Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa
Foto: Andi Nurroni |
Bendung Katulampa, apa pasal fasilitas pengaturan air di pangkal Ciliwung itu biasa demikian tenar? Tak hanya didatangi para menteri dan gubernur, tiga presiden terakhir republik ini, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan pernah menelepon langsung ke pos penjaga. Di musim penghujan, informasi dari bendung tersebut sangat dinanti. Kode-kode yang dikirimkan, ‘siaga empat’, ‘siaga tiga’, dan seterusnya, terkadang bisa membuat pemerintah dan masyarakat gonjang-ganjing.
Berlokasi di Kelurahan Katulampa, Kota Bogor,
beton melintang sepanjang 74 meter itu menjadi vital dan istimewa karena
perannya sebagai corong informasi terdini soal debit air Ciliwung. Dari
informasi yang dikirimkan, pemerintah dan warga Jakarta bisa segera tahu ketika
banjir sedang meluncur ke tanah mereka. Selain kode-kode informasi yang
dipancarkannya, tak banyak yang tahu kisah-kisah kecil menarik seputar bendung
tertua di Bogor itu.
Di suatu sore yang hujan pertengahan Januari 2014,
sang penjaga, Andi Sudirman (46) berbagi cerita kepada saya. Di sela kesibukannya menanggapi berbagai panggilan lewat
telepon, ponsel, handy-talky, hingga beberapa unit radio amatir yang
terpasang di meja kerjanya, pria berkaca mata itu membagi konsentrasi meladeni
berbagai pertanyaan yang saya ajukan.
Diceritakan Andi, Bendung Katulampa, atau
mulanya disebut Katoelampa-Dam, selesai dibangun dan diresmikan Pemerintah Kolonial
Hindia-Belanda pada 1912. Masa perencanaan bangunan itu sendiri, menurut dia, dimulai
sejak 1889. Mengutip keterangan para ahli sejarah, menurut Andi, banjir hebat
yang melanda Batavia (sekarang Jakarta) pada 1872, ditengarai menjadi latar
belakang pembangunan bendung tersebut.
Selain untuk memberikan peringatan dini soal
debit air, bendung karya Ir. Van Breen itu juga dibuat sebagai pintu saluran
irigasi untuk mengairi 5 ribu hektar sawah di sekitar bendung pada masa itu.
Tak hanya irigasi, saluran tersebut juga dimaksudkan sebagai pemasok cadangan
air baku untuk warga Ibu Kota. Saluran itu diciptakan dengan membuat sodetan
yang kini dikenal sebagai Kali Baru Timur, yang mengalir melewati Depok,
Cilangkap, hingga bermuara di Tanjung Priok, Jakarta Utara. “Kini setelah sawah
nggak
ada, giliran pabrik-pabrik yang memanfaatkannya,” tutur Andi.
Dengan ekspresi takjub, berulang kali lelaki
yang sehari-hari mengenakan peci itu memuji fasilitas ciptaan bangsa Belanda
tersebut. Menurutnya, konstruksi bangunan Bendung Katulampa benar-benar kokoh,
dengan besi-besi yang tahan karat. “Beda, lah sama besi-besi zaman sekarang,”
kata dia.
Andi juga terkadang tak habis pikir dengan
orang-orang Belanda pada zaman itu. Menurut dia, mereka berpikir sangat jauh ke
masa depan. Terbayang di kepalanya, mereka yang notabene pendatang sampai
memikirkan pengendalian banjir, irigasi, hingga menyiapkan pasokan air bagi
keseharian warga ibu kota. Semua fasilitas itu, menurut Andi, kini nyata
sangat dirasakan manfaatnya. “Sekarang juga dengar-dengar Pemda Jakarta mau
mengoptimalkan pasokan air baku dari Ciliwung, katanya air tanah mereka semakin
asin dan tercemar” papar ayah tiga anak tersebut.
Sebagaimana dijelaskan Andi, istilah ‘bendung’,
bukan ‘bendungan’, yang dipakai untuk merujuk fasilitas pengaturan air tersebut
memiliki penjelasan ilmiah. Menurut Andi, berdasarkan definisi Kementrian
Pekerjaan Umum, bendung (weir) berarti pembatas yang dibangun melintasi
sungai dengan tujuan mengubah karakteristik aliran sungai, sementara bendungan
(dam), yang umumnya berukuran jauh lebih besar, memiliki fungsi menahan
laju air dan menyimpannya untuk waduk atau danau.
Andi menyayangkan masih banyak masyarakat yang
belum tahu perbedaan tersebut, sehingga ada saja yang berpikir Katulampa bisa
mengendalikan air, seperti kejadian yang sudah-sudah. “Waktu banjir besar di
Jakarta tahun 2013, beredar isu bahwa penyebabnya pintu air Katulampa dibuka.
Itu salah,” tegas Andi. “Katulampa tidak bisa menahan laju air,” lanjutnya.
Sesekali percakapan kami terhenti karena Andi
harus menjawab berbagai panggilan lewat seabrek alat komunikasinya. Maklum
saja, hujan sedang mengguyur langit Bogor dan banyak pihak khawatir debit air
naik. Sore itu, dia hanya dibantu seorang stafnya.
Selain Andi dan rekannya, pos tersebut
sejatinya ramai oleh manusia. Tak hanya lelaki dan perempuan dewsa, anak-anak
hingga balita ada di sana. Baru kemudian saya ketahui, mereka adalah warga
sekitar yang penasaran menengok suasana bendung yang sedang ramai diberitakan
itu. Kepada tamu-tamunya itu, Andi nampak begitu ramah. Dipersilakannya mereka
masuk menduduki sofa dan kursi-kursi yang tersedia. Dengan berkelakar, Andi
menyebut mereka sebagai ‘wisatawan banjir’.
Kata Andi, Bendung Katulampa memang sudah tak
ubahnya tempat wisata, terlebih di musim hujan. Banyak yang sengaja datang ke
sana karena rasa penasaran. “Kebanyakan warga Bogor, tapi kadang ada juga orang
Jakarta yang sedang liburan di Bogor mampir”, ujarnya.
Andi menambahkan, selain musim hujan, Bendung
Katulampa juga banyak dikunjungi orang ketika hari libur, bulan puasa, dan
sering juga di malam Minggu, menjadi tempat muda-mudi berkasih-kasihan. Ketika
air sedang besar, banyak pengendara motor yang sengaja berhenti untuk mengambil
foto, seperti yang saya
saksikan kala itu.
Seperti umumnya bangunan bendung, konstruksi
Bendung Katulampa melintang memotong sungai. Bagian atas bendung berfungsi
sebagai jembatan yang menghubungkan Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan
Sukaraja. Dengan lebar sekitar satu meter, jembatan berlapis aspal itu tak
pernah sepi dilewati warga, baik pejalan kaki, pengendara motor, atau para
pedagang yang mendorong gerobak mereka.
Sebagai fasilitas pengatur aliran air,
bangunan Bendung Katulampa bisa dibedakan menjadi dua, yakni bangunan utama
yang mengalirkan air ke Ciliwung, serta bangunan lainnya yang mengatur aliran
air ke sungai sodetan. Terdapat sepuluh rongga pada bangunan utama, yang mana
tiga di antaranya dilengkapi dengan daun pintu yang bisa dinaik-turunkan sesuai
kebutuhan dengan tuas pemutar hidrolik.
Sementara pada bangunan pengatur sodetan,
terdapat lima rongga dengan sepuluh daun pintu pada bagian depan dan
belakangnya. Lima merupakan daun pintu utama, sedangkan lima lainnya adalah
daun pintu cadang jika sewaktu-waktu daun-daun pintu utama macet.
Pada salah satu dinding beton di bendung
utama, di jalur lalu lintas air, tergambar skala pengukur ketinggian air. Dari
sana bisa diketahui berapa ketinggian air, apakah di bawah 50 cm atau dalam
keadaan ‘normal’, ‘siaga empat’ (50-80 cm), ‘siaga tiga’ (80-150 cm), ‘siaga
dua’ (150-200 cm), atau ‘siaga satu’ (di atas 200 cm). Ketika terjadi
peningkatan debit air di Bendung Katulampa, diperkirakan 3-4 jam kemudian
limpahan air tersebut akan sampai di Pintu Air Depok, dan sekitar 11 jam
kemudian air akan tiba di Pintu Air Manggarai.
Setelah CCTV rusak tersambar petir akhir tahun
lalu, pengamatan dilakukan dengan mata telanjang. Ketika air besar, seorang
petugas akan memantau pengukur air dan melaporkan ke pos penjagaga melalui handy-talky.
Di samping kiri bangunan utama bendung,
terletak pos penjaga yang bentuknya menyerupai rumah penduduk, menghadap ke
arah bendung. Ada beberapa ruangan di sana, mencakup ruang utama, kamar tidur,
kamar mandi, dapur, gudang, serta mushola. Di salah satu sudut di ruang utama,
terdapat meja kendali komunikasi beserta kelengkapannya yang sederhana saja:
telfon, beberapa unit radio amatir, serta tumpukan berbagai berkas.
Terkait keberadaan mushola di pos tersebut, Andi punya cerita menarik.
Dikisahkannya, mushola 6 x 8 meter yang
sekarang berdiri di bagian belakang pos utama itu dibangun atas permintaan
Gubernur Jakarta Joko Widodo (sekarang presiden) pada 2013 lalu. Ketika itu,
sang Gubernur secara mengejutkan datang membawa rombongan untuk menjumpai Andi,
memastikan kesiapan bendung menjelang musim banjir. “Waktu itu dia (Jokowi) mau
sholat, dia menanyakan mushola. Ya, sayangnya memang enggak ada. Jadi
dia minta ke orang PU (Kementrian Pekerjaan Umum,) untuk membangun mushola di
sini,” papar Andi.
Sejak bertugas mengantikan pendahulunya pada
tahun 2000, Andi banyak menyimpan kisah-kisah menarik tentang si Bendung.
Misalnya, pernah beberapa kali Andi dan kawan-kawan menemukan jasad manusia
yang terdampar di sana. “Tiga kali kami pernah menemukan mayat, salah satunya
korban kecelakaan di tol Jagorawi yang jatuh ke sungai,” papar dia.
Selain, soal penemuan mayat, cerita ganjil
lainnya adalah seringnya petir menyambar fasilitas bendung. Sudah tak terbilang
unit televisi, komputer, termasuk perangkat CCTV yang rusak karena samabaran
petir. Andi sendiri kurang tahu pasti penyebabnya. Tak hanya merusak perabot
elektronik, Andi sendiri mengaku pernah tersambar petir. “Waktu itu hujan, saya
lagi meriksa bendung. Petir nyamber,
saya mental, ada kali sepuluh meter” ujar dia dengan antusias.
Tak heran, kini Andi sedikit trauma dengan
petir. Setiap kali terdengar suara geledek, dia langsung sigap mematikan aliran
listrik di kantornya. saya
menyeksikan sendiri aksinya tersebut kala gemuruh petir mulai terdengar ketika
itu.
Di pos Bendung Katulampa, Andi kini bekerja
dibantu enam orang staf. Rata-rata mereka adalah pemuda setempat. Selain
memberi laporan soal debit air, tugas mereka sehari-hari adalah merawat
fasilitas bendung, serta membersihkan sampah di mulut bendung dua kali dalam
sepekan. Sekali membersihkan sampah, tak tanggung-tanggung, Andi dan
rekan-rekan bisa menjaring 15 karung limbah.
Pengabdian Andi dan kawan-kawannya telah
banyak mengundang apresiasi dari berbagai pihak. Sejumlah piagam penghargaan
banyak dijumpai tergantung di dinding ruangan serta pada lemari kaca di salah
satu sudut ruangan. Sebagian besar piagam-piagam tersebut menyatakan rasa
terimakasihnya atas kerja keras Andi dan kawan-kawan dalam menjaga Bendung
Katulampa dan menjadi juru informasi yang mengamankan jutaan nyawa manusia.
Sejauh ini Andi mengaku senang dan merasa
punya kepuasan tersendiri dalam menjalani pekerjaannya. Walau demikian, ketika
ditanya harapannya, Andi tak sungkan menitip pesan agar para pejabat yang
berwenang lebih memerhatikan fasilitas dan kesejahteraan para pekerja di sana.Cat.: tulisan ini pernah dibuplikasikan di Harian Republika pada Januari 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Februari
(12)
- Teater Mandiri, Teater Rakyat yang Mandiri
- Suara-Suara di Seputar 1998
- Ridwan Hasan, Merubah Indonesia dengan ‘Seikhlasnya’
- Membumikan Sastra untuk Orang Biasa
- Menggali Akar Budaya Tanjidor
- Gawang ‘Portable’ Anak-Anak Cikini
- ‘The Muslim Show’, Gelak Tawa Islam di Perancis
- Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa
- Vila Hancur, Kami Pun Menganggur
- Sukardi, Pedagang Kaset Terakhir
- Menyambut Kawin Emas Untung dan Becaknya
- Sholat Dulu Sebelum Joget Reggae
-
▼
Februari
(12)