Transmigrasi, Mengejar Mimpi Sampai Jauh (Bagian 1)


Transmigran. Foto: Andi Nurroni
Saya bisa merasakan suasana hati mereka. Di kapal itu, wajah-wajah mereka yang lusuh mengisyarakatkan pergulatan batin. Mungkin bayangan masa lalu dan harapan masa depan tengah bersengkarut di pikiran mereka. Di sana, ada wajah orang-orang terkasih yang ditinggalkan, pemandangan kampung halaman, atau bisa jadi berbagai kenangan pahit yang pernah dialami.
Lalu, ada juga bayangan tentang negeri asing di ujung laut sana. Terbayang bagaimana kiranya rupa rumah, pekarangan, serta tanah kebun yang dijanjikan. Berbagai rencana tumapang-tindi di kepala mereka. Menanam padi kah? Singkong kah? Sawit? atau apa?

Hari itu, Jumat, 21 Agtustus 2015, mereka hendak diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Tujuan mereka adalah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Ke negeri yang pernah dilanda gelombang kerusuhan SARA itu, mereka dikirim. ”Demi pemerataan pemebangunan,” begitu kata Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar, ketika melepas para transmigran.

Sebanyak 30 keluarga yang diberangkatkan terdiri dari 114 jiwa. Mereka berasal dari Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Sejumlah 15 keluarga berasa berasal dari tiga daerah di Jawa Timur, yakni Kabupten Sidoarjo, Kabupaten Ponorogo, serta Kabupaten Bondowoso. Sedangkan 15 keluarga lainnya berasal dari dua daerah di Jawa Barat, yakni Kabupaten Karawang dan Kabupaten Sumedang.

Pemberangkatan yang perdana di era Pemerintahan Jokowi-JK itu menandai keberlanjutan program transmigrasi yang telah dimulai sejak Pemerintahan Hindia-Belanda. “Bonus demografi ini harus kita manfaatkan untuk membuka isolasi daerah yang belum terjamah. Tahun ini target kita kurang-lebih 500 ribu orang. Tapi terus-menerus akan kita kembangkan yang lebih besar lagi,” ujar sang Menteri.

Para transmigran yang berdandan dengan seragam serba abu-abu itu sekilas mirip murid-murid SMK. Apalagi ketika mereka berbaris menyambut sang Menteri. Wajah-wajah antusias bapak-ibu yang sudah beranak-cucu itu persis seperti anak sekolah yang menjalani masa orientasi pada hari perdana. Mereka seolah tak sabar ingin segera menengok rumah-rumah yang telah didirikan untuk mereka di Poso sana.

Pergerakan para calon transmigran itu begitu gesit. Berkarung-karung perabot mereka pikul bolak-balik dari dermaga ke atas kapal. Para pendamping yang berasal dari dinas bidang transmigrasi daerah masing-masing tidak kalah sibuknya. Mereka agaknya tahu persis kebingungan yang biasa dihadapi para calon transmigran dalam suasana tersebut.

“Bapak-ibu sudah mendapat ranjang masing-masing?! Ingat, jangan ditinggalkan. Jaga barang bawan masing-masing!” teriak Imam Koedhori, pendamping dari Disnakertransduk Provinsi Jawa Timur.    

Pukul 15.00 WIB, KM Doro Londa berderit menggulung tali pancangnya. Para transmigran telah berada di salah satu blok di dek empat kapal milik PT Pelni itu. Saya ada di sana; bersiap menyertai empat hari perjalanan para transmigran menuju daerah tujuan di Desa Kancu’u, Kecamatan Pamona Timur, Kabupaten Poso.

Blok kelas ekonomi yang kami tempati berada di bagian belakang kapal. “Dek empat”, artinya kami berada di lantai ke empat dari total tujuh lantai kapal yang diperuntukan bagi penumpang. Di sana, ranjang-ranjang sempit beralas matras lepek berjejer berimpitan. Suasananya mirip dengan barak militer.

Di ranjang itu, tidak ada bantal untuk kepala bersandar. Maka, pandai-pandailah penumpang berkreasi menciptakan “bantal” masing-masing. Saya memasukan beberapa potong pakaian ke dalam tas kain dan mencoba berebah menikmati bantal masa darurat itu. “Mudah-mudahan tidak sakit leher,” doa saya di dalam hati.

Barak kami yang berlangit-langit rendah itu hanya mendapat cahaya temaram dari beberapa neon di langit-langit. Di sana, ada dua kamar mandi; masing-masing untuk laki-laki dan perempuan. Sebagai pemanis, diletakan satu unit televisi di pojokan. Terkadang, tivi itu gambarnya lenyap karena kehilangan pancaran sinyal.

Kapal terus melaju membelah laut. Deru mesin mengiringi kebisingan para transmigran yang masih sibuk mengurus ini-itu. “Untung tadi dilepas Pak Menteri. Kalau enggakBeeuh, bisa di dek tiga atau dek dua,” ujar salah seorang pendamping yang enggan disebut namanya.

Menurut dia, semakin ke bawah, deru mesin terdengar semakin memekakan telinga dan goncangan semakin kuat terasa. Kata dia, meskipun transmigrasi adalah program pemerintah, mereka mengaku tak banyak mendapatkan prioritas.  

Ruangan yang kami tempati tidak persis berbentuk segi empat. Ada bagian menjorok yang menyita ruangan kami, yakni dapur kapal. Itu membuat barak kami menjadi berbentuk huruf “U”. Keberadaan dapur di samping blok kami adalah kejutan tersendiri, khsususnya bagi para transmigran yang belum pernah berpergian dengan kapal laut.  

Mengantre makan. Foto: Andi Nurrroni
Setiap pagi, siang dan petang, ribuan penumpang kapal berbaris mengular di jalur ruangan kami. Mereka mengantre jatah makan yang dibagikan di mulut dapur, yang berada di sebelah ruangan kami. Kadang, kami terjebak tak bisa keluar-masuk ruangan akibat antrean tersebut. Setiap waktu makan, tak tanggung, gelombang antrean bisa menyita waktu hingga 2 jam. Mereka yang mengantre bisa berdiri dalam barisan 15 hingga 20 menit lamanya.

Meski waktu antrean sudah demikian lama, selalu saja ada yang terlambat dan tidak mendapatkan jatah makan. Mereka yang telat tampaknya ingin mengulur waktu untuk menghindari antrean. Sayang, petugas bisanya langsung mengunci pintu ketika melihat barisan sudah terputus. Tak jarang keluhan penumpang yang terlambat hanya dibalas permintaan maaf petugas dengan nada dingin.

Berada di samping dapur tentu adalah keuntungan kecil bagi kami. Kami selalu menjadi orang-orang pertama yang mendapatkan ransum. Menunya macam-macam, kadang ikan, ayam atau telur. Selain itu, ada satu menu wajib, yaitu sesiuk mi goreng campur potongan kubis. Rasanya… tidak terlalu buruk, walaupun tidak bisa disebut enak.

Sebagai hiburan, kadang kami mendapatkan tambahan berupa jus buah kemasan, susu kemasan kecil, atau sebungkus mungil biskuit rasa stroberi. “Segini sih sudah bagus. Makanan ada perubahan, sampai dikasih jus. Kamar mandi juga lebih bersih,” ujar Koedhori, pendaming yang telah mengantar transmigran sejak 1990-an.  

Berangkat pada Jumat (21/8) sore, kami dijadwalkan tiba di Pelabuhan Pantoloan, Palu pada Ahad (23/8) pagi. Selama itu, kami melewati hari-hari yang sama: tidur, bangun, makan, tidur, bangun, makan, dan begitu seterusnya. Kadang untuk mengisi kejenuhan, para transmigran berkumpul dan bercerita ngalor-ngidul.

Bercengkrama. Foto: Andi Nurrroni
Kadang-kadang kami juga jalan-jalan keluar ruangan untuk menghirup udara segar. Jika kami keluar, kami harus melewati penumpang “tanpa ranjang” yang berderet di sepanjang lorong serta geledak luar. Mereka tidur dan melewatkan hari-hari di sana; beralaskan petak-petak potongan terpal yang dijual para kuli angkut. (Maaf untuk mengatakan ini,) mereka tampak seperti gelandangan yang biasa kita jumpai di emperan pertokoan.

Sebagian dari kami juga keluar ruangan untuk menunaikan sholat di mushola. Perlu cerita khusus sepertinya tentang mushola unik itu. Sebagai gambaran kecil, setiap sholat, operator dari ruang kendali suara akan mengumumkan ke mana arah kiblat kami. Para jemaah pencinta mushola harus saksama mendengarkan arahan itu.

“Kaum Muslimin dan Muslimat, arah kiblat saat ini menghadap ke sisi kanan kapal, serong 15 derajat ke arah kiri.” Begitu sekali arahan yang saya dengar. Beberapa orang dengan gesit memindahkan sajadah dan perangkat mikrofon serta mengatur ulang garis shaf. Di sana, sholat biasa digabungkan dan dipersingkat dengan prinsip jamak-qashar.

Oh, ya, satu perkara penting lagi di kapal kami: sinyal telepon adalah sebuah kemewahan yang jarang didapatkan. Jika ingin menerima gelombang sinyal, rajin-rajinlah bertengger di luar, di bagian atas kapal sana. Sesekali waktu, si Mr Sinyal akan datang menyapa kami. Itu ketika kapal melewati pulau yang memiliki menara pemancar sinyal.  

Di ruangan kami, transmigran asal Jawa Timur dan Jawa Barat masih dikelompokan di dua sisi terpisah. Jadi, belum cukup terasa keguyuban di antara dua kelompok itu. Dari mereka, saya menemukan kisah-kisah menarik. Misalnya tentang Fransisco Albes Korea (49), pria asal Timor Timur yang memilih membela NKRI. Dia bukanlah sembarang warga Timor Timur.


Fransisco adalah cucu seorang raja atau kepala adat di daerah asalnya. Dia pernah berjuang membantu TNI melawan milisi Fretilin di bawah komando Letnan Prabowo Subianto. Dia juga adalah adik kelas dan mengaku mengenal baik Xanana Gusmao, sosok sentral kemerdekaan Timor Leste dan presiden pertama negara itu. Bagaimana Fransico menjadi transmigran, akan saya ceritakan di bagian tulisan selanjutnya.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply