Transmigrasi, Berkah Kemajuan dari Tangan Perantau (Bagian 4)

Warga keturunan Bali di Poso. Foto: Andi Nurroni
Pemerintahan Jokowi-JK, 21 Agustus 2015 lalu, memberangkatkan transmigran untuk pertama kalinya pada era kepemimpinan mereka. Sebanyak 30 keluarga dari Jawa Timur dan Jawa Barat, diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Rombongan transmigran dilepas Menteri Desa, Pambangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar.
Pemberangkatan tersebut memastikan komitmen Pemerintahan Jokowi-JK atas keberlanjutan program yang telah dimulai sejak Pemerintah Kolonial Belanda itu. Pada 1905, untuk pertama kali Pemerintah Hindia Belanda memberangkatkan sejumlah penduduk dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera.

Ketika itu, 115 keluarga, terdiri dari 815 jiwa, dikirim dari Keresidenan Kedu di Jawa Tengah ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung. Transmigrasi, atau waktu disebut belanda sebagai “kolonisasi”, bersama “edukasi” dan “irigasi”, disebut sebagai tiga program politik balas budi Belanda.

Program transmigrasi dilakukan Belanda untuk mengurai kepadatan penduduk di Pulau Jawa, sekaligus memindahkan tenaga-tenaga yang relatif lebih terampil dari Pulau Jawa untuk membuka perkebunan-perkebunan baru di tanah yang belum tergarap. Program transmigrasi kemudian diadopsi Pemerintah Indonesia dan tidak pernah terputus hingga saat ini.

Setelah Sumatra, pulau-pulau lain juga menjadi tujuan pengiriman transmigran, mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Di luar berbagai kotroversi dan kritik yang menyertainya, program transmigrasi harus diakui memberi andil terhadap pemerataan pembangunan di daerah-daerah yang sebelumnya tertinggal.

Mengutip laporan Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, titik-titik penempatan transmigrasi di luar Pulau Jawa telah berkembang menjadi pusat pembangunan daerah. Hingga 2013, tercatat 104 titik penempatan transmigrasi telah berkembang menjadi kabupaten maupun kota.

Dari jumlah tersebut, dua di antaranya bahkan menjadi ibu kota provinsi, yakni Mamuju di Sulawesi Barat dan Bulungan di Kalimantan Utara. Selain itu, dari total total 3.055 perkampungan transmigran, 183 di antaranya menjadi ibu kota kecamatan dan 1.183 lainnya menjadi desa definitif.

Perkembangan dalam aspek kewilayahan tersebut tidak terlepas dari faktor penguatan perekonomian kantung-kantung wilayah transmigran. Banyak daerah muncul sebagai sentra produksi pangan, perkebunan atau agribisnsis. Selain itu, komunitas transmigran yang telah beranak-pinak juga banyak melahirkan SDM yang unggul, mulai dari akademisi hingga perwira polisi.  

Bersamaan dengan keikutsertaan saya dalam rombongan transmigran yang diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, 21 Agustus lalu, saya menyusuri satu-dua wilayah penempatan transmigran terdahulu di Sulawesi Tengah. Dari sana saya berkesimpulan, pencapaian program transmigrasi memang bukan isapan jempol semata.

Jika Anda menjelajah Sulawesi Tengah dari Kota Palu menuju Kabupaten Poso, Anda akan melewati bebrapa titik perkampungan gaya Bali yang eksotis. Kawasan itu bukan sengaja dibuat untuk kepentingan wisata. Rumah-rumah dan pura berasitektur Bali yang khas itu dibangun para transmigran adari Pulau Dewata.

Perkampungan Bali di sejumlah Kabupaten di Sulawesi Tengah hanya sekedar penanda bahwa transmigrasi telah memberikan perubahan bagi kawasan-kawasan tersebut. Berdasarkan catatan Disnakertrans setempat, di Kabupaten Poso, generasi transmigran pertama datang dari Bali dan Jawa Tengah pada 1966.

Sebanyak 100 keluarga (565 transmigran) asal Bali dan 98 keluarga (453 transmigran) asal Jawa Tengah ditempatkan Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir. Masing-masing mereka mendapatkan beberapa hektare tanah, yang kemudian ditanami padi, sawit, cokelat serta sejumlah tanaman komoditas lainnya.

Di temani Pak Bejo (56), salah seorang pegawai senior di Disnakertrans Kabupaten Poso, saya mengunjungi Kecamatan Poso Pesisir. Sebuah keberuntungan kecil menghampiri kami ketika itu. Tanpa disengaja, kedatangan kami ke sana disambut keriuhan warga keturunan Bali yang sedang menyiapkan prosesi upacara ngaben. Ngaben merupakan tradisi pemakaman dalam keyakinan dan adat umat Hindu Bali.

Setelah beruluk salam, kami dipersilakan menemui I Nyoman Widana (37), Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Poso Pesisir. Widana menjelaskan, hari itu, mereka tengah menyiapkan prosesi ngaben atas meninggalnya seorang warga sepuh bernama I Ketut Lasia (55). Prosesi ngaben sendiri, menurut Widana, baru akan dilaksanakan dua hari lagi. “Sekarang, kami sedang menyiapkan berbagai kebutuhannya, mulai dari sesajen dan lain sebagainya,” kata dia.

Warga keturunan Bali di Poso. Foto: Andi Nurroni
Widana bercerita, ia lahir di Poso dan menjadi generasi kedua warga keturunan Bali di sana. Warga keturunan Bali di desanya, menurut Widana, karena telah beranak-pinak, kini jumlahnya mencapai 250 KK. Bersama para transmigran asal Jawa Tengah, mereka membentuk desa sendiri, yang diberinama Desa Trimulya.

Nama “Trimulya”, menurut Widana, merupakan harapan agar tiga umat, yakni Hindu, Islam dan Kristen di desa tersebut selalu hidup dalam kerukunan. Di Desa Trimulya, menurut Widana, umat Hindu adalah mayoritas, lalu disusul Muslim dan Kristiani. Hal unik, umat Kristiani yang dimaksud Widana bukanlah warga setempat, melainkan umat Kristen Bali yang kini juga beranak pinak. Menurut Widana, ada dua gereja Kristen Bali di desa mereka.

Widana bercerita, meski hidup di luar Pulau Bali, warga keturunan Bali di desanya, termasuk di daerah-daerah lain di Poso dan Sulawsi Tengah, tetap memegang teguh adat istiadat. “Sesekali, kami juga pulang ke Bali kalau ada upacara keluarga, misalnya ngaben,” ujar Widana.

Sebagai generasi yang hidup di luar Pulau Bali, menurut Widana, ada sedikit perbedaan antara warga keturunan Bali di desanya dengan warga asli Pulau Bali sana. Ia mencntohkan, meski mereka berbicara Bahasa Bali, namun logatnya sudah sedah sedikit berbeda. Dalam acara-acara resmi komunitas warga keturunan Bali di desa tersebut, menurut Widana, mereka lebih sering berbahasa Indonesia.

Hal itu dilakukan, bukan karena mereka tidak bisa Bahasa Bali. Menurut dia, itu karena warga keturunan Bali di sana berasal dari daerah dan kasta yang berbeda. “Jadi, biar semua mengerti, kita pakai Bahasa Indonesia,” ujar dia.

Sedikit-banyak, menurut Widana, warga keturunan Bali di Kabupaten Poso juga turut memberikan sumbangsih bagi pembangunan Kabupaten Poso. Selain dalam hal ekonomi, kata dia, beberapa warga keturunan Bali juga menjadi pejabat publik. Periode ini saja, Widana bercerita, ada dua warga keturunan Bali yang menjadi anggota dewan di tingkat kabupaten.

Dari Desa Trimulya, kami bergerak ke Desa Bhakti Agung, Kecamatan Tambarana. Jaraknya kurang -lebih 15 menit perjalanan mobil. Desa Bhakti Agung merupakan desa yang dibentuk warga transmigran generasi tahun 1980-1981. Menurut Sujito, mantan Kepala Desa yang menjabat sejak 1993 hingga 2007, di desa tersebut terdapat sekitar 550 kepala keluarga.

Menurut Sujito, Desa Bhakti Agung dibangun oleh masyarakat transmigran asal Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali, serta DKI Jakarta. Sujito bercerita, ketika datang pada tahun 1980, daerah tersebut adalah padang ilalang dan kawasan rawa-rawa yang berbatasan langsung dengan laut. Dengan kehadiran para transmigran, menurut dia, perlahan-lahan, daerah itu berkembang dan semakin modern.

“Kami membuat jalan, jembatan, pasar. Dan desa kami ini menjadi contoh bagi desa-desa pribumi yang ada di sekitar pada waktu itu,” ujar transmigran asal Blora, Jawa Tengah itu, ketika kami bertamu ke rumahnya.

Desa Trimulya dan Desa Bhakti Agung adalah gambaran bagaimana besarnya  peran warga transmigran terhadap pembangunan di Kabupaten Poso. Kondisi tersebut juga tentunya berlaku bagi daerah-daerah transmigrasi lain. Sebagai gambaran, berkat peran transmigran juga, Kabuaten Poso telah memekarkan tiga kabupaten baru, yakni Kabupaten Morowali (1999), Kabupaten Tojo Una-Una (2003), serta Kabupaten Morowali Utara, yang mekar dari Kabupaten Morowali pada 2013 lalu.

Masyarakat Poso yang majemuk, mulai dari sisi etnisitas hingga keyakinan pernah mengalami fase pahit kerusuhan SARA pada tahun 1998 dan tahun 2000. Seperti warga Poso lainnya, warga kampung transmigran, termasuk I Nyoman Widana dan Sujito berharap, kejadian yang penuh luka dan trauma itu tidak kembali terulang.

Harapan mereka tentu sangat beralasan. Pasalnya, pada pertengahan Agustus lalu, terjadi kontak senjata antara aparat keamanan dengan kelompok garis keras di Pegunungan Langka. Kawasan tersebut, hanya berjarak 4 kilometer dari Desa Trimulya.


Akibatnya, untuk sementara waktu, warga yang menggarap lahan di hutan Pegungungan Langka diimbau tidak meladang terlebih dahulu. “Kami mohon konflik tidak lagi terjadi. Kami hanya ingin hidup tentang dan bercocok tanam,” ujar I Nyoman Widana.

Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015

POSTED BY
POSTED IN ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply