Menyambut Kawin Emas Untung dan Becaknya

Foto: Andi Nurroni
Dalam kamus masyarakat urban, dikenal istilah golden anniversary alias 50 tahun langgengnya pernikahan atau lestarinya suatu perusahaan. Jika Untung mau, kakek tua penarik becak itu tentu boleh menggunakan istilah yang sama. Lima tahun ke depan, akan genap 50 tahun perjalanan hidupnya sebagai penarik becak. 
Ruas Jalan Mayor Oking, di samping Stasiun Bogor, riuh oleh becak dan para penariknya, pada awal Maret 2014. Mereka mengantre di pos petugas Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) untuk memperbarui surat-surat dan plat nomor becak mereka. Di sebuah warung sebrang pos pemeriksaan, Untung tengah bersenda gurau dengan beberapa petugas DLLAJ dan sejumlah wartawan ketika saya datang.

“Kebanyakan yang narik becak di sini bukan orang Kota Bogor. Nah, kayak bapak ini,” kata komandan petugas kepada wartawan, sambil menunjuk Untung yang duduk di sampingnya.

Kakek Untung spontan menjawabnya dengan gurauan, “Lha, mungkin di Kota Bogor nggak ada yang miskin, Pak,” kata lelaki yang tinggal di Cigombong, Kabupaten Bogor itu. Dia pun tertawa. Para petugas dan wartawan pun ikut terbahak mendengar guyonannya.

Kakek Untung, 66 tahun, memulai karirnya sebagai penarik becak di Kota Bogor sejak 1969. Ketika itu dia masih remaja, baru beberapa tahun diajak bapaknya pindah ke Bogor dari Kalimantan. Bapaknya sendiri adalah imigran dari Jawa Tengah. Kata dia, waktu itu Kota Bogor masih sejuk dan rimbun dengan pepohonan. Sekali membawa penumpang, menurut Kakek Untung, tarifnya sekitar Rp 50 hingga Rp 75. 

Kini, Pak Tua Untung sehari-hari mangkal di Pasar Anyar. Kebanyakan penumpangnya ibu-ibu yang berbelanja, juga para pedagang. Menurut Untung, tarif becak saat ini jauh lebih mahal. “Kadang Rp 7 ribu, kadang 20 ribu, kalau jaraknya jauh” kata si Kakek. 

Dia mengaku, penghasilannya sebulan lebih dari cukup untuk bertahan hidup. Ia mengaku bisa mengantungi Rp 100 ribu per hari. Meskipun begitu, terkadang pendapatannya kurang dari itu jika sedang sepi penumpang. Menurut Untung, peruntungannya sebagai penarik becak semakin lancar ketika pada 2012, Pak Itang, seorang juragan becak meninggal dunia. Untung yang sebelumnya sering membantu Pak Itang, oleh keluarga almarhum dipercaya mengelola sebelas becak peninggalan yang ditinggalkan sang juragan.  

Kini, selain menarik becaknya sendiri, Untung mengelola setoran dari para penarik penyewa. Tarifnya, hanya Rp 4 ribu saja sehari. Menurut dia, kadang sehari satu becak bisa disewa dua orang berbeda. “Kok, murah, Pak, sewanya?” Tanya seorang wartawan penasarn. “Ah, segitu saja kadang masih ada yang ngomel-ngomel,” jawab dia dengan wajah yang penuh kelakar. 

Dari hasil menyewakan becak, Kakek Untung biasanya membaginya sebagian untuk janda almarhum Pak Itang. Jumlah uang yang diberikan untuk keluarga Pak Itang, kata dia tak tentu, kadang bisa mencapai Rp 1 juta perbulan. Sisanya, dia gunakan untuk keperluan sehari-hari.  

Di usianya yang semakin tua, untung mengaku masih sehat. Rahasianya, kata dia, rajin minum susu kambing setiap bulan. Menjelang lima puluh tahun karirnya sebagai penarik becak, dia merasa lega karena semua anak-anaknya telah tampat bersekolah dan bekerja. Dari empat anaknya, satu menyelesaikan SMA, sementara sisanya lulusan SMP. 

Cat.: Tulisan ini pernah terbit di Harian Republika, Maret 2014

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply