Bayangan Sukarno di Rumah HOS Tjokro


Foto: Wikipedia/KITLV
“Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus-menerus sekalipun di siang  hari.”
Begitu Sukarno menceritakan kisahnya semasa indekost di rumah HOS Tjokroaminoto. Cerita itu ia tuturkan kepada penulis biografinya, Cindy Adams.

Hunian yang diceritakan Sukarno itu hingga kini masih terjaga dan diabadikan sebagai cagar budaya. Bangunan sederhana itu terletak di Gang Peneleh VII, Surabaya. Di sana, Sokearno, atau dahulu masih bernama Koesno Sosrodihardjo, dititipkan ayahnya untuk ‘mondok’ di tempat tokoh pergerakan HOS Tjokroaminoto. Sukarno kala itu tengah menempuh pendidikan Hogere Burgerlijks School (HBS). Pada 1916 saat itu, usianya baru 15 tahun.

Bertamu ke rumah HOS Tjokro suatu sore di akhir Februari 2015, saya menelusuri cerita Sukarno tentang rumah tersebut. “Kalau dari perkataan Pak Karno, kemungkinan sih kamar dia di sini,” ujar Eko Hadiratno, penjaga rumah, menunjukan ruangan yang kami jejak.

Eko bercerita, selain berdasarkan cerita Seokarno, jejak sang Proklamator itu di rumah tersebut juga ditunjukan oleh sebuah foto. Pose Seokarno bergambar di bawah pohon belimbing diyakini Eko berada di halaman belakang rumah tersebut. Sayang, halaman belakang itu kini telah hilang dan tersekat benteng sekolah.  

Di rumah itu, Sukarno muda mulai mengasah wawasan politik dan pengetahuan tentang gerakan sosial. Sementara sekolah menyediakan pelajaran formal sebagai latar pengetahuan umum, pelajaran politik dia dapat dari HOS Tjokroaminoto, sang bapak kost yang tak lain adalah ketua Sarikat Islam. Organisasi itu, pada zamannya merupakan perkumpulan pribumi terbesar beranggotakan 2,5 juta orang.

Tak hanya Sukarno, sejumlah pemuda indekost lainnya juga mendapatkan gemblengan HOS Tjokro. Beberapa di antaranya, kelak berseberangan jalan dengan Sukarno, bahkan dengan sang guru sendiri. Mereka adalah Semaoen, Muso, Alimin dan Darsono yang kemudian menjadi pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara, pemuda lainnya, yakni SM Kartosuwijo, di masa tuanya menyatakan perang terhadap Republik Indonesia dan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia.

Di rumah itu pula, Sukarno mengenal tokoh-tokoh pergerakan lainnya yang kerap datang bertamu. Mereka di antaranya adalah Tan Malaka, KH Agus Salim, Suwardi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara), pentolan Perhimpunan Sosial-Demokratik Hindia (ISDV) Henk Sneevliet, dan masih banyak lagi.  

Di kamar kost-nya yang pengap itu, di depan cermin, Seokarno muda gemar berlatih orasi. Dia mengaku terilhami oleh perkataan HOS Tjokro, demimenjadi orang besar, pemuda harus menulis seperti wartawan dan berbicara seperti orator.

Polah Sukarno yang gemar teriak-teriak itu, terkadang membuat kawan-kawannya jengkel. Di antara mereka, Kartoseowirdjo yang merupakan kawan karibnya sering menyebutnya orang gila karena hobi berbicara sendiri. Sementara dari Muso yang berusia empat tahun lebih tua, Sukarno mengaku belajar tenatang Marxisme.  

Tahun 1921, ketika berusia 20 tahun, Sukarno dinikahkan HOS Tjokro dengan putri sulungnya, Siti Oetari. Ketika itu, sang gadis yang juga menjadi rebutan para pemuda indekost masih berumur 16 tahun. Pascapernikahan mereka, sang mertua pidah rumah ke daerah Plampitan, yang berjarak tak jauh dari Peneleh.

Sayang, pernikahan Sukarno dan Oetari tak bertahan lama. Begitu lulus HBS dan melanjutkan pendidikan ke Tecnische Hogeschool (kini ITB) di Bandung, pada 1923, Sukarno mengembalikan Oetari pada ayahnya, HOS Tjokroaminoto. Konon, sejak semula, keduanya sudah tak saling cinta. Dan pernikahan itu, mereka lakukan untuk menyenangkan HOS Tjokro.

Setelah menjadi presiden, Sukarno pernah pulang ke Gang Peneleh VII. Di depan rumah joglo itu, dia mengumpulkan warga dan mengajak mereka diskusi tentang berbagai hal. Cerita itu disampaikan Eko, penjaga rumah yang juga Ketu RT. “Nenek saya pernah cerita begitu. Makanya, orang-orang tua sampai sekarang nyebut rumah ini, ya Rumah Pak Karno,” kata dia.

Di rumah itu, yang disembunyikan rapat sepanjang sejarah Orde Baru, Sukarno melewati babak penting dalam sejarah hidupnya. Rumah itu kini bukan hanya menjadi bagian sejarah presiden pertama Indonesia bernama Sukarno. Sejarah itu  hari ini telah menjadi warisan bangsa yang wajib dilestarikan.

Sejarawan Surabaya Dukut Imam Widodo berharap, situs rumah HOS Tjokroaminoto yang masih sepi pengunjung itu terus dikembangkan. “Paling tidak ada perpustakaan atau ruang pemutaran film. Jadi orang punya banyak alasan untuk datang dan betah lama di sana,” ujar dia.


Suatu Sore di Rumah HOS Tjokro

Rumah HOS Tjokroaminoto. Foto: Andi Nurroni
Ashar hampir menjelang ketika saya berhasil menemukan rumah tua berpagar hijau itu di Gang Peneleh VII, Surabaya, akhir Februari lalu. Penampakan rumah joglo dari akhir abad ke-19 itu persis seperti saya lihat di catatan blog sejumlah peminat wisata sejarah. 

Itulah rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto, seorang bapak bangsa yang namanya kini banyak diabadikan menandai jalan-jalan protokol di negeri ini. Tak hanya HOS Tjokro, hunian sederhana itu juga memiliki ikatan sejarah dengan sejumlah tokoh politik penting zaman pergerakan. Sebut saja Sukarno, Semaun, Muso, dan Kartosuwirjo. 

Di rumah itu, Sukarno indekost selama beberapa tahun sejak 1916, semasa dia bersekolah di  Hogere Burgerlijks School (HBS). Tak hanya menyewa kamar, Soekarno dan kawan-kawannya yang kelak menjadi tokoh-tokoh penting mendapatkan wawasan politik, pergerakan sosial, hingga ilmu agama dari sang bapak kos, HOS Tjokroaminoto. Ketika, ia sudah memimpim perhimpunan Sarekat Islam.   

Melihat pintu pagar tumah itu disegel gembok, rasa senang saya menjadi tercampur waswas. Sementara, gang yang tak seberapa lebar tempat rumah itu berdiri saya dapati sepi. Hanya kain bendera dujung tiang yang bergerak-gerak tersibak angin. Beberapa menit saya tertegun mencari orang untuk dimintai tanya.

Memasuki gang, seorang bapak turun dari sepeda motornya, lalu mendorong kuda besinya itu hendak melintas di depan saya. Oh, rupanya pengendara sepeda motor harus turun jika memasuki gang dan melintas di rumah itu—hal yang tidak saya lakukan sebelumnya. Peringatan itu, kemudian saya lihat dari jauh terpasang di pintu gerbang gang. Dari si Bapak, saya diberi petunjuk ke mana harus menemukan sang penjaga rumah.

Berjalan ke ujung gang hingga seratus meter jauhnya, saya menemukan rumah sang penjaga, Eko Hadiratno. Pria 40-an tahun yang dipercaya mengelola rumah HOS Tjokro itu adalah Ketua RT di lingkungan setempat. “Silakan masuk,” ujar dia ramah, setiba kami di joglo HOS Tjokro.

Memasuki rumah berukuran sekitar 13 x 9 meter itu, saya merasa diserbu berbagai bayangan sejarah. Meja-kursi kayu lawas, bufet, meja rias, foto-foto, benda-benda itu satu per satu menarik saya untuk mendekat. Gambar-gambar HOS Tjokro dalam berbagai suasana, juga foto-foto Sukarno dan yang lainnya, dipasang di sepanjang dinding rumah. “Foto-foto ini sebagian didatangkan dari Belanda,” ujar Eko yang menyertai langkah saya.

Memasuki joglo itu, pengunjung akan menemukan beberapa ruangan. Ruangan utama, tempat meja-kuris kayu diletakkan, adalah ruang tamu. Melewati lorong menuju bagian belakang, di kanan-kiri terdapat ruangan. Ruangan di sebelah kanan terlihat jelas seperti kamar, lengkap dengan daun pintu yang masih tersisa.

Di kamar itu, tergantung logo Partai Sarikat Islam Indonesia dalam bingkai besar. Menurut Eko, itulah benda paling bernilai yang diwanti-wanti pihak ahli waris untuk dijaga benar-benar. Sementara, ia melanjutkan, perabot dan barang-barang lain, sebagian besar ditambahkan sebagai pelengkap. Barang-barang asli sendiri, menurtu dia, sudah tidak jelas rimbnya, sejak rumah tersebut dijadikan tempat kost, hingga tahun 1998.

Eko bercerita, tata ruang di rumah tersebut adalah hasil dari beberapa kali pemugaran. Sejumlah dinding penyekatdi bagian depan dan tengah, kata dia, terpaksa dihilangkan agar rumah lebih leluasa menerima pengunjung.

Di belakang, masih ada satu ruangan lain. Ruangan itu juga menjadi akses untuk menemukan ruangan lainnya di bagian atap. Menaiki anak-anak tangga dari besi, saya menghadapi ruangan paling luas di rumah tersebut. Berukuran sekitar 10 x 5 meter, ruangan itu berdipan kayu dan hampir tak berjarak dengan atap.

Eko sendiri mengaku kurang yakin peruntukan ruangan tersebut. Berdasarkan pengakuan Sukarno, bahwa pemuda yang indekost hingga 30 orang, kemungkinan ruang tersebt disekat untuk kamar-kamar tidur.

Puas menjelajah setiap bagian rumah, Eko mengundang saya duduk di ruang tamu. Berbagai pertanyaan saya ajukan, setelah sebelumnya menyetel ponsel untuk merekam cerita dia. Mengawali kisahnya, Eko menyampaikan, sebelum tahun 1996, rumah HOS Tjokro boleh disebut ‘hilang’.

Sejarah joglo itu, kata dia, dirahasiakan keluarga HOS Tjokro, begitupun keluarga Soenarjo, warga kampung yang dititipi kunci. Menurut Eko, hingga kunci dipegang anak perempuan Soenarjo yang bernama Ema, sejarah rumah tersebut masih disimpan rapat-rapat. “Sepertinya karena alasan politik, waktu itu kan masih jaman Orde Baru, segala sesuatu yang berbau Sukarno tidak aman,” kata Eko.   

Baru pada 1996, Eko bercerita, puteri Sukarno, Sukmawati membuka sejarah rumah tersebut kepada publik. Bersama dengan itu, Eko bercerita, kepemilikan rumah tersebut juga diserahkan kepada Pemkot Surabaya, dengan harapan menjadi cagar budaya.

Eko bercerita, perbaikan situs bersejarah tersesbut dilakukan secara berkala, terutama dalam tiga tahun terakhir. Genting dan flafon yang dulu bocor, kata dia, telah diperbaiki. Begitu juga dengan pengadaan berbagai bukti dokumentasi, seperti foto. Termasuk, perabot dan fasilitas penunjang, seperti perangkat audio untuk memeutar lagu-lagu perjangan.

Meski telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan dipugar beberapa kali, menurut Eko, promosi rumah tersebut sebagai situs wisata sejarah masih kurang. Bahkan, kata dia, satu hari bisa sama sekali tidak ada yang datang berkunjung. Ia berharap, ke depan rumah tersebut terus disempurnakan, termasuk menyediakan pemutaran film dan menyediakan suvenir.  

Berada satu jam di sana, langit semakin mendung ketika saya pamit untuk pulang. Senyum Eko yang ramah menyertrai saya mendorong sepeda motor menuju gerbang di depan sana.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Maret 2015

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Transmigrasi, Ketika Harapan Terbentur Kenyataan (Bagian 5-Habis)

Keluarga transmigran. Foto: Andi Nurroni
Lebih dari satu abad berlalu sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memulai program transmigrasi di Nusantara pada 1905. Sejak saat itu, program pemindahan penduduk atas nama pemerataan pembangunan dan upaya mengurai kepadatan populasi itu berlanjut hingga hari ini.
Program transmigrasi digadang-gadang telah berhasil mendorong kemajuan banyak daerah di luar Pulau Jawa yang dahulu tertinggal. Meski begitu, kisah transmigrasi ternyata tidak semuanya tentang keberhasilan. Semakin kemari, berbagai persoalan mengemuka, mulai dari konflik transmigran dengan warga setempat, perselisihan dengan perusahaan perkebunan, hingga prilaku curang onkum birokrat.

Jumat, 21 Agustus lalu, Pemerintah Jokowi-JK, melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, memberangkatkan rombongan transmigran pertama di era Kabinet Kerja. Sebanyak 30 keluarga dari Jawa Timur dan Jawa Barat dilepas dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.     

Demi memahami lebih banyak tentang isu transmigrasi di Indonesia, saya turut serta dalam rombongan. Melalui catatan-catatan sebelumnya, saya telah  meceritakan suasan perjalanan, profil para transmigran, suasana kampung transmigran di daerah tujuan, serta potret keberhasilan transmigrasi. Melalui tulisan terakhir ini, saya ingin menyampaikan beberapa temuan masalah dalam program transmigrasi yang saya jumpai di lapangan.

Sabtu, 22 Agustus, atau malam kedua perjalanan kapal yang kami tempuh, seorang ibu datang menghampiri kami. Saat itu, saya dan beberapa pendamping transmigran sedang mengobrol santai di atas ranjang kami yang berimpitan. Si ibu menghampiri Imam Koedhori, pendamping dari Disnakertrasduk Jawa Timur. Ibu itu mengaku sebagai transmigran yang tempo hari pernah Koedhori antar.

Ibu 51 tahun itu mengenalkan diri bernama Sri, transmigran asal Bojonegoro, Jawa Timur. Ia menyebut diberangkatkan pada tahun 2012 silam, dengan tujuan daerah penempatan di Kecamatan Mopu, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Sekilas, Koedhori tampak merenung mencari rekamanan sosok Sri di kepalanya.

Namun, ia lalu menyerah dan meminta maaf karena tidak mengingat tentang Sri secara spesifik. Meski begitu, Koedhori sepakat bahwa tahun itu, ia memang mengantar rombongan dengan tujuan Kabupaten Buol, seperti disebutkan Sri. Setelah sedikit percakapan basa-basi, akhirnya Sri mengutarakan maksud kedatangannya.

Sri bercerita, saat ini ia dan teman-temannya di daerah penempatan sana, tengah mengalami kesuilitan. Sudah hampir tiga tahun mereka mengikuti program transmigrasi di sana, mereka tidak kunjung menerima 2 hektare tanah yang diijanjikan. Padahal, menurut Sri, dahulu mereka dijanjikan lahan tambahan setelah bisa mengolah lahan awal yang diberikan.

Karena tidak juga diberikan lahan tambahan, menurut Sri, para transmigran kecewa dan sebagian besar pulang kembali ke kampung halaman masing-masing. “Dulu, rombongan saya 33 KK (kepala keluarga), sekrang tinggal 18 KK. Sekarang, 5 KK lagi mau pulang,” ujar ibu berwajah polos itu.

Saya menyimak cerita Sri dengan antusias, sembari menimpali dia dengan berbagai pertanyaan. Sri lanjut bercerita, saat ini, para transmigran di sana hanya mengolah tanah 0,5 hektare. Tanah tersebut terdiri dari 0,25 hekatare lahan rumah dan pekarangan, serta 0,25 hektare lahan kebun yang jaraknya setengah jam perjalanan dari permukiman.

“Kalau lahan segitu, untuk hidup sehari-hari juga susah. Saya nanam jagung, baru bisa dipanen 4 bulan. Sekali panen paling dapat 1 kwintal. Kalau diitung-itung, 4 bulan cuma dapat Rp 2,8 juta,” ujar Sri.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Sri bercerita, ia dan suaminya, Pasidin (55), berjualan kangkung ke kota. Menurut Sri, setiap dua hari satu kali, ia memetik kangkung di hutan yang jaraknya cukup jauh. Ia mengaku pergi berjalan kaki di pagi hari, lalu pulang sekitar pukul 02.00 siang. “Nanti jam 02.00 malam kita ke pasar di kota, di sana sampai sekitar jam 07.00 pagi, terus pulang,” kata ibu yang mengaku tidak bisa baca-tulis itu.

Sekali berjualan, Sri berkisah, ia dan suami mendapat penghasilan kotor Rp 100 ribu. Menurut Sri, para transmigran di sana sebenarnya sudah kerasan karena lingkungan tanah di sana subur. Tapi, karena tidak kunjung mendapatkan hak lahan, menurut Sri, warga transmigran menganggap tempat itu tidak bermasa depan.

Masalah selanjutnya, Sri bercerita, karena tidak punya ongkos, keluarga transmigran yang mau pulang berusaha memindahtangankan rumah, lahan pekarangan serta kebun yang menjadi hak garapnya kepada warga setempat. Namun, usaha itu sangat susah dilakukan, karena seolah tidak ada calo atau warga setempat yang mau.

Tapi, menurut Sri, cerita berbeda jika pihak unit pelaksana tugas atau UPT permukiman transmigran setempat yang melakukan itu. “Kalau kita, mau jual Rp 2 jtua saja susah. Tapi kalau transmigran sudah pulang, itu bisa dijual orang UPT sampai Rp 4 juta juga bisa,” kata Sri.

Transmigran. Foto: Andi Nurroni
Para pendamping yang turut mendengarkan cerita Sri hanya bisa mengurut dada dan menggelengkan kepala. Menurut mereka, aset program transmigrasi, baik rumah maupun tanah tidak boleh diperjualbelikan sebelum ada penyerahan sebagai hak milik.

Apalagi, pihak yang menjual adalah birokrat yang seharunya melayani dan melindungi warga transmigran. Kalau sudah begitu, mereka merasa, kerja keras yang mereka lakukan untuk mengajak orang ikut transmigrasi seolah sia-sia.

Joko Susilohati, pendamping dari Dinas Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Sidoarjo membenarkan, kecurangan-kecurangan seperti itu memang tidak aneh dalam program transmigrasi. Joko bercerita, saat ini, warga transmigran dari Jawa Timur di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, juga sedang mengalami persoalan serupa.

Menurut Joko, salah seorang warga transmigran asal Sidoarjo yang pulang kembali ke kampung halamannya mengadukan kepada dia berbagai indikasi kecurangan yang dilakukan otoritas transmigrasi di sana. Dari Joko, saya mendapatkan nomor kontak orang yang dia ceritakan.

Melalui sambungan telepon, saya melakukan wawancara dengan mantan transmigran asal Sidoarjo yang dimaksud Joko. Menurut pria berusia 51 tahun itu, program transmigrasi di Desa Sebakis, Kelurahan Nunukna Barat, Kecamatan Nunukan, tidak berjalan dengan baik.  Karena dia mewanti-wanti namanya tidak disebut, kita akan memanggilnya “Joni”.

Seperti kasus di Kabupaten Buol yang dialami Sri, hingga lebih dari dua tahun, jatah lahan 2 hektare yang dijanjikan tidak kunjung diterima Joni dan rekan-rekannya. Menurut Joni, dengan kondisi demikian, warga transmigran hanya bisa mengolah lahan pekarangan seluas 0,25 hektare.

Karena komoditas unggulan di wilayah tersebut adalah sawit, Joni berkisah, warga transmigran sedari awal menanami lahannya yang terbatas itu dengan tanaman sawit. Mengingat sawit baru bisa dipanen setelah empat tahun, kata Joni, secara otomatis warga tidak memiliki pemasukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan untuk melakukan perawatan tanaman mereka.

Di tengah kondisi tersebut, Joni melanjutkan, bantuan sembako yang mereka terima sering kali mengecewakan. “Beras itu seperti beras raskin. Terus ikan asin sudah busuk dan banyak belatungnya. Bantuan pupuk juga mereka timbun,” ujar Joni mengenang masa-masa dia di Nunukan sana.

Joni menjelaskan, di tempat penempatan mereka di Desa Sebakis, saat ini beroperasi beeberapa perusahaan sawit. Perusahaan sawit itu, menurut Joni, telah terlebih dahulu mempekerjakan warga Indonesia yang terimbas eksodus deportasi dari Malaysia. Para “korban” deportasi itu, kata Joni, hari ini menguasai wilayah tersebut dan membangun sindikat serupa mafia yang menguasai proyek-proyek “pengamanan” berbagai kegiatan perekonomian di sana, termasuk perkebunan sawit.

Pada praktiknya, menurut Joni, warga transmigran tersisihkan oleh keberadaan jaringan WNI eks Malaysia itu. Karena suasan yang tidak menguntungkan, banyak transmigran yang menjual rumah berikut lahan pekarangan mereka pada jaringan WNi eks Malaysia itu.

Joni melaporkan, dari 140 keluarga transmigran dari Pulau Jawa yang dikirim ke sana pada 2013 lalu, saat ini hanya tersisa kurang lebih sepertempatnya saja. Ia mencontohkan, dari total 10 keluarga asal Sidoarjo, saat ini di sana hanya tersisa dua keluarga saja. Masalah selanjutnya, menurut Joni, warga yang mau pulang dipersulit mengurus surat-surat di kantor Dinas Kependudukan setempat.

Joni mengaku curiga, hal itu dilakukan untuk menahan para transmigran agar tidak pulang. Jika pun pulang, menurut Joni, mereka akan dinilai tidak koorperatif dan sulit berhubungan dengan Dinas Transmigrasi di daerah masing-masing. Joni mencontohkan, karena tidak membawa dokumen kepindahan, beberapa mantan transmigran asal Sidoarjo hari ini menjadi gelandangan.

“Ada yang jadi pemulung, pengamen, ada juga yang jadi pengemis. Saya serius. Saya bisa tunjukin orangnya,” ujar ayah beranak lima itu meyakinkan.

Mereka, menurut Joni, mengaku enggan berurusan dengan Dinas Kependudukan karena tidak tidak memiliki surat-surat kepindahan. Joni melanjutkan, mereka juga enggan melapor ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Sidoarjo karena trauma dan takut tidak dipercaya karena telah kabur dari daerah penempatan transmigrasi.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Transmigrasi, Berkah Kemajuan dari Tangan Perantau (Bagian 4)

Warga keturunan Bali di Poso. Foto: Andi Nurroni
Pemerintahan Jokowi-JK, 21 Agustus 2015 lalu, memberangkatkan transmigran untuk pertama kalinya pada era kepemimpinan mereka. Sebanyak 30 keluarga dari Jawa Timur dan Jawa Barat, diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Rombongan transmigran dilepas Menteri Desa, Pambangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar.
Pemberangkatan tersebut memastikan komitmen Pemerintahan Jokowi-JK atas keberlanjutan program yang telah dimulai sejak Pemerintah Kolonial Belanda itu. Pada 1905, untuk pertama kali Pemerintah Hindia Belanda memberangkatkan sejumlah penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera.

Ketika itu, 115 keluarga, terdiri dari 815 jiwa, dikirim dari Keresidenan Kedu di Jawa Tengah ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung. Transmigrasi, atau waktu disebut belanda sebagai “kolonisasi”, bersama “edukasi” dan “irigasi”, disebut sebagai tiga program politik balas budi Belanda.

Program transmigrasi dilakukan Belanda untuk mengurai kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sekaligus memindahkan tenaga-tenaga yang relatif lebih terampil dari Pulau Jawa untuk membuka perkebunan-perkebunan baru di tanah yang belum tergarap. Program transmigrasi kemudian diadopsi Pemerintah Indonesia dan tidak pernah terputus hingga saat ini.

Setelah Sumatra, pulau-pulau lain juga menjadi tujuan pengiriman transmigran, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Di luar berbagai kotroversi dan kritik yang menyertainya, program transmigrasi harus diakui memberi andil terhadap pemerataan pembangunan di daerah-daerah yang sebelumnya tertinggal.

Mengutip laporan Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, titik-titik penempatan transmigrasi di luar Pulau Jawa telah berkembang menjadi pusat pembangunan daerah. Hingga 2013, tercatat 104 titik penempatan transmigrasi telah berkembang menjadi kabupaten maupun kota.

Dari jumlah tersebut, dua di antaranya bahkan menjadi ibu kota provinsi, yakni Mamuju di Sulawesi Barat dan Bulungan di Kalimantan Utara. Selain itu, dari total total 3.055 perkampungan transmigran, 183 di antaranya menjadi ibu kota kecamatan dan 1.183 lainnya menjadi desa definitif.

Perkembangan dalam aspek kewilayahan tersebut tidak terlepas dari faktor penguatan perekonomian kantung-kantung wilayah transmigran. Banyak daerah muncul sebagai sentra produksi pangan, perkebunan atau agribisnsis. Selain itu, komunitas transmigran yang telah beranak-pinak juga banyak melahirkan SDM yang unggul, mulai dari akademisi hingga perwira polisi.  

Bersamaan dengan keikutsertaan saya dalam rombongan transmigran yang diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, 21 Agustus lalu, saya menyusuri satu-dua wilayah penempatan transmigran terdahulu di Sulawesi Tengah. Dari sana saya berkesimpulan, pencapaian program transmigrasi memang bukan isapan jempol semata.

Jika Anda menjelajah Sulawesi Tengah dari Kota Palu menuju Kabupaten Poso, Anda akan melewati bebrapa titik perkampungan gaya Bali yang eksotis. Kawasan itu bukan sengaja dibuat untuk kepentingan wisata. Rumah-rumah dan pura berasitektur Bali yang khas itu dibangun para transmigran adari Pulau Dewata.

Perkampungan Bali di sejumlah Kabupaten di Sulawesi Tengah hanya sekedar penanda bahwa transmigrasi telah memberikan perubahan bagi kawasan-kawasan tersebut. Berdasarkan catatan Disnakertrans setempat, di Kabupaten Poso, generasi transmigran pertama datang dari Bali dan Jawa Tengah pada 1966.

Sebanyak 100 keluarga (565 transmigran) asal Bali dan 98 keluarga (453 transmigran) asal Jawa Tengah ditempatkan Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir. Masing-masing mereka mendapatkan beberapa hektare tanah, yang kemudian ditanami padi, sawit, cokelat serta sejumlah tanaman komoditas lainnya.

Di temani Pak Bejo (56), salah seorang pegawai senior di Disnakertrans Kabupaten Poso, saya mengunjungi Kecamatan Poso Pesisir. Sebuah keberuntungan kecil menghampiri kami ketika itu. Tanpa disengaja, kedatangan kami ke sana disambut keriuhan warga keturunan Bali yang sedang menyiapkan prosesi upacara ngaben. Ngaben merupakan tradisi pemakaman dalam keyakinan dan adat umat Hindu Bali.

Setelah beruluk salam, kami dipersilakan menemui I Nyoman Widana (37), Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Poso Pesisir. Widana menjelaskan, hari itu, mereka tengah menyiapkan prosesi ngaben atas meninggalnya seorang warga sepuh bernama I Ketut Lasia (55). Prosesi ngaben sendiri, menurut Widana, baru akan dilaksanakan dua hari lagi. “Sekarang, kami sedang menyiapkan berbagai kebutuhannya, mulai dari sesajen dan lain sebagainya,” kata dia.

Warga keturunan Bali di Poso. Foto: Andi Nurroni
Widana bercerita, ia lahir di Poso dan menjadi generasi kedua warga keturunan Bali di sana. Warga keturunan Bali di desanya, menurut Widana, karena telah beranak-pinak, kini jumlahnya mencapai 250 KK. Bersama para transmigran asal Jawa Tengah, mereka membentuk desa sendiri, yang diberinama Desa Trimulya.

Nama “Trimulya”, menurut Widana, merupakan harapan agar tiga umat, yakni Hindu, Islam dan Kristen di desa tersebut selalu hidup dalam kerukunan. Di Desa Trimulya, menurut Widana, umat Hindu adalah mayoritas, lalu disusul Muslim dan Kristiani. Hal unik, umat Kristiani yang dimaksud Widana bukanlah warga setempat, melainkan umat Kristen Bali yang kini juga beranak pinak. Menurut Widana, ada dua gereja Kristen Bali di desa mereka.

Widana bercerita, meski hidup di luar Pulau Bali, warga keturunan Bali di desanya, termasuk di daerah-daerah lain di Poso dan Sulawsi Tengah, tetap memegang teguh adat istiadat. “Sesekali, kami juga pulang ke Bali kalau ada upacara keluarga, misalnya ngaben,” ujar Widana.

Sebagai generasi yang hidup di luar Pulau Bali, menurut Widana, ada sedikit perbedaan antara warga keturunan Bali di desanya dengan warga asli Pulau Bali sana. Ia mencntohkan, meski mereka berbicara Bahasa Bali, namun logatnya sudah sedah sedikit berbeda. Dalam acara-acara resmi komunitas warga keturunan Bali di desa tersebut, menurut Widana, mereka lebih sering berbahasa Indonesia.

Hal itu dilakukan, bukan karena mereka tidak bisa Bahasa Bali. Menurut dia, itu karena warga keturunan Bali di sana berasal dari daerah dan kasta yang berbeda. “Jadi, biar semua mengerti, kita pakai Bahasa Indonesia,” ujar dia.

Sedikit-banyak, menurut Widana, warga keturunan Bali di Kabupaten Poso juga turut memberikan sumbangsih bagi pembangunan Kabupaten Poso. Selain dalam hal ekonomi, kata dia, beberapa warga keturunan Bali juga menjadi pejabat publik. Periode ini saja, Widana bercerita, ada dua warga keturunan Bali yang menjadi anggota dewan di tingkat kabupaten.

Dari Desa Trimulya, kami bergerak ke Desa Bhakti Agung, Kecamatan Tambarana. Jaraknya kurang -lebih 15 menit perjalanan mobil. Desa Bhakti Agung merupakan desa yang dibentuk warga transmigran generasi tahun 1980-1981. Menurut Sujito, mantan Kepala Desa yang menjabat sejak 1993 hingga 2007, di desa tersebut terdapat sekitar 550 kepala keluarga.

Menurut Sujito, Desa Bhakti Agung dibangun oleh masyarakat transmigran asal Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, serta DKI Jakarta. Sujito bercerita, ketika datang pada tahun 1980, daerah tersebut adalah padang ilalang dan kawasan rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan laut. Dengan kehadiran para transmigran, menurut dia, perlahan-lahan, daerah itu berkembang dan semakin modern.

“Kami membuat jalan, jembatan, pasar. Dan desa kami ini menjadi contoh bagi desa-desa pribumi yang ada di sekitar pada waktu itu,” ujar transmigran asal Blora, Jawa Tengah itu, ketika kami bertamu ke rumahnya.

Desa Trimulya dan Desa Bhakti Agung adalah gambaran bagaimana besarnya  peran warga transmigran terhadap pembangunan di Kabupaten Poso. Kondisi tersebut juga tentunya berlaku bagi daerah-daerah transmigrasi lain. Sebagai gambaran, berkat peran transmigran juga, Kabuaten Poso telah memekarkan tiga kabupaten baru, yakni Kabupaten Morowali (1999), Kabupaten Tojo Una-Una (2003), serta Kabupaten Morowali Utara, yang mekar dari Kabupaten Morowali pada 2013 lalu.

Masyarakat Poso yang majemuk, mulai dari sisi etnisitas hingga keyakinan pernah mengalami fase pahit kerusuhan SARA pada tahun 1998 dan tahun 2000. Seperti warga Poso lainnya, warga kampung transmigran, termasuk I Nyoman Widana dan Sujito berharap, kejadian yang penuh luka dan trauma itu tidak kembali terulang.

Harapan mereka tentu sangat beralasan. Pasalnya, pada pertengahan Agustus lalu, terjadi kontak senjata antara aparat keamanan dengan kelompok garis keras di Pegunungan Langka. Kawasan tersebut, hanya berjarak 4 kilometer dari Desa Trimulya.


Akibatnya, untuk sementara waktu, warga yang menggarap lahan di hutan Pegungungan Langka diimbau tidak meladang terlebih dahulu. “Kami mohon konflik tidak lagi terjadi. Kami hanya ingin hidup tentang dan bercocok tanam,” ujar I Nyoman Widana.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Transmigrasi, Hari Pertama yang Penuh Tanda Tanya (Bagian 3)

Transmigran. Foto: Andi Nurroni
“Para penumpang yang terhormat, 30 menit lagi, kita akan tiba di Pelabuhan Pantoloan, Kota Palu. Bagi Anda yang akan turun di Pelabuhan Pantoloan, diharapkan bersiap-siap.”
Suara operator tersiar ke seluruh sudut kapal melalui jaringan parangkat audio.  Wajah-wajah para transmigran yang kuyu disengat lelah kembali semringah. Akhirnya, setelah berlayar sejak Jumat (21/8) sore dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pada Ahad (23/8) pagi, kapal sampai juga di Sulawesi Tengah, provinsi yang dituju.

Dengan gesit, para bapak memikul berkarung-karung perabot mereka turun dari kapal. Tak hanya pakaian atau perlatan dapur, mereka juga membawa perabot pertanian, mulai dari cangkul hingga tanki punggung penyemprot hama. Beberapa dari mereka bahkan ada juga yang membawa sepeda.

Dari pelabuhan, para transmigran diangkut beberapa bus ke tempat transit milik Disnakertrans setempat. Jaraknya 10 menit perjalanan. Para transmigran memang tidak akan dibrengkatkan langsung ke lokasi. Kami diberi waktu istirahat hingga pukul 09.00 malam.  Perjalan malam sudah diperhitungkan agar rombongan tiba di lokasi pagi hari.

Jika kami tiba di sana malam, bisa dibayangkan, situasi akan berabe karena harus membongkar dan memindahkan barang-barang bawaan para transmigran dalam keadaan gelap. Rombongan diangkut menggunakan lima bus. Sedangkan seabrek logistik para transmigran dibawa oleh dua unit truk.

Pukul 21.00, rombongan transmigran memulai perjalan jilid ke dua dari Kota Palu menuju Kabupaten Poso. Menurut panitia, jika lancar, perjalanan dari Kota Palu ke Poso kota bisa ditempuh selama 5 jam. Sementara dari Poso kota ke area transmigrasi di Desa Kancu’u, Kecamatan Pamona Timur, bisa dicapai selama 4 jam.

Perjalan malam membuat kami tidak leluasa menikmati pemandangan. Kami hanya merasa dibawa melintasi kawasaan pegunungan yang berkelak-kelok seperti ular sedang melata. Kendaraan yang saya tumpangi bersama sejumlah transmigran dari Jawa Barat adalah bus sekolah dengan kursi berbahan plastik.

Kondisi itu membuat saya dan hampir seluruh penumpang tidak cukup leluasa beristirahat. Beberapa kali rombongan kami terhenti. Salah satu bus yang membawa kami mengeluarkan asap karena air radiatornya habis. Di lain kesempatan, giliran bus yang saya tumpangi kehabisan solar. “Ah, ada-ada saja,” umpat saya dalam hati.

Karena jok plastik, serta rute ekstrem yang mebuat bus selalu berguncang, badan saya serasa remuk dan perut terasa mual . Tapi untunglah, pemandangan di pagi harisedikit menghibur. Ketika mentari pagi mulai menebar cahayannya yang merah keemasan, kami mendapati diri tengah berada di kawsan pegunungan dengan hamparan lembah, hutan serta bukit-bukti cadas di sekeliling kami. Perkebunan kakao, kopi serta serta sawit timbul tenggelam di sepanjang jalur yang kami lalui.

Kami melewati beberapa perkampungan warga setempat dan titk-titik kampung transmigran terdahulu. Di sepanjang jalan yang kami lewati, kami lebih banyak menjumpai gereja daripada masjid. Pemandangan ini tentu berbeda dengan di Pulau Jawa sana. Di Poso, presentase penganut Islam dan Kristen memang hampir sama besarnya. Namun, jalur yang kami lalui pagi itu adalah bagian wilayah dengan mayoritas warga pemeluk Protestan.

Pukul 08.00, setelah melewati jalanan tanah bergelombang yang cukup terjal, bus yang membawa kami tiba di di lokasi permukiman transmigran di Desa Kancu’u. Lokasi perumahan para transmigran berada puncak-puncak bukit di kawasan lahan gambut yang subur ditumbuhi ilalang.

Transmigran. Foto: Andi Nurroni
Terdapat 100 unit rumah di daerah tersebut, yang terbagi menjadi tiga blok. Masing-masing blok berada di kawasan perbuktian dan berjarak kurang lebih 500 meter saatu sama lain. Jalan penghubung masih berupa tanah kapur, sehingga kerap menebarkan debu.

Rumah yang diperuntukan bagi para transmigran berukuran kurang lebih 5x7 meter per segi. Bagian bawahnya berupa tembok, sementara dinding bagian atasnya menggunakan papan. Lantai rumah itu dicor semen alakadarnya. Sedangkan atapnya adalah seng, tanpa langit-langit. Di dalam, terdapat satu ruang tamu, dua kamar, serta sepetak kecil dapur dan kamar mandi.

Setibanya kami di lokasi, terlebih dahulu rombongan mendapatkan penyambutan di balai terbuka di tengah permukiman. Sejumlah pejabat lokal dan warga setempat telah ada sejak pagi menunggu kami. Tiga orang ibu berpakaian adat Pamona menyalami rombongan yang datang. Memulai kegiatan, pemuka agama dipersilakan memimpin doa. Hal unik yang jarang terjadi dalam acara publik di Jawa, prosesi doa dipimpin dengan cara Kristiani.

Pertemuan warga setempat yang mayoritas berama Kristen dengan para pendatang dari Jawa yang seluruhnya Muslim menghadirkan pengalaman sosial yang jarang kami alami. Terlebih, pertemuan itu terjadi di Poso, wilayah yang pernah disinggahi kerusuhan berbau SARA. Tapi justeru dengan penyambutan itu, kami merasakan hangatnya persaudaraan dan ketulusan penerimaan mereka.

Usai prosesi penyambutan, para transmigran membongkar truk yang mengangkut barang-barang mereka. Dibantu satu mobil bak, para transmigran mengangkut perabot mereka ke rumah masing-masing. Rumah-rumah itu sebelumnya telah diundi ketika transmigran beristirahat di Palu.

Di perkampungan baru transmigran itu, dari total 100 rumah, 50 di antaranya sudah berpenghuni. Rumah-rumah itu diisi transmigran penduduk setempat atau disebut TPS. Mereka berasal dari desa dan kecamatan di sekitar lokasi transmigrasi.

Saya mengunjungi beberapa rumah transmigran untuk melihat apa yang mereka lakukan di hari pertama mereka. Saya di antaranya menjumpai Zaeni (49), transmigran asal Karawang. Di rumah barunya di Blok A, saya mendapati Zaeni dan keempat anaknya sedang beres-beres. Dua anaknya, Iwan (17) dan Ririn (16) bahu-membahu mengepel lantai kamar.

Anaknya yang lain, Ombih (12) tertidur lelap di di ranjang papan, di antara tumpukan bebagai perabot. Sedangkan si bungsu Cici (10) sedang bermain di rumah uwaknya yang juga transmigran dari Karawang. Dari tujuh anaknya, empat yang paling kecil ikut Zaeni ke Poso. Setelah ibu mereka meninggal beberapa bulan lalu, kini praktis Zaeni menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka.

Sebagai orang desa yang pernah bertani, menurut Zaeni, tanah di sana cukup subur, sehingga cocok ditanami padi atau palawija. Hanya saja, Zaeni bercerita, seperti disampaikan petugas Disnakertrans sebelum mereka berangkat, di sana mereka akan diarahkan untuk menanam sawit dengan cara bekerjasama bagi hasil dengan perusahaan. Di samping pemukiman mereka, perkebunan sawit seluas 3050 hektare milik PT Sawit Jaya Abadi memang sudah beroperasi. 

Seperti yang dijanjikan, menurut Zaeni, di sana mereka akan menerima 1,6 hektare lahan secara bertahap. Tahap pertama, mereka menerima 0,6 hektare, yang terdiri dari lahan rumah dan pekarangan seluas 0,1 hektare, serta lahan pertama atau L1, seluas 0,5 hekatre.

Jika mereka sudah berhasil mengolah lahan tersebut, satu-dua tahun selanjutnya, mereka akan mendapatkan lahan kedua atau L2 seluas 1 hekatare lagi. “Tidak apa-apa erjasama sama perusahaan sawit juga. Asal, bagi hasilnya yang adil,” ujar Zaeni.

Selain Zaeni, saya mengunjungi rumah Abdul Kudus (48) di Blok C. Ketika saya bertamu, transmigran asal Kabupaten Sidoarjo itu sedang uring-uringan. Pasalnya, bloknya itu terjangkau saluran air. Untuk mengambil air, ia harus turun ke blok B yang berjarak 500 meter. “Kalau keadaan rumah, bagaimanapun kondisinya, bisa kita maklumi. Tapi kalau tidak ada air, ini repot. Apalagi anak saya dua dan mau saya daftarkan sekolah,” kata dia. 

Program transmigrasi memang terkadang menjumpai berbagai persoalan, termasuk gesekan dengan perusahaan perkebunan, konflik dengan warga sekitar, serta kecurangan yang dilakukan oknum-oknum pejabat publik. Permukiman transmigrasi yang saya kunjungi agaknya juga tidak luput dari persoalan.

Sepertiyang saya dengar dari beberapa warga yang sudah menempati rumah sejak Januari, sudah lima bulan mereka tidak mendapatkan sembako atau disebut jatah hidup (jadup), yang seharunya menjadi hak mereka setiap bulan. Hak atas sembako yang seharusnya mereka terima dalam bentuk berbagai kebutuhan pokok, sudah lima bulan ini ditunggak.

Menurut Kabid Pembainaan Transmigrasi dan Pengembangan Kawasan Disnakertrans Poso Alfian Samudin, keterlambatan penyerahan sembako terjadi karena terlambatanya pencairan dana dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi akibat perubahan nomenklatur.

Tiga hari berselang setelah saya berpisah dengan para transmigran, salah seorang dari transmigran yang saya antar menelepon saya dan mengeluhkan hal serupa. Dia mengaku hanya mendapatkan sebagian dari sembako yang dijanjikan. Kata dia, selain beras, mereka hanya mendapatkan 1 kg ikan asin, 1 liter minyak goreng, dan 1 kg gula pasir.


Padahal seharusnya, mereka mendapatkan 5 kg ikan asin, 3 liter minyak goreng, 3 kg gula pasir, ditambah 3 botol kecap, 2 kg garam, 3 batang sabun dan 8 liter minyak tanah. “Tolong, Bang, ini harus disampaikan kepada Pak Menteri. Pak Menteri kan kemarin yang melepas kami,” kata dia dengan nada kecewa.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 1 Comment

Transmigrasi, Membawa Luka ke Tanah Harapan (Bagian 2)

Keluarga Arif Albes Korea. Foto: Andi Nurroni
Mereka adalah orang-orang yang terluka. Luka sosial yang mereka rasakan tak jarang sangat perih. Namun mereka adalah para pejuang kehidupan yang tangguh. Luka itu menjadi energi yang mengeraskan tekad mereka untuk bertarung melawan kekalahan. Mereka menerima tantangan untuk hijrah ke tanah orang sebagai transmigran.
Bertolak dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jumat (21/8), sebanyak 30 keluarga, terdiri dari 114 jiwa, berlayar menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di tempat yang pernah dilanda kerusuhan SARA itu, mereka akan memulai hidup baru sebagai transmigran. Saya menyertai perjalan mereka, ingin merasakan suka-duka mereka menuju tanah harapan.

Di lambung KM Doro Londa, kapal milik PT Pelni yang kami tumpangi, saya menggali cerita dari para calon transmigran. Mereka berasal dari dua provinsi, yakni Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua provinsi itu mendapat jatah masing-masing 15 keluarga. Menilik latar belakang etnis mereka, dalam rombongan kami, paling banyak adalah Orang Sunda dari Jawa Barat.

Sebanyak 10 keluarga berasal dari Kabupaten Karawang, sementara 5 keluarga sisanya dari Kabupaten Sumedang. Kelompok etnis terbanyak kedua adalah Orang Jawa. Mereka berasal dari Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Lalu kelompok etnis ketiga adalah Madura. Mereka berasal dari Kabupaten Bondowoso.

Meski Bondowoso ada di Pulau Jawa, mayoritas penduduknya memang keturunan Madura. Meskipun begitu, sebagian dari mereka tidak terlalu suka disebut Orang Madura. Mereka lebih suka menyebut diri Orang Bondowoso. Di antara para transmigran beragam etnis itu, ada seorang yang tidak termasuk ketiga kelompok suku yang saya absen tadi.

Ketika saya mengunjungi dia, lelaki berkulit gelap itu sedang bercengkrama dengan anak-anaknya di atas ranjang. “Merono sik, bapak arep ngobrol.” Pria 49 tahun itu meminta anak bungsunya bergeser dari pangkuannya ketika saya meminta waktunya. Meski berbicara Bahasa Jawa, aksen Indonesia timur tidak bisa ia sembunyikan.

Keluarga Arif Albes Korea. Foto: Andi Nurroni
Lelaki berbadan kurus itu terlahir dengan nama Fransisco Albes Korea. Tahun 1966, dia lahir di daerah bernama Timor-Portugis, wilayah yang kemudian bergabung menjadi provinsi ke-27 Indonesia dengan nama Timor Timur. Sejak 2002, wilayah itu menjadi negara merdeka bernama Republik Demokratik Timor Leste.

Di ranjang berkasur lepek tempat tidur Fransisco dan keluarga, saya mengorek kisah hidupnya hingga bisa menjadi seorang transmigran. Oh, ya, kita tidak akan memanggil dia dengan sebutan Fransisco. Sejak 2009, ia sekeluarga menjadi mualaf. Sejak memeluk Islam, Fransisco mengganti namanya menjadi Arif Albes Korea.

Membongkar-bongkar masa lalu Arif membuat saya sangat antusias. Pria itu memiliki kisah perjalanan hidup yang istimewa. Bagaimana tidak, di kampung halamannya di daerah Liquica (kini Distrik Liquica), Arif adalah keluarga bangsawan. Kakeknya adalah raja atau kepala adat bernama Nobuti Albes Korea.

“Dahulu itu, kalau orang ketemu keluarga kami. Kalau mereka pakai kuda, harus turun. Kalau pakai topi, harus dibuka,” ujar Arif mengenang masa lalunya.

Sebagai seorang bangsawan, Arif dimasukan ke sekolah jenjang kemiliteran milik Pemerintah Portugis. Di sekolah itu pula, ia mengenal sosok Xanana Gusmao. Ia mengenang, ketika Xanana duduk di kelas tiga SMA, ia baru masuk SMP. Kelak Xanana menjadi salah satu sosok kunci perjuangan kemerdekaan Timor Leste dan menjadi presiden pertama negara itu pascamerdeka dari Indonesia. 

Sepanjang tahun 1975 hingga 1978, Arif menjadi tenaga bantuan operasi atu TBO bagi TNI yang berperang melawan pemerintahan dan miter Fretilin di Timor Timur. Di bawah pimpinan Prabowo Subianto, yang saat itu masih berpangkat Letnan, ia bertugas membawa perbekalan dan senjata. Meski begitu, menurut Arif, ia juga mendapatkan platihan perang dan beeberapa kali terlibat pertempuran.

Ia masih ingat persis satu babak pertempuran yang mengakhiri karirnya sebagai seorangTBO. Pada 9 September 1977, dalam hiruk-pikuk baku tembak antara TNI dan Fretilin, ia terkena pecahan granat di bagian wajah. “Ini, lihat,” ujar Arif sambil mengangkat bagian pipi kanan yang menyisakan bekas luka.

Bersama prajurit lain yang terluka, Arif dikirim ke rumah sakit di Dili dengan helikopter. Beberapa waktu kemudian, ia dikirim ke Malang untuk mendapatkan perawatan. Empat bulan harus ia lalui di rumah sakit militer di Malang untuk menyembuhkan lukanya. Sejak saat itu, ia menetap di Pulau Jawa.

Arif bercerita, ia pernah ditawari untuk bergabung dengan TNI. Dengan alasan ingin menjadi warga sipil yang bebas, ia tidak mengambil kesempatan itu. Di Jawa, Arif bekerja serabutan dari satu kota ke kota lainnya. Hingga tahun 1994, ketika menjadi pekerja bangunan di Jepara, Jawa Tengah, ia bertemu dengan Sri Widiyanti. Anak petani itu kemudian ia nikahi pada tahun 1995.

Tahun 1997, setelah kelahiran anak pertama mereka, Arif mengajak Sri pulang ke Timor Timur. Kepada anggota keluarga yang pernah berseteru secara politk, Arif meminta pengampunan. Keluarga menerima dia kembali. Di sana, kehidupan keluarga kecil Arif terbilang mencukupi. Mereka mengurus perkebunan kopi warisan kedua orangtuanya. Pada referendum penentuan kemerdekaan Timor Timur, Arif tetap berkukuh memilih Indonesia.

Referendum yang berakhir dengan kemenangan kelompok pro kemerdekaan 78,5 berbanding 21,5 persen itu, kembali merubah jalan takdir dia. Arif terusir dari tanah kelahirannya bersama hampir 100 ribu warga Timor Timur pro Indonesia lainnya. Bersama istrinya, ia kembali ke Jawa dan menjalani hidup tidak menentu. Ia kembali bekerja serabutan, mulai dari menjadi kuli bangunan, hingga menjadi buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Papua.

Rasa cintanya terhadap Indonesia yang selalau ia perjuangkan rupanya tak banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Satu dekade terakhir, ia dan keluarga menetap di Kabupaten Sidoarjo. Pekerjaan terakhirnya terbilang memprihatinkan. Untuk menghidupi kelima anaknya, Arif bersama istri menjadi pengumpul barang bekas.

“Ya, begitulah hidup saya, Bang. Tragis!” ujar Arif dengan wajah sendu. Saya hanya membalasnya dengan senyuman.

Jauh di dasar hatinya, Arif mengaku selalu terkenang kampung halaman dan masa-masa kecilnya yang indah di Timor Lorosa’e sana. Ia mengaku sering meratapi kenapa peperangan itu harus terjadi. Meskipun memilih Indonesia, Arif juga sebenarnya tidak ingin meninggalkan kampung halamannya. Ia juga tetap menyayangi saudara sebangsanya yang berperang untuk kemerdekaan Timor Leste.

Ketika Xanana Gusmao ditangkap dan ditahan di LP Kelas I Kedungpane Semarang pada 1991, Arif menyempatkan untuk menjenguk dia. “Walaupun kita pernah beda politik, tapi secara adat, kami bersaudara. Saya bawakan dia tembakau dan makanan. Saya kasih nomor telepon, ‘kalau butuh apa-apa, telepon saya’,” ujar Arif, menirukan kata-katanya kepada Xanana.

Selain itu, karena kerinduannya pada tanah leluhur dan saudara sebangsanya, Arif juga memberi nama anak kelimanya “Nicolau Lobato”. Nama itu ia ambil dari nama panglima pejuang awal kemerdekaan Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato, yang tewas oleh Kopassus pada 1978.  

Begitulah kisah hidup Arif yang penuh tragedi dan ironi. Meski hidupnya pahit, Arif tidak pernah menyerah memperjuangkan hidup yang lebih baik. Bagi dia, cukup anak cikalnya saja, Fredi (18), yang hidup dalam konflik hinga tidak bisa menamatkan sekolah dasarnya. Ia ingin keempat anaknya yang lain, yang masih SD dan SMP, bisa menggapai hidup yang lebih baik.

Demi anak-anaknya itu, Arif mendaftarkan diri mengikuti program transmigrasi yang ditawarkan pemerintah. “Saya belum tahu bagaimana kondisi di sana. Saya hanya ingin merubah nasib. Saya akan bekerja keras dan sabar. Pasti berhasil,” ujar dia dengan nada yakin.

Kisah Arif menjadi gambaran bagaimana semangat para transmigran ditempa oleh keadaan yang serba sulit.  Di kapal kami, ada juga kisah Ahmad Zaeni (49). Bapak beranak tujuh itu baru tiga bulan lalu ditinggal sang istri untuk selama-lamanya. Dengan kepergian saang istri, pupuslah sudah harapan Zaeni mewujudkan hidup baru sebagai transmigran bersama istri yang sangat ia kasihi.

Di kapal itu, saya juga mencatat kisah Ubay, pemuda 32 tahun yang ditinggal kabur istrinya. Sang istri meninggalkan Ubay dan anak mereka yang masih bayi karena rencana keluarga kecil itu pergi transmigrasi terkatung-katung hingga hampir setahun lamanya. Pemerintah beralasan, perubahan nomenklatur kementerian menjadi penyebab keterlambatan pemberangkatan tersebut.

Menurut Ubay, istrinya lalu tertekan dan malu karena mereka telah menjual segala harta benda dan berpamitan dengan saudara-sarudara dan tetangga. “Dia bilang ke saya, ‘kalau kita tidak jadi pergi, saya yang pergi’,” tutur Ubay.

Arif, Zaeni, Ubay, para petarung kehidupan itu datang ke tanah harapan membawa luka sosial dan kepedihan. Di sana, mereka berharap semua luka tersembuhkan. Mereka berdoa, suatu hari, mereka akan dikenang sebagai pemenang.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments