Membumikan Sastra untuk Orang Biasa


Foto: eppiix/kaskus.co.id
Perdebatan wacana soal sastra untuk sastra dan sastra yang berpolitik pernah menjadi bahan keributan hebat, tak hanya di tanah air, tetapi juga di seantero dunia. Kini, zaman yang sarat konflik itu telah berlalu. Peradaban manusia sudah sangat berbeda. Tak heran para cendekia sastra rindu memperbarui makna. Untuk apa dan untuk siapa mereka berkarya?
Di tengah kecanggungan banyak pihak untuk mulai berbicara soal sastra untuk apa dan untuk siapa, ASEAN Literary Festival (ALF) berinisiatif melempar wacana. “Anthems for The Common People”, begitu tema yang ditawarkan. Secara khusus, tema tersebut terinspirasi oleh dan didedikasikan untuk ikon penyair dan pejuang demokrasi Widji Thukul.
Agenda yang dihelat 21-23 Maret 2014 tersebut mengundang lebih dari 40  penulis, akademisi, serta pekerja seni dari ASEAN dan luar ASEAN, serta dihadiri ratusan peminat sastra dari seluruh Indonesia. Bertempat di Taman Ismail Marzuki, ALF diisi berbagai kegiatan, dari mulai diskusi publik, pameran penerbit dan komunitas literasi, bincang penulis, serta pertunjukan seni.   
Berbagai tema menarik disajikan dalam rangkaian diskusi, di antaranya soal sastra ASEAN kontemporer, soal demokrasi, HAM dan sastra, soal perempuan dan sastra, serta masih banyak lagi. Masing-masing diskusi diisi dan dipandu oleh para penulis dan akademisi kenamaan. Diskusi demokrasi, HAM dan sastra, misalnya, diisi oleh Todung Mulya Lubis, Chen Songsomphan dari Thailand, U Kya Win dari Myanmar, dengan moderator Laura Schuurmans asal Belanda.
Jumat malam, 21 Maret 2014, saya berkesempatan menghadiri pembukaan kegiatan tersebut. Berlokasi di Gedung Teater Kecil, TIM, prosesi pembukaan berlangsung santai sekaligus khidmat. Suasana khidmat dan heroik hadir karena dalam kesempatan itu ASEAN Literary Award dianugerahkan kepada Widji Thukul, seniman progresif yang dihilangkan oleh penguasa Orde Baru.
Saras Dewi, anggota panitia pengarah kegiatan menerangkan, ALF hadir untuk membuka ruang bagi para sastrawan dan akademisi sastra di ASEAN untuk berkumpul. “Dengan tema ‘Anthems fo the Common People’, kami ingin panggung ini menjadi milik semua orang, bahwa sastra bukan hanya untuk golongan elit atau kaum tertentu saja,” ujar pengajar filsafat Universitas Indonesia (UI) tersebut, dijumpai disela kegiatan.
Anggota panitia pengarah lain, kritikus sastra Tommy F Awuy menambahkan, ALF boleh dibilang sebagai yang pertama di Indonesia pada era ini, di mana festival sastra fokus pada persoalan demokrasi dan HAM. “Saya kira kita harus berani. Sastra tidak boleh hanya sekedar untuk sastra, tetapi juga untuk kemanusiaan, HAM dan demokrasi. Sastra harus terbuka untuk hal lain,” ujar Tommy.  
Malam pembukaan tersebut secara khusus menghadirkan Pete Lacaba, tokoh sastrawan dan sineas Filipina terkemuka, untuk memberikan kuliah umum. Dalam ceramahnya, Pete membagi kisah perjalanan hidupnya. Dia bercerita, ketika muda, sebagai penulis, dia berpikir bahwa tugas utamanya hanya sebagatas menulis. Ketika menjadi jurnalis, dia menjadi pengamat dinamika sosial yang terjadi. “Sampai akhirnya saya berpikir, apa kontribusi seorang penulis untuk keadilan dan masyarakat,” kata dia.
Bergabung dengan gelombang protes menentang kediktatoran Ferdinand Marcos pada 1970, Pete dijebloskan ke dalam penjara. Dua tahun dia lewatkan di balik teralis besi, saat-saat yang semakin menguatkan visi pro-demokrasi-nya sebagai seorang pekerja seni.
Nampak di antara hadirin figur-figur sastra tanah air, seperti Remy Silado, Saut Situmorang, dan Richard Oh. Tak hanya para sastrawan, hadir mewakili Menlu Marty Natalegawa, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Esti Handayani. Dalam kata sambutannya, Esti berharap bahwa seni dan sastra akan semakin merekatkan negara-negara ASEAN menyambut era Komunitas ASEAN tahun 2015.


Panggung ASEAN untuk Widji Thukul

Foto: fiskal.co.id
...
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Di sana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diam
Aku siapkan untukmu: pemberontakkan!
...
(Sajak Suara)


Namanya Widji Widodo, namun orang lebih akrab menyebutnya Widji Thukul. Seniman jalanan sekaligus aktivis sosial itu dinyatakan hilang dalam huru-hara politik di akhir kekuasaan Orde Baru. Banyak yang menduga, lenyapnya sang penyair propagandis tersebut didalangi penguasa. Petikan sajak di atas adalah satu dari ratusan karyanya yang bertema perlawanan, yang ditulis seiktar tahun 90-an.
Di tengah suasana politik yang mencekam dalam hegemoni rezim militeristik kala itu, Thukul adalah satu dari sedikit pribadi yang berani tampil mendeklarasikan resistensi. Lewat sajak-sajaknya yang lugas tanpa metafor, anak tukang becak yang tak sempat lulus SMK itu menghadirkan tema-tema penderitaan rakyat jelata. Sajak-saajaknya sekaligus membakar semangat rakyat untuk memperjuangkan nasib mereka.
Tak hanya berpuisi, pria kelahiran Solo, 26 Agustus, 1963 itu juga terlibat dalam berbagai demonstrasi, serta aktif dalam pengorganisasian buruh. Tak jarang, dia ditangkap dan dihajar tentara, termasuk dalam kejadian aksi protes buruh PT Sritex di Solo, tahun 1995. Ketika itu mata kanannya hampir buta karena dibenturkan aprat ke badan mobil.
Pengorbanannya yang hebat untuk kemanusiaan dan tegaknya demokrasi telah membuat banyak pihak memberi simpati dan rasa hormat. Sejumah apresiasi dalam bentuk penghargaan diberikan padanya, termasuk yang terakhir, ASEAN Literary Award 2014. Penghargaan tersebut dianugerahkan kepada Thukul bertepatan dengan pembukaan ASEAN Literary Festival 2014, 21 Maret 2014.
Abdul Khalik, Direktur ASEAN Literary Festival menerangkan, diangkatnya Widji Thukul sebagai ikon acara dan diberikannya penghargaan untuk dia merupakan upaya mengingat jasa-jasa sang penyair dalam seni dan perjuangan sosial di Indonesia. “Selama Orde Baru, Widji Thukul ditaruh di tempat sampah, masyarakat dipaksa melupakan. Kini sudah satnya dia diberi penghargaan yang selayaknya. Sekarang bukan lagi zaman Orde Baru. Kita harus berani,” ujar Kholik.
Bertempat di Gedung teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), piagam penghargaan untuk Thukul diterima oleh pihak keluarga, termasuk dua anaknya, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Prosesi tersebut berlangsung dalam suasana khidmat sekaligus heroik. Slide dokumenter tentang Thukul diputar pada layar besar, diiringi petikan musik puisi yang khusus didekisasikan untuk dia.
Sosiawan Leak dan Khairini Barokka tampil mendeklamasikan sejumlah sajak Thukul dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Dengan olah suara dan ekspresi tubuh penuh penghayatan, keduanya sukses menarik hadirin hanyut merasakan alam perjuangan sang penyair revolusioner. Deklamasi ditutup dengan sajak “Peringatan” (1986) yang sudah tidak asing di telinga para tamu undangan.  
...
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: ...


 “Lawan!”  Teriak para tamu undangan serempak, sambil mengacungkan tinju ke angkasa.  

Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Maret 2014

POSTED BY
POSTED IN , , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply