Menggali Akar Budaya Tanjidor
Foto: Kulatmabok/deviantart.net |
Lebih dari sekedar kesenian musik, tanjidor ibarat diorama kehidupan masyarakat Betawi. Di dalamnya tersuguh dinamika sosial dan bentang zaman yang dilewati orang Betawi di wilayah Ibu Kota dan sekitarnya. Sayang, orkestra rakyat itu kini nasibnya semakin tersisih oleh budaya hiburan modern.
Merespon kondisi tersebut, lembaga kebudayaan
Bentara Budaya Jakarta (BBJ) mengelar pagelaran bertema “Parade Tanjidor”, pada
20 hingga21 Maret 2014. Bertempat di gedung kesenian BBJ, di Jalan Palmerah
Utara, Jakarta Selatan, sejumlah mata acara disuguhkan. Di antaranya adalah diskusi
publik, pertunjuan tanjidor, serta tak lupa sajian kuliner khas Betawi.
Sesi diskusi menghadirkan pemerhati budaya
Rachmat Ruchiyat, serjarwan JJ Rizal, serta seniman sepuh Tanjidor, Said
Neleng. Rachmat Ruchiyat yang pernah terlibat program pendokumentasian tanjidor
zaman Gubernur Ali Sadikin bercerita, kesenian dengan peralatan musik
serba-Barat tersebut memang lahir dari lingkungan para bangsawan Belanda.
Ketika itu, menurut Rachmat, demi memenuhi
hasrat akan hiburan dan kemewahan, para juragan Belanda mendatangkan para
pelatih musik dari negerinya untuk mengajar orang-orang bumiputera. Salah
seorang bangsawan Belanda yang dicatat dalam sejarah tanjidor adalah Augustijn
Michiels, atau lebih dikenal sebagai Mayor Jantje. Rachmat meriwayatkan, di
istananya yang berada di wilayah Citeureup, Bogor, Mayor Jantje mempekerjakan
tak kurang dari 320 pembantu.
Sejumlah kecil pembantu terpilih kemudian
diberi tugas untuk menghibur keluarga sang majikan dengan musik. Kata Rachmat,
ketika itu Mayor Jantje memiliki hingga enam kelompok pemusik, dari mulai
pemusik gesek, pemusik gamelan, termasuk grup orkes. Grup yang terakhir kemudian
dikenal sebagai kesenian tanjidor. Masing-masing memiliki waktu tampilnya
sendiri. Kelompok tanjidor, misalnya, bermain untuk perayaan menyambut tamu,
serta suasana lainnya yang bersifat meriah.
Rachmat tidak memungkiri, ketika itu, para
pemusik kepunyaan tuan-tuan Belanda tersebut bisa diperjualbelikan, bahkan
dihadiahkan dalam pergaulan sesama bangsawan. Rachmat mengibaratkan, mereka seperti
para pesepak bola profesional hari ini yang memiliki nilai jual karena
keahliannya. Berbeda dengan Rachmat, JJ Rizal tak canggung menyebut para
pemusik pribumi itu sebagai kaum budak, sehingga muncul istilah slaven
orchest atau orkes budak.
Rizal menambahkan, pada 1870, Pemerintah
Kolonial Belanda menerbitkan larangan praktik jual-beli manusia, termasuk para
pemusik. Ketika itulah orkes tanjidor yang semula musik para bangsawasan
terusir dari istana. Tanjidor kemudian memasuki babak baru. “Setelah tidak di
istana, mereka kemudian membentuk grup-grup tanjidor keliling, lalu mencari
uang dengan ngamen dari rumah ke rumah,” kata Rizal.
Rizal melanjutkan, pada perjalanannya,
bermunculan banyak grup tanjidor keliling. Mereka menjadi bagian dari berbagai
perayaan hari besar, seperti Imlek, Lebaran, atau Tahun Baru. “Orang-orang
Tionghoa waktu itu senang kalau rumahnya didatangi tanjidor, mereka menganggap
itu sebagai pengusir roh jahat,” ujar dia.
Rachmat Ruchyat melanjutkan, setelah zaman
kemerdekaan, tanjidor memasuki babak baru ketika Sudiro, Walikota Jakarta Raya
waktu itu, melarang grup-grup tanjidor untuk ngamen. Menurut Rachmat, ketika itu Sudiro tak ingin orang-orang
pribumi berkesenian dengan cara yang dia anggap mengemis, terlebih kepada warga
keturunan Tionghoa.
Alhasil, kelompok-kelompok tanjidor pun
semakin menyusut jumlahnya. Menurut Rachmat, sempat ada upaya untuk kembali
membudayakan musik tanjidor pada masa Gubernur Ali Sadikin. Namun sayang, pada
akhirnya kesenian tanjidor tak bisa menghindar dari perubahan zaman dan
pergeseran paradigma masyarakat.
Secara khusus, Rachmat memuji perjuangan
kelompok tanjidor sejauh ini. Menurut dia, tanjidor masih tersisa karena
kemampunannya beradaptasi. Dia mencontohkan, tanjidor yang dulu hanya memainkan
musik-musik Belanda, kemudian juga memainkan lagu-lagu tradisional, bahkan
mengiringi dangdut.
Bukti lain fleksibilitas tanjidor, menurut
dia, adalah hadirnya berbagai varian kesenian, sebagai buah dari penggabungan
tanjidor dengan seni pertunjukan lain. Kesenian tersebut, contohnya jinong, merupakan
penggabungan tanjidor dan lenong, atau jipeng, perpaduan tanjdor dan seni
topeng.
Direktur Eksekutif Bentara Budaya
Hariadi Saptono melaporkan, sejauh upaya pihaknya mencari kelompok
tanjidor, hanya ada enam grup saja yang masih aktif berkesenian di Jakarta dan
sekitarnya. Sisanya, sudah kurang aktif, atau dengan peralatan yang tidak
lengkap.
Satu di antara sedikit kelompok tanjidor yang
masih hidup adalah grup tanjidor Tiga Sodara, pimpinan Said Neleng. Malam itu,
kelompok Tiga Sodara yang para pemainnya rata-rata sudah sepuh menjadi pembuka
malam parade tanjidor.
Musik Hibrida Bernama Tanjidor
Foto: Dok. Enoch Atmadibrata/disparbud.jabarprov.go.id |
Tanjidor adalah musik hibrida, percampuran berbagai kebudayaan yang ditempa oleh dinamika sosial yang panjang. Alat musiknya semua serba Eropa, terdiri dari berbagai jenis alat tiup dan tabuh, termasuk trompet kontrabass yang paling ikonik di antara yang lainnya. Dulu, di rumah-rumah para juragan kumpeni, orkes tanjidor hanya memainkan lagu-lagu Belanda. Kini, tanjidor juga mengiringi lagu-lagu tradisional.
Orkes tanjidor umumnya dimainkan oleh sembilan
hingga sepuluh orang, yang semuanya laki-laki. Alat musik yang digunakan
terdiri dari varian terompet, bass drum, serta simbal. Yang berperan memainkan
irama adalah klarinet dan flute, sisanya menjadi pengiring. Terkadang, penabuh
drum melontarkan saut-sautan yang membuat musik semakin semarak.
Setelah melalui proses asimilasi dengan budaya
Betawi, para pemain tanjidor mengenakan baju adat muslim Betawi, yakni celana
kain hitam, baju koko putih, peci, serta kain sarung tergantung di leher. Pada
perkembangannya, orkes tanjidor kerap disandingkan dengan ondel-ondel, sepasang
boneka raksasa, yang juga menjadi ikon kebudayaan Betawi.
Musik tanjidor diwariskan dari generasi ke
generasi hanya berdasarkan ingatan, tanpa catatan partitur. Para seniman
tanjidor merekam pakem lagu-lagu tanjidor dalam memori. Ketika mengajarkannya,
mereka menyenandungkan lagu-lagu tersebut. Wajar saja, kalangan yang mengerti
ilmu musik akan menemukan banyak nada sumbang dalam musik tersebut.
“Itulah tanjidor, kalau nggak sumbang,
bukan tanjidor,” ujar sejarawan JJ Rizal, dalam diskusi tentang tanjidor di
Bentara Budaya Jakarta, 21 Maret 2014.
Para pemain tanjidor memiliki istilah untuk
lagu-lagu yang mereka mainkan. Ada musik luar, mengacu pada lagu-lagu warisan
Belanda. Ada musik dalem, yakni tembang-tembang dari dalam negeri,
termasuk lagu-lagu tradisional. Hal yang unik, semua istilah lagu luar disebut
dalam bahasa mereka sendiri. Lagu-lagu bertempo cepat untuk baris-berbaris
prajurit mereka sebut mares, asal kata dari mars.
Ada macam-macam mares yang biasa mereka
mainkan, yang juga disebut seingatnya. Ada mares wilmes, berasal dari
Mars Wilhelminus, lagu untuk Ratu Belanda Wilhelmina. Ada juga yang disebut mares
jalan, mares jerit, mares Jepang, dan judul-judul lainnya, yang
menurut JJ Rizal, semua serba disebut sekenanya. Selain mares, dikenal
juga lagu-lagu wos, asal kata dari waltz,
musik lambat untuk berdansa.
Rachmat Ruchyat, peneliti kebudayaan Betawi
berpendapat tanjidor telah menjadi simbol keselarasam masyarakat Ibu Kota. Dia
menggambarkan, tanjidor mampu hadir dalam berbagai ruang sosial, seperti
prosesi adat, misalnya pernikahan dan sunatan, juga dalam perayaan hari-hari
besar, semisal Imlek, Tahun Baru, juga Lebaran.
Para pemerhati budaya Betawi tak sepenuhnya
faham dari mana munculnya istilah tanjidor. Dalam manuskrip-manuskrip warisan
zaman kolonial, tak ditemukan sebutan tersebut. Rachmat Ruchyat, peneliti
budaya Betawi berasumsi, tanjidor berasal dari kata Portugis tanger,
yang artinya musik. Ada juga yang berpendapat, akhiran dor dalam
Tanjidor mewakili bunyi tetabuhan yang ada dalam orkes tersebut.
Cat.: tulisan ini pernah dipublikasihan di Harian Republika, Maret 2014
Cat.: tulisan ini pernah dipublikasihan di Harian Republika, Maret 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Februari
(12)
- Teater Mandiri, Teater Rakyat yang Mandiri
- Suara-Suara di Seputar 1998
- Ridwan Hasan, Merubah Indonesia dengan ‘Seikhlasnya’
- Membumikan Sastra untuk Orang Biasa
- Menggali Akar Budaya Tanjidor
- Gawang ‘Portable’ Anak-Anak Cikini
- ‘The Muslim Show’, Gelak Tawa Islam di Perancis
- Bendung Katulampa, Beton Belanda yang Istimewa
- Vila Hancur, Kami Pun Menganggur
- Sukardi, Pedagang Kaset Terakhir
- Menyambut Kawin Emas Untung dan Becaknya
- Sholat Dulu Sebelum Joget Reggae
-
▼
Februari
(12)