Balada Ojek Ibu Kota

Foto: Koespradono/javahistorys.blogspot.com
Berjalanlah ke manapun di Kota Jakarta. Entah di pusat keramaian, seperti pasar dan stasiun, atau di tikungan sepi komplek perumahan, Anda pasti akan menejumpai pangkalan ojek. Mengguritanya ojek di Ibu Kota adalah fenomena unik yang sarat makna. Melimpahnya ojek bisa jadi ekspresi putus asa warga kota terhadap ketidakberesan tata transportasi masal. Di lain sisi, ojek juga menjadi pelarian masyarakat lapis bawah dari ketiadaan lapangan pekerjaan.
Melewatkan hidup sehari-hari di jalanan, para penarik ojek punya segudang cerita. Beberapa hari pada pertengahan April 2014, saya mengunjungi sejumlah pangkalan ojek dan menggali kisah dari mereka. Di pagkalan ojek daerah Dukuh Atas, Jakarta Pusat, saya berjumpa dengan Dahlan (43) dan kawan-kawannya.
Dahlan bercerita, pangkalan ojek yang berada persis di samping halte Transjakarta itu dibuka atas inisiatif dia dan beberapa orang kawannya beberapa tahun lalu. Kini, sudah ada 15 penarik ojek di sana. Menurut Dahlan, sasaran utama mereka adalah penumpang Transjakarta. Kata dia, kebanyakan yang menggunakan jasanya adalah golongan pekerja kantoran, dengan tujuan utama kawasan Sudirman dan Thamrin.
Sebelum menjadi tukang ojek, Dahlan mengaku bekerja serabutan. Karena merasa tak ada lagi pilihan pekerjaan, dia menyandarkan nasib sebgai penarik ojek. Tempat tinggal Dahlan sebenarnya terbilang jauh, yakni daerah Bojong, Kabupten Bogor. Setiap hari, Dahlan pulang-pergi Jakarta-Bogor menggunakan kereta commuterline. Motornya sendiri biasa dia titipkan di tempat kawannya, tak jauh dari pangkalan.
Dalam sehari, kata Dahlan, penghasilan mereka berkisar dari Rp 70 ribu hingga Rp 150 ribu. Soal cukup-tidaknya penghasilan itu untuk kebutuhan rumah tangga, Dahlan bersikap diplomatis. “Ya, harus dicukup-cukupkan. Kalau enggak begitu, manusia hidup enggak akan pernah merasa cukup,” ujar dia.
Ada cerita menarik dari pengkalan Dahlan. Kata dia, setiap akhir pekan, mereka biasa mendapat pungutan dari polisi yang melakukan patroli. Tak hanya pangkalannya, kata dia, aparat dari polsek setempat itu juga memungut dari setiap pangkalan yang ada di wilayah tersebut. Selain tukang ojek, menurut Dahlan, polisi juga biasa mencatut dari tukang parkir dan penjaja jasa lainnya yang hidup di pinggir jalan.
Di pangkalan ojek daerah Pejaten, Jakarta Selatan, saya bertemu Abdullah (66) dan teman-temannya. Pangkalan Abdullah berada di tikungan, di samping komplek pemukiman yang terbilang mewah, serta tepat di depan salah sebuah perguruan tinggi swasata. Abdullah bercerita, para penarik ojek di pangkalannya berasal dari lingkungan sekitar. Menurut dia, hampir semua yang bergabung menjadi penarik ojek di sana adalah mereka yang kehilangan pekerjaan.
Sony (42), kawan Abdullah, mengaku beralih profesi menjadi tukang ojek setelah dia di-PHK dari sebuah pabrik baja di kawasan Cikarang, Bekasi. Padahal kata Sony, dia sudah 20 tahun bekerja di sana. “Mereka maunya begitu, mutus yang lama, ganti dengan yang baru pakai sistem outsourcing, jadi lebih murah,” ujar dia mengenang.
Selain Sony, ada juga Yudi (40). Sebelumnya, Yudi adalah pengurus salah saatu masjid di wilayah tersebut. Kata dia, beberapa tahun yang lalu, masjid yang berstatus milik pribadi itu dipindah-tangankan pemiliknya, dan dia pun tak lagi dipekerjakan.
Abdullah yang dianggap sesepuh di pangkalan tersebut ternyata adalah pensiunan Pertamina. Setelah pensiun dini, beberapa tahun terakhir dia mengisi hari-harinya dengan menjadi penarik ojek. Abdullah mengenang, menjadi tukang ojek penuh dengan risiko. Di pangkalannya saja, sudah dua orang yang speda motornya di rampas oleh penjahat yang berpura-pura menjadi penumpang. “Mereka dihipnotis di tempat sepi, surat-surat diminta, motor mereka dibawa kabur,” tutur mantan ketua RT tersebut.

Ojek Stasiun, 
Berburu di Antara Deru Kereta

Senin pagi pada pertengahan April 2014, di sekitar pintu Stasiun Commuterline Pasar Minggu, puluhan pria bertenger di atas motor, berjejer di sepanjang tepian jalan. Wajah-wajah mereka terlihat selalu waspada, terlebih jika serine perlintasan kereta menyalak dan terdengar deru kereta
Bunyi Itu tak lain tanda sepur telah tiba untuk menaik-turunkan penumpang. Begitu kereta memuntahkan penumpang, para penarik ojek tampak berebut penumpang seperti kawanan laron mengerubungi lampu taman.
“Ojek, Pak? Ojek, Bu? Ojek?” Begitu mereka menyapa setiap wajah, sembari melambai-lambaikan tangan, isyarat memanggil.
Saking sibuknya mereka berburu penumpang, beberapa waktu saya sempat merasa canggung meminta wawancara. Sampai akhirnya saya memberanikan diri mendekati salah seorang dari mereka yang terlihat agak santai. Lelaki berpenampilan lusuh yang kami jumpai itu mengenalkan diri bernama Suryadi, 35 tahun. Sejenak dia menghentikan ‘perburuannya’ dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Ayah tiga anak tersebut mengaku tak tahu persis jumlah penarik ojek di Stasiun Pasar Minggu. Dia memperkirakan ada lebih dari 70 orang. Sebelumnya, menurut dia, jumlahnya tak sebanyak itu. Penambahan angka penarik ojek terjadi pascasterilisasi trotoar depan stasiun dari pedagang kaki lima  alias PKL. Sebagian PKL kehilangan mata pencahariaannya dan beralih profesi menjadi tukang ojek. Dia sendiri sebelumnya berjualan sate padang.
Suryadi bercerita, kebanyakan penarik ojek di sana adalah orang Jawa dan Madura. Hanya satu-dua saja warga asli Jakarta atau dari kelompok etnis lain, seperti dia sendiri yang keturunan Minang. Sebagian besar dari mereka, kata Suryadi, tinggal di kampung-kampung di sekitar stasiun. Suryadi sendiri mengaku tinggal di Kampung Jawa, persis di belakang Stasiun Pasar Minggu.
Kata dia, para penarik ojek di sana datang dan pergi begitu saja. Ada yang memilih mangkal dari pagi sampai sore. Ada juga yang hanya datang pada jam-jam sibuk. Menurut Suryadi, puncak keramaian penumpang biasanya terjadi pada jam berangkat dan pulang kantor, yaitu pagi dan sore hari.
Saat-saat istimewa bagi penarik ojek stasiun, kata Suryadi, adalah ketika kereta mogok atau jalur terusannya tidak bisa dilewati karena tergenag banjir. Saat itulah mereka laris-manis mengantarkan penumpang dengan jarak yang jauh, serta tarif yang lebih tinggi.
Untuk jarak paling dekat, kata Suryadi, umumnya mereka meminta Rp 10 ribu, sementara yang terjauh hingga Rp 100 ribu, bahkan terkadang lebih. Harga tersebut, kata dia, biasanya disepakati terlebih dahulu, melalui proses negosiasi. “Tapi ada juga yang enggak harus nego. Biasanya yang sudah langganan,” kata Suryadi.
Menurut dia, sebagian besar penumpangnya adalah kaum pekerja, entah pegawai swasta maupun PNS. Mereka datang menggunakan kereta dari daerah-daerah pemukiman luar Jakarta, utamanya dari Bogor dan Depok. “Mereka milih ojek biar cepet, Mas. Apalagi kalau macet dan mereka sudah telat,” ujar dia menambahkan.
Suryadi bercerita, penghasilan dari menarik ojek tidak tentu. Terkadang bisa besar, hingga 200 ribu. Namun di saat sepi,  pendapatan mereka hanya beberapa puluh ribu saja. Tak heran, kata Suryadi, istrinya kerap mengeluh, lantas memintanya berjualan lagi sate padang.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, April 2014



POSTED BY
POSTED IN
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply