Penyintas Lapindo, Selalu Terbayang Kampung yang Hilang
Kampung terdampak semburan lumpur Lapindo, Desember 2014. Foto: Andi Nurroni |
Jarum-jarum hujan mulai berjatuhan, begitu saya tiba di tepian Kali Porong, Sidoarjo, Sabtu (20/12) sore. Niat saya melihat infrastruktur pembuangan material lumpur Lapindo ke Kali Porong, akhirnya berujung di sebuah bangunan kayu sederhana di sisi sungai. Itu lah pos pemantau pengaliran lumpur di bawah kendali Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Di
samping pos pemantau, sebuah instalasi pipa menyemburkan air lumpur ke sungai
dalam jumlah besar. Cairan hitam itu terus di alirkan 24 jam sehari dan tujuh
hari sepekan demi menjaga lumpur tidak meluap dari tanggul. Tentu, material
lumpur yang dialirkan telah dioplos dengan air agar encer dan dapat disalurkan
melalui pipa.
Aroma
tidak sedap serupa belerang tercium hingga pos pemantau. Seorang pria tua
dijumpai tengah duduk terpaku di tempat serupa warung kopi itu. Cung Arifin
nama si Kakek. Dialah penjaga pos tersebut. Mengenalkan diri sebagi wartawan,
Kakek Cung antusias menerima saya.
Pria dengan empat anak dan lima cucu itu tak segan bercerita banyak hal, mulai
dari urusan pekerjaan hingga keluarganya.
Kakek
Cung menjelaskan, tugasnya di pos tersebut adalah memeriksa kandungan lumpur
yang dibuang ke Kali Porong. Setiap satu jam sekali, menurut Cung, ia mengambil
sampel air lumpur dan mencatat tingkat kepekatannya. Hal tersebut, menurutnya,
dilakukan agar kepekatan tidak melebihi batas maksimal, yakni 25 persen, agar
saluran tidak tersumbat dan tidak menimbulkan penadangkalan sungai.
Menejelaskan
panjang lebar soal pekerjaannya, diketahui rupanya Kakek Cung adalah salah satu
korban terdampak semburan lumpur. “Kampung saya dulu di sana,” katanya, sambil
menjulurkan telunjuk ke lembah semak belukar tak jauh dari pos pantau.
Cung
berkisah, dahulu dia adalah petani. Pekerjaan itu dia lakukan hingga tahun
2006, sebelum akhirnya berhenti karena tragedi semburan lumpur di kampung
tetangga, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Semburan tak berhenti dan terus
mendekat ke kampungnya di Desa Kedung Cangkring, Kecamatan Jabon.
Cung
bercerita, karena tidak terdampak langsung lumpur, warga desanya tidak
dimasukan sebagai korban yang berhak mendpatkan kompensasi. “Kami demo terus,
akhirnya pemerintah turun, karena memang desa kami juga terkenda dampak,
seperti dampak sosial dan ekonomi,” ujar pria kurus itu.
Sejak
kehilangan pekerjaan, mulai tahun 2007 hingga 2010, Cung berkisah, dia menjadi
kuli proyek pembangunan tanggul lupur. Baru pada 2010, menurutnya, dia
mendapatkan pekerjaan baru sebagai petugas pemantau pos pembuangan lumpur.
Cung
mengaku hingga kini, dia masih selalu terkenang kampung halamannya, yang kini
menjadi ladang semak belukar di sisi tanggul bendungan lumpur. “Kalau naik
motor sama istri, sama anak, istri saya sering bilang ke anak, itu, rumah kita
dulu di situ,” ujarnya dengan nada haru.
Hidup
di kampung tetangga, tempat ia dan korban lain direlokasi, ada saja hal yang
kurang menyenangkan. Pernah suatu hari, kata Cung, gara-gara seorang anak dari
anggot kelompoknya berkelahi dengan anak warga kampung lama, warga menyerbu
perkampungannya.
Cat.
Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014.
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
September
(7)
- ‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya
- Pekerja Rumahan, Kemiskinan Tanpa Perhatian
- Bupati Azwar Anas, Menyulap Wilayah Teriosolasi
- Penyintas Lapindo, Selalu Terbayang Kampung yang H...
- Bergerilya di Hutan Mangrove
- Sengkarut Mangrove di Pesisir Surabaya
- Menengok Saijah, Janda Kopral Pejuang
-
▼
September
(7)