Transmigrasi, Ketika Harapan Terbentur Kenyataan (Bagian 5-Habis)

Keluarga transmigran. Foto: Andi Nurroni
Lebih dari satu abad berlalu sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memulai program transmigrasi di Nusantara pada 1905. Sejak saat itu, program pemindahan penduduk atas nama pemerataan pembangunan dan upaya mengurai kepadatan populasi itu berlanjut hingga hari ini.
Program transmigrasi digadang-gadang telah berhasil mendorong kemajuan banyak daerah di luar Pulau Jawa yang dahulu tertinggal. Meski begitu, kisah transmigrasi ternyata tidak semuanya tentang keberhasilan. Semakin kemari, berbagai persoalan mengemuka, mulai dari konflik transmigran dengan warga setempat, perselisihan dengan perusahaan perkebunan, hingga prilaku curang onkum birokrat.

Jumat, 21 Agustus lalu, Pemerintah Jokowi-JK, melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, memberangkatkan rombongan transmigran pertama di era Kabinet Kerja. Sebanyak 30 keluarga dari Jawa Timur dan Jawa Barat dilepas dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah.     

Demi memahami lebih banyak tentang isu transmigrasi di Indonesia, saya turut serta dalam rombongan. Melalui catatan-catatan sebelumnya, saya telah  meceritakan suasan perjalanan, profil para transmigran, suasana kampung transmigran di daerah tujuan, serta potret keberhasilan transmigrasi. Melalui tulisan terakhir ini, saya ingin menyampaikan beberapa temuan masalah dalam program transmigrasi yang saya jumpai di lapangan.

Sabtu, 22 Agustus, atau malam kedua perjalanan kapal yang kami tempuh, seorang ibu datang menghampiri kami. Saat itu, saya dan beberapa pendamping transmigran sedang mengobrol santai di atas ranjang kami yang berimpitan. Si ibu menghampiri Imam Koedhori, pendamping dari Disnakertrasduk Jawa Timur. Ibu itu mengaku sebagai transmigran yang tempo hari pernah Koedhori antar.

Ibu 51 tahun itu mengenalkan diri bernama Sri, transmigran asal Bojonegoro, Jawa Timur. Ia menyebut diberangkatkan pada tahun 2012 silam, dengan tujuan daerah penempatan di Kecamatan Mopu, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Sekilas, Koedhori tampak merenung mencari rekamanan sosok Sri di kepalanya.

Namun, ia lalu menyerah dan meminta maaf karena tidak mengingat tentang Sri secara spesifik. Meski begitu, Koedhori sepakat bahwa tahun itu, ia memang mengantar rombongan dengan tujuan Kabupaten Buol, seperti disebutkan Sri. Setelah sedikit percakapan basa-basi, akhirnya Sri mengutarakan maksud kedatangannya.

Sri bercerita, saat ini ia dan teman-temannya di daerah penempatan sana, tengah mengalami kesuilitan. Sudah hampir tiga tahun mereka mengikuti program transmigrasi di sana, mereka tidak kunjung menerima 2 hektare tanah yang diijanjikan. Padahal, menurut Sri, dahulu mereka dijanjikan lahan tambahan setelah bisa mengolah lahan awal yang diberikan.

Karena tidak juga diberikan lahan tambahan, menurut Sri, para transmigran kecewa dan sebagian besar pulang kembali ke kampung halaman masing-masing. “Dulu, rombongan saya 33 KK (kepala keluarga), sekrang tinggal 18 KK. Sekarang, 5 KK lagi mau pulang,” ujar ibu berwajah polos itu.

Saya menyimak cerita Sri dengan antusias, sembari menimpali dia dengan berbagai pertanyaan. Sri lanjut bercerita, saat ini, para transmigran di sana hanya mengolah tanah 0,5 hektare. Tanah tersebut terdiri dari 0,25 hekatare lahan rumah dan pekarangan, serta 0,25 hektare lahan kebun yang jaraknya setengah jam perjalanan dari permukiman.

“Kalau lahan segitu, untuk hidup sehari-hari juga susah. Saya nanam jagung, baru bisa dipanen 4 bulan. Sekali panen paling dapat 1 kwintal. Kalau diitung-itung, 4 bulan cuma dapat Rp 2,8 juta,” ujar Sri.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Sri bercerita, ia dan suaminya, Pasidin (55), berjualan kangkung ke kota. Menurut Sri, setiap dua hari satu kali, ia memetik kangkung di hutan yang jaraknya cukup jauh. Ia mengaku pergi berjalan kaki di pagi hari, lalu pulang sekitar pukul 02.00 siang. “Nanti jam 02.00 malam kita ke pasar di kota, di sana sampai sekitar jam 07.00 pagi, terus pulang,” kata ibu yang mengaku tidak bisa baca-tulis itu.

Sekali berjualan, Sri berkisah, ia dan suami mendapat penghasilan kotor Rp 100 ribu. Menurut Sri, para transmigran di sana sebenarnya sudah kerasan karena lingkungan tanah di sana subur. Tapi, karena tidak kunjung mendapatkan hak lahan, menurut Sri, warga transmigran menganggap tempat itu tidak bermasa depan.

Masalah selanjutnya, Sri bercerita, karena tidak punya ongkos, keluarga transmigran yang mau pulang berusaha memindahtangankan rumah, lahan pekarangan serta kebun yang menjadi hak garapnya kepada warga setempat. Namun, usaha itu sangat susah dilakukan, karena seolah tidak ada calo atau warga setempat yang mau.

Tapi, menurut Sri, cerita berbeda jika pihak unit pelaksana tugas atau UPT permukiman transmigran setempat yang melakukan itu. “Kalau kita, mau jual Rp 2 jtua saja susah. Tapi kalau transmigran sudah pulang, itu bisa dijual orang UPT sampai Rp 4 juta juga bisa,” kata Sri.

Transmigran. Foto: Andi Nurroni
Para pendamping yang turut mendengarkan cerita Sri hanya bisa mengurut dada dan menggelengkan kepala. Menurut mereka, aset program transmigrasi, baik rumah maupun tanah tidak boleh diperjualbelikan sebelum ada penyerahan sebagai hak milik.

Apalagi, pihak yang menjual adalah birokrat yang seharunya melayani dan melindungi warga transmigran. Kalau sudah begitu, mereka merasa, kerja keras yang mereka lakukan untuk mengajak orang ikut transmigrasi seolah sia-sia.

Joko Susilohati, pendamping dari Dinas Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Sidoarjo membenarkan, kecurangan-kecurangan seperti itu memang tidak aneh dalam program transmigrasi. Joko bercerita, saat ini, warga transmigran dari Jawa Timur di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, juga sedang mengalami persoalan serupa.

Menurut Joko, salah seorang warga transmigran asal Sidoarjo yang pulang kembali ke kampung halamannya mengadukan kepada dia berbagai indikasi kecurangan yang dilakukan otoritas transmigrasi di sana. Dari Joko, saya mendapatkan nomor kontak orang yang dia ceritakan.

Melalui sambungan telepon, saya melakukan wawancara dengan mantan transmigran asal Sidoarjo yang dimaksud Joko. Menurut pria berusia 51 tahun itu, program transmigrasi di Desa Sebakis, Kelurahan Nunukna Barat, Kecamatan Nunukan, tidak berjalan dengan baik.  Karena dia mewanti-wanti namanya tidak disebut, kita akan memanggilnya “Joni”.

Seperti kasus di Kabupaten Buol yang dialami Sri, hingga lebih dari dua tahun, jatah lahan 2 hektare yang dijanjikan tidak kunjung diterima Joni dan rekan-rekannya. Menurut Joni, dengan kondisi demikian, warga transmigran hanya bisa mengolah lahan pekarangan seluas 0,25 hektare.

Karena komoditas unggulan di wilayah tersebut adalah sawit, Joni berkisah, warga transmigran sedari awal menanami lahannya yang terbatas itu dengan tanaman sawit. Mengingat sawit baru bisa dipanen setelah empat tahun, kata Joni, secara otomatis warga tidak memiliki pemasukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan untuk melakukan perawatan tanaman mereka.

Di tengah kondisi tersebut, Joni melanjutkan, bantuan sembako yang mereka terima sering kali mengecewakan. “Beras itu seperti beras raskin. Terus ikan asin sudah busuk dan banyak belatungnya. Bantuan pupuk juga mereka timbun,” ujar Joni mengenang masa-masa dia di Nunukan sana.

Joni menjelaskan, di tempat penempatan mereka di Desa Sebakis, saat ini beroperasi beeberapa perusahaan sawit. Perusahaan sawit itu, menurut Joni, telah terlebih dahulu mempekerjakan warga Indonesia yang terimbas eksodus deportasi dari Malaysia. Para “korban” deportasi itu, kata Joni, hari ini menguasai wilayah tersebut dan membangun sindikat serupa mafia yang menguasai proyek-proyek “pengamanan” berbagai kegiatan perekonomian di sana, termasuk perkebunan sawit.

Pada praktiknya, menurut Joni, warga transmigran tersisihkan oleh keberadaan jaringan WNI eks Malaysia itu. Karena suasan yang tidak menguntungkan, banyak transmigran yang menjual rumah berikut lahan pekarangan mereka pada jaringan WNi eks Malaysia itu.

Joni melaporkan, dari 140 keluarga transmigran dari Pulau Jawa yang dikirim ke sana pada 2013 lalu, saat ini hanya tersisa kurang lebih sepertempatnya saja. Ia mencontohkan, dari total 10 keluarga asal Sidoarjo, saat ini di sana hanya tersisa dua keluarga saja. Masalah selanjutnya, menurut Joni, warga yang mau pulang dipersulit mengurus surat-surat di kantor Dinas Kependudukan setempat.

Joni mengaku curiga, hal itu dilakukan untuk menahan para transmigran agar tidak pulang. Jika pun pulang, menurut Joni, mereka akan dinilai tidak koorperatif dan sulit berhubungan dengan Dinas Transmigrasi di daerah masing-masing. Joni mencontohkan, karena tidak membawa dokumen kepindahan, beberapa mantan transmigran asal Sidoarjo hari ini menjadi gelandangan.

“Ada yang jadi pemulung, pengamen, ada juga yang jadi pengemis. Saya serius. Saya bisa tunjukin orangnya,” ujar ayah beranak lima itu meyakinkan.

Mereka, menurut Joni, mengaku enggan berurusan dengan Dinas Kependudukan karena tidak tidak memiliki surat-surat kepindahan. Joni melanjutkan, mereka juga enggan melapor ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Sidoarjo karena trauma dan takut tidak dipercaya karena telah kabur dari daerah penempatan transmigrasi.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply