Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
Foto: totoutart.org |
Akar sejarah hip hop bisa ditarik mulai periode 1940-1950, ketika sejumlah musisi kulit hitam Amerika Serikat (AS) mereka-reka efek suara sound system dan bernyanyi memainkan kata-kata dengan tempo cepat. Sejak saat itu, hip hop terus berkembang dari sekedar ekspresi musik menjadi sebuah budaya.
Belum ada argumen
yang kuat menjelaskan asal-usul istilah “hip hop”. Konon, hip hop mula-mula dikenal sebagai
improvisasi yang dilontarkan ketika musisi kulit hitam bernyanyi. Secara
etimologis, ada yang menyebut istilah ‘hip’
mengacu pada kosakata slang Bahasa Inggris Afrika-Amerika yang berarti sadar
atau mengetahui, sementara ‘hop’
adalah kata Bahasa Inggris yang bermakna lompatan. Atau kurang lebih bisa
dimaknai melompat dan bergerak secara sadar.
Dekade 1970 istilah
“hip hop” muncul di Bronx Selatan, pinggiran New York, sebagai gerakan budaya
yang diperkenalkan Clive “Kool Herc” Campbell. Kool Herc merupakan imigran asal
Jamaika yang kelak dikenal sebagai bapak hip hop. Herc dan rekan-rekan di
komunitasnya mengembangkan minat terhadap aktivitas emceeing (bernyanyi rap), breakbeats
(musik elektronik), serta kerap menjadikan musik tersebut sebagai hiburan dalam
pesta-pesta rumahan (house party).
Pada periode yang
sama, terinspirasi oleh Kool Herc, tokoh hip hop lainnya, Afrika Bambaataa,
mendirikan komunitas bernama Universal Zulu Nation. Kelompok tersebut
menjadikan hip hop sebagai media mengurangi budaya kekerasan dan kehidupan gang
di kalangan remaja pinggiran, khususnya kaum miskin kulit hitam.
Lahir dan berkembang
dari kalangan para imigran pinggiran, generasi awal musisi hip hop banyak
memasukan isu-isu sosial-politik dalam lagu-lagu mereka. Pada 1980-1990-an,
kelompok Young Black American menjadikan hip hop sebagai media kampanye dalam
gerakan HAM. Dari sana hip hop banyak ditentang kaum konservatif karena
dianggap menyulut kekerasan dan pelanggaran hukum.
Sejak kemunculannya
pada dekade 1970, budaya hip hop terus berkembang. Dalam perjalannya, berbagai subkultur
lahir dari budaya hip hop, di antaranya musik rap DJ, breakdance, grafiti,
beatbox, serta kostum kedodoran yang khas
. Sifatnya yang ringan sekaligus progresif membuat budaya hip hop dengan
mudah diterima oleh kaum muda di seluruh dunia.
Musik hip hop
disebut berakar pada musik funk, disco, rhytmn and blues atau RnB, serta
mendapat pengaruh dari sejumlah aliran musik lainnya, termasuk musik-musik
daerah Afrika yang dibawa para imigran kulit hitam. Bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya musik hip hop, tari hip hop juga hari ini begitu digemari kaum
muda di dunia. Tari hip hop adalah ekspresi gerak dinamis, yang dikembangkan
dari dari gerakan street dancing,
tarian Afrika-Brazil, seni bela diri Asia, dan tarian rakyat Russia.
Hip hop hari ini
menjadi salah satu budaya besar di dunia. Di satu sisi, hip hop kini semakin
mapan sebagai komoditas industri hiburan. Di sisi yang lain, tradisi kritis hip
hop masih dilajuntkan oleh sebagian kelompok kaum muda, termasuk berperan dalam
memberikan sokongan kultural pada gerakan Musim Semi Arab atau Arab Springs beberapa
tahun lalu. Sebagai budaya, hip hop ibarat kembang api yang tak pernah padam. Terus memercikan warna-warni bunga api yang semarak dan meninggalkan kesan.
Menikmati Hip Hop
Rasa Perancis
Foto: frequence-sud.fr |
Budaya hip hop memang lahir dan besar di
Amerika Serikat (AS). Namun universalitas nilai yang terkandung di dalamnya
membuat kultur tersebut dengan mudah diterima dan digandrungi masyarakat di
hampir seluruh belahan dunia. Hip hop kini berkembang semakin kaya di berbagai
negara, tak terkecuali di Perancis, negeri yang selama ini dikenal dengan
tradisi seninya yang adiluhung.
Selasa, awal Juni 2014, lewat penampilan
kelompok penari Pockemon Crew, publik Jakarta berkesempatan menikmati hip hop yang
dibawakan para penari asal Perancis. Bertempat di Gedung Kesenian Jakarta
(GKJ), grup pernari hip hop asal Kota Lyon tersebut diboyong Insitiut Perancis
Indonesia (IFI) untuk menampilkan tarian kreasi baru mereka yang diberi judul
“Silence on Tourne!”.
Dibawakan oleh sembian pemuda, “Silance on
Tourne!” mengangkat dua latar cerita, yakni sejarah hip hop dan sejarah sinema.
Dua tema tersebut dijalin menjadi sebuah alur yang membentuk cerita. Tema
sejarah hip hop menyuguhkan kehidupan dan suasana pinggiran New York tahun
1940-1950-an, periode yang menjadi tonggak kelahiran kultur hip hop dari
kalangan para imigran Afrika dan kaum Hispanik. Dalam tema sejarah sinema,
penonton diajak merasakan atmosfir kota asal para penari, Lyon, tahun 1940-an,
babak yang dianggap menandai lahirnya dunia sinematografi modern.
Berbagai koreografi memukau mereka peragakan
membawakan cerita, lengkap dengan konflik dan sisipan adegan komedi yang
membuat hadirin tertawa. Atraksi-atraksi dari sejumlah genre tarian hip hop
mereka pertontonkan, mulai dari b-boying, yakni gerakan meliuk-liukan
badan dengan posisi tangan dan kepala di lantai, locking, yaitu tarian
berdiri dengan kaki bergerak maju-mundur dengan iringan musik funk, hingga popping,
alias gerakan kaku bergaya robot.
Semua gerakan tersebut mereka bawakan, dari
mulai dengan teknik sederhana hingga gerakan-gerakan baru yang jarang dilihat
dalam pertunjukan tari hip hop pada umumnya. Tak jarang atraksi memukau
dihadirkan secara mengejutkan. Sebagai contoh, dalam suasana hening, tiba-tiba
seorang penari salto berjumpalitan dari belakang layar, lalu ditangkap dengan
akurasi yang sempurna oleh rekannya yang berada di panggung.
Dengan kostum khas periode 1940-150-an,
seperti kemeja dengan bretel atau topi pet, para penari membawakan peran
masing-masing. Salah satu babak misalnya menghadirkan drama perseteruan para
pekerja hotel dengan tuan-tuan kaya tamu mereka. Cerita itu bisa ditafsirkan
berlatar sejarah hip hop di Amerika yang memang lahir dari kelompok sosial
pinggiran.
Sementara babak lain menghadirkan gerak
artistik salah seorang pemain dalam suasana gedung pertunjukan sinema jaman
dulu, lengkap dengan proyektor yang menembak pada layar serta tata suara jadul
yang khas. Dia menari memperminkan siluet tubuhnya di layar. Penonton pun
bersorak menikmati pertunjukan solo sang penari.
Musik pengiring direka begitu kaya. Tak hanya
rap atau musik elektronik, ada juga iringan jazz big band, funk, juga piano
tunggal. Panggung pertunjukan ditata mewakili tema, dengan properti yang tak
hanya menjadi hiasan, tetapi juga mendukung koregrafi, seperti tangga atau rel
kamera. Tata cahaya pun dimanfaatkan betul untuk memberikan efek kejut.
Sewaktu-waktu lampu bisa menyorot tempat yang tidak terduga menandai kehadiran
penari.
Sebagai pertunjukan atraktif yang penuh dengan
risiko kesalahan, nyaris tak terlihat sama sekali cela dalam suguhan seni
tersebut. Semarak tepuk tangan dan elu-elu hadirin menggema di akhir
pertunjukan. Alih-alih meninggalkan ruangan, ada-ada saja, sejumlah remaja
meneriakan permintaan agar para penari tampil kembali. “We want more,
we want more...,” teriak mereka.
Cat.: tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Maret
(22)
- Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya
- Surga Pewayangan Bernama Indonesia
- Mencuci Pakaian dari Zaman ke Zaman
- Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
- Gandrung, Seni Tari Berbalut Mitologi
- Ragam Seni Lakon Petani
- Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
- Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota
- Terpikat Pesona Golek Pesisiran
- Jawa dalam Peta Teh Dunia
- Fin Komodo, Ketangguhan Mobil Patriotik
- Kopi Jawa di Takhta Dunia
- 100 Tahun Ismail Marzuki
- Kanvas Protes Yayak Yatmaka
- Menengok PDS HB Jassin, Sebuah Museum Sastra
- Ketika Mahluk Galaksi Hebohkan Jakarta
- Perjalanan Mudah dan Murah Ala Backpacker
- Mengudara ke Zaman Radio
- Tersenyum Bersama Barang Jadul
- Balada Ojek Ibu Kota
- Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’
- Sabtu Sore di Taman Suropati
-
▼
Maret
(22)