Sengkarut Mangrove di Pesisir Surabaya

Soni Mohson dan mahasiswa sehabis menanam mangrove, Desember 2015. Foto: Andi Nurroni
Siapa tak tergoda mengunjungi Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya? Coba Anda masukan kata kuncinya di mesin pencari Google, pilih fitur gambar, maka tampillah berbagai potret keindahan kawasan wisata alam di pesisir timur Surabaya itu. Ekowisata Mangrove Wonorejo didesain Pemerintah Kota Surabaya sebagai sarana rekreasi masyarakat yang murah-meriah.
Destinasi wisata tersebut adalah pelarian sempurna bagi mereka yang jenuh dengan hiruk-pikuk kota. Selain itu, tempat tersebut juga menyajikan petualangan menyenangkan. Semisal menyusuri jembatan papan menembus hutan mangrove, atau berperahu hingga jauh ke ujung muara Kali Wonokromo.

Tak sampai di situ, jika Anda ikut dalam tur perahu, Anda juga bisa memilih untuk bersantai di sejumlah anjungan yang berdiri di tepian selat Madura. Tak heran, Wali Kota Tri Rismaharini kerap membangga-banggakan objek wisatanya itu kepada para tamunya. Sekilas cerita, profil Ekowisata Mangrove Wonorejo pasti membuat Anda grerget dan penasaran ingin berkunjung.

Namun, alangkah lebih baik jika Anda mendengarkan cerita selengkapnya. Di luar pengatahuan khalayak umum tentang keindahan kawasan Ekosiwata Mangrove Wonorejo, banyak pegiat lingkungan yang geram dengan keberadaan wahana wisata tersebut.

Koordinator Kelompok Tani Mangrove Wonorejo Soni Mohson, salah satu di antaranya. Dijumpai di kediamannya di Desa Wonorejo, akhir November lalu, Soni mencurahkan banyak keresahannya tentang kawasan konservasi mangrove di kawasan pantai timur Surabaya, atau sering disebut Pamurbaya itu. Soni dengan keras menyatakan ketidaksepakaatannya terhadap konsep wisata yang dikembangkan Pemkot Surabaya di Pamurbaya.

Soni menggmbarkan, hutan mangrove bukan hanya berbicara tentang pepohonan, melainkan kesatuan ekosistem pesisir. Hutan mengrove Pamurbaya yang terbentang di wilayah pesisir empat kecamatan, yakni Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut dan Gunung Anyar, menurut Soni adalah rumah bagi berbagai spesies hewan. Di kawasan luas sekitar 2500 Haktare tersebut, menurut Soni, hidup berbagai spesies burung, kera, ikan, udang dan hewan-hewan lainnya. Apa yang sisampaikan Soni memang bukan isapan jempol.   

Hasil penelitian Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), hutan mangrove Pamurbaya memiliki tidak kurang dari 38 jenis flora, termasuk di dalamnya 19 jenis mangrove mayor, 13 jenis mangrove minor. Selain itu, di sana, hidup juga 98 jenis spesies burung, di mana 34 jenis di antaranya merupakan burung migran. Satwa lain yang juga hidup di sana adalah serangga, reptil, mamalia, ikan, udang dan masih banyak lagi.

“Nah, burung itu kan sangat peka terhadap tiga hal, suara, warna dan aroma. Itulah kenapa kita sudah jarang mendapati kawanan burung di sini. Pernah beberapa waktu lalu, pihak Bandara Djuanda kerepotan mengusir ribuan burung yang sempat menggangu penerbangan. Itu burung-burung air, ya dari sini,” kata pria 53 tahun itu. 

Soni juga mendengar cerita mengenai kawanan monyet yang menyerang warga sekitar hutan mangrove di perbatasan Sidoarjo. Kera-kera tersebut, menurut Soni, juga berasal dari hutan mangrove Pamurbaya. Selain itu, kata dia, akibat aktivitas wisata tersebut, penghasilan sampingan para penjaga tambak menurun drastis.

Menurut Soni, para penjaga tambak itu tidak diberi uang makan. Sebagai gantinya, mereka diperbolehkan menangkap udang liar di tambak. Kini, menurut Soni, para petani mengeluh tak banyak udang yang bisa ditangkap. Mereka curiga, aktivitas hilir-mudik perahu di Kali Wonokromo telah menghambat udang masuk ke pintu air tambak.

Soni berpendapat tegas, konsep wisata yang dikembangkan Pemkot telah keliru. Bukti nyata lain yang dianggap sebagai kesalahan adalah pembangunan jembatan papan dengan tiang-tiang beton di lokasi Ekosiwata Mangrove. “Kalau mau buat wisata, harusnya wisata edukasi dan penelitian. Pengunjung harus di batasi. Di perhitungkan kerapatan manusia di bandingkan dengan luas hutan,” ujar Soni.

Keberadaan Ekowisata Mangrove rupanya bukan masalah tunggal di kawasan hutan mangrove Pamurbaya. Akhir bulan lalu, pihak Sapol PP Surabaya melakukan penindakan terhadap aktivitas pembangunan tak berizin atas naman PT Tirta Agung Prakasa Makmur di kawasan hutan mangrove Kecamatan Gunung Anyar. Sedangkan awal bulan ini, pihak Satpol PP juga menindak praktik pemasangan patok-patok kavling atas nama PT SS di pesisir Kecamatan Sukolilo dan Mulyorejo.

Meski teah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak 2007 melalui Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Surabaya, para pengembang tetap rajin merayu warga agar menjual tanah dan tambak warga. Hasilnya, menurut, penelitian Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, di Kecamatan Wonorejo saja, sudah 95 persen tambak di miliki oleh perusahaan pengembang.

Pihak-pihak pengembang tersebutlah yang selama ini selalu mencari celah untuk melakukan penetrasi di kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya. Meski telah beberapa kali mendapati kasus-kasus perambahan hutan mangrove, Pemkot Surabaya belum juga bertindak tegas. Hal tersebut sangat disesalkan oleh Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha.

Masduki dengan tegas berpendapat, keterlibatan oknum-oknum di jajaran Pemkot Surabaya sangat kentara dalam kasus-kasus tersebut. “Sekarang logikanya, Wali Kota gembar-gembor (tentang Pamurbaya) di mana-mana, tapi pengawasan tidak dilakukan jajarannya di bawah, hingga camat atau lurah. Camat dan lurah mengaku kecolongan, apa pantas pejabat mengaku kecolongan? Dan mereka tidak ditindak,” ujar Masduki, ketika diwawancarai Senin (15/12).

Menurut Toha, ketidakseriusan Pemkot Surabaya mengurusi Pamurbaya terlihat dari tidakadanya patok-patok penetapan batas wilayah yang jelas. Hal tersebut, menurutnya menjadi celah bagi pengembang yang ingin berbuat nakal. Dengan kedudukan strategis kawasan Pamurbaya, Masduki mengusulkan agar regulasi yang mengatur tidak hanya Perda RTRW, melainkan perda menganai pengelolaan wilayah pesisir.

Selama ini, sejumlah lembaga dinas berbagi kewenangan menyangkut hutan mangrove Pamurbaya. Beberapa lembaga terkait adalah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Surabaya, serta Dinas Pertanian (Distan) Surabaya.

Dikonfirmasi mengenai sengkarut tata kelola Pamurbaya, Plt Kepala DCKTR Surabaya Eric Cahyadi mengakui, pihaknya sedang bekerja keras menata kawasan Pamurbaya. Soal para pengembang nakal, pendapat Eri mengesankan sikap permisif Pemkot Surabaya. 

“Kalau dia tahu itu, hukum harus berjalan. Kalau dia belum tahu itu, pemerintah kota harus melakukan sosialisasi. Intinya, dia ada di kawasan konservasi. Kalau itu sudah disosialisasikan, hukum sudah berjalan,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Fisik Sarana dan Prasarana Bappeko Surabaya Dwija Wardhana menjelaskan, aktivitas penebangan mangrove yang dilakukan pengembang belum tentu bisa dibawa ke ranah kriminal. Pasalnya, tidak semua kawasan lindung itu diperuntukan untuk mangrove. Selain itu, menurut dia, ada juga kawasan perlihan yang memungkinkan adanya pemanfaatan secara terbatas.

Menurut Dwija, yang harus dipastikan adalah, apakah pengembang membangun di zona utama, atau di kawasan pemanfaatan terbatas. Menurut dia, zona utama luasnya sekitar 200 hingga 300 meter dari garis pantai, yang perhitungannya didasarkan pada Perda RTRW terbaru, yakni Nomor 12 Tahun 2014.

Selain itu, menurut Dwija, meski pun telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, masih banyak tanah-tanah bersertifikat yang dimiliki warga. Bahkan, menurut Dwija, tanah warga, terutama dalam bentuk tambak jumlahnya lebih besar daripada milik Pemkot Surabaya. “Untuk itulah kami telah menganggarkan dana untuk membeli tanah-tanah warga. Tapi syaratnya, warga yang mengajukan terlebih dahulu,” katanya.

Dimintai tanggapan, pihak Distan Surabaya selaku pihak yang diberiamanah pengelolaan hanya menjawab dengan bahasa normatif. Kepala Distan Surabaya Djoestamadji menyampaikan, pihaknya hanya berkewajiban mengawasi. Menrut dia, pengawasan selama ini dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. “Kami punya dinas khusus lapangan, mereka meakukan pendampingan terhadap petani dan nelayan agar mereka terberdayakan,” kata Djoetamadji. 


Pembenahan masalah tata kelola kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya bisa jadi adalah tantangan paling serius kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat ini. Penyelamatan kawasan lindung  hutan mangrove Pamurbaya tak diragukan akan berdampak signifikan, tak hanya untuk leingkungan, tetapi juga bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Surabaya.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014

POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 1 Comment