Pekerja Rumahan, Kemiskinan Tanpa Perhatian
Ilustrasi pekerja rumahan. Foto: Ulfah Rosyidah |
“Pekerja rumahan” bisa jadi istilah yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal, mereka adalah bagian yang sangat besar dalam kelompok masyarakat miskin di negeri ini. Pekerja rumahan bekerja dengan upah sangat rendah, tanpa kontrak, tanpa jam kerja, terlebih jaminan sosial. Mereka umumnya adalah kaum perempuan dari keluarga miskin.Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan mendefinisikan, pekerja rumahan sebagai mereka yang bekerja di luar tempat pemberi kerja. Mereka banyak dijumpai, mulai dari lingkungan usaha yang sangat mikro hingga menjadi mata rantai dalam produksi industri besar. Selama ini, mereka dirayu dengan ungkapan “mengisi waktu luang di rumah”.
Keberadaan
pekerja rumahan banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk
menekan ongkos produksi demi menggenjot pendapatan. Hal itu bisa terjadi karena
relasi antara pemberi kerja dan pekerja rumahan tidak
diatur dalam regulasi pemerintah dan tidak diawasi oleh pemerintah. Tah heran,
para pemberi kerja bisa leluasa membayar pekerja rumahan
seenaknya.
Pemilik usaha
juga tidak usah repot memikirkan asuransi kesehatan, tunjangan hari raya serta
tanggung jawab lainnya yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Karena tidak
disatukan di dalam satu lingkungan kerja, pekerja rumahan
juga tidak punya keleluasaan berserikat dan memperjuangkan nasib mereka. Itu
adalah keuntungan lain bagi pemberi kerja, khususnya industri sekala besar.
Meskipun
telah disebutkan dalam Konvensi ILO, Pemerintah Indonesia tidak mengakui secara
resmi istilah pekerja rumahan. Tidak ada istilah tersebut
dalam tabel statistik kependudukan atau ketenagakerjaan yang dikeluarkan Badan
Pusat Statistik (BPS). Walhasil, jumlah pasti pekerja rumahan
di Indonesia tidak diketahui.
Namun
demikian, dari sejumlah klasifikasi ketenagakerjaan dalam laporan BPS,
keberadaan dan jumlah merka bisa dipetakan. Wakil Sekretaris Jenderal
Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) Dardiri
menggambarkan, berberdasarkan laporan BPS tahun 2013, angkatan kerja (15-64
tahun) Indonesia sebesar 118,20 juta jiwa atau 49,13 persen dari populasi.
Masih
mengutip data BPS, dari jumlah angkatan kerja tersebut, menurut Dardiri, 110,8
juta orang atau 93,27 persen bekerja, sementara 8 juta sisanya atau 6,73 persen
menganggur. Dari jumlah 93,27 persen yang bekerja, menurut Dardiri, 44,79 juta
(37 persen) bekerja di sektor formal, sementara 66,1 juta (55,56 persen)
bekerja di sektor informal.
"Pekerja
rumahan adalah bagian besar dari pekerja informal
tersebut," ujar Dardiri kepada Republika pertengahan Agustus 2015.
Ia lanjut
menjelaskan, dari 66,1 juta total pekerja informal, BPS membagi lagi ke dalam
lima kategori. Kategoti tersebut, pertama adalah mereka yang berada di
luar hubungan kerja atau "bekerja sendiri". Jumlah mereka mencapai
18,89 juta jiwa atau 16,89 persen dari total pekerja.
Sementara
sisanya, 47,3 juta atau 42 persen dari total pekerja, merupakan pekerja
informal yang berada dalam hubungan kerja, yang terbagi dalam empat kategori.
Kategori tersebut adalah mereka yang "bekerja dengan dibantu buruh tetap/tidak dibayar" (18,66 juta/16.84 persen),
"pekerja keluarga/tak dibayar" (17,62 juta/15,9 persen),
"pekerja bebas di non-pertanian" (5,97 juta/5,39 persen) dan
"pekerja bebas di pertanian" (5,05 juta/4,56 persen).
Menurut
Daridiri, berdasarkan gambaran tersebut, posisi pekerja rumahan
kurang-lebih berada pada kategori "pekerja bebas di non-pertanian"
dan "pekerja keluarga/tak dibayar". Berasarkan data BPS, ia
menyimpulkan, jumlahnya mencapai 23,59 juta atau 21,29 persen. “Angka tersebut
lebih besar dari jumlah pekerja formal,” ujar Dardiri menegaskan.
Berdasarkan
data MWPRI, LSM berbasis di Malang yang fokus pada pendampingan pekerja rumahan, para pekerja rumahan berada di
setiap kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia. Mereka, terutama berada di
pinggiran kota dan sekitar sentra industri. Meski begitu, menurut Dardiri, kaum
pekerja rumahan seperti tersembunyi dan jauh dari
perhatian pemerintah.
Di Jawa
Timur, Dardiri menggambarkan, pekerja rumahan
terlibat dalam produksi berbagai komoditas. Ia mencontohkan, di Malang, ada
industri rumahan menganyam rotan untuk berbagai perabot
rumah tanggga. Sehari, kata Dardiri, dengan bekerja sekitar delapan jam, mereka
hanya mendapat 10 ribu rupiah.
Imbalan tersebut, menurut dia, tidak masuk akal. Apalagi jika mengingat risiko pekerjaan tersebut bagi kesehatan. Ia menggambarkan, bilah-bilah rotan sebelum diolah dipabrik dengan berbagai proses kimiwai, mulai dari penghalusan hingga proses memberian warna yang berisiko mengganggu sistem pernafasan dan kesehatan organ jika terpapar terus-menerus.
Dardiri
melanjutkan, ada juga pekerja rumahan yang dipekerjakan
menyulam hisan sepatu kain. Untuk sepasang sepatu, dengan waktu pengerjaan 6-7
jam, pekerja hanya mendapatkan Rp 7 ribu hingga Rp 8 ribu. “Sementara menyulam
itu butuh konsentrasi dan berisiko merusak mata. Mereka tidak mendapatkan jaminan
kesehatan,” ujar Dardiri.
Di Jember,
menurut Dardiri, ada perajin tikar mendong yang hanya dibayar Rp 7-8 ribu per
lembar. Sementara, butuh 2-3 hari menganyam satu lembar tikar. Di Mojokerto,
menurut dia, ada pekerja rumahan penata kertas yang
menerima pekerjakan dari perusahaan besar melalui tangan ketiga.
Sementara di
Surabaya, ia lanjut mencontohkan, ada kelompok pekerja rumahan
yang juga dipekerjakan pihak ketiga untuk memasok kebutuhan-kebutuhan
perlengkapan hotel-hotel berbintang, mulai dari kemasan gula, the dan kopi
hingga perlengkapan mandi. Baik pekerja rumahan penata
kertas maupun pembuat kebutuhan hotel, menurut Dardiri, sama-sma diupah jauh
dari layak.
Berkenaan dengan masalah pekerja rumahan, menurut
Dardiri, MWPRI merupakan LSM yang pertama memiliki fokus secara khsus terhadap
isu tersebut. Di Jawa Timur, sebagai basis kerja lembaga tersebut, Dardiri
menceritakan, mereka melakukan pengorganisasian dan penguatan kapasitas para
pekerja rumahan.
Ia merinci,
saat ini mereka telah menginisiasi 70 kelompok di sembilan kabupaten/kota di
Jawa Timur. Jaringan MWPRI tersebar di Kabupaten dan Kota Malang, Batu, Jember,
Probolinggo, Surabaya, Sidoarjo, serta Kota dan Kabupaten Mojokerto. “Total ada
sekitar 1800 pekerja rumahan. Satu kelompok 10-30 orang,”
kata dia.
Di
kelompok-kelompok itu, menurut Dardiri, pekerja rumahan
diajarkan untuk melakukan negosiasi dengan pemberi kerja, seperti meminta
kenaikan upah atau bantuan layanan kesehatan. Beberapa kelompok, menurut
Dardiri sudah berhasil, meskipun hanya kenaikan upah Rp 250 hingga Rp 500 per
satuan hasil kerja.
Selain
mengorganisasikan pekerja rumahan, menurut Dardiri,
kelompoknya juga terus membangun dialog dengan pemerintah maupun lembaga
legeslatif untuk penyusunan regulasi yang mengatur pekerja rumahan.
Anggota
Komisi E DPRD Jawa Timur Agatha Retnosari sepakat, pekerja rumahan
harus dinaungi oleh peraturan. Apalagi, menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan
itu, Desember 2015 ini, Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA diberlakukan dan
tenaga kerja asing siap menyerbu Indonesia.
“Kondisi
pekerja rumahan sangat memprihatinkan. Mereka mayoritas
adalah perempuan. Padahal kalau perempuan atau ibu tidak sejahtera, ia tidak
bisa melahirkan generasi yang unggul. Belum lagi pekerja rumahan
rawan memunculkan pekerja anak,” ujar Agatha.
Saat ini,
menurut Agatha, meskipun belum masuk program legalisasi daerah (prolegda), soal
isu pekerja rumahan sudah disepakati untuk dimasukan
dalam Perda Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur yang sedang disipakan.
Peneliti
Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya Dian Noeswantari
tidak ragu menyebut praktik kerja rumahan adalah
perbudakan modern. “Harusnya pemerintah bisa melindungi mereka dan menjamin
terpenuhinya hak normarif mereka, termasuk hak atas jaminan kesehatan,” kata
Dian.
Berbicara beberapa waktu lalu, Kepala Disnakertransduk Jawa Timur Edi Purwinanto mengakui, fenomena pekerja rumahan semakin besar di Jawa Timur. Menurut Edi, oleh pengusaha nakal, mereka rawan dijadikan modus menekan ongkos produksi. “Ada oknum pengusaha yang ingin mereduksi upah dengan memberlakukan mekenisme kerja borongan,” kata dia.
Berbicara beberapa waktu lalu, Kepala Disnakertransduk Jawa Timur Edi Purwinanto mengakui, fenomena pekerja rumahan semakin besar di Jawa Timur. Menurut Edi, oleh pengusaha nakal, mereka rawan dijadikan modus menekan ongkos produksi. “Ada oknum pengusaha yang ingin mereduksi upah dengan memberlakukan mekenisme kerja borongan,” kata dia.
Edi mengakui,
isu pekerja rumahan selama ini memang belum menjadi fokus
perhatian pemerintah. Untuk urusan jumlah para pekerja rumahan
di Jawa Timur pun, Edi mengaku, pihaknya belum memiliki angka. “Kita baru
sebatas menemukan adanya fenomenanya saja. Fenomenanya, (kerja rumahan)
memang tumbuh subur,” ujar dia.
Generasi
Beda, Kemiskinan Sama
"Nenek Raket" Foto: Andi Nurroni |
Kemiskinan
bagi Siti Khoiriah (45) ibarat lorong labirin. Entah di mana jalan keluarnya,
ia tidak punya bayangan. Sepanjang usianya yang hampir setengah abad, ia hanya
mengenal satu pekerjaan: menganyam senar raket.
Siti bukannya
tidak ingin bekerja yang lain. Apa lagi, pekerjaan yang ia sebut “meraket” itu
upahnya sangat jauh dari layak. Tapi, nyaris tak ada pilihan lain bagi ibu dua
orang anak itu. Ia harus tetap di rumah, mengurus suami, anak, ditambah kini
seorang cucunya. Akhirnya, pekerjaan itu tetap ia jalani dengan sabar.
Di rumahnya
di RT 4, RW 3, Kelurahan Balearjosari, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Siti
melewatkan hari-harinya sebagai penganyam senar raket. Itu adalah pekerjaan
yang sama seperti yang dilakukan banyak ibu di kampungnya. Mereka menjadi
bagian dari produksi raket industri rumahan yang dimiliki
sorang juragan di kampung mereka.
Beberapa hari
sekali, Siti dan para ibu mendapat kiriman berlusin-lusin rangka raket. Oleh
para ibu, raket-raket itu kemudian dipasangi selongsong plastik yang disebut
mata ayam di sekeliling kepalanya, lalu dianyamkan senar. Untuk satu sulusin
raket yang diselesaikan, mereka mendapatkan imbalan Rp 3.500.
Pekerjaan itu nyatanya tidak mudah. Dalam sehari, Siti hanya bisa menyelesaikan 2-3 lusin. Untuk menyelesaikan tiga lusin, diperlukan 7-8 jam. Bisa dibayangkan, dalam sehari, Siti hanya mendapatkan upah Rp 7 ribu hingga Rp 10.500.
Pekerjaan itu nyatanya tidak mudah. Dalam sehari, Siti hanya bisa menyelesaikan 2-3 lusin. Untuk menyelesaikan tiga lusin, diperlukan 7-8 jam. Bisa dibayangkan, dalam sehari, Siti hanya mendapatkan upah Rp 7 ribu hingga Rp 10.500.
Jika merujuk
pada Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan, Siti bisa disebut sebagai pekerja rumahan.
Menurut peraturan tersebut, pekerja rumahan adalah mereka
yang bekerja di luar tempat pemberi kerja.
Siti mengenal
pekerjaan itu sejak SD. Ibunya yang mewariskan pekerjaan itu padanya. “Dulu,
dari SD, biasa bantu ibu ngeraket. Dulu, tahun 70-an, dibayarnya cuma Rp 300
per lusin. ” ujar Siti, ketika ditemui Republika di kediamannya pada
pertengahan Agustus lalu.
Jika dulu ia
diperkenalkan pekerjaan itu oleh ibunya di rumah, Siti pun telah mengenalkan
pekerjaan itu pada anak-anaknya. Sejak kecil, anak-anaknya juga kerap membantu
dia mengnyam raket di rumah. Meski begitu, ia sangat berharap, anak-anaknya
bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Seperti si
Sulung Ifa (24) yang kini telah bekerja di toko. Dulu, seperti ibu, saudara
serta para tetangganya, Siti berpikir bahwa pekerjaannya hanya mengisi waktu
luang. Pekerjaan itu mengalir saja ia lakukan untuk membantu suaminya, seorang
karyawan bengkel yang hanya berpenghasilan Rp 1,2 juta per bulan.
Tapi sejak
satu-dua tahun terakhir, pikiran Siti mulai terbuka. Itu sejak ia mendapat
pembinaan dari Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia
(MWPRI), LSM yang bergerak dalam bidang penguatan kapasitas perempuan pekerja rumahan.
Setelah
sering mendapatkan pelatihan, Siti mulai paham kedudukannya sebagai pekerja rumahan yang banyak direnggut haknya. Ia semakin berani
berpendapat, termasuk mengajak ibu-ibu yang lain mogok kerja demi menuntut
kenaikan upah beberapa bulan lalu. “Kita bosan diupah rendah, kita nolak kerja.
Raket dikirim, ndak kita kerjain. Kita SMS-an sama ibu-ibu semua,” ujar Siti.
Hasilnya,
setelah tidak manut kerja sepekan, sang juragan mengabulkan permintaan para ibu
untuk menaikan upah, meski hanya Rp 250. Jika sebelumnya upah mereka hanya Rp
2.750 per lusin raket, setelah mogok kerja, upah mereka menjadi Rp 3 ribu per
lusin. Beberapa bulan setelahnya, upah mereka kembali naik Rp Rp 500 menjadi Rp
3.500 per lusin raket.
Siti dan ibu
Kelurahan Balearjosari hanya satu kelompok perempuan pekerja rumahan
yang saat ini sedang dididik untuk berani angkat bicara memperjuangkan nasib
mereka. Tak hanya berani bicara kepada majikan, mereka juga diajak untuk
mendesak pemerintah untuk memerhatikan nasib jutaan pekerja rumahan
di Indonesia.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Agustus 2015
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
September
(7)
- ‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya
- Pekerja Rumahan, Kemiskinan Tanpa Perhatian
- Bupati Azwar Anas, Menyulap Wilayah Teriosolasi
- Penyintas Lapindo, Selalu Terbayang Kampung yang H...
- Bergerilya di Hutan Mangrove
- Sengkarut Mangrove di Pesisir Surabaya
- Menengok Saijah, Janda Kopral Pejuang
-
▼
September
(7)