Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
Foto: AUWH/celesteprize.com |
Fotografi kini menjadi salah satu tren yang paling digemari kaum muda perkotaan. Ramai-ramai budaya fotografi terasa, mulai dari munculnya banyak komunitas penghobi fotografi hingga perdebatan berbagai isu fotografi. Salah satu tema yang sedang hangat diperbincangkan adalah soal street photography atau fotografi jalanan.
Turut menyemarakan
diskursus fotografi jalanan, Selasa malam, 10 Juni 2014, Komunitas Salihara
menyelenggarakan dikusi publik bertema “Jakarta and Street Photography”.
Bertempat di Serambi Salihara, kompleks Komunitas Salihara di Jakarta Selatan,
acara tersebut ramai dihadiri seratusan orang, yang didominasi wajah muda-mudi
. Sebagai pembicara, hadir Erik Prasetia, praktisi fotografi senior, serta Irma
Chantily, pengajar fotografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sebagai fotografer
yang sudah 25 tahun menekuni genre fotografi jalanan, Erik menarik satu
kesimpulan bahwa di Indonesia, konsep fotografi jalanan masih belum dipahami
sepenuhnya, terutama oleh para pehobi muda.
Menurut Erik, meskipun memiliki irisan, fotografi jalanan dapat
dibedakan dari fotografi dokumenter atau fotografi jurnalistik. Sebagai titik
pangkal, Erik mengemukakan pemahamannya bahwa fotografi jalanan adalah sebuah
pendekatan yang berusaha menangkap emosi sebuah kota dengan berbegai cara.
Foto: David Parker/urbantimes.co |
Menurut Erik,
cara-cara dalam pendekatan tersebut khas, dan bisa dibedakan dari jenis
pendeketan lain. Dia mencontohkan, berbeda dengan fotografi dokumenter,
fotografi jalanan bersifat subjektif, diambil secara candid atau alami, serta
mengutamakan estetika daripada kelengkapan informasi. Sebaliknya, menurut dia,
fotografi dokumenter bersifat objektif, bisa direka, serta lebih mengutamakan
kelengkapan informasi daripada estetika.
Sementara
dibandingkan dengan fotografi jurnalistik, menurut Erik, fotografi jalanan
bersifat mengabadikan peristiwa bertegangan rendah dan bersifat keseharian,
sedangkan fotografi jurnalistik, membidik peristiwa bertegangan tinggi serta
bersifat dramatis. “Tapi semua memiliki irisan, sehingga masing-masing genre
kadang memiliki unsur dari genre-genre lain,” ujar dia.
Beberapa kali Erik
menekankan, fotografi jalanan adalah sebuah pendekatan, bukan semata-mata genre
yang berhubungan dengan lokasi (jalanan). Istilah jalanan digunakan mengacu
pada sejarah kemunculannya yang banyak mengabadikan peristiwa-peristiwa di sekitar
jalan. “Fotografi jurnalistik intinya memotret di ruang publik, bukan ruang
privat. Ruang publik, bisa bersifat konkret, seperti jalan, taman, pasar atau
kendaraan umum. Bisa juga bersifat konseptual, yakni relasi manusia dengan
dunia publik, bukan dunia batin,” kata dia.
Sementara itu, Irma
Chantily berpendapat, pendekatan fotografi jalanan semakin populer seiring
dengan perkembangan teknologi kamera, serta media informasi internet dan media
sosial. Namun demikian, menurut Irma, foto-foto yang mengabadikan aktivitas
jalanan kota dan manusianya sudah ada sejak akhir abad ke-19, meskipun istilah
“street photography” atau fotografi
jalanan baru mucul pada tahun 1990-an.
Di antara sejumlah
generasi awal fotografer jalanan, Irma menyebut fotografer Prancis Henri
Cartier-Bresson (1908-2004) berjasa dalam meletakan dasar-dasar fotografi
jalanan. Menurut Irma, prinsip Bresson tentang “decisive moment” masih dijadikan acuan oleh para pelaku fotografi
jalanan. Dikutip Irma, Bresson menganggap ada momen puncak di dalam suatu
peristiwa, dan keberhasilan fotografer adalah menangkap peristiwa tersebut.
Di Jakarta sendiri,
menurut Irma, tradisi awal fotografi jalanan bisa dikaitkan dengan keberadaan
para penjaja jasa foto di sekitar Monas sejak 1970-an. Irma berpendapat, pada
prinsipnya, mereka mempraktikan apa yang sekarang dikenal sebagai fotografi
jalanan. “Sang fotografer akan memanfaatkan perfeksi, kedalaman serta cara
pandang lensa, sehingga Anda bisa berlagak menyentuh, memeluk, atau menduduki
Monas,” ujar Irma.
Berlangsung sekitar
dua jam, diskusi berjalan hangat. Berbagai tanggapan dan pertanyaan mengemuka,
dari mulai soal etika memotret wajah orang, hingga kiat-kiat memotret suasana
Kota Jakarta.
Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Maret
(22)
- Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya
- Surga Pewayangan Bernama Indonesia
- Mencuci Pakaian dari Zaman ke Zaman
- Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
- Gandrung, Seni Tari Berbalut Mitologi
- Ragam Seni Lakon Petani
- Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
- Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota
- Terpikat Pesona Golek Pesisiran
- Jawa dalam Peta Teh Dunia
- Fin Komodo, Ketangguhan Mobil Patriotik
- Kopi Jawa di Takhta Dunia
- 100 Tahun Ismail Marzuki
- Kanvas Protes Yayak Yatmaka
- Menengok PDS HB Jassin, Sebuah Museum Sastra
- Ketika Mahluk Galaksi Hebohkan Jakarta
- Perjalanan Mudah dan Murah Ala Backpacker
- Mengudara ke Zaman Radio
- Tersenyum Bersama Barang Jadul
- Balada Ojek Ibu Kota
- Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’
- Sabtu Sore di Taman Suropati
-
▼
Maret
(22)