Ragam Seni Lakon Petani
Foto: beritadaerah.co.id |
Petani dan alam pedesaan adalah jati diri dan wajah Indonesia. Dari gerak laku petani di alam desa, lahirlah nilai-nilai dan ekspresi budaya yang kita warisi hari ini. Sayang, pergeseran tatanan sosial membuat bangsa ini gagap dan semakin kehilangan identitas. Di hadapkan pada kondisi tersebut, sebagian kecil orang kini tengah bekerja keras merawat, bahkan menggali kembali kultur petani yang telah, atau nyaris hilang dari tengah masyarakat.
Mengangkat tema “Daulat Para Jagoan”, lembaga
Bentara Budaya Jakarta (BBJ) menampilkan empat ragam seni tentang petani awal
Juni 2014. Keempat bentuk kesenian tersebut, yakni drama tari, lukisan, lukisan
kaca, dan wayang hama, mengeksplorasi nilai dan budaya petani, dipersembahkan
oleh pekarya yang merupakan maestro di bidang masing-masing.
Bukan sekedar mempertontonkan seni, hajatan
tersebut secara khusus mengangkat kisah perjuangan petani dalam memperjuangkan
kemandirian atas pupuk, obat, dan benih. Beberapa orang petani yang bergiat
dalam Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) asal Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat, didaulat untuk berbagi kisah. Melengkapi cerita para
petani tersebut, dipamerkan juga sejumlah instalasi berbagai perlengkapan
aktivitas mereka sehari-hari.
Bertempat di kompleks BBJ, kawasan Palmerah,
Jakarta Pusat, kegiatan yang berlangsung sepekan lebih itu dibuka dengan
suasana meriah dan artistik. Drama tari dengan lakon “Lesungku” dipentaskan
oleh Sanggar Tari Mulya Bhakti asal Indramayu, asuhan koreografer dan dalang
perempuan Wangi Indriya.
Drama tari tersebut digali Indriya dari tari
tradisi Grombyangan yang kini sudah hampir hilang, bahkan di daerah asalnya
Indramayu. Berkisah tentang suasana desa ketika gerhana bulan, “Lesungku”
dimainkan 20-an penari, perempuan dan laki-laki. Kaum pria tampil mengenakan
baju pangsi hitam-hitam dan berikat kepala, sementara para wanita
berbusana kebaya dengan kain melilit pinggang.
Diiringi ketukan lesung dan tetabuhan
alat-alat musik bambu dan tembang berbahasa Jawa Indramayu, empat orang remaja
putri bercaping melenggak-lenggok di atas panggung. Dalam beberapa bagian,
tetabuhan lesap digantikan alunan seruliing, menyeruakan suasana purba yang
terasa mistis.
Dikisahkan, malam tiba-tiba gelap. Bunyi
kentongan bertalu-talu, diikuti masuknya sejumlah pria ke atas panggung. “Telah
terjadi gerhana, bulan di makan Betara Kala”. Begitu pergunjingan yang terjadi
di antara mereka. Salah seorang dari mereka lalu tersadar bahwa istrinya tengah
mengandung. Tergesa dia pulang menuju rumahnya.
Setiba di rumah, sang istri langsung dia suruh
masuk ke bawah ranjang, sementara si lelaki menaburkan abu di atas tempat
tidur. Begitulah sang koregrafer mengangkat sepenggal kepercayaan lokal ke atas
panggung. Didukung oleh tata panggung yang artistik, dikelilingi oleh tanaman
padi menguning serta orang-orangan sawah, penonton diajak merasakan suasana
kehidupan leluhur pada zaman lampau.
Sementara itu, kesenian lain disuguhkan untuk
publik di ruang pameran. Ada koleksi lukisan-lukisan kaca karya maestro seni
lukis kaca asal Cirebon, Rastika. Sejalan dengan tema besar acara, sejumlah
karya mengangkat tema petani yang diramu dengan kisah dan visualisasi dunia
pewayangan.
Karya berjudul “Bima Meluku” (cat minyak pada
kaca) menggambarkan kesatria Bima tengah membajak sawah bersama dua ekor kerbau
berwarna merah muda, dengan latar belakang gunung biru dan mentari yang
mengintip dari balik awan. Termasuk karya “Bima Meluku”, lukisan-lukisan Rastika
yang ditampilkan sangat memikat, dengan warna dan komposisi gradasi yang
memanjakan mata.
Dua jenis karya lainnya, puluhan lukisan karya
perupa Yogyakarta Herjaka HS, serta ‘wayang hama’ karya perupa Magelang Sujono,
juga tidak kalah menariknya. Karya-karya Herjaka mengangkat tokoh Dewi Sri,
sang dewi pelindung tanaman dalam bentuk karakter wayang. Sementara itu,
‘wayang hama’ karya Sudjono merupakan eksperimen atas rupa-rupa hama, semisal
kinjeng, kepik, gasir, yang diangkat dalam bentuk wayang.
Kisah Para Petani Jagoan dari Indramayu
Foto: fao.org |
Awal Juni 2014, Bentara Budaya Jakarta (BBJ)
punya hajatan unik bertema “Daulat Para Jagoan”. Sejumlah seni yang hendak
ditampilkan, termasuk drama tari dan lukisan kaca, disebut-sebut hanya dipasang
sebagai pendamping. Banyak hadirin, termasuk wartawan, datang membawa rasa
penasaran. Barulah semua terang begitu Direktur BBJ Hariadi Saptono memberikan
sambutan.
Rupanya kegiatan tersebut mengetengahkan isu
soal kultur dan perjuangan petani. Sebuah komunitas petani padi asal Indramayu,
Jawa Barat, yakni Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
diboyong ke Jakarta untuk berbagi cerita. Menurut Hariadi, pihaknya terkesan
dengan keberhasilan kelompok petani tersebut dalam mengelola pertanian secara
mandiri. Termasuk menciptaan pestisida alami, pupuk alami, serta penemuan
berbagai varietas benih baru.
Hadir mewakili teman-teman mereka di desa,
enam orang petani diminta tampil ke atas penggung. Pentolan mereka adalah
Warsyiah, lelaki 57 tahun, asal Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten
Indramayu. Pria yang hanya tamat sekolah dasar tersebut menjadi salah satu
motor dalam menggalang gerakan pertanian mandiri di lingkungan Kabupaten
Indramayu dan sekitarnya.
Bermodal pengetahuan sekedarnya yang didapat
dari program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Tanaman (SLPHT) yang
diselenggarakan Bappenas pada tahun 1990-an, Warsiyah memulai eksperimennya. Ia
dan sejumlah kawannya alumni program tersebut dengan tekun melakukan berbagai
penelitian soal tanam-menanam padi.
Sekitar periode 1998, keberhasilan mereka
meramu iinsektisida dan pupuk organik menguatkan kepercayaan diri mereka untuk
melakukan lebih banyak percobaan. Saat itu, Warsiyah dan kawan-kawan sukses
mengoplos kecubung, kencing sapi dan kencing kambing untuk insektisida, serta
limbah buah-sayur dan kotoran sapi untuk pupuk organik. Sejak saat itu, berbagai
bahan lain semakin banyak ditemukan untuk menciptakan bermacam pestisida juga
pupuk yang ampuh. Hal itu membuat mereka berhasil meninggalkan sama sekali
pestisi dan pupuk kimia.
Tahun 2002 Warsiyah dan 40-an anggota IPPHTI
Indramayu mendapat kesempatan mengikuti Sekolah Pemuliaan Tanaman
Parsitipatoris (SPTP). Program tersebut difasilitasi LSM internasional,
Farmer’s Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (Field). Dari
sana, Warsiyah dan rekan-rekan mendapat pengetahuan soal silang-menyilang padi
untuk menemukan varietas baru. Sejak saat itu mereka berhasil memproduksi
varietas padi baru, bahkan menemuakan kembali jenis-jenis padi lokal yang
banyak dilupakan.
Dengan tulus, para petani tersebut menyebarkan
ilmu bertani kepada sesama petani, tanpa pernah menuruti nafsu serakan untuk
menguangkan hasil-hasil penemuan mereka. Dalam perjalanannya, perjuangan
menegakan kemandirian kultur bertani yang digalakkan Warsiyah dan rekan-rekan
tidaklah mudah.
Para bandar pestida, pupuk, dan benih menjadi
penentang yang hebat bagi gerakan mereka. Alih-alih membela, pemerintah
setempat tak jarang malah menjadi agen-agen perusahaan sarana produksi
pertanian yang turut menekan mereka. Namun Warsiyah dan rekan-rekannya tetap
teguh di jalan mereka untuk mewujudkan upaya kemandirian bertani lewat cara
yang alami dan sederhana.
Keberhasilan komunitas petani tersebut dalam
membangun kultur pertanian mandiri mendapat apresiasi dari Organisasi Pangan
Dunia (FAO) PBB. FAO menganggap IPPHTI sebagai slah satu kelompok petani yang
berhasil mengembangkan paradigma petani baru yang siap mengantisipasi perubahan
iklim dan pemanasan global.
Karena kesungguhannya, Warsyiah yang dianggap
paling cakap di antara kelompok lainnya, mulai November 2013 terpilih menjadi
salah satu penyuluh pertanian FAO. Warsiyah kini mengemban misi mendidik para
petani di berbagai daerah untuk beralih pada model pertanian yang aman dan
ramah lingkungan. Kelompok-kelompok binaan Warsiyah yang berjumlah 25-27 orang
sudah tersebar di berbagai desa di Indramayu, bahkan hingga ke luar kota.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Maret
(22)
- Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya
- Surga Pewayangan Bernama Indonesia
- Mencuci Pakaian dari Zaman ke Zaman
- Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
- Gandrung, Seni Tari Berbalut Mitologi
- Ragam Seni Lakon Petani
- Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
- Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota
- Terpikat Pesona Golek Pesisiran
- Jawa dalam Peta Teh Dunia
- Fin Komodo, Ketangguhan Mobil Patriotik
- Kopi Jawa di Takhta Dunia
- 100 Tahun Ismail Marzuki
- Kanvas Protes Yayak Yatmaka
- Menengok PDS HB Jassin, Sebuah Museum Sastra
- Ketika Mahluk Galaksi Hebohkan Jakarta
- Perjalanan Mudah dan Murah Ala Backpacker
- Mengudara ke Zaman Radio
- Tersenyum Bersama Barang Jadul
- Balada Ojek Ibu Kota
- Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’
- Sabtu Sore di Taman Suropati
-
▼
Maret
(22)