Tersenyum Bersama Barang Jadul
Foto: Daniel Kurniawan |
"Pakailah Erasmic Briliantine diwaktu pagi. Nistjaja sampai malam rambut Tuan tetap rapi dan menarik. Lagi pula Erasmic sedap baunja dan Tidak membuat rambut djadi lekat. Erasmic memperindah rambut Tuan."
Petikan di atas adalah kalimat iklan yang tertera pada sebuah potongan surat kabar tak bertitimangsa. Kalimat itu adalah bagian dari sebuah pariwara krim rambut, lengkap dengan ilustrasi karikatur yang khas. Guntingan lembar koran yang dibingkai sederhana itu saya temukan di antara tumpukan barang-barang jaman dulu alias jadul. Benda itu ditemukan di tempat Agung Nugroho (55), seorang pedagang perabot antik asal Semarang. Akhir April 2014, Agung turut berpameran dalam acara Inacraft 2014, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta Pusat.
Berlama-lama di stan
Agung, tak tahan rasanya untuk tidak tersenyum, bahkan terkekeh sendiri. Tak
habis pikir rasanya membayangkan kehidupan orangtua atau kakek-nenek kita zaman
dahulu. Selain potongan iklan krim rambut berbandrol harga Rp 50 ribu di atas,
ada juga poster-poster film Indonesia yang tak kalah menggelikan.
Ada gambar film
“Sundel Bolong”, menampilkan foto-foto aktris Suzana sebagai pemain utama,
didukung Berry Prima dan Rudi Salam. Tak ketinggalan, ada poster film berjudul
“Rahasia Perkawinan”, menampilkan gambar-gambar Yati Octavia dan Roy Marten
semasa muda. Di samping dua itu, masih ada setumpuk poster film lainnya. Karena
keunikannya, poster-poster tersebut ditawarkan seharga Rp 100 ribu per lembar.
Benda-benda yang
lebih antik lagi juga bisa dijumpai di sana. Ada toples-toples kaca bermerek
“Shimada” buatan Jepang. Toples-toples itu masing-masing diharagai Rp 10 juta.
Ada radio tua buatan Eropa bermerek “Zenit” seharga 4,5 juta. ada juga lampu
gantung keramik tahun 1930, yang ditawarkan dengan harga Rp 35 juta. Lampu itu
merupakan benda paling mahal di sana.
Agung Nugroho, sang
kolektor dan pengusaha barang antik, bercerita, produk-produk lawas tersebut
dia dapat dari berbagai sumber. Misalnya, kalau dia berpergian ke suatu tempat,
kadang dia sengaja masuk ke kampung-kampung dan bertanya langsung kepada
penduduk. Di samping itu, ada beberapa sumber lain, seperti dari sesama
kolektor, dari pedagang di pinggir jalan, serta ada juga orang yang datang dan
menawarkan langsung kepada dia.
Bisnis yang ia
jalani tersebut bermula dari hobinya mengoleksi barang-barang lama. Sejak usia
26 tahun, dia mengaku sudah gandrung berburu perabot antik. “Dulu pas udah
nikah, istri kadang marah-marah, ‘ngapain, sih beli barang aneh-aneh dengan
harga mahal?’,” ujar pria perlente itu menirukan ucapan istrinya.
Menurut Agung, baru
setelah istrinya sadar hobi tersebut dapat menghasilkan uang, dia tidak lagi
protes. Lebih dari itu, kata dia, sang istri malah ketularan hobinya berburu
benda-benda jadul. Di daerah Bandungan, Semarang, Agung kini memiliki bisnis
resto dan galrei barang antik bernama “Joglo Agung”. Agung percaya, benda-benda lama dapat memberi
kebahagiaan. “Jadi di resto itu, pengunjung tidak hanya makan, tapi juga bisa
menikmati romantisme masa-masa dulu,” ujar dia.
Pengunjung resto dan
galerinya, kata dia, tak melulu orang tua. Ada juga anak-anak muda. Kata dia,
anak-anak muda yang rela membeli barang-barang di tempatnya, biasanya yang suka
seni dan bergaya nyentrik. “Mereka sepertinya bosan dengan kehidupan serba
canggih, jadi banyak yang tertarik mengoleksi barang-barang antik,” ujar Agung.
Di pameran tersebut,
bukan hanya Agung yang membuka stan barang antik. Ada juga Yurianto, 56 tahun,
yang juga asal Semarang. Di tempat Yurianto, kami bertemu Yono (52), salah
seorang pembeli yang rela menghabiskan Rp 1,5 juta untuk beberapa barang yang
disukainya. Bagi Yono, barang antik dapat memberikan ketenangan tersendiri,
sehingga dia membiarkan rumahnya dipenuhi barang-barang lama, tak ubahnya
sebuah galeri.
Hari itu, kendati mengeluarkan uang banyak, untuk beberapa topi lama dan hiasan dinding, Yono mengaku puas. “Uang itu pasti selalu ada, Mas. Tapi kalau barang begini, wuih, susah dapatnya,” kata Yono.
Hari itu, kendati mengeluarkan uang banyak, untuk beberapa topi lama dan hiasan dinding, Yono mengaku puas. “Uang itu pasti selalu ada, Mas. Tapi kalau barang begini, wuih, susah dapatnya,” kata Yono.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, Mei 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Maret
(22)
- Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya
- Surga Pewayangan Bernama Indonesia
- Mencuci Pakaian dari Zaman ke Zaman
- Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
- Gandrung, Seni Tari Berbalut Mitologi
- Ragam Seni Lakon Petani
- Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
- Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota
- Terpikat Pesona Golek Pesisiran
- Jawa dalam Peta Teh Dunia
- Fin Komodo, Ketangguhan Mobil Patriotik
- Kopi Jawa di Takhta Dunia
- 100 Tahun Ismail Marzuki
- Kanvas Protes Yayak Yatmaka
- Menengok PDS HB Jassin, Sebuah Museum Sastra
- Ketika Mahluk Galaksi Hebohkan Jakarta
- Perjalanan Mudah dan Murah Ala Backpacker
- Mengudara ke Zaman Radio
- Tersenyum Bersama Barang Jadul
- Balada Ojek Ibu Kota
- Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’
- Sabtu Sore di Taman Suropati
-
▼
Maret
(22)