ala Backpacker

Foto: makanjalan.com

Tahun 2013 lalu, Ali melancong ke tiga negara sekaligus: Singapura, Malaysia, dan Thailand. Selama beberapa pekan di sana, pemuda 26 tahun itu memuaskan diri berkunjung ke berbagai destinasi wisata. Tak lupa, ia juga membeli sejumlah suvenir untuk kawan-kawannya di tanah air. Banyak orang mengira, dia pasti mengeluarkan banyak modal untuk itu. Ternyata, Ali mengaku hanya menghabiskan uang tak lebih dari Rp 2,3 juta.
Itulah sepenggal kisah seorang backpacker alias wisatawan beransel. Dalam kamus mereka, sudah tak ada lagi istilah takut keluar ngeri karena urusan biaya. Di usianya yang masih muda, dengan uang hasil kerjanya sendiri, Ali mengaku telah mengunjungi berbagai tempat di belasan negara, termasuk yang terakhir, mendaki pegunungan es di Nepal. Ali adalah satu dari ribunan warga Indonesia penghobi backpacking yang bergabung dalam komunitas Backpacker Dunia.
Akhir pekan lalu, lebih dari 200 orang anggota Backpacker Dunia region Jakarta menggelar pertemuan bulanan rutin mereka. Bertempat di Museum Mandiri, Kawasan Kota Tua, Jakarta Utara, mereka saling berbagi pengalaman. Beberapa orang bergantian tampil ke depan menceritakan perjalanan baru mereka. Hadirin meresponnya dengan berbagai pertanyaan, dari mulai biaya, jalur perjalanan, tempat-tempat bagus yang direkomendasikan, serta lain sebagainya.
Setidaknya satu dekade terakhir, backpacking mulai membudaya Indonesia, khususnya di kalangan kaum muda perkotaan. Demam backpacking hadir seiring dengan bermunculannya berbagai maskapai penerbangan murah, sehingga berpergian ke luar negeri menjadi jauh lebih terjangkau. Karena akses yang cepat, perjalanan ke luar negeri bisa dilakukan di sela-sela waktu sibuk, tanpa harus mengganggu pekerjaan. Tak heran, salah satu kebiasaan unik para backpacker adalah memantau situs-situs penjaja tiket penerbangan untuk berburu penerbangan murah.
Selain soal kemudahan akses transportasi, kemajuan teknologi informasi juga berperan signifikan trrhadap budaya backpacking. Orang-orang kini tak takut lagi bertualang ke tempat-tempat asing karena informasi dapat dengan mudah ditemukan melalui gawai (gadget) mereka, entah komputer jinjing atau ponsel pintar.
Tak kalah penting, budaya wisata beransel juga tumbuh disokong oleh keterbukaan politik dan ekonomi negara-negara di dunia. Hanya beberapa negara saja yang masih tertutup dan sulit dikunjungi, seperti Korea Utara atau negara-negara yang tengah dilanda konflik. Selebihnya, pemerintah negara-negara dunia justeru berlomba-lomba merangkul para wisatawan mancanegara untuk datang ke negeri mereka.
Berbekal beberapa potong pakaian dalam ransel dan uang alakadarnya, para backpacker tak ragu melanglang buana ke negeri-negeri asing. Tak ingin hanya sekedar lewat, banyak dari mereka mengabadikan petualangannya dalam bentuk catatan, foto atau video. Tak heran, buku-buku kisah perjalanan kini menjamur di rak-rak toko buku.
Sebagian penghobi wisata beransel menganggap backpacking bukan sekedar jalan-jalan, melainkan sebuah media edukasi. Bagi sebagian besar mereka, monumen atau tugu tak begitu menarik. Mereka lebih suka menyelami kebudayaan dan menjalin pertemanan dengan masyarakat lokal di tempat-tempat asing yang dikunjungi.

Ketika Ratusan Backpacker Berkumpul
Foto: xtreamegapyear.co.za
Begitu banyak orang mengidamkan perjalanan ke luar negeri. Sayang, tak banyak yang beruntung bisa mewujudkannya. Faktor biaya sering dikeluhkan sebagai kendala utama. Selebihnya adalah soal bermacam kebingungan, dari mulai mengurus administrasi hingga ketidakpercayaan diri karena tak cakap berbahasa asing.
Ruang pertemuan berdaya tampung 200 orang di Museum Mandiri, Jakarta Utara, suatu sore di penghujung April sesak oleh manusia. Sebagian harus puas berdiri karena tak mendapatkan kursi. Di depan, seorang pemuda terlihat bersemangat menyampaikan presentasi, lengkap dengan gambar-gambar peraga di layar besar. Pemuda itu tak sedang menggantikan dosennya memberi kuliah. Dia tengah berbagi cerita perjalanan terbarunya, mendaki pegunungan bersalju di Nepal.
Mereka yang berkumpul di sana adalah para pegiat komunitas Backpaker Dunia, wadah yang menampung para penghobi wisata beransel ke luar negeri. Sebulan sekali mereka bertemu, saling berbagi cerita dan pengalaman. Beberapa orang akan tampil ke depan secara bergantian untuk menceritakan perjalanan terbaru mereka. Selebihnya, saling tukar informasi mengalir begitu saja dari mulut ke mulut.
Sore itu, dan konon seperti biasanya, pertemuan terasa seperti pesta sekumpulan teman lama. Patut dimaklum, sehari-hari mereka dipisahkan berbagi aktivitas dan hanya bisa saling sapa melalalui situs jejaring sosial. Orang-orang, dari yang terlihat sangat belia hingga para ibu-bapak berwajah 50-an tahun bersendagurau dengan begitu lepas. Di meja belakang, seabrek penganan, dari permen, makanan ringan kemasan, hingga kue tradisional menumpuk tak karuan. Makanan-makanan itu dibawa para BDers, sebutan untuk anggota mereka, secara sukarela.
Kepada saya, Elok Dyah Messwati, sang inisiator komunitas, berbagi cerita. Dikisahkan Elok, Semula, Backpacker Dunia hanyalah sebuah grup di Facebook. Dia membuatnya pada 2009 untuk sekedar mempromosikan buku catatan perjalanannya ke Australia, serta mengundang para penghobi backpacking datang menghadiri peluncuran bukunya. Tak di sangka, anggota grup itu terus bertambah, bahkan kini tercatat hampir 65 ribu (Maret 2015).
Pertemuan rutin pun digagas Elok agar anggota mengenal lebih dekat satu sama lain. Terlebih, itu dilakukan demi menghindari modus penipuan yang mungkin terjadi di antara mereka. Komunitas tersebut semakin berkembang dan hadir di berbagai region di tanah air. Di Jakarta, pertemuan sudah menginjak tahun kelima, dan dua tahun terakhir rutin digelar di Museum Mandiri.
“Komunitas ini, anggotanya dari mulai anak 14 tahun hingga orang tua, dari orang yang enggak punya duit sampai milyarder, semua ada. Lewat grup ini aku kepingin menyampaikan satu hal, bahwa jalan-jalan keluar negeri enggak sulit dan enggak musti mahal,” ujar Elok.
Hal yang lebih penting bagi Elok, dia ingin mengampanyekan budaya berani berpergian sendiri. Menurut Elok, berpergian sendiri adalah seni sebuah perjalanan, yang membuat orang menemukan kemerdekaannya. Selain itu, bertualang sendiri juga jauh lebih murah, tanpa perlu mengeluarkan uang yang dia anggap tidak perlu, misalnya untuk agensi wisata. Menurut Elok, komunitas tersebut ingin menyadarkan masyarakat bahwa berwisata ke luar negeri bukan lagi mimpi.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah dimuat di Harian Republika, Mei 2014.

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply