Bayangan Sukarno di Rumah HOS Tjokro


Foto: Wikipedia/KITLV
“Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus-menerus sekalipun di siang  hari.”
Begitu Sukarno menceritakan kisahnya semasa indekost di rumah HOS Tjokroaminoto. Cerita itu ia tuturkan kepada penulis biografinya, Cindy Adams.

Hunian yang diceritakan Sukarno itu hingga kini masih terjaga dan diabadikan sebagai cagar budaya. Bangunan sederhana itu terletak di Gang Peneleh VII, Surabaya. Di sana, Sokearno, atau dahulu masih bernama Koesno Sosrodihardjo, dititipkan ayahnya untuk ‘mondok’ di tempat tokoh pergerakan HOS Tjokroaminoto. Sukarno kala itu tengah menempuh pendidikan Hogere Burgerlijks School (HBS). Pada 1916 saat itu, usianya baru 15 tahun.

Bertamu ke rumah HOS Tjokro suatu sore di akhir Februari 2015, saya menelusuri cerita Sukarno tentang rumah tersebut. “Kalau dari perkataan Pak Karno, kemungkinan sih kamar dia di sini,” ujar Eko Hadiratno, penjaga rumah, menunjukan ruangan yang kami jejak.

Eko bercerita, selain berdasarkan cerita Seokarno, jejak sang Proklamator itu di rumah tersebut juga ditunjukan oleh sebuah foto. Pose Seokarno bergambar di bawah pohon belimbing diyakini Eko berada di halaman belakang rumah tersebut. Sayang, halaman belakang itu kini telah hilang dan tersekat benteng sekolah.  

Di rumah itu, Sukarno muda mulai mengasah wawasan politik dan pengetahuan tentang gerakan sosial. Sementara sekolah menyediakan pelajaran formal sebagai latar pengetahuan umum, pelajaran politik dia dapat dari HOS Tjokroaminoto, sang bapak kost yang tak lain adalah ketua Sarikat Islam. Organisasi itu, pada zamannya merupakan perkumpulan pribumi terbesar beranggotakan 2,5 juta orang.

Tak hanya Sukarno, sejumlah pemuda indekost lainnya juga mendapatkan gemblengan HOS Tjokro. Beberapa di antaranya, kelak berseberangan jalan dengan Sukarno, bahkan dengan sang guru sendiri. Mereka adalah Semaoen, Muso, Alimin dan Darsono yang kemudian menjadi pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sementara, pemuda lainnya, yakni SM Kartosuwijo, di masa tuanya menyatakan perang terhadap Republik Indonesia dan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia.

Di rumah itu pula, Sukarno mengenal tokoh-tokoh pergerakan lainnya yang kerap datang bertamu. Mereka di antaranya adalah Tan Malaka, KH Agus Salim, Suwardi Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara), pentolan Perhimpunan Sosial-Demokratik Hindia (ISDV) Henk Sneevliet, dan masih banyak lagi.  

Di kamar kost-nya yang pengap itu, di depan cermin, Seokarno muda gemar berlatih orasi. Dia mengaku terilhami oleh perkataan HOS Tjokro, demimenjadi orang besar, pemuda harus menulis seperti wartawan dan berbicara seperti orator.

Polah Sukarno yang gemar teriak-teriak itu, terkadang membuat kawan-kawannya jengkel. Di antara mereka, Kartoseowirdjo yang merupakan kawan karibnya sering menyebutnya orang gila karena hobi berbicara sendiri. Sementara dari Muso yang berusia empat tahun lebih tua, Sukarno mengaku belajar tenatang Marxisme.  

Tahun 1921, ketika berusia 20 tahun, Sukarno dinikahkan HOS Tjokro dengan putri sulungnya, Siti Oetari. Ketika itu, sang gadis yang juga menjadi rebutan para pemuda indekost masih berumur 16 tahun. Pascapernikahan mereka, sang mertua pidah rumah ke daerah Plampitan, yang berjarak tak jauh dari Peneleh.

Sayang, pernikahan Sukarno dan Oetari tak bertahan lama. Begitu lulus HBS dan melanjutkan pendidikan ke Tecnische Hogeschool (kini ITB) di Bandung, pada 1923, Sukarno mengembalikan Oetari pada ayahnya, HOS Tjokroaminoto. Konon, sejak semula, keduanya sudah tak saling cinta. Dan pernikahan itu, mereka lakukan untuk menyenangkan HOS Tjokro.

Setelah menjadi presiden, Sukarno pernah pulang ke Gang Peneleh VII. Di depan rumah joglo itu, dia mengumpulkan warga dan mengajak mereka diskusi tentang berbagai hal. Cerita itu disampaikan Eko, penjaga rumah yang juga Ketu RT. “Nenek saya pernah cerita begitu. Makanya, orang-orang tua sampai sekarang nyebut rumah ini, ya Rumah Pak Karno,” kata dia.

Di rumah itu, yang disembunyikan rapat sepanjang sejarah Orde Baru, Sukarno melewati babak penting dalam sejarah hidupnya. Rumah itu kini bukan hanya menjadi bagian sejarah presiden pertama Indonesia bernama Sukarno. Sejarah itu  hari ini telah menjadi warisan bangsa yang wajib dilestarikan.

Sejarawan Surabaya Dukut Imam Widodo berharap, situs rumah HOS Tjokroaminoto yang masih sepi pengunjung itu terus dikembangkan. “Paling tidak ada perpustakaan atau ruang pemutaran film. Jadi orang punya banyak alasan untuk datang dan betah lama di sana,” ujar dia.


Suatu Sore di Rumah HOS Tjokro

Rumah HOS Tjokroaminoto. Foto: Andi Nurroni
Ashar hampir menjelang ketika saya berhasil menemukan rumah tua berpagar hijau itu di Gang Peneleh VII, Surabaya, akhir Februari lalu. Penampakan rumah joglo dari akhir abad ke-19 itu persis seperti saya lihat di catatan blog sejumlah peminat wisata sejarah. 

Itulah rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto, seorang bapak bangsa yang namanya kini banyak diabadikan menandai jalan-jalan protokol di negeri ini. Tak hanya HOS Tjokro, hunian sederhana itu juga memiliki ikatan sejarah dengan sejumlah tokoh politik penting zaman pergerakan. Sebut saja Sukarno, Semaun, Muso, dan Kartosuwirjo. 

Di rumah itu, Sukarno indekost selama beberapa tahun sejak 1916, semasa dia bersekolah di  Hogere Burgerlijks School (HBS). Tak hanya menyewa kamar, Soekarno dan kawan-kawannya yang kelak menjadi tokoh-tokoh penting mendapatkan wawasan politik, pergerakan sosial, hingga ilmu agama dari sang bapak kos, HOS Tjokroaminoto. Ketika, ia sudah memimpim perhimpunan Sarekat Islam.   

Melihat pintu pagar tumah itu disegel gembok, rasa senang saya menjadi tercampur waswas. Sementara, gang yang tak seberapa lebar tempat rumah itu berdiri saya dapati sepi. Hanya kain bendera dujung tiang yang bergerak-gerak tersibak angin. Beberapa menit saya tertegun mencari orang untuk dimintai tanya.

Memasuki gang, seorang bapak turun dari sepeda motornya, lalu mendorong kuda besinya itu hendak melintas di depan saya. Oh, rupanya pengendara sepeda motor harus turun jika memasuki gang dan melintas di rumah itu—hal yang tidak saya lakukan sebelumnya. Peringatan itu, kemudian saya lihat dari jauh terpasang di pintu gerbang gang. Dari si Bapak, saya diberi petunjuk ke mana harus menemukan sang penjaga rumah.

Berjalan ke ujung gang hingga seratus meter jauhnya, saya menemukan rumah sang penjaga, Eko Hadiratno. Pria 40-an tahun yang dipercaya mengelola rumah HOS Tjokro itu adalah Ketua RT di lingkungan setempat. “Silakan masuk,” ujar dia ramah, setiba kami di joglo HOS Tjokro.

Memasuki rumah berukuran sekitar 13 x 9 meter itu, saya merasa diserbu berbagai bayangan sejarah. Meja-kursi kayu lawas, bufet, meja rias, foto-foto, benda-benda itu satu per satu menarik saya untuk mendekat. Gambar-gambar HOS Tjokro dalam berbagai suasana, juga foto-foto Sukarno dan yang lainnya, dipasang di sepanjang dinding rumah. “Foto-foto ini sebagian didatangkan dari Belanda,” ujar Eko yang menyertai langkah saya.

Memasuki joglo itu, pengunjung akan menemukan beberapa ruangan. Ruangan utama, tempat meja-kuris kayu diletakkan, adalah ruang tamu. Melewati lorong menuju bagian belakang, di kanan-kiri terdapat ruangan. Ruangan di sebelah kanan terlihat jelas seperti kamar, lengkap dengan daun pintu yang masih tersisa.

Di kamar itu, tergantung logo Partai Sarikat Islam Indonesia dalam bingkai besar. Menurut Eko, itulah benda paling bernilai yang diwanti-wanti pihak ahli waris untuk dijaga benar-benar. Sementara, ia melanjutkan, perabot dan barang-barang lain, sebagian besar ditambahkan sebagai pelengkap. Barang-barang asli sendiri, menurtu dia, sudah tidak jelas rimbnya, sejak rumah tersebut dijadikan tempat kost, hingga tahun 1998.

Eko bercerita, tata ruang di rumah tersebut adalah hasil dari beberapa kali pemugaran. Sejumlah dinding penyekatdi bagian depan dan tengah, kata dia, terpaksa dihilangkan agar rumah lebih leluasa menerima pengunjung.

Di belakang, masih ada satu ruangan lain. Ruangan itu juga menjadi akses untuk menemukan ruangan lainnya di bagian atap. Menaiki anak-anak tangga dari besi, saya menghadapi ruangan paling luas di rumah tersebut. Berukuran sekitar 10 x 5 meter, ruangan itu berdipan kayu dan hampir tak berjarak dengan atap.

Eko sendiri mengaku kurang yakin peruntukan ruangan tersebut. Berdasarkan pengakuan Sukarno, bahwa pemuda yang indekost hingga 30 orang, kemungkinan ruang tersebt disekat untuk kamar-kamar tidur.

Puas menjelajah setiap bagian rumah, Eko mengundang saya duduk di ruang tamu. Berbagai pertanyaan saya ajukan, setelah sebelumnya menyetel ponsel untuk merekam cerita dia. Mengawali kisahnya, Eko menyampaikan, sebelum tahun 1996, rumah HOS Tjokro boleh disebut ‘hilang’.

Sejarah joglo itu, kata dia, dirahasiakan keluarga HOS Tjokro, begitupun keluarga Soenarjo, warga kampung yang dititipi kunci. Menurut Eko, hingga kunci dipegang anak perempuan Soenarjo yang bernama Ema, sejarah rumah tersebut masih disimpan rapat-rapat. “Sepertinya karena alasan politik, waktu itu kan masih jaman Orde Baru, segala sesuatu yang berbau Sukarno tidak aman,” kata Eko.   

Baru pada 1996, Eko bercerita, puteri Sukarno, Sukmawati membuka sejarah rumah tersebut kepada publik. Bersama dengan itu, Eko bercerita, kepemilikan rumah tersebut juga diserahkan kepada Pemkot Surabaya, dengan harapan menjadi cagar budaya.

Eko bercerita, perbaikan situs bersejarah tersesbut dilakukan secara berkala, terutama dalam tiga tahun terakhir. Genting dan flafon yang dulu bocor, kata dia, telah diperbaiki. Begitu juga dengan pengadaan berbagai bukti dokumentasi, seperti foto. Termasuk, perabot dan fasilitas penunjang, seperti perangkat audio untuk memeutar lagu-lagu perjangan.

Meski telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan dipugar beberapa kali, menurut Eko, promosi rumah tersebut sebagai situs wisata sejarah masih kurang. Bahkan, kata dia, satu hari bisa sama sekali tidak ada yang datang berkunjung. Ia berharap, ke depan rumah tersebut terus disempurnakan, termasuk menyediakan pemutaran film dan menyediakan suvenir.  

Berada satu jam di sana, langit semakin mendung ketika saya pamit untuk pulang. Senyum Eko yang ramah menyertrai saya mendorong sepeda motor menuju gerbang di depan sana.

Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Maret 2015

POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply