Transmigrasi, Membawa Luka ke Tanah Harapan (Bagian 2)
Keluarga Arif Albes Korea. Foto: Andi Nurroni |
Mereka adalah orang-orang yang terluka. Luka sosial yang mereka rasakan tak jarang sangat perih. Namun mereka adalah para pejuang kehidupan yang tangguh. Luka itu menjadi energi yang mengeraskan tekad mereka untuk bertarung melawan kekalahan. Mereka menerima tantangan untuk hijrah ke tanah orang sebagai transmigran.
Bertolak
dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jumat (21/8), sebanyak 30 keluarga,
terdiri dari 114 jiwa, berlayar menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di
tempat yang pernah dilanda kerusuhan SARA itu, mereka akan memulai hidup baru
sebagai transmigran. Saya menyertai perjalan mereka, ingin merasakan suka-duka
mereka menuju tanah harapan.
Di
lambung KM Doro Londa, kapal milik PT Pelni yang kami tumpangi, saya menggali
cerita dari para calon transmigran. Mereka berasal dari dua provinsi, yakni
Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua provinsi itu mendapat jatah masing-masing 15
keluarga. Menilik latar belakang etnis mereka, dalam rombongan kami, paling
banyak adalah Orang Sunda dari Jawa Barat.
Sebanyak
10 keluarga berasal dari Kabupaten Karawang, sementara 5 keluarga sisanya dari
Kabupaten Sumedang. Kelompok etnis terbanyak kedua adalah Orang Jawa. Mereka berasal
dari Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Lalu kelompok etnis
ketiga adalah Madura. Mereka berasal dari Kabupaten Bondowoso.
Meski
Bondowoso ada di Pulau Jawa, mayoritas penduduknya memang keturunan Madura.
Meskipun begitu, sebagian dari mereka tidak terlalu suka disebut Orang Madura.
Mereka lebih suka menyebut diri Orang Bondowoso. Di antara para transmigran
beragam etnis itu, ada seorang yang tidak termasuk ketiga kelompok suku yang
saya absen tadi.
Ketika
saya mengunjungi dia, lelaki berkulit gelap itu sedang bercengkrama dengan
anak-anaknya di atas ranjang. “Merono sik, bapak arep ngobrol.” Pria 49
tahun itu meminta anak bungsunya bergeser dari pangkuannya ketika saya meminta
waktunya. Meski berbicara Bahasa Jawa, aksen Indonesia timur tidak bisa ia
sembunyikan.
Keluarga Arif Albes Korea. Foto: Andi Nurroni |
Lelaki
berbadan kurus itu terlahir dengan nama Fransisco Albes Korea. Tahun 1966, dia
lahir di daerah bernama Timor-Portugis, wilayah yang kemudian bergabung menjadi
provinsi ke-27 Indonesia dengan nama Timor Timur. Sejak 2002, wilayah itu
menjadi negara merdeka bernama Republik Demokratik Timor Leste.
Di
ranjang berkasur lepek tempat tidur Fransisco dan keluarga, saya mengorek kisah
hidupnya hingga bisa menjadi seorang transmigran. Oh, ya, kita tidak akan
memanggil dia dengan sebutan Fransisco. Sejak 2009, ia sekeluarga menjadi
mualaf. Sejak memeluk Islam, Fransisco mengganti namanya menjadi Arif Albes
Korea.
Membongkar-bongkar
masa lalu Arif membuat saya sangat antusias. Pria itu memiliki kisah perjalanan
hidup yang istimewa. Bagaimana tidak, di kampung halamannya di daerah Liquica
(kini Distrik Liquica), Arif adalah keluarga bangsawan. Kakeknya adalah raja
atau kepala adat bernama Nobuti Albes Korea.
“Dahulu
itu, kalau orang ketemu keluarga kami. Kalau mereka pakai kuda, harus turun.
Kalau pakai topi, harus dibuka,” ujar Arif mengenang masa lalunya.
Sebagai
seorang bangsawan, Arif dimasukan ke sekolah jenjang kemiliteran milik
Pemerintah Portugis. Di sekolah itu pula, ia mengenal sosok Xanana Gusmao. Ia
mengenang, ketika Xanana duduk di kelas tiga SMA, ia baru masuk SMP. Kelak
Xanana menjadi salah satu sosok kunci perjuangan kemerdekaan Timor Leste dan
menjadi presiden pertama negara itu pascamerdeka dari Indonesia.
Sepanjang
tahun 1975 hingga 1978, Arif menjadi tenaga bantuan operasi atu TBO bagi TNI
yang berperang melawan pemerintahan dan miter Fretilin di Timor Timur. Di bawah
pimpinan Prabowo Subianto, yang saat itu masih berpangkat Letnan, ia bertugas
membawa perbekalan dan senjata. Meski begitu, menurut Arif, ia juga mendapatkan
platihan perang dan beeberapa kali terlibat pertempuran.
Ia
masih ingat persis satu babak pertempuran yang mengakhiri karirnya sebagai
seorangTBO. Pada 9 September 1977, dalam hiruk-pikuk baku tembak antara TNI dan
Fretilin, ia terkena pecahan granat di bagian wajah. “Ini, lihat,” ujar Arif
sambil mengangkat bagian pipi kanan yang menyisakan bekas luka.
Bersama
prajurit lain yang terluka, Arif dikirim ke rumah sakit di Dili dengan
helikopter. Beberapa waktu kemudian, ia dikirim ke Malang untuk mendapatkan
perawatan. Empat bulan harus ia lalui di rumah sakit militer di Malang untuk
menyembuhkan lukanya. Sejak saat itu, ia menetap di Pulau Jawa.
Arif
bercerita, ia pernah ditawari untuk bergabung dengan TNI. Dengan alasan ingin
menjadi warga sipil yang bebas, ia tidak mengambil kesempatan itu. Di Jawa,
Arif bekerja serabutan dari satu kota ke kota lainnya. Hingga tahun 1994,
ketika menjadi pekerja bangunan di Jepara, Jawa Tengah, ia bertemu dengan Sri
Widiyanti. Anak petani itu kemudian ia nikahi pada tahun 1995.
Tahun
1997, setelah kelahiran anak pertama mereka, Arif mengajak Sri pulang ke Timor
Timur. Kepada anggota keluarga yang pernah berseteru secara politk, Arif
meminta pengampunan. Keluarga menerima dia kembali. Di sana, kehidupan keluarga
kecil Arif terbilang mencukupi. Mereka mengurus perkebunan kopi warisan kedua
orangtuanya. Pada referendum penentuan kemerdekaan Timor Timur, Arif tetap
berkukuh memilih Indonesia.
Referendum
yang berakhir dengan kemenangan kelompok pro kemerdekaan 78,5 berbanding 21,5
persen itu, kembali merubah jalan takdir dia. Arif terusir dari tanah
kelahirannya bersama hampir 100 ribu warga Timor Timur pro Indonesia lainnya.
Bersama istrinya, ia kembali ke Jawa dan menjalani hidup tidak menentu. Ia
kembali bekerja serabutan, mulai dari menjadi kuli bangunan, hingga menjadi
buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Papua.
Rasa
cintanya terhadap Indonesia yang selalau ia perjuangkan rupanya tak banyak
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Satu dekade terakhir, ia dan keluarga
menetap di Kabupaten Sidoarjo. Pekerjaan terakhirnya terbilang memprihatinkan.
Untuk menghidupi kelima anaknya, Arif bersama istri menjadi pengumpul barang
bekas.
“Ya,
begitulah hidup saya, Bang. Tragis!” ujar Arif dengan wajah sendu. Saya hanya
membalasnya dengan senyuman.
Jauh
di dasar hatinya, Arif mengaku selalu terkenang kampung halaman dan masa-masa
kecilnya yang indah di Timor Lorosa’e sana. Ia mengaku sering meratapi kenapa
peperangan itu harus terjadi. Meskipun memilih Indonesia, Arif juga sebenarnya
tidak ingin meninggalkan kampung halamannya. Ia juga tetap menyayangi saudara
sebangsanya yang berperang untuk kemerdekaan Timor Leste.
Ketika
Xanana Gusmao ditangkap dan ditahan di LP Kelas I Kedungpane Semarang pada
1991, Arif menyempatkan untuk menjenguk dia. “Walaupun kita pernah beda
politik, tapi secara adat, kami bersaudara. Saya bawakan dia tembakau dan
makanan. Saya kasih nomor telepon, ‘kalau butuh apa-apa, telepon saya’,” ujar
Arif, menirukan kata-katanya kepada Xanana.
Selain
itu, karena kerinduannya pada tanah leluhur dan saudara sebangsanya, Arif juga
memberi nama anak kelimanya “Nicolau Lobato”. Nama itu ia ambil dari nama
panglima pejuang awal kemerdekaan Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato, yang
tewas oleh Kopassus pada 1978.
Begitulah
kisah hidup Arif yang penuh tragedi dan ironi. Meski hidupnya pahit, Arif tidak
pernah menyerah memperjuangkan hidup yang lebih baik. Bagi dia, cukup anak
cikalnya saja, Fredi (18), yang hidup dalam konflik hinga tidak bisa menamatkan
sekolah dasarnya. Ia ingin keempat anaknya yang lain, yang masih SD dan SMP,
bisa menggapai hidup yang lebih baik.
Demi
anak-anaknya itu, Arif mendaftarkan diri mengikuti program transmigrasi yang
ditawarkan pemerintah. “Saya belum tahu bagaimana kondisi di sana. Saya hanya
ingin merubah nasib. Saya akan bekerja keras dan sabar. Pasti berhasil,” ujar
dia dengan nada yakin.
Kisah
Arif menjadi gambaran bagaimana semangat para transmigran ditempa oleh keadaan
yang serba sulit. Di kapal kami, ada juga kisah Ahmad Zaeni (49). Bapak
beranak tujuh itu baru tiga bulan lalu ditinggal sang istri untuk
selama-lamanya. Dengan kepergian saang istri, pupuslah sudah harapan Zaeni
mewujudkan hidup baru sebagai transmigran bersama istri yang sangat ia kasihi.
Di
kapal itu, saya juga mencatat kisah Ubay, pemuda 32 tahun yang ditinggal kabur
istrinya. Sang istri meninggalkan Ubay dan anak mereka yang masih bayi karena
rencana keluarga kecil itu pergi transmigrasi terkatung-katung hingga hampir
setahun lamanya. Pemerintah beralasan, perubahan nomenklatur kementerian
menjadi penyebab keterlambatan pemberangkatan tersebut.
Menurut
Ubay, istrinya lalu tertekan dan malu karena mereka telah menjual segala harta
benda dan berpamitan dengan saudara-sarudara dan tetangga. “Dia bilang ke saya,
‘kalau kita tidak jadi pergi, saya yang pergi’,” tutur Ubay.
Arif, Zaeni, Ubay, para petarung kehidupan itu datang ke tanah harapan membawa luka sosial dan kepedihan. Di sana, mereka berharap semua luka tersembuhkan. Mereka berdoa, suatu hari, mereka akan dikenang sebagai pemenang.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Arif, Zaeni, Ubay, para petarung kehidupan itu datang ke tanah harapan membawa luka sosial dan kepedihan. Di sana, mereka berharap semua luka tersembuhkan. Mereka berdoa, suatu hari, mereka akan dikenang sebagai pemenang.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Oktober
(6)
- Bayangan Sukarno di Rumah HOS Tjokro
- Transmigrasi, Ketika Harapan Terbentur Kenyataan (...
- Transmigrasi, Berkah Kemajuan dari Tangan Perantau...
- Transmigrasi, Hari Pertama yang Penuh Tanda Tanya ...
- Transmigrasi, Membawa Luka ke Tanah Harapan (Bagia...
- Transmigrasi, Mengejar Mimpi Sampai Jauh (Bagian 1)
-
▼
Oktober
(6)