Vila Hancur, Kami Pun Menganggur

Foto: Andi Nurroni
Mendengar kisahnya, niscaya banyak yang akan berkerut kening. Lelaki lusuh itu mengenalkan diri bernama Dedih. Dulu, usianya baru 15 tahun ketika dia memulai pekerjaanya, menjaga vila milik seorang bos asal Jakarta. Kini, empat tahun berselang, umurnya bertambah menjadi 19 tahun. Namun nahas, gajinya tak pernah berubah sejak semula, hanya Rp 300 ribu sebulan. Kepada saya, dengan haru Dedih menceritakan kisahnya pada Februari 2014.  

Selain menjaga vila, Dedih juga bertugas merawat kebun cengkih di sekitar vila. Kebun cengkih itu juga milik majikan yang sama. Di gubuk sederhana tak jauh dari vila, Dedih melewatkan hidup sehari-hari. Di sana dia tak tingal sendiri. Ada istri yang menemani, seorang perempuan belia yang dia nikahi dua tahun lalu, serta seorang balita buah hati mereka.
Walau hidup serba kekurangan, Dedih dan keluarga kecilnya tetap bertahan menjaga vila. Tentu bukan semata-mata karena sabar, tapi lantaran dia merasa tak ada pekerjaan lain. Maklumlah, Dedih sama sekali tak pernah bersekolah. Dia tak juga bisa membaca dan menulis. Sampai-sampai, sang majikan selalu menelepon, tak pernah mengajaknya berkomunikasi lewat sms.
November 2013, kisah hidup Dedih berubah tragis. Mesin-mesin penghancur dikerahkan Pemerintah Kabupaten Bogor untuk meratakan vila-vila yang dianggap tak berizin di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Salah satu yang menjadi sasaran adalah kepunyaan Haji Subroto, seorang pensiunan kaya asal Jakarta. Itu tak lain adalah vila yang Dedih jaga. Merasa nasibnya terancam, dia turut bersama ratusan penjaga vila lainnya untuk menghadang pasukan gabungan pemerintah.
Bentrokan pun tak terhindarkan. Nasib sial tak bisa terhindarkan, warga tak kuasa membendung aparat yang jumlahnya jauh lebih banyak. Vila Dedi runtuh diterjang ekskavator hanya dalam hitungan detik. Hancurnya vila mewah di atas bukit itu menimbun banyak barang yang belum sempat terselamatkan, termasuk dompet berisi sisa gajinya. Sejak saat, itu hidup Dedih berubah sangat sengsara.
Hampir dua bulan berlalu setelah penggusuran, sang majikan belum juga memanggilnya ke Jakarta. Biasanya, setelah dipanggil, Dedih sendiri yang menjemput gajinya ke rumah sang bos di daerah Kampung Rambutan. Menurut Dedih, pascapenggusuran itu, Pak Haji, begitu dia memanggil majikannya, jatuh sakit dan belum kunjung membaik.
Dengan mata berkaca, lelaki berkulit gelap itu meluapkan banyak isi hati yang selama ini dia pendam. Setelah tak lagi mendapat gaji, Dedih dan keluarga benar-benar kepayahan. Ia bercerita, beberapa waktu lalu, dia sekeluarga hampir tidak makan, kecuali menyantap mi instan yang dia dapat dengan cara menghutang ke warung tetangga.
Kini hutangnya ke warung langganan itu sudah mencapai Rp 400 ribu, sampai-sampai si pemilik sudah menolak dia untuk menambah tunggakannya. “Karena istri marah-marah terus dan saya kasihan sama anak, saya pinjam uang ke teman dan menitipkan dulu mereka ke rumah mertua,” ujarnya dalam Bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Faktanya, Dedih hanyalah satu dari ratusan para penjaga vila yang bernasib serupa. Tak hanya penjaga vila, program penertiban vila di Kawasan Puncak juga mengancam banya warga yang hidupnya bergantung pada keberadaan vila, semisal tukang ojeg, pemilik warung, calo vila, dan masih banyak lagi.
Di Desa Tugu Selatan, Ahmad Sobari, kakek berusia 107 tahun juga tengah meratapi nasibnya. Ketika ditemui akhir pekan lalu, dia tengah termenung menyaksikan vila yang dia jaga lebih dari tiga puluh tahun dirobohkan. Hal yang menarik, vila Sobari tidak dihancurkan oleh alat berat, seperti vila-vila sasaran pembongkaran lainnya. Vila sang majikan dirobohkkan dengan hantaman godam-godam kuli bangunan.
Dari sang kakek, diketahui ternyata sang majikan, Pak Hasan, berinisiatif melego bangunannya itu kepada seorang pemborong seharga Rp 7 juta. Dari vila itu, pemborong mengambil material yang bisa dimanfaatkan, seperti kayu-kayu jati, genting, batu-bata, hingga rangka-rangka besi.
Kakek Sobari mengeluh, dia hanya diberi seratus ribu oleh sang majikan dari penjualan material vila itu. Sobari sempat bertanya soal kelanjutan pekerjaanya, sang majikan hanya bergeming sembari menyesali nasibnya.  
Dikisahkan Kakek Sobari, sedianya, tahun lalu vila itu hendak dijual Hasan seharga Rp 2 miliar. Sang bos tak melepaskannya ketika ada yang menawar Rp 1,2 miliar. Padahal, jika vila itu berhasil terjual, Sobari berharap mendapat persenen atas jasa pengabdiannya. Dia membayangkan, uang itu akan dia gunakan untuk mewujudkan mimpi terakhirnya sebelum meninggal, yakni mengirim istrinya, Encum (60) pergi menunaikan haji ke tanah suci.
Alasan si kakek sederhana ingin mengirim Nenek Encum, istri keduanya itu, perg berhaji. Hal itu lantaran, istri pertamanya dahulu pernah dia ajak naik haji. Ketika itu, usahanya memang sedang makmur sebagai peternak sapi.
Kini, Sobari tinggal di rumahnya yang sangat sederhana, tak jauh dari vila yang dia jaga. Tak kepalang, rumah itu ditinggali lima keluarga anaknya dan satu keluarga cucunya. Anak-cucu itu selama ini masih hidup bernaung pada sang kakek, yang hanya menerima gaji Rp 300 ribu sebulan.


Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Februari 2014

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply