‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya
Gambar Pintu Air Jagir, diambil dari sisi lokalisasi. Foto: Andi Nurroni |
Memancing, bagi sebagian orang adalah hiburan untuk melepaskan kepentatan. Bagi sebagian lainnya, memancing menjadi sumber mata pencaharian. Namun di Surabaya, memancing rupanya bisa juga menjadi modus prostitusi.
Hal itu terjadi di bantaran Kali Jagir, di sekitar Pintu Air Jagir. Sejak lama, kawasan Pintu Air Jagir memang dikenal sebagai tempat pemancingan. Tak peduli pagi, siang atau malam, banyak para bapak bertengger di tepian kali untuk mengail macam-macam ikan. Ada lele, patin, mujair dan masih banyak lagi.
Cerita tentang dunia memancing para bapak
hidung belang mula-mula saya dapat dari seorang ibu penjaga warung kopi di
sekitar Pintu Air Jagir. Ahad, 8 Januari 2015, saya datang ke lokasi untuk meliput
aktivitas para pemancing. Itu sebelum perhatian saya teralihkan oleh cerita si
ibu penjaga warung.
Kata si Ibu, selain banyak yang benar-benar
memancing, ada juga yang pura-pura memancing alias ‘mancing plus-plus’. “Ya,
bilangnya ke istri mau mancing, padahal mau mancing duyung bergincu di sebrang
kali…,” ujar dia seraya tersenyum.
Bagi sebagian lelaki, memancing di Kali Jagir
rupanya menjadi siasat mengelabui pasangan. Mendapat ikan atau tidak itu urusan
nomor dua. Hal terpenting dan lebih menghibur bagi merka adalah pergi main ke
seberang kali, ke tempat prostitusi murah-meriah. Oleh orang sekitar, tempat
itu disebut Kampung Baru.
Menuju Kampung Baru, para pemancing dari
tepian selatan Kali Jagir bisa berjalan melintasi pintu air yang memotong
sungai, serupa jembatan. Bagi pengunjung yang tidak menggunakan modus
memancing, mereka bisa langsung berkelok dari Jalan Ngagel di sebelah barat
atau dari Jalan Raya Nginden di sebelah timur.
Cerita ibu warung tentang para pemancing
hidung belang terbukti bukan isapan jempol. Selepas tengah hari, saya
membuktikan sendiri kebenaran informasi tersebut. Masuk dari dari sisi selatan
sungai, saya berjalan melintasi pintu air menuju tepian kali.
Pintu Air Jagir merupakan bangunan peninggalan
Belanda yang dibuat pada 1917. Hingga kini, fasilitas pengendali air tersbut
masih berfungsi baik mengatur debit air, entah untuk mencegah banjir ataupun
menjaga pasokan air baku ke PDAM setempat.
Ketika saya datang, Pintu Air Jagir cukup
ramai dengan manusia. Tempat itu agaknya menjadi persinggahan dan naungan bagi
banyak orang. Mulai dari penjual alat-alat memancing, tukang beca, pemulung,
hingga para pencari ikan sendiri.
Atmosfer prostitusi mulai terasa ketika
seorang perempuan bercalana mini dan berkaus singlet melintas di sekitar saya.
Perempuan berusia 35-an tahun itu mengerlingkan matanya kepada saya sambil
memainkan alis sebagai isyarat. Aih, Saya hanya sanggup tersenyum lalu
melemparkan pandang ke arah lain.
Dari Mbah Min (bukan nama sebenarnya), saya
menggali cerita lebih dalam. Mbah Min adalah seorang pemulung yang mengumpulkan
sampah-sampah sungai di Pintu Air Jagir. Sehari-hari, kakek 65 tahun itu tidur
di sana, di atas becak yang kini sudah tak kuat lagi dia tarik.
Mbah Min mengaku sudah 40 tahun hidup di
sekitar Pintu Air Jagir. Bermodalkan segelas kopi, saya menggoda dia dengan
berbagai pertanyaan. Kakek kurus itu membenarkan, memang banyak pemancing nakal
yang sering berkunjung ke Kampung Baru di seberang sungai sana, terutama di
malam hari.
Bahkan, menurut dia, pernah kejadian seorang
pemancing dicari-cari istrinya. “Dia bilang sama istrinya mau mancing, terus
sama istrinya dicari ke kali, dianya ndak ada. Ya, ke situ,” ujar Mbah
Min sambil menudingkan dagunya ke lokasi prostitusi di seberang kali.
Menurut Mbah Min, prostitusi di kampung
pinggir Kali Jagir sudah lama ada. Sayang, dia kesulitan mengingat kapan
persisnya lokalisasi itu ada. Modus ‘mancing plus-plus’ pun menurut dia sudah
berlangsung lama. Jika benar cerita kakek beruban itu, desas-desus ‘mancing
plus-plus’ hanya bergulir di komunitas sekitar Pintu Air Jagir.
Hal lucu lainnya, Mbah Min bercerita. Para
pemancing nakal itu tidak benar-benar peduli mendapat ikan atau tidak. Karena,
menurut Mbah Min, ikan bisa dibeli dari sesama pemancing atau dari nelayan
sungai yang biasa menjerat ikan dengan jaring. Hal itu, menurut dia, banyak
dilakukan para pemancing hidung belang.
Cerita lebih sahih saya dapat dari Rani (bukan
nama asli), seorang PSK yang sedang beristirahat di bawah pilar beton Pintu Air
Jagir. Perempuan kurus berpenampilan lusuh itu tampak masih linglung karena
baru terbangun dari tidur siangnya. Ketika saya datang sebelumnya, dia masih
terbaring pulas di atas beton berlas karpet.
Perempuan 27 tahun itu datang mendekat ketika
saya panggil sambil dengan mengacungkan cangkir kopi. Insting ‘berburu’-nya
seperti langsung menyala merespon panggilan saya. Ia berjalan menghampiri saya
dan Mbah Min. Ia menolak tawari kopi saya dengan gelengan kepala. “Saya mau
yang dingin,” kata dia.
Rani berjalan ke lapak penjual minuman, lalu
datang kembali dengan segelas minuman suplemen. Kami duduk di lantai beton,
sementara Mbah Min nangkring di atas becaknya. Setelah sedikit
berbasa-basi, saya ajukan pertanyaan-pertanyaan yang mulai menjurus pada pekerjaannya.
Soal kisah para pemancing hidung belang itu, Rani membenarkan cerita tersebut.
Kata dia, di antara para pemancing nakal,
‘mancing plus-plus’ sudah menjadi rahasia umum. “Kadang pancingannya dititip
sama temannya di pinggir kali, dianya pergi. Kadang ada juga yang dibawa (alat
pancingnya),” ujar Rani polos.
Rani melanjutkan ceritanya, selain pemancing,
pelanggan lokalisasi Kampung Baru umumnya adalah kelompok masyarakat pinggiran.
Ia menyebut beberapa di antaranya, seperti penarik becak, tukang bangunan, kuli
pasar. Namun begitu, menurut dia, di malam hari, banyak juga anak-anak muda,
mulai daris anak SMA sampai mahasiswa.
Lebih Semarak di Malam Hari
Pintu Air Jagir pada malam hari. Foto: Andi Nurroni |
Mengamati dari atas jembatan Pintu Air Jagir,
saya melihat di sekitar pintu masuk kampung lokalisasi itu, banyak pria
bersepeda motor berhenti. Satu-dua perempuan berpakaian ketat datang
bergantian. Mereka melenggak-lenggok merayu pria-pria yang bertengger di atas
sepeda motor itu. Para pria di sana sepertinya sedang memainkan modus
melihat-lihat kali.
Penasaran dengan kehidupan Kampung Baru di
siang hari, saya memutuskan menengok sendiri ke sana. Berjalan sekitar 200
meter menyusuri jalan tanah bergelombang di samping sungai, saya tiba di
lokasi. Kampung Baru rupanya tak lebih dari perkampungan kumuh di pinggir
sungai. Hunian-hunian sederhana itu berupa bedeng-bedeng tripleks yang berjejer
membelakangi sungai. Sebagin bedeng di sana dihuni para pengumpul barang bekas.
Tempat lokalisasi di kampung kumuh tersebut
berada di blok pertama. Masuk melewati gapura usang, saya mendapati belasan
perempuan berbusana minim hilir-mudik di sana. Sekali saja saya bersitatap
dengan mereka, perempuan-perempuan penghibur itu menggoda saya dengan kerlingan
dan senyum nakal mereka.
Di lorong kampung pinggir kali itu, sepeda
motor berejer ditunggui beberapa tukang parkir. Tak ingin terlihat canggung,
saya ‘banting stir’ masuk ke warung. Saya lantas memesan sebungkus rokok
putih—meskipun sebenarnya saya tak lagi merokok. Saya pesan juga
secangkir kopi, mengikuti gaya para perokok pada umumnya.
“Habis ngamar, Mas?” Penjaga warung,
perempuan tomboy bertopi, menyergap saya dengan pertanyaan dan tatapan
menelisik. “Enggak, Mbak, belum,” jawab saya spontan dan sedikit gerogi.
Duduk di dipan kayu, dari dalam warung, saya
menebar pandang ke luar melihat perempuan-perempuan penghibur itu hilir-mudik.
Umumnya, mereka sudah berumur dan tak lagi langsing. Ada sejumlah lelaki
datang, lalu memarkir sepeda motor mereka di depan warung. Sebagian lainnya
tampaknya sudah beres dan pergi membawa sepeda motor mereka.
Seorang perempuan 40-an tahun mengenakan blus
merah ketat datang menghampiri saya. “Hey,” ujar dia berbisik menggoda di depan
saya. “Ayo,” kata dia sambil memasang wajah merayu dan memainkan alis matanya.
Berlaku seperti pria hidung belang umumnya,
saya membalas godaanya. “Nanti, masih siang,” ujar saya. Dia lalu duduk di
samping saya. Saya sodorkan bungkus rokok. Tak sungkan ia mencabut satu
batang, lalu menyulutnya. Perempuan dengan bedak tebal itu terus berjuang
menggoda saya dengan bisikan-bisikan nakalnya. Tak ketinggalan, ia juga
memasang wajah memelas.
Sesekali saja saya menjawab. Selebihnya, saya
hanya tersenyum dan menggelengkan kepala, menolak rayuannya. Lama-lama, perempuan
berlipstik merah tua itu tampaknya bosan. Dia pergi meninggalkan saya. Fuih,
saya menghembuskan nafas lega.
Dari penjaga warung saya diberi tahu,
perempuan-perempuan yang lebih muda akan lebih banyak pada malam hari. Hal itu
persis seperti dugaan saya sebelumnya. Demi merekam lebih dalam lokalisasi
pinggir kali itu, saya putuskan untuk kembali lagi di malam hari. Setelah
membayar rokok dan jajanan, saya meninggalkan tempat itu.
Malam, sekitar pukul 09.00, saya kembali lagi ke
Kampung Baru. Kali ini, saya tidak sendiri. Seorang teman, jurnalis media lokal
di Surabaya, menemani saya. Dalam urusan seperti ini, teman saya yang satu itu
lebih bisa diandalkan.
Suasana lokalisasi Kampung Baru di tepi Kali
Jagir lebih semarak di malam hari. Jalan bergelombang di depan kampung, di sisi
kali, lebih ramai dengan para lelaki yang bertengger di atas sepeda motor
mereka. Tak ada penerangan sama sekali di sana, kecuali bias lampu dari Pintu
Air Jagir yang sengaja disorot secara artistik di malam hari.
Pria-pria pemburu kenikmatan berjejer di
keremangan malam. Sepeda-sepeda motor yang datang sengaja mematikan lampunya.
Para pria itu agaknya bertahan di sana menunggu untuk digoda dan ditawari. Di
malam hari, terbukti, lebih banyak wanita penghibur yang ‘bergerilya’. Sebagian
memang terlihat lebih muda. Sebagian sisanya terlihat telah berusia.
Di jalan temaram pinggir kali itu, mereka
bersaing menjerat rezeki yang dibawa para pria kesepian itu. Jika transaksi deal
di jalan gelap itu, ‘pembeli’ dan ‘penjual’ berjalan menuju kampung untuk check-in.
Malam itu, telah kami putuskan untuk mencoba peruntungan mewawancara PSK di
dalam ‘bilik kerja’-nya. Untuk itu, kami harus terlebih dahulu negosiasi harga,
lalu membiarkan mereka membawa kami ke kamar mereka.
Memasuki gapura usang lokalisasi pinggir kali
itu, pengunjung disambut tembang-tembang karoke. Di sudut lorong itu, ada satu
anjungan dengan meja dan botol-botol bir. Di sanalah sejumlah pria bertampang
garang bergantian bernyanyi. Rupa-rupanya lagunya, mulai dari tembang kenangan
hingga lagu-lagu berlirik religi milik Rhoma Irama. “Itu mereka premannya,”
ujar kawan saya berbisik di telinga.
Para perempuan penjaja cinta kilat terlihat
duduk-duduk manis memamerkan paha dan lekuk tubuhnya di kanan kiri gang.
Rata-rata mereka mengenalan hotpants, rok mini, atau dress
ketat. Kondisi di gang itu hanya lebih terang sedikit saja dibandingkan dengan
di pinggir kali sana. Dalam keremangan itu, tak cukup jelas bagaimana rupa
perempuan-perempuan pemuas libido itu.
Sebelum kami menyiasati terjadinya wawancara
dengan mereka, terlebih dahulu saya dan teman duduk di warung kopi. Itu adalah
warung yang sama, tempat saya duduk mengopi siang sebelumnya. Di gang tersebut,
terdapat empat blok bedeng tripleks. Pertama, yang paling ujung adalah warung
tempat kami duduk. Kedua, adalah bedeng memanjang, tempat transaksi seks
dilakukan. Ketiga, itu agaknya salah satu tempat beristirahat pada PSK. Bedeng
terakhir juga merupakan warung, yang berada persis di depan anjungan tempat
karoke.
Duduk di warung kopi, saya menghitung, dalam
rentang waktu 15 menit, 11 pasangan telah masuk ke barak cinta. Durasi pasangan
itu berada di dalam tergolong singkat, antara 5 hingga 10 menit saja. Para pria
yang masuk bermacam-macam. Kebanyakan berusia 30 hingga 50 tahun. Namun, ada
juga satu yang terlihat sangat belia. Seusia anak SMA.
Cukup mengamati dan menghitung transaksi di
sana, saya dan teman berjalan melihat-lihat lebih dekat para perempuan pemuas
syahwat itu. Sementara teman saya yang berpengalaman itu dengan santai membuka
percakapan dengan mereka, perasaan saya malam itu cukup deg-degan.
Namun itu tak berlangsung lama, sebelum
akhirnya saya bisa membuat tawar-menawar dengan seorang perempuan muda. Yanti,
kita panggil saja begitu perempuan 26 tahun tersebut. Yanti mengenaan hotpants
jins dan kaos hitam ketat yang lengket melekat ditubuhnya yang subur. Dari
Yanti, saya mengetahui harga regular kecan singkat di sana adalah Rp 40 ribu.
Kami sepakat.
Harga tersebut tentunya bisa diturunkan para
kupu-kupu malam yang sudah berumur atau yang merasa dirinya kurang memikat.
Yanti berjakan lebih dahulu menuju barak cinta berdinding tripleks itu,
sementara saya mengekor dari belakang. Rasa cemas identitas saya sebagai
wartawan terbongkar dan ancaman preman-preman di depan berusaha saya atasi.
Teman saya juga telah memilih targetnya dan siap ngamar.
Masuk ke barak cinta itu, mula-mula Yanti
mengambil potongan kain dari dalam ember plastik. Dari teman saya, belakangan
saya ketahui, kain itu dijadikan ganjal pintu tripleks yang tak bisa merekat
begitu saja. Kain yang dijepit itu sekaligus menandai bahwa kamar berpenghuni.
Ada sembilan kamar saling berhadapan di barak
tripleks itu. Jumlah kamar tidak genap sepuluh, karena ruang di pojokan sana, saya
melihat difungsikan sebagai jamban untuk bersih-bersih. Ketika Yanti membuka
salah satu kamar untuk saya, saya menghadapi ruangan berukuran sekitar 2 x 1
meter. Ruangan dengan cahaya redup itu beralaskan kasur lepek yang ditutupi
tikar di atasnya. Ada bungkus-bungkus kondom tercecer di sudut ruangan.
Begitu Yanti sempurna mengunci kamar, saya
segera melarangnya membuka pakaian. Dengan modus klasik penelitian sosial
mahasiswa, saya meyakinkan perempuan berambut panjang itu bahwa saya hanya
ingin mengobrol saja. Dengan polos dan tak ambil pusing, ia menyanggupi. Saya
menyetel jam tangan, meminta waktu lima menit untuk menggali informasi.
Dengan lugas, Yanti menjawab
pertanyaan-pertanyaan saya. Yanti bercita, ia sudah dua tahun menjalani profesi
sebagai wanita penghibur. Ia beralasan, semua itu dilakukan untuk menghidupi
keluarga, yakni suami dan dua anaknya. “Suami, saya larang kerja. Saya suruh
urus anak. Anak saya kan yang satu masih sembilan bulan. Satu lagi enam tahun,”
kata dia setengah berbisik.
Yanti lanjut bercerita, ia berasal dari
Sampang, Madura. Yanti berkisah, ia memiliki empat orang adik. Dua di antaranya
sudah menikah, sementara dua lagi masih masih lajang. Sementara itu, kata dia,
kedua orang tua mereka sudah meniggal.
Menurut Yanti, dalam semalam, dia bisa
melayani 15 hingga 20 laki-laki. Tarif Rp 40 ribu yang dia dapat, Rp 5 ribu
disisihkan untuk sewa kamar kepada sang mucikari. Dari Yanti saya ketahui,
warung tempat saya nongkrong itu adalah ‘kantor’ sang mucikari. Itu
kenapa, sebelumnya kami lihat, Yanti dan teman-temannya masuk ke warung sehabis
‘transaksi’.
Dalam semalam, menurut Yanti, penghasilannya
berkisar antara Rp 500 ribu hingga Rp 600 ribu. Meski demikian, pendapatannya
sesekali lebih kecil atau juga lebih besar dari itu. Menurut Yanti, PSK yang mangkal
di Kampung Baru ada sekitar 100 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah,
utamanya di Jawa Timur. Ia membenarkan, karena Dolly dan Jarak ditutup, ada
sebagian yang pindah ke sana.
Seperti pengakuan Rani, Yanti juga
membenarkan, banyak pria yang datang adalah para pemancing dari seberang kali.
“Iya, ada. Banyaknya malam. Tapi siang juga kadang-kadang ada,” kata Yanti.
Soal penyakit kelamin, Yanti mengaku tidak
terlalu khawatir. Pasalnya, ia menjelaskan, selalu ada petugas kesehatan yang
rutin memask kondom gratis. “Terus, tiap bulan juga ada pemeriksaan rutin
(kesehatan reproduksi),” kata dia.
Yanti menyampaikan, sementara ini, dia tidak
menginginkan pekerjaan lain. Ia mengaku pernah mencoba beberapa pekerjaan
‘normal’, tapi penghasilannya tidak bisa diandalkan untuk keluarga. Dengan
menyandang status menikah, Yanti menambahkan, ia relatif lebih aman dari razia
Satpol PP.
Yanti menjelaskan, kalau tidak tidak memiliki
identitas jelas, PSK yang terjaring razia biasanya diberikan program pembinaan
satu hingga dua bulan. “Kalau punya KTP, KK, atu buku nikah, paling cuma
seminggu (dibina). Saya pernah kena (tertangkap) satu kali,” kata dia.
Usia lima menit waktu yang saya minta, saya
menyudahi pertanyaan saya. Saya serahkan uang Rp 50 ribu dan memintanya tak
perlu mengembalikan sisa Rp 10 ribu. Lima menit percakapan kami di ruang pengap
itu membuat perut saya mual. Segera saya hirup udara dalam-dalam begitu keluar
dari barak cinta itu.
Keberadaan lokalisasi di pinggir kali itu
lebih jauh menghadirkan permenungan bagi saya. Kerja keras Wali Kota Tri
Rismaharini ‘membersihkan’ kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak, agaknya belum
menjadi akhir riwayat bisnis prostitusi di Surabaya. Selain di Kampung Baru
Kali Jagir, dikabarkan, sejumlah lokalisasi minor yang tersebar di sudut-sudut
kota juga menjadi pelarian para PSK eks-Dolly dan Jarak.
Pekerja Rumahan, Kemiskinan Tanpa Perhatian
Ilustrasi pekerja rumahan. Foto: Ulfah Rosyidah |
“Pekerja rumahan” bisa jadi istilah yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Padahal, mereka adalah bagian yang sangat besar dalam kelompok masyarakat miskin di negeri ini. Pekerja rumahan bekerja dengan upah sangat rendah, tanpa kontrak, tanpa jam kerja, terlebih jaminan sosial. Mereka umumnya adalah kaum perempuan dari keluarga miskin.Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan mendefinisikan, pekerja rumahan sebagai mereka yang bekerja di luar tempat pemberi kerja. Mereka banyak dijumpai, mulai dari lingkungan usaha yang sangat mikro hingga menjadi mata rantai dalam produksi industri besar. Selama ini, mereka dirayu dengan ungkapan “mengisi waktu luang di rumah”.
Keberadaan
pekerja rumahan banyak dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk
menekan ongkos produksi demi menggenjot pendapatan. Hal itu bisa terjadi karena
relasi antara pemberi kerja dan pekerja rumahan tidak
diatur dalam regulasi pemerintah dan tidak diawasi oleh pemerintah. Tah heran,
para pemberi kerja bisa leluasa membayar pekerja rumahan
seenaknya.
Pemilik usaha
juga tidak usah repot memikirkan asuransi kesehatan, tunjangan hari raya serta
tanggung jawab lainnya yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Karena tidak
disatukan di dalam satu lingkungan kerja, pekerja rumahan
juga tidak punya keleluasaan berserikat dan memperjuangkan nasib mereka. Itu
adalah keuntungan lain bagi pemberi kerja, khususnya industri sekala besar.
Meskipun
telah disebutkan dalam Konvensi ILO, Pemerintah Indonesia tidak mengakui secara
resmi istilah pekerja rumahan. Tidak ada istilah tersebut
dalam tabel statistik kependudukan atau ketenagakerjaan yang dikeluarkan Badan
Pusat Statistik (BPS). Walhasil, jumlah pasti pekerja rumahan
di Indonesia tidak diketahui.
Namun
demikian, dari sejumlah klasifikasi ketenagakerjaan dalam laporan BPS,
keberadaan dan jumlah merka bisa dipetakan. Wakil Sekretaris Jenderal
Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) Dardiri
menggambarkan, berberdasarkan laporan BPS tahun 2013, angkatan kerja (15-64
tahun) Indonesia sebesar 118,20 juta jiwa atau 49,13 persen dari populasi.
Masih
mengutip data BPS, dari jumlah angkatan kerja tersebut, menurut Dardiri, 110,8
juta orang atau 93,27 persen bekerja, sementara 8 juta sisanya atau 6,73 persen
menganggur. Dari jumlah 93,27 persen yang bekerja, menurut Dardiri, 44,79 juta
(37 persen) bekerja di sektor formal, sementara 66,1 juta (55,56 persen)
bekerja di sektor informal.
"Pekerja
rumahan adalah bagian besar dari pekerja informal
tersebut," ujar Dardiri kepada Republika pertengahan Agustus 2015.
Ia lanjut
menjelaskan, dari 66,1 juta total pekerja informal, BPS membagi lagi ke dalam
lima kategori. Kategoti tersebut, pertama adalah mereka yang berada di
luar hubungan kerja atau "bekerja sendiri". Jumlah mereka mencapai
18,89 juta jiwa atau 16,89 persen dari total pekerja.
Sementara
sisanya, 47,3 juta atau 42 persen dari total pekerja, merupakan pekerja
informal yang berada dalam hubungan kerja, yang terbagi dalam empat kategori.
Kategori tersebut adalah mereka yang "bekerja dengan dibantu buruh tetap/tidak dibayar" (18,66 juta/16.84 persen),
"pekerja keluarga/tak dibayar" (17,62 juta/15,9 persen),
"pekerja bebas di non-pertanian" (5,97 juta/5,39 persen) dan
"pekerja bebas di pertanian" (5,05 juta/4,56 persen).
Menurut
Daridiri, berdasarkan gambaran tersebut, posisi pekerja rumahan
kurang-lebih berada pada kategori "pekerja bebas di non-pertanian"
dan "pekerja keluarga/tak dibayar". Berasarkan data BPS, ia
menyimpulkan, jumlahnya mencapai 23,59 juta atau 21,29 persen. “Angka tersebut
lebih besar dari jumlah pekerja formal,” ujar Dardiri menegaskan.
Berdasarkan
data MWPRI, LSM berbasis di Malang yang fokus pada pendampingan pekerja rumahan, para pekerja rumahan berada di
setiap kabupaten/kota maupun provinsi di Indonesia. Mereka, terutama berada di
pinggiran kota dan sekitar sentra industri. Meski begitu, menurut Dardiri, kaum
pekerja rumahan seperti tersembunyi dan jauh dari
perhatian pemerintah.
Di Jawa
Timur, Dardiri menggambarkan, pekerja rumahan
terlibat dalam produksi berbagai komoditas. Ia mencontohkan, di Malang, ada
industri rumahan menganyam rotan untuk berbagai perabot
rumah tanggga. Sehari, kata Dardiri, dengan bekerja sekitar delapan jam, mereka
hanya mendapat 10 ribu rupiah.
Imbalan tersebut, menurut dia, tidak masuk akal. Apalagi jika mengingat risiko pekerjaan tersebut bagi kesehatan. Ia menggambarkan, bilah-bilah rotan sebelum diolah dipabrik dengan berbagai proses kimiwai, mulai dari penghalusan hingga proses memberian warna yang berisiko mengganggu sistem pernafasan dan kesehatan organ jika terpapar terus-menerus.
Dardiri
melanjutkan, ada juga pekerja rumahan yang dipekerjakan
menyulam hisan sepatu kain. Untuk sepasang sepatu, dengan waktu pengerjaan 6-7
jam, pekerja hanya mendapatkan Rp 7 ribu hingga Rp 8 ribu. “Sementara menyulam
itu butuh konsentrasi dan berisiko merusak mata. Mereka tidak mendapatkan jaminan
kesehatan,” ujar Dardiri.
Di Jember,
menurut Dardiri, ada perajin tikar mendong yang hanya dibayar Rp 7-8 ribu per
lembar. Sementara, butuh 2-3 hari menganyam satu lembar tikar. Di Mojokerto,
menurut dia, ada pekerja rumahan penata kertas yang
menerima pekerjakan dari perusahaan besar melalui tangan ketiga.
Sementara di
Surabaya, ia lanjut mencontohkan, ada kelompok pekerja rumahan
yang juga dipekerjakan pihak ketiga untuk memasok kebutuhan-kebutuhan
perlengkapan hotel-hotel berbintang, mulai dari kemasan gula, the dan kopi
hingga perlengkapan mandi. Baik pekerja rumahan penata
kertas maupun pembuat kebutuhan hotel, menurut Dardiri, sama-sma diupah jauh
dari layak.
Berkenaan dengan masalah pekerja rumahan, menurut
Dardiri, MWPRI merupakan LSM yang pertama memiliki fokus secara khsus terhadap
isu tersebut. Di Jawa Timur, sebagai basis kerja lembaga tersebut, Dardiri
menceritakan, mereka melakukan pengorganisasian dan penguatan kapasitas para
pekerja rumahan.
Ia merinci,
saat ini mereka telah menginisiasi 70 kelompok di sembilan kabupaten/kota di
Jawa Timur. Jaringan MWPRI tersebar di Kabupaten dan Kota Malang, Batu, Jember,
Probolinggo, Surabaya, Sidoarjo, serta Kota dan Kabupaten Mojokerto. “Total ada
sekitar 1800 pekerja rumahan. Satu kelompok 10-30 orang,”
kata dia.
Di
kelompok-kelompok itu, menurut Dardiri, pekerja rumahan
diajarkan untuk melakukan negosiasi dengan pemberi kerja, seperti meminta
kenaikan upah atau bantuan layanan kesehatan. Beberapa kelompok, menurut
Dardiri sudah berhasil, meskipun hanya kenaikan upah Rp 250 hingga Rp 500 per
satuan hasil kerja.
Selain
mengorganisasikan pekerja rumahan, menurut Dardiri,
kelompoknya juga terus membangun dialog dengan pemerintah maupun lembaga
legeslatif untuk penyusunan regulasi yang mengatur pekerja rumahan.
Anggota
Komisi E DPRD Jawa Timur Agatha Retnosari sepakat, pekerja rumahan
harus dinaungi oleh peraturan. Apalagi, menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan
itu, Desember 2015 ini, Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA diberlakukan dan
tenaga kerja asing siap menyerbu Indonesia.
“Kondisi
pekerja rumahan sangat memprihatinkan. Mereka mayoritas
adalah perempuan. Padahal kalau perempuan atau ibu tidak sejahtera, ia tidak
bisa melahirkan generasi yang unggul. Belum lagi pekerja rumahan
rawan memunculkan pekerja anak,” ujar Agatha.
Saat ini,
menurut Agatha, meskipun belum masuk program legalisasi daerah (prolegda), soal
isu pekerja rumahan sudah disepakati untuk dimasukan
dalam Perda Ketenagakerjaan Provinsi Jawa Timur yang sedang disipakan.
Peneliti
Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Surabaya Dian Noeswantari
tidak ragu menyebut praktik kerja rumahan adalah
perbudakan modern. “Harusnya pemerintah bisa melindungi mereka dan menjamin
terpenuhinya hak normarif mereka, termasuk hak atas jaminan kesehatan,” kata
Dian.
Berbicara beberapa waktu lalu, Kepala Disnakertransduk Jawa Timur Edi Purwinanto mengakui, fenomena pekerja rumahan semakin besar di Jawa Timur. Menurut Edi, oleh pengusaha nakal, mereka rawan dijadikan modus menekan ongkos produksi. “Ada oknum pengusaha yang ingin mereduksi upah dengan memberlakukan mekenisme kerja borongan,” kata dia.
Berbicara beberapa waktu lalu, Kepala Disnakertransduk Jawa Timur Edi Purwinanto mengakui, fenomena pekerja rumahan semakin besar di Jawa Timur. Menurut Edi, oleh pengusaha nakal, mereka rawan dijadikan modus menekan ongkos produksi. “Ada oknum pengusaha yang ingin mereduksi upah dengan memberlakukan mekenisme kerja borongan,” kata dia.
Edi mengakui,
isu pekerja rumahan selama ini memang belum menjadi fokus
perhatian pemerintah. Untuk urusan jumlah para pekerja rumahan
di Jawa Timur pun, Edi mengaku, pihaknya belum memiliki angka. “Kita baru
sebatas menemukan adanya fenomenanya saja. Fenomenanya, (kerja rumahan)
memang tumbuh subur,” ujar dia.
Generasi
Beda, Kemiskinan Sama
"Nenek Raket" Foto: Andi Nurroni |
Kemiskinan
bagi Siti Khoiriah (45) ibarat lorong labirin. Entah di mana jalan keluarnya,
ia tidak punya bayangan. Sepanjang usianya yang hampir setengah abad, ia hanya
mengenal satu pekerjaan: menganyam senar raket.
Siti bukannya
tidak ingin bekerja yang lain. Apa lagi, pekerjaan yang ia sebut “meraket” itu
upahnya sangat jauh dari layak. Tapi, nyaris tak ada pilihan lain bagi ibu dua
orang anak itu. Ia harus tetap di rumah, mengurus suami, anak, ditambah kini
seorang cucunya. Akhirnya, pekerjaan itu tetap ia jalani dengan sabar.
Di rumahnya
di RT 4, RW 3, Kelurahan Balearjosari, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Siti
melewatkan hari-harinya sebagai penganyam senar raket. Itu adalah pekerjaan
yang sama seperti yang dilakukan banyak ibu di kampungnya. Mereka menjadi
bagian dari produksi raket industri rumahan yang dimiliki
sorang juragan di kampung mereka.
Beberapa hari
sekali, Siti dan para ibu mendapat kiriman berlusin-lusin rangka raket. Oleh
para ibu, raket-raket itu kemudian dipasangi selongsong plastik yang disebut
mata ayam di sekeliling kepalanya, lalu dianyamkan senar. Untuk satu sulusin
raket yang diselesaikan, mereka mendapatkan imbalan Rp 3.500.
Pekerjaan itu nyatanya tidak mudah. Dalam sehari, Siti hanya bisa menyelesaikan 2-3 lusin. Untuk menyelesaikan tiga lusin, diperlukan 7-8 jam. Bisa dibayangkan, dalam sehari, Siti hanya mendapatkan upah Rp 7 ribu hingga Rp 10.500.
Pekerjaan itu nyatanya tidak mudah. Dalam sehari, Siti hanya bisa menyelesaikan 2-3 lusin. Untuk menyelesaikan tiga lusin, diperlukan 7-8 jam. Bisa dibayangkan, dalam sehari, Siti hanya mendapatkan upah Rp 7 ribu hingga Rp 10.500.
Jika merujuk
pada Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan, Siti bisa disebut sebagai pekerja rumahan.
Menurut peraturan tersebut, pekerja rumahan adalah mereka
yang bekerja di luar tempat pemberi kerja.
Siti mengenal
pekerjaan itu sejak SD. Ibunya yang mewariskan pekerjaan itu padanya. “Dulu,
dari SD, biasa bantu ibu ngeraket. Dulu, tahun 70-an, dibayarnya cuma Rp 300
per lusin. ” ujar Siti, ketika ditemui Republika di kediamannya pada
pertengahan Agustus lalu.
Jika dulu ia
diperkenalkan pekerjaan itu oleh ibunya di rumah, Siti pun telah mengenalkan
pekerjaan itu pada anak-anaknya. Sejak kecil, anak-anaknya juga kerap membantu
dia mengnyam raket di rumah. Meski begitu, ia sangat berharap, anak-anaknya
bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik.
Seperti si
Sulung Ifa (24) yang kini telah bekerja di toko. Dulu, seperti ibu, saudara
serta para tetangganya, Siti berpikir bahwa pekerjaannya hanya mengisi waktu
luang. Pekerjaan itu mengalir saja ia lakukan untuk membantu suaminya, seorang
karyawan bengkel yang hanya berpenghasilan Rp 1,2 juta per bulan.
Tapi sejak
satu-dua tahun terakhir, pikiran Siti mulai terbuka. Itu sejak ia mendapat
pembinaan dari Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia
(MWPRI), LSM yang bergerak dalam bidang penguatan kapasitas perempuan pekerja rumahan.
Setelah
sering mendapatkan pelatihan, Siti mulai paham kedudukannya sebagai pekerja rumahan yang banyak direnggut haknya. Ia semakin berani
berpendapat, termasuk mengajak ibu-ibu yang lain mogok kerja demi menuntut
kenaikan upah beberapa bulan lalu. “Kita bosan diupah rendah, kita nolak kerja.
Raket dikirim, ndak kita kerjain. Kita SMS-an sama ibu-ibu semua,” ujar Siti.
Hasilnya,
setelah tidak manut kerja sepekan, sang juragan mengabulkan permintaan para ibu
untuk menaikan upah, meski hanya Rp 250. Jika sebelumnya upah mereka hanya Rp
2.750 per lusin raket, setelah mogok kerja, upah mereka menjadi Rp 3 ribu per
lusin. Beberapa bulan setelahnya, upah mereka kembali naik Rp Rp 500 menjadi Rp
3.500 per lusin raket.
Siti dan ibu
Kelurahan Balearjosari hanya satu kelompok perempuan pekerja rumahan
yang saat ini sedang dididik untuk berani angkat bicara memperjuangkan nasib
mereka. Tak hanya berani bicara kepada majikan, mereka juga diajak untuk
mendesak pemerintah untuk memerhatikan nasib jutaan pekerja rumahan
di Indonesia.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Agustus 2015
Bupati Azwar Anas, Menyulap Wilayah Teriosolasi
Azwar Anas dan istri. Foto: simomot.com |
Kabupaten Banyuwangi tak lebih dari terminal persinggahan bagi wisatawan yang hendak berlibur ke Pulau Bali. Di ujung timur Pulau Jawa itu, para pelancong ‘terpaksa’ turun dari kereta atau bis mereka, untuk selanjutnya berganti kapal feri menuju Pulau Dewata. Dikelilingi hutan berbukit dan lautan, Banyuwangi adalah tanah terisolasi yang tidak menarik untuk dikunjungi.
Namun,
kisah di atas telah menjadi sepenggal cerita lama. Sejak 2010, kabupaten
berjuluk Bumi Blambangan itu berkembang menjadi primadona parwisata baru di
Indonesia. Semua terjadi setelah politisi muda Abdullah Azwar Anas terpilih
menjadi Bupati ke-28 Banyuwangi.
Lama
bergelut di dunia politik dan tumbuh di kalangan intelektual Nahdlatul Ulama
(NU), tak butuh waktu lama bagi Anas untuk merancang perubahan di tanah
kelahirannya itu. Sedari awal ia memimpin, salah satu prinsip yang ia genggam
erat adalah, pembangunan Banyuwangi harus berakar pada kondisi alam dan budaya
masyarakat. Dengan kata lain, pantang bagi pria kelahiran 6 Agustus 1973 itu
meniru bulat-bulat atau memfotokopi pembangunan di daerah lain.
Keadaan
geografis Banyuwangi yang terisolasi, dilingkungi hutan berbukit-bukit serta
selat dan samudera, menjadi catatan penting bagi Anas. Hal penting lainnya,
masyarakat Banyuwangi yang mayoritas menganut Islam hidup dalam iklim kegamaan
yang kental.
Dari
sana pria yang kini memahami, bukan Bali yang menjadi kiblat pembangunan wisata
Banyuwangi. Anas juga tidak tertarik menyulap Banywangi menjadi metropolitan
dengan banyak pusat perbelanjaan, misalnya seperti Surabaya atau Kota Bandung.
Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia itu lalu merancang Banyuwangi
dengan konsep ekowisata.
“Saya
baca, tren di dunia sekarang ini, orang-orang ingin kembali ke alam, menikmati
pemandangan, menjelajah hutan, pergi ke laut atau naik ke puncak gunung. Kita
punya semua,” ujar sang Bupati, ketika saya dan tim Republika menjumpainya
di Banyuwangi awal April 2015.
Sejak
saat itu Anas mengemas ulang berbagai potensi wisata alam Banyuwangi. Dia
menata kawasan Pantai Boom yang kumuh menjadi kawasan pesisir asri, lengkap
dengan teater terbuka untuk pertunjukan. Penataan juga dilakukan di
pantai-pantai lain dengan karakteristik yang berbeda. Misalnya Pantai Teluk
Hijau yang asyik untuk bersantai, atau Pantai Pulau Merah dan Pantai Plengkung
yang menjadi favorit para peselancar.
Untuk
memudahkan akses, Bandara Blimbingsari yang diresmikan pada 2010 diperluas dari
1400 meter menjadi 1800 meter. Kini, tempat terisolasi itu memiliki rute
penerbangan langsung ke Surabaya dan Jakarta. Infrastruktur jalan juga diterus
diperpanjang dan diperbaiki hingga leluasa menjangkau tempat-tempat wisata
unggulan lainnya, seperti Kawah Ijen dan Taman Nasional Alas Purwo.
Sejalan
dengan itu, demi menarik perhatian masyarakat luas, Anas menggencarkan promosi.
Tak kurang dari 38 ajang diselenggarakan pemerintah kabupaten setiap tahun.
Macam-macam acara dihelat menggandeng generasi muda untuk menciptakan
transformasi ilmu dan kecakapan. Tanpa perlu
Ajang
yang diselenggarakan tidak melulu yang sarat hiburan, seperti Tour de Ijen,
Jazz Ijen atau Gandrung Sewu. Selain ajang-ajang tersebut, ada juga kegiatan
yang berdimensi edukasi, sosial dan religius, seperti Festival Toilet Bersih,
Festival Anak Yatim, atau Festival Santri.
Berbagai
kegiatan tersebut diselenggarakan, tanpa meninggalkan kultur masyarakat.
Sebagai contoh, meski berjudul kompetisi Surfing Internasional, acara
dibuka dengan pembacaan ayat Alquran massal oleh puluhan santri wati penghafal
Alquran, lalu ditutup dengan kesenian rebana.
Di
tangan Anas, pembangunan Banyuwangi berjalan secara menyeluruh. Sebagai
gambaran, demi menjaga fokus pembangunan Banyuwangi sebagai destinasi
ekowisata, sepanjang periode pemerintahannya, Anas tidak mengizinkan pendirian
tempat-tempat hiburan malam, seperti diskotek atau karoke. Ia pun tidak
membatasi pembangunan hotel, minimal berkelas bintang tiga. Alasan Anas, tempat
hiburan malam dan hotel melati hanya akan menjadikan Banyuwangi tempat wisata
esek-esek seperti di banyak tempat wisata di Indonesia hari ini.
Meskipun
terkesan menggembar-gemborkan pembangunan pariwisata, Anas, tidak melupakan
sektor perekonomian yang lain. Justeru, bagi dia, pariwisata hanya strategi
untuk membuka jalan perekonomian di berbagai sektor. Sebagai contoh, suami Ipuk
Festiandani itu getol mempromosikan sektor agrikukultur. Di masa pemerintahan
Anas-lah, Banyuwangi dikenal sebagai sentra buah lokal, termasuk buah yang kini
menjadi banyak buruan, yakni durian merah.
Gencarnya
pembangunan di sektor pariwisata, disadari Anas, lambat-lambat laun akan
mendatangkan kemajuan bagi Banyuwangi. Di lain sisi, Anas tidak ingin kelak
warga Banyuwangi hanya menjadi penonton di kampungnya sendiri. Demi menyiapkan
para penerus pembangunan Banyuwangi, Anas menempuh berbagai diplomasi agar
Banyuwangi memiliki perguruan tinggi negeri. Hanya butuh empat tahun di bawah
kepemimpinannya, kini di Banyuwangi berdiri dua PTN, yakni Universitas
Airlangga (Unair) cabang Banyuwangi dan Politeknik Negeri Banyuwangi.
Menjalang
akhir periode masa jabatannya, di bawah arahan Anas, Banyuwangi meraih berbagai
pencapaian dan prestasi. Anga kemiskinan berkurang signifikan, dari 20,09
persen pada 2010, menjadii 9,57 persen pada 2014. Jumlah APBD bertambah, dari
1,4 triliun pada 2010, menjadi 2,5 triliun pada 2015. Pada 2013 dan 2014,
selama dua tahun berturut-turut, Banyuwangi juga diganjar penghargaan Adipura.
Selain beberapa pencapaian dan prestasi tersebut, masih banyak kemajuan lain
yang diraih Banyuwangi.
Anas
menjelaskan, kemajuan pesat yang dicapai Banyuwangi tidak terlepas dari upaya
reformasi birokrasi dan optimalisasi pelayanan melalui peran teknologi
informasi. Meskipun satu desa dengan yang lainnya di Banyuwangi dipisahkan
gunung, pelayanan birokrasi menjadi prima berkat pembangunan infrastruktur
teknologi informasi.
Sebagai
contoh, berbagai dokumen yang dibutuhkan warga bisa diurus, cukup di kantor
desa. Berkat teknologi juga, setiap bayi yang lahir tidak perlu repot dan
berlama-lama mengurus akta kelahiran. Cukup mendaftar di tempat persalinan,
dalam beberapa hari akta akan di antar ke rumah.
Meskipun
berstatus kabupaten, Banyuwangi memang tidak ingin kalah dalam bidang teknologi
informasi. Pada 2013, Banyuwangi mendapatkan status sebagai Kota Digital dengan
1100 titik internet nirkabel, yang berkembang hingga mencapa 1900 titik. Selain
memudahkan pelayanan publik, menurut Anas, sambungan internet juga menjadi
sarana bagi muda-mudi Banyuwangi untuk mengembangkan bisnis daring, sehingga
mendorong ekonomi kreatif.
Meskipun
grafik pencapain Banyuwangi terus merangkak naik, Anas tidak lantas menjadi
puas. Bagi dia, penambaan angka-angka harus berbanding lurus dengan tingkat
kepuasan masyarakat. Oleh karena itu, setiap enam bulan sekali, lembaga
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang digandeng Pemkab Banyuwangi melakukan
survey untuk mengetahui tingkat kepuasan publik.
“Tidak
hanya mengukut tingkat kepuasan, survei juga menjadi cara kami mengetaui bagian
mana pelayanan kami yang kurang dan harus diperbaiki. Intinya, pencapaian yang
ingin diraih adalah, masyarakat Banyuwangi bahagia lahir dan batin,” kata Anas.
Azwar Anas. Foto: firabannie.blogspot.com |
Jurus
Jitu Komunikasi
Tidak
ada istilah ‘sulit’ dalam kamus kehidupan seorang Abdullah Azwar Anas.
Begitupun ketika ia dipercaya memangku jabatan sebagai Bupati Banyuwangi. Semua
persoalan yang dihadapi dinikmati sebagai tantangan yang merangsang insting
kreatifnya untuk meretas jalan keluar.
Mewarisi
Banyuwangi yang terisolasi, dengan pusat kota yang kumuh, birokrasi yang lemah,
dan angka kemiskinan tinggi, Anas dipaksa berpikir inovatif. Semangat
pengabdian yang tulus dan pola penyelesaian masaalah dengan cara-cara inovatif
menjadi dua rumus yang mendasari kerja kerasnya merubah Banyuwangi.
Namun,
dua kunci pembangunan Anas tersebut tidak akan menjadi apa-apa tanpa sebuah
jurus andalan, yakni strategi komunikasi yang baik. Mengawali karir
kepemimpinannya sebagai bupati, Anas berpegang pada sebuah rencana. Untuk
merubah Banyuwangi, birokrasi harus kompak dan masyarakat harus mendukung.
Gagasan
Anas menjadikan Banyuwangi menjadi destinasi ekowisata premium yang berakar
pada karakter budaya masyarkat, harus dia artikulasikan dengan tepat. Satu-dua
tahun pertama menjabat, ia banyak dicibir karena kebijakannya yang dianggap sok
jagoan. Misalnya, melarang pembangunan pusat-pusat hiburan malam, hotel kelas
melati, serta minimarket dan mal.
Konsep
Anas dianggap aneh, karena orang masih menggap pembangunan wisata harus
didukung investasi sektor hiburan yang ingar-bingar. Dari situ Anas berupaya
meyakinkan jajarannya, bahwa bukan wisata hiruk pikuk yang cocok untuk
Banyuwangi, melainkan ekowisata yang senyap bernafaskan budaya lokal.
Pada
masa-masa awal kepemimpinannya, ia banyak didemo masyarakat, termasuk kelompok
PKL di pusat kota yang ia tertibkan. Demonstrasi besar-besaran juga dilakukan
para pekerja seks komersial dan mucikari yang lokalisasinya ditutup Pemkab
Banyuwangi. Bagi Anas, penutupan pusat prostitusi adalah harga mati. Itu salah
satu janjinya kepada para kiai dan warga pesantren sebelum ia menjabat.
Dengan
strategi komunikasi yang menjadi jurus andalannya, tidak perlu waktu empat
tahun untuk menutup 13 lokalisasi di Bnyuwangi. “Kami tidak membuat perda
syariah atau berbicara moral, kami hanya meyakinkan masyarakat bahwa lokalisasi
adalah tempat penyebaran HIV/AIDS,” ujar Anas, ketika saya dan tim Republika
jumpai di Banyuwangi awal April 2015.
Begitupun
ketika melarang pusat hiburan malam, bukan ayat-ayat syariah yang dia
kedepankan. Anas meyakinkan masyarakat bahwa pusat hiburan malam adalah sarang
peredaran narkoba dan tempat perdagangan manusia.
Dalam
upaya mengemas budaya tradisional sebagai daya tarik wisata, Anas membangun
kepercayaan diri masyarakat untuk bangga dengan warisan tradisi. Namun, ia juga
meyakinkan masyarakat untuk tidak tabu melakukan perubahan ke arah lebih baik.
Sebagai contoh, busana tari gandrung yang semula banyak celah terbuka, ia
dorong untuk lebih tertutup. Langkah tersebut berhasil, bahkan kesenian
tersebut diterima lingkungan pesantren dengan para penari yang mengenakan
jilbab.
Sikap
Anas yang arif menyayomi seluruh komunitas agama juga banyak mendapatkan
apresiasi. Kerukukan antar umat beragama dirawat. Lebih dari itu, institusi
keagamaan, seperti masjid, gereja, pura dan kelenteng menjadi corong bagi
program-program pemerintah. Sebagai contoh, khutbah bertema gerakan Banyuwangi
Hijau dititipkan Anas kepada para pemuka agama untuk disampaikan di rumah
peribadatan masing-masing.
Cara
berkomunikasi Anas yang tepat berhasil merangkul masyarakat untuk turut
bergerak. Kepercayaan masyarkat pada Anas terus meningkat sejalan dengan
bukti-bukti konkret pembangunan yang ia lakukan. Anas berhasil membuktikan,
wisatawan justeru bertambah signifikan tanpa pembangunan pusat hiburan malam
dan hotel esek-esek. Begitupun di sektor ekonomi, kemiskinan menurun drastis
berkat pembukaan lapangan pekerjaan, penguatan, serta dan proteksi perkonomian
masyarkat.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, April 2015
Penyintas Lapindo, Selalu Terbayang Kampung yang Hilang
Kampung terdampak semburan lumpur Lapindo, Desember 2014. Foto: Andi Nurroni |
Jarum-jarum hujan mulai berjatuhan, begitu saya tiba di tepian Kali Porong, Sidoarjo, Sabtu (20/12) sore. Niat saya melihat infrastruktur pembuangan material lumpur Lapindo ke Kali Porong, akhirnya berujung di sebuah bangunan kayu sederhana di sisi sungai. Itu lah pos pemantau pengaliran lumpur di bawah kendali Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Di
samping pos pemantau, sebuah instalasi pipa menyemburkan air lumpur ke sungai
dalam jumlah besar. Cairan hitam itu terus di alirkan 24 jam sehari dan tujuh
hari sepekan demi menjaga lumpur tidak meluap dari tanggul. Tentu, material
lumpur yang dialirkan telah dioplos dengan air agar encer dan dapat disalurkan
melalui pipa.
Aroma
tidak sedap serupa belerang tercium hingga pos pemantau. Seorang pria tua
dijumpai tengah duduk terpaku di tempat serupa warung kopi itu. Cung Arifin
nama si Kakek. Dialah penjaga pos tersebut. Mengenalkan diri sebagi wartawan,
Kakek Cung antusias menerima saya.
Pria dengan empat anak dan lima cucu itu tak segan bercerita banyak hal, mulai
dari urusan pekerjaan hingga keluarganya.
Kakek
Cung menjelaskan, tugasnya di pos tersebut adalah memeriksa kandungan lumpur
yang dibuang ke Kali Porong. Setiap satu jam sekali, menurut Cung, ia mengambil
sampel air lumpur dan mencatat tingkat kepekatannya. Hal tersebut, menurutnya,
dilakukan agar kepekatan tidak melebihi batas maksimal, yakni 25 persen, agar
saluran tidak tersumbat dan tidak menimbulkan penadangkalan sungai.
Menejelaskan
panjang lebar soal pekerjaannya, diketahui rupanya Kakek Cung adalah salah satu
korban terdampak semburan lumpur. “Kampung saya dulu di sana,” katanya, sambil
menjulurkan telunjuk ke lembah semak belukar tak jauh dari pos pantau.
Cung
berkisah, dahulu dia adalah petani. Pekerjaan itu dia lakukan hingga tahun
2006, sebelum akhirnya berhenti karena tragedi semburan lumpur di kampung
tetangga, Desa Renokenongo, Kecamatan Porong. Semburan tak berhenti dan terus
mendekat ke kampungnya di Desa Kedung Cangkring, Kecamatan Jabon.
Cung
bercerita, karena tidak terdampak langsung lumpur, warga desanya tidak
dimasukan sebagai korban yang berhak mendpatkan kompensasi. “Kami demo terus,
akhirnya pemerintah turun, karena memang desa kami juga terkenda dampak,
seperti dampak sosial dan ekonomi,” ujar pria kurus itu.
Sejak
kehilangan pekerjaan, mulai tahun 2007 hingga 2010, Cung berkisah, dia menjadi
kuli proyek pembangunan tanggul lupur. Baru pada 2010, menurutnya, dia
mendapatkan pekerjaan baru sebagai petugas pemantau pos pembuangan lumpur.
Cung
mengaku hingga kini, dia masih selalu terkenang kampung halamannya, yang kini
menjadi ladang semak belukar di sisi tanggul bendungan lumpur. “Kalau naik
motor sama istri, sama anak, istri saya sering bilang ke anak, itu, rumah kita
dulu di situ,” ujarnya dengan nada haru.
Hidup
di kampung tetangga, tempat ia dan korban lain direlokasi, ada saja hal yang
kurang menyenangkan. Pernah suatu hari, kata Cung, gara-gara seorang anak dari
anggot kelompoknya berkelahi dengan anak warga kampung lama, warga menyerbu
perkampungannya.
Cat.
Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014.
Bergerilya di Hutan Mangrove
Mahasiswa menanam mangrove di pantai Surabaya, Desember 2014. Foto: Andi Nurroni |
Hampir separuh badan Gatot terbenam ke dalam lumpur. Seperti lalat terjerat jaring laba-laba, mahasiswa tingkat akhir itu berjibaku menarik tububuhnya ke luar dari bekapan lumpur yang hitam pekat. Sekuat tenaga ia berusaha membebaskan diri, namun medan lumpur yang kelewat gembur dan licin itu sangat sulit ditaklukan.
Gatot
tidak sendiri terjebak di dalam lumpur. Sejumlah temannya yang lain juga
mengalami hal yang sama. Walhasil, keriuhan dan tawa meledak mengolok-olok
sesama mereka. Gatot dan 40-an kawannya tidak sedang mengikuti lomba Agustusan.
Awal Desember 2014 lalu, Rombongan peserta Kuliah Kerja Nyata (KKN) salah satu
universitas swasta di Surabaya itu sedang melakukan bakti menanam pohon
mangrove. Saya ada di antara mereka.
Lokasi
penanaman ratusan benih mangrove tersebut berada di kawasan Muara Kali Gunung
Anyar, Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya). Untuk mencapai titik itu, rombongan
mahasiswa harus menyewa beberapa perahu nelayan yang bersandar di dermaga Desa
Gunung Anyar Tambak. Menyusuri sungai yang diapit rawa hutan mangrove, butuh
Sekitar 15 menit untuk mencapai lokasi.
Soni
Mohoson, pemandu mereka, tak hentinya menyungging senyum melihat polah
anak-anak muda itu. Soni-lah yang membawa para mahasiswa ke sana. Titik itu
telah Soni survei sebelumnya untuk memastikan bibit-bibit mangrove yang baru
ditancapkan tidak mengalami kekeringan, juga tidak karam ketika rob datang.
Waktu
penanaman telah diperhitungkan benar, pagi-pagi, sebelum pukul 09.00. Itulah
saat pertemuan surut dan psang. Jika air terlalu surut, menurut Soni, perahu
bisa kandas. Sedangkan ketika pasang, lokasi penanaman telah terendam oleh air.
Ibarat gerilyawan, Soni tahu betul medan pertempuran dan ancaman musuh yang
dihadapi.
Turut
membenamkan tubuhnya ke dalam lumpur, lelaki 53 tahun itu menjelaskan berbagai
hal tentang mangrove kepada para mahasiswa. Mula-mula, Soni menancapkan
bilah-bilah kecil bambu, dengan memerhatikan kerapatannya. Selanjutnya,
dicontohkan bagaimana tanaman mangrove harus dibenamkan ke dalam lumpur dan diikat
dengan tali.
Koordinator
Kelompok Tani Mangrove Wonorejo tersebut menjelaskan, jenis mangrove yang
ditanam kali itu adalah sonneratia alba. Jenis tersebut, menurutnya
tergolong dalam kategori mangrove mayor, yakni memiliki habitat di daerah
pasang-surut. “Beda sama mangrove minor yang tumbuh di daerah yang jarang kena
pasang-surut, sang Pencipta sudah mendesain dia (sonneratia alba)
memiliki akar-akar yang menancap kuat hingga 20 meter ke dalam tanah,” ujar
Soni.
Lima
belas tahun bergiat dalam konservasi mangrove, mantan pekerja kontrak PLN itu
bisa dibilang saksi yang sahih bagaimana mangrove yang dulu disisia-siakan
manusia kini menjadi simbol gerakan pro-lingkungan. Dahulu, Soni menggambarkan,
tak banyak yang peduli ketika warga membabat hutan mengrove Pamurbaya untuk
tambak atau menebang pohon-pohon mangrove besar untuk dijual sebagai material
kayu.
Sejalan
dengan berkembangannya kampanye lingkungan, menurut Soni, aktivitas menanam
mengrove kini menjadi salah satu budaya yang popular. Tak heran, mulai dari
masyarakat pesisir, murid TK, mahasiswa, hingga perusahaan-perusahaan besar
kerap mencurahkan kontribusi mereka untuk penghijauan hutan mangrove.
Terlepas
apapun motivasinya, entah senang-senang atau promosi perusahaan, Soni senang
bisa membawa semakin banyak orang peduli hutan mangrove. Tak hanya giat menanam
mangrove, karena kecintaan dan ketelatenannya, Soni yang hanya lulusan SMK itu
telah berhasil mengembangkan berbagai produk pemanfaatan mangrove.
Buah
tangannya yang paling terkenal adalah sirup dari buah mangrove. Selain itu soni
juga membuat beras mangrove, dodol mangrove, brownies mangrove, dan masih
banyak lagi. Kelompok Tani Mangrove Wonorejo yang dia dirikan sejak 2006.
Bersama dia, kini bergabung para pemuda, termasuk sejumlah alumni pergguruan
tinggi di Surabaya.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014.
Sengkarut Mangrove di Pesisir Surabaya
Soni Mohson dan mahasiswa sehabis menanam mangrove, Desember 2015. Foto: Andi Nurroni |
Siapa tak tergoda mengunjungi Ekowisata Mangrove Wonorejo di Surabaya? Coba Anda masukan kata kuncinya di mesin pencari Google, pilih fitur gambar, maka tampillah berbagai potret keindahan kawasan wisata alam di pesisir timur Surabaya itu. Ekowisata Mangrove Wonorejo didesain Pemerintah Kota Surabaya sebagai sarana rekreasi masyarakat yang murah-meriah.
Destinasi wisata tersebut adalah pelarian sempurna bagi mereka yang jenuh dengan hiruk-pikuk kota. Selain itu, tempat tersebut juga menyajikan petualangan menyenangkan. Semisal menyusuri jembatan papan menembus hutan mangrove, atau berperahu hingga jauh ke ujung muara Kali Wonokromo.
Tak sampai di situ, jika Anda ikut dalam tur perahu, Anda juga bisa memilih untuk bersantai di sejumlah anjungan yang berdiri di tepian selat Madura. Tak heran, Wali Kota Tri Rismaharini kerap membangga-banggakan objek wisatanya itu kepada para tamunya. Sekilas cerita, profil Ekowisata Mangrove Wonorejo pasti membuat Anda grerget dan penasaran ingin berkunjung.
Namun, alangkah lebih baik jika Anda mendengarkan cerita selengkapnya. Di luar pengatahuan khalayak umum tentang keindahan kawasan Ekosiwata Mangrove Wonorejo, banyak pegiat lingkungan yang geram dengan keberadaan wahana wisata tersebut.
Koordinator Kelompok Tani Mangrove Wonorejo Soni Mohson, salah satu di antaranya. Dijumpai di kediamannya di Desa Wonorejo, akhir November lalu, Soni mencurahkan banyak keresahannya tentang kawasan konservasi mangrove di kawasan pantai timur Surabaya, atau sering disebut Pamurbaya itu. Soni dengan keras menyatakan ketidaksepakaatannya terhadap konsep wisata yang dikembangkan Pemkot Surabaya di Pamurbaya.
Soni menggmbarkan, hutan mangrove bukan hanya berbicara tentang pepohonan, melainkan kesatuan ekosistem pesisir. Hutan mengrove Pamurbaya yang terbentang di wilayah pesisir empat kecamatan, yakni Mulyorejo, Sukolilo, Rungkut dan Gunung Anyar, menurut Soni adalah rumah bagi berbagai spesies hewan. Di kawasan luas sekitar 2500 Haktare tersebut, menurut Soni, hidup berbagai spesies burung, kera, ikan, udang dan hewan-hewan lainnya. Apa yang sisampaikan Soni memang bukan isapan jempol.
Hasil penelitian Yayasan Pendidikan Konservasi Alam (Yapeka), hutan mangrove Pamurbaya memiliki tidak kurang dari 38 jenis flora, termasuk di dalamnya 19 jenis mangrove mayor, 13 jenis mangrove minor. Selain itu, di sana, hidup juga 98 jenis spesies burung, di mana 34 jenis di antaranya merupakan burung migran. Satwa lain yang juga hidup di sana adalah serangga, reptil, mamalia, ikan, udang dan masih banyak lagi.
“Nah, burung itu kan sangat peka terhadap tiga hal, suara, warna dan aroma. Itulah kenapa kita sudah jarang mendapati kawanan burung di sini. Pernah beberapa waktu lalu, pihak Bandara Djuanda kerepotan mengusir ribuan burung yang sempat menggangu penerbangan. Itu burung-burung air, ya dari sini,” kata pria 53 tahun itu.
Soni juga mendengar cerita mengenai kawanan monyet yang menyerang warga sekitar hutan mangrove di perbatasan Sidoarjo. Kera-kera tersebut, menurut Soni, juga berasal dari hutan mangrove Pamurbaya. Selain itu, kata dia, akibat aktivitas wisata tersebut, penghasilan sampingan para penjaga tambak menurun drastis.
Menurut Soni, para penjaga tambak itu tidak diberi uang makan. Sebagai gantinya, mereka diperbolehkan menangkap udang liar di tambak. Kini, menurut Soni, para petani mengeluh tak banyak udang yang bisa ditangkap. Mereka curiga, aktivitas hilir-mudik perahu di Kali Wonokromo telah menghambat udang masuk ke pintu air tambak.
Soni berpendapat tegas, konsep wisata yang dikembangkan Pemkot telah keliru. Bukti nyata lain yang dianggap sebagai kesalahan adalah pembangunan jembatan papan dengan tiang-tiang beton di lokasi Ekosiwata Mangrove. “Kalau mau buat wisata, harusnya wisata edukasi dan penelitian. Pengunjung harus di batasi. Di perhitungkan kerapatan manusia di bandingkan dengan luas hutan,” ujar Soni.
Keberadaan Ekowisata Mangrove rupanya bukan masalah tunggal di kawasan hutan mangrove Pamurbaya. Akhir bulan lalu, pihak Sapol PP Surabaya melakukan penindakan terhadap aktivitas pembangunan tak berizin atas naman PT Tirta Agung Prakasa Makmur di kawasan hutan mangrove Kecamatan Gunung Anyar. Sedangkan awal bulan ini, pihak Satpol PP juga menindak praktik pemasangan patok-patok kavling atas nama PT SS di pesisir Kecamatan Sukolilo dan Mulyorejo.
Meski teah ditetapkan sebagai kawasan lindung sejak 2007 melalui Perda Nomor 3 Tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Surabaya, para pengembang tetap rajin merayu warga agar menjual tanah dan tambak warga. Hasilnya, menurut, penelitian Kelompok Tani Mangrove Wonorejo, di Kecamatan Wonorejo saja, sudah 95 persen tambak di miliki oleh perusahaan pengembang.
Pihak-pihak pengembang tersebutlah yang selama ini selalu mencari celah untuk melakukan penetrasi di kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya. Meski telah beberapa kali mendapati kasus-kasus perambahan hutan mangrove, Pemkot Surabaya belum juga bertindak tegas. Hal tersebut sangat disesalkan oleh Wakil Ketua DPRD Surabaya Masduki Toha.
Masduki dengan tegas berpendapat, keterlibatan oknum-oknum di jajaran Pemkot Surabaya sangat kentara dalam kasus-kasus tersebut. “Sekarang logikanya, Wali Kota gembar-gembor (tentang Pamurbaya) di mana-mana, tapi pengawasan tidak dilakukan jajarannya di bawah, hingga camat atau lurah. Camat dan lurah mengaku kecolongan, apa pantas pejabat mengaku kecolongan? Dan mereka tidak ditindak,” ujar Masduki, ketika diwawancarai Senin (15/12).
Menurut Toha, ketidakseriusan Pemkot Surabaya mengurusi Pamurbaya terlihat dari tidakadanya patok-patok penetapan batas wilayah yang jelas. Hal tersebut, menurutnya menjadi celah bagi pengembang yang ingin berbuat nakal. Dengan kedudukan strategis kawasan Pamurbaya, Masduki mengusulkan agar regulasi yang mengatur tidak hanya Perda RTRW, melainkan perda menganai pengelolaan wilayah pesisir.
Selama ini, sejumlah lembaga dinas berbagi kewenangan menyangkut hutan mangrove Pamurbaya. Beberapa lembaga terkait adalah Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR) Surabaya, serta Dinas Pertanian (Distan) Surabaya.
Dikonfirmasi mengenai sengkarut tata kelola Pamurbaya, Plt Kepala DCKTR Surabaya Eric Cahyadi mengakui, pihaknya sedang bekerja keras menata kawasan Pamurbaya. Soal para pengembang nakal, pendapat Eri mengesankan sikap permisif Pemkot Surabaya.
“Kalau dia tahu itu, hukum harus berjalan. Kalau dia belum tahu itu, pemerintah kota harus melakukan sosialisasi. Intinya, dia ada di kawasan konservasi. Kalau itu sudah disosialisasikan, hukum sudah berjalan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Fisik Sarana dan Prasarana Bappeko Surabaya Dwija Wardhana menjelaskan, aktivitas penebangan mangrove yang dilakukan pengembang belum tentu bisa dibawa ke ranah kriminal. Pasalnya, tidak semua kawasan lindung itu diperuntukan untuk mangrove. Selain itu, menurut dia, ada juga kawasan perlihan yang memungkinkan adanya pemanfaatan secara terbatas.
Menurut Dwija, yang harus dipastikan adalah, apakah pengembang membangun di zona utama, atau di kawasan pemanfaatan terbatas. Menurut dia, zona utama luasnya sekitar 200 hingga 300 meter dari garis pantai, yang perhitungannya didasarkan pada Perda RTRW terbaru, yakni Nomor 12 Tahun 2014.
Selain itu, menurut Dwija, meski pun telah ditetapkan sebagai kawasan lindung, masih banyak tanah-tanah bersertifikat yang dimiliki warga. Bahkan, menurut Dwija, tanah warga, terutama dalam bentuk tambak jumlahnya lebih besar daripada milik Pemkot Surabaya. “Untuk itulah kami telah menganggarkan dana untuk membeli tanah-tanah warga. Tapi syaratnya, warga yang mengajukan terlebih dahulu,” katanya.
Dimintai tanggapan, pihak Distan Surabaya selaku pihak yang diberiamanah pengelolaan hanya menjawab dengan bahasa normatif. Kepala Distan Surabaya Djoestamadji menyampaikan, pihaknya hanya berkewajiban mengawasi. Menrut dia, pengawasan selama ini dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat. “Kami punya dinas khusus lapangan, mereka meakukan pendampingan terhadap petani dan nelayan agar mereka terberdayakan,” kata Djoetamadji.
Pembenahan masalah tata kelola kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya bisa jadi adalah tantangan paling serius kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat ini. Penyelamatan kawasan lindung hutan mangrove Pamurbaya tak diragukan akan berdampak signifikan, tak hanya untuk leingkungan, tetapi juga bagi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir Surabaya.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Desember 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
September
(7)
- ‘Mancing Plus-Plus’, Modus Senyap Prostitusi Surabaya
- Pekerja Rumahan, Kemiskinan Tanpa Perhatian
- Bupati Azwar Anas, Menyulap Wilayah Teriosolasi
- Penyintas Lapindo, Selalu Terbayang Kampung yang H...
- Bergerilya di Hutan Mangrove
- Sengkarut Mangrove di Pesisir Surabaya
- Menengok Saijah, Janda Kopral Pejuang
-
▼
September
(7)