Menengok Saijah, Janda Kopral Pejuang

Ilustrasi Petempuran Surabaya 1945. Foto: anonim/kaskus.co.id
Menilik penampilan dan tempat tinggalnya, Saijah adalah potret warga miskin perkotaan pada umumnya. Tinggal bersama  anak-cucu di petak gedung tua lapuk, nenek 91 tahun itu melewati hari-hari dengan penuh kesederhanaan—untuk tidak menyebutnya menyedihkan.
Hal yang istimewa mengenai nenek Saijah, ia adalah seorang janda dari pahlawan kemerdekaan bernama M Sidik. Sidik adalah adalah kopral alumni pertempuran Malang 1947, yakni peperangan laskar Indonesia melawan agresi Belanda. Mengunjungi kediamannya sekitar bulan November 2014 silam, saya merekam cerita hidup Saijah dan keluarganya.

Mengenakan baju daster, nenek berperawakan besar itu terseok-seok melangkah dan menyambut hangat kedatangan saya. Tongkat besi berkaki tiga menjadi topangan bagi tubuhnya yang ringkih.

“Silakan duduk,” ujar Saijah sambil menganjurkan tangan ke arah dipan reyot, satu-satunya tempat duduk yang tersedia untuk tamu di rumahnya. Nenek delapan anak itu pun turut dudik di bangku yang sama.

Tempat tinggal nenek Saijah, atau orang memanggilnya Bu Sidik, berada di kawasan Jembatan Merah, yang merupakan kawasan kota tua di Surabaya. Bangunan yang ia tinggali sendiri adalah gedung peninggalan Belanda yang kusam dan berlumut. Gedung tua yang tak diketahui pasti awal peruntukannya itu disekat-sekat, hingga setiap keluarga mendiami tak lebih dari 10 meter per segi.

Tercatat ada 16 keluarga tinggal di sana. Mereka semua adalah keluarga para vetran perang angkatan kemerdekaan. Lebih khusus, mereka yang mendiami tempat tersebut adalah keluarga veteran invalid yang purna tugas karena menderita kecacatan dalam peperangan.

Sayang, sudah tak tersisa lagi para patriot bangsa itu di sana. Istri-istri mereka pun sebagian besar sudah tutup usia, hanya menyisakan Saijah dan dua janda pejuang lainnya yang sudah sangat sepuh dan hidup dengan kemiskinan yang sama.

Saijah bercerita, ketika Belanda melakukan agresi ke Surabaya dan kota-kota di Jawa Timur 1947, ia ditinggalkan suaminya berperang. Dua-tiga tahun sejak perangan itu, ia kehilangan suaminya, hingga berpikir sang Sidik telah tewas di dalam pertempuran.

“Saya mencari ke mana-mana. Saya juga kerja banting tulang menghidupi anak. Boro-boro ada bantuan, gaji saja Bapak enggak pernah dapat waktu itu,” ujar Saijah dengan air wajah haru.

Baru pada 1949, menurut Saijah, seorang kawan Sidik di kesatuan tentara menemuinya, memberi kabar Sidik telah ditemukan. “Tapi dia bilang, saya harus sabar dan ikhlas karena suami saya dalam kondisi yang enggak sehat seperti dulu,” tutur Saijah.

Setelah Saijah menemukan Sidik, Baru kemudian diketahui bahwa selama ini ia menjadi tawanan perang Belanda. Mendekam di bui Belanda lebih-kurang setahun, Sidik mendapatkan penyiksaan hingga telinga sebelah kanannya putus, sehingga  kehilangan pendengaran. Tak hanya itu, seluruh badannya juga dipenuh luka.

Sejak saat itu, sidik divonis cacat dan tak lagi diturunkan di medan pertempuran. Pada 1950, Kopral Sidik dikirim ke Surabaya, bergabung dengan kesatuan Corps Invaliden, yang kemudian berubah nama menjadi korps cacat veteran. Dia diberi tempat tinggal, yakni sepetak ruangan di gedung tua, yang kini menjadi naungan bagi istri dan anak-cucunya.

Sejak kepergian sang suami para 1998, Saijah berbagi tempat tinggal tersebut bersama anak-anak dan para cucunya. Dari delapan anak, dia mengisahkan, dua sudah meninggal, sebagian tinggal di luar kota, sementara dua masih turut seatap bersama dia. Sang suami sendiri, menurut Saijah, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Surabaya.

Satu-dua remaja perempuan dan anak kecil melintas di hadapan kami. Mereka menganggukan kepala sebagai sapaan hormat kepada saya. Di balik sekat terpileks di samping kami, lamat-lamat terdengar suara televisi. Kamar Saijah sendiri berada persis di depan dipan reyot yang kami duduki. Kamar yang lebih dari setengah abad ia tinggali itu hanya tertutup kain gorden tipis.

Saijah melanjutkan kisahnya, setiap bulan, ia mendapatkan uang pensiun sebesar Rp 1,1 juta yang ia ambil setiap tanggal satu. Uang yang tak seberapa besar itu dia akui dicukup-cukupkan, mulai dari untuk makan, membaginya dengan anak-cucu, hingga menyisihkannya untuk tabungan.

Simpanan beberapa juta rupiah di bank itu, menurut Saijah, untuk jaga-jaga jika ajal sewaktu-waktu menjemputnya. Saijah mengaku tidak ingin merepotkan anak-anaknya ketika meninggal kelak. “Saya cuma minta tolong, saya dikuburkan di kampung halaman saya di Blitar. Mungkin sewa ambulan sejuta, sewa bus dua juta, sudah ada cukup di tabungan,” kata Nenek Saijah.

Selain tabungan di bank, Nenek Saijah bercerita, ia juga suka menyisihkan uang recehan hingga kini sudah ada satu toples penuh. Kata dia, itu buat saweran ketika kerandanya diusung nanti. Menurut Saijah, dia sudah merasa cukup menjalani hidup. Dia mengaku sudah tak banyak lagi pengharapan, kecuali melihat anak-anaknya hidup aman dan sejahtera.

Namun harapan itu yang membuat dia terkadang waswas dan sedih. Rumah yang dia tinggali bersama dua orang anak dan para cucunya itu disebut-sebut akan diambil alih Pemerintah Kota Surabaya sebagai bangunan cagar budaya. Sementara itu, menurut Saijah, rumah pengganti yang dijanjikan tak kunjung ada kejelasan.

Kepada Presiden Jokowi yang menjadi pilihannya pada musim pemilihan umum lalu, Saijah berharap tetap ada bantuan untuk anak, cucu dan cicitnya sepeninggalan dia kemudian. Dengan sedikit malu-malu, dia juga berharap uang pensiun yang dia terima bisa dinaikan. “Kalau bisa, ya, dinaikan, seratus-dua ratus (ribu) itu akan sangat membantu,” kata dia seraya tersenyum.


Saijah niscaya adalah gambaran para istri dan keluarga pahlawan kesuma bangsa yang telah berjasa membangun dan mempertahankan negara dan bangsa ini. Kepdihan hidup yang mereka derita adalah cerminan bahwa bangsa ini belum berhasil mewujudkan negara sejahtera yang diidam-idamkan para pendiri bangsa. Bahkan, tugas sederhana memakmurkan para keluarga pejuang saja rupanya belum mampu ditunaikan.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, 10 November 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply