Sukardi, Pedagang Kaset Terakhir
Foto: Andi Nurroni |
Langit sedang mendung dan bergerimis suatu siang pada akhir Januari 2014. Saya menjejakan kaki di sebuah lapak PKL di samping Stasiun Bogor. Tentu bukan tanpa alasan lapak itu menjadi tujuan. Di antara deretan para pedagang, kios dua meter persegi beratap terpal itu boleh dibilang yang paling istimewa. Bukan tas, sepatu, atau makanan yang dijajakan, tetapi barang langka yang sudah jarang ditemui, yaitu kaset tip.Seorang perempuan tua berkerudung menyapa dari balik dagangannya. Ia menanyakan rekaman penyanyi siapa yang saya cari. Tak lama, datang seorang pria paruh baya berbadan gempal. Dialah yang saya cari. Namanya Sukardi, kakek 60 tahun. Ibu tadi, kemudian saya ketahui bernama Sukaesih (58), istri Sukardi. Pada kursi-kursi plastik kami duduk, lantas berbagi cerita.
Sekitar tahun 1990, ketika industri kaset
tengah berjaya, Sukardi adalah satu dari puluhan pedagang kaset yang membuka
lapak di sekitar Stasiun Bogor. Kini, dia tinggal sendiri, bahkan menyebut diri
sebagai satu-satunya yang tersisa di Kota Bogor.
Sukardi sudah berjualan kaset di Stasiun Bogor
sejak 1980. Itu berarti hampir tiga setengah dekade dia hidup dari menjual
kaset. Dengan nada bangga ia bercerita, dari berdagang kaset, dulu dia bisa
membeli tanah, rumah, hingga menyekolahkan anak-anaknya. Sayang, menurut dia, semua
itu kini tinggal kenangan.
Sukardi bercerita, kisah kebangkrutan industri
kaset dimulai dengan peredaran luas cakram padat (CD) sebagai alternatif
kemasan musik. Kata dia, sejak tahun 2000-an, perlahan namun pasti, CD mulai
menggusur kaset dan semakin mendominasi pasar musik tanah air.
Memang, kini orang begitu mudah mendapatkan
dan menyimpan musik. Bisa mengunduh dari internet atau memintanya dari teman,
lantas menyimpannya di komputer jinjing, tablet, ponsel, dan lain sebagainya.
Ibarat kata, secangkul tanah lagi, industri kaset benar-benar akan terkubur.
Lantas, apa yang tersisa bagi Sukardi?
Lelaki gaek berkulit gelap itu merenung dalam.
Disyukurinya, masih ada satu dua orang penikmat kaset yang tersisa. Menurut
dia, pelanggannya rata-rata orang tua, dan kebanyakan berasal dari Jakarta.
“Kalau anak muda, sudah jarang. Paling satu-dua, nyari lagu barat, ada juga yang nyari Iwan Fals” tutur dia.
Sukardi dan Sukaesih, istri yang dinikahinya
sejak 1985, tinggal tak jauh dari stasiun. Tepatnya di Desa Gunung Batu,
Kecamatan Bogor Barat. Sukardi melewatkan hampir seluruh hidupnya di stasiun.
Sedari kecil, menurut dia, ia sudah terbiasa mengais rezeki dari kereta, dari
mulai menjadi tukang semir sepatu, menjadi pedagang asongan, hingga akhirnya berjualan
kaset dan masih berlangsung hingga sekarang.
Setiap pagi, Sukardi dan Istri datang ke lapak
diantar-jemput salah seorang menantu mereka dengan speda motor. Dibantu sang
menantu pula, mereka kemudian membenahi barang dagangannya. Sukardi dan
Sukaesih baru menutup kiosnya pada sore hari. Selama itu, mereka biasa memutar
lagu-lagu dengan tip dan perangkat
suara rakitan untuk menarik minat para pembeli.
Di lapaknya, dua papan tempat kaset terpasang.
Satu berdiri sekaligus menjadi dinding lapak di bagian belakang dan samping
kanan. Di bagian depan, terdapat satu meja yang dipenuhi kaset. Bermacam kaset
ada di sana, dari mulai dangdut, musik Barat, hingga dakwah dan lantunan orang
mengaji atau murotal. Menurut Sukardi, yang paling banyak dicari adalah
tembang-tembang lawas, seperti Rhoma Irama, Tetty Kadi, atau Lilis Suryani.
Sukardi menceritakan, kaset-kaset yang dia
dagangkan dibelinya dari Pasar Glodok, Jakarta, seharga Rp 4.500 per buah.
Sisanya, Sukardi mengaku membeli kaset-kaset bekas dari masyarakat yang datang
menjual . Satu kaset ia beli dari penjuak seharga Rp 1-2 ribu per buah.
Ketika saya
melihat-lihat, sebagian kaset yang terpajang nampaknya memang produksi anyar
dengan kualitas daur ulang industri rumahan. Sisanya adalah kaset-kaset lama
produksi label-label ternama yang pernah berjaya. Sukardi menjual satu
kaset seharga Rp 7 ribu. Kadang dia memberikan potongan bagi mereka yang
menawar. Penghasilannya sehari kadang tak lebih dari Rp. 100 ribu. Jumlah itu diakuinya
hanya cukup untuk memenuhi risiko dapur sehari-hari.
Kini di usianya yang semakin senja, tidak
banyak yang dia inginkan, kecuali melihat ke lima orang anaknya hidup bahagia.
Sukardi yang sudah dianggap sesepuh di lingkungan PKL Stasiun Bogor itu mengaku
sudah tidak lagi berpikir mencari pekerjaan lain. Terlebih, kini tubuhnya sudah
semakin ringkih akibat radang tulang yang dideritanya sejak tiga tahun lalu.
“Saya sudah terlalu tua. Sudah nggak
mampu, lah, bersaing sama yang muda-muda. Sekarang tinggal menikmati dan
mensyukuri saja apa yang ada,” tuturnya haru, seraya menoleh ke arah sang
istri.
Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, Februari 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Februari
(12)
- Teater Mandiri, Teater Rakyat yang Mandiri
- Suara-Suara di Seputar 1998
- Ridwan Hasan, Merubah Indonesia dengan ‘Seikhlasnya’
- Membumikan Sastra untuk Orang Biasa
- Menggali Akar Budaya Tanjidor
- Gawang ‘Portable’ Anak-Anak Cikini
- ‘The Muslim Show’, Gelak Tawa Islam di Perancis
- Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa
- Vila Hancur, Kami Pun Menganggur
- Sukardi, Pedagang Kaset Terakhir
- Menyambut Kawin Emas Untung dan Becaknya
- Sholat Dulu Sebelum Joget Reggae
-
▼
Februari
(12)