Suara-Suara di Seputar 1998
Foto: www. thejakartapost.com |
Sebuah negara lahir melewati bermacam benturan kepentingan. Berbagai pihak menyuarakan kepentingan mereka dengan banyak cara, dari yang terang-terangan hingga yang sembunyi-sembunyi. Menyingkap berbagai motif kepentingan dalam suatu pergolakan besar kekuasaan selalu menjadi tema menarik, tak hanya bagi akademisi, tapi juga untuk seniman.
Di panggung itu berdiri sebuah rumah kaca,
serupa etalase besar. Di depannya terdapat emperan, dengan meja dan sejumlah
kursi melingkarinya. Di sekeliling, pelantang suara berbagai ukuran terikat
pada tiang-tiang besi. Samar-samar terdengar banyak suara timbul-tenggelam.
Lalu muncullah Po si teletubbies merah. Dia berjalan-jalan di dalam rumah kaca,
lalu melambai-lambaikan tangannya ke arah penonton.
Itulah tata panggung dan adegan pembuka
pertunjukan drama-tari Sehabis Suara #1, yang dimainkan oleh Teater Garasi.
Dibawakan di pusat kebudayaan Belanda, Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Rabu, 26
Maret 2014 lalu, karya terbaru sutradara Yudi Ahmad Tajudin tersebut
menyuguhkan interpretasi seni panggung atas huru-hara 1998 dan masa setelah
itu.
Musik berubah gaduh dengan tetabuhan. Di rumah
kaca itu tiga orang anonim berpakaian lusuh beratribut warna warni menarikan
adegan demonstrasi. Seorang anonim lain berseragam memangku genderang, hilir
mudik di antara mereka. Gerak mereka semakin liar, dengan iringan musik yang
semakin cepat. Brak! Pintu rumah kaca itu mereka buka paksa.
Orang-orang tanpa nama lainnya keluar dari
balik panggung, lalu berlarian keluar-masuk rumah tak menentu arah. Tiga orang
dari mereka bersimpuh di bawah meja, di pelataran rumah. Dari belakang meja,
seorang perempuan Jepang mencecar mereka dengan bahasa asing. Ia meracau
sembari mengiris-iris dan mulut penuh dengan buah tomat. Di dalam rumah,
orang-orang terus menarikan demonstrasi.
Begitulah beberapa potong adegan pertunjukan berdurasi
30 menit itu yang membuat penonton terpukau. Dengan tata panggung dan
perlengkapan yang artistik, koreografi yang segar, serta metafora yang cerdas,
Teater Garasi berhasil memukai penonton. Meski terasa sangat eksperimental
dalam kemasan surealis, Sehabis Suara #1 begitu enak dinikmati.
Sehabis Suara #1 menggambarkan berbagai
kepentingan yang hilir mudik di seputar tahun 1998 dan setelahnya. Rumah kaca bisa
jadi melambangkan Indonesia. Di dalamnya ada pergolakan. Ada rakyat lusuh yang
tak henti-hentinya bersuara. Ada juga aparat keamanan memangku genderang perang
yang siaga menghalau mereka.
Diwakili oleh figur seorang perempuan Jepang,
Sehabis Suara #1 mengemukakan kecurigaan adanya kepentingan-kepentingan asing
yang terus mengawasi dan merongrong Indonesia. Orang-orang yang bersimpuh di
hadapan si perempuan Jepang menjurus pada representasi penguasa dan pengusaha
yang berebut menjual Indonesia demi kepentingan mereka.
Menurut Yudi, sang sutradara, Sehabis Suara #1
lahir dari rasa penasaran para seniman Teater Garasi menyaksikan dinamika
sosial yang berkembang di seputar dan setelah Reformasi 98. “Kami penasaran,
apa sebenarnya yang terjadi ketika itu dan setelah itu, apa yang mendasari
kelompok orang melakukan ini dan itu. Aku percaya ada suara-suara yang
menggerakan setiap fenomena,” ujar Yudi, ditemui seusai pertunjukan.
Yudi menjelaskan, Sehabis Suara #1 merupakan
karya awal dari konsep pertunjukan besar yang tengah mereka siapkan. Malam itu,
sengaja mereka menampilkan versi 30 menit dari konsep besar tersebut sebagai
perayaan kecil atas keberhasilan mereka meraih Prince Claus Award 2013.
Prince Claus Award
adalah anugerah dunia untuk berbagai bidang seni, sosial dan kebudayan yang
diterbitkan Price Claus Fund, lembaga sosial dan kebudayaan Belanda. Seperti
halnya Noble Prize, panitia bekerja menilai para kandidat tanpa sepengatahuan
mereka. Sebagai sebuah tradisi, selain mendapatkan penghargaan yang diberikan
langsung di negeri Belanda, di negara asal pemenang, penghargaan juga
diserahkan oleh Duta Besar Kerajaan Belanda.
Cat.: tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Republika, April 2014.
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Februari
(12)
- Teater Mandiri, Teater Rakyat yang Mandiri
- Suara-Suara di Seputar 1998
- Ridwan Hasan, Merubah Indonesia dengan ‘Seikhlasnya’
- Membumikan Sastra untuk Orang Biasa
- Menggali Akar Budaya Tanjidor
- Gawang ‘Portable’ Anak-Anak Cikini
- ‘The Muslim Show’, Gelak Tawa Islam di Perancis
- Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa
- Vila Hancur, Kami Pun Menganggur
- Sukardi, Pedagang Kaset Terakhir
- Menyambut Kawin Emas Untung dan Becaknya
- Sholat Dulu Sebelum Joget Reggae
-
▼
Februari
(12)