Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya
Foto: www.ads.natamedia.com |
Dalam bentuknya yang paling dikenal hari ini, musik keroncong hadir dari komposisi permainan sejumlah alat musik, yakni ukulele (cak dan cuk), biola, selo, flute, dan sejumlah instrumen modern lainnya. Musik keroncong biasanya bertempo lambat dengan tembang yang mendayu-dayu. Tak heran, remaja dewasa ini menganggap musik tersebut membosankan.
Penghargaan kaum
muda kini terhadap keroncong bisa jadi lebih besar andai mereka tahu sejarah
panjang lahirnya keroncong di bumi Nusantara. Sejumlah sejarawan musik Tanah
Air percaya keroncong lahir dari tradisi kesenian masyarakat Moor-Portugis
bernama fado yang dibawa para pelaut
mereka ke Nusantara pada Abad ke-16.
Kekalahan Portugis
dari Belanda pada 1648 telah menyebabkan Portugis terusir dari Tanah Malaka dan
Maluku yang mereka kuasai. Dalam kondisi tersebut, para budak-budak niaga
mereka, yang merupakan bangsa Moor (etnis keturunan Arab-Afrika di Portugal),
serta etnis India dari daerah Bengali, Malabar dan Goa, menjadi tawanan pihak
Belanda.
Oleh Belanda, para
budak tersebut dibawa dan ditahan di Batavia, sebelum akhirnya dibebaskan pada
1661. Para budak yang tak punya pilihan akhirnya menetap di Batavia, di sekitar
rawa-rawa Cilincing, lebih khusus di Kampung Tugu—tempat yang kemudian melahirkan
varian keroncong tugu.
Mereka hidup dengan
bercocok tanam dan berburu. Sesekali, ketika senggang, mereka memainkan
kesenian fado, atau dalam tradisi
bangsa Moor disebut Moresco, yakni tradisi bertutur dengan iringan musik.
Umumnya, cerita yang dibawakan berbicara tentang kesedihan. Sejak saat itu,
bermula dari Batavia, kesenian tersebut berakuluturasi dengan kebudyaan
Indonesia dan mendapatkan nama baru: keroncong.
Istilah keroncong
konon mengacu pada bunyi “crong” yang dihasilkan ukulele. Ada juga yang
mengangap istilah kerconong berasal dari kata kata Portugis ‘croucho’ (kecil),
kata yang digunakan Bangsa Portugis menyebut ukulele yang merupakan gitar dalam
bentuk kecil. Terlepas dari asal-usul namanya, keroncong terus menyebar ke
seluruh Indonesia, bahan hingga ke Malaysia, dan sangat populer pada awal Abad
ke-19.
Di daerah Solo, Jawa
Tengah, keroncong mendapatkan pengaruh dari kesenian Jawa, sehingga mulai
dimainkan dengan gamelan atau seruling bambu, begitu pun iramanya yang
mendayu-dayu sebagaimana musik Jawa pada umumnya. Akulturasi tersebut
melahirkan genre keroncong yang disebut langgam jawa, yang kemudian menjadi
cikal bakal lahirnya seni musik campur sari. Penyanyi keroncong legendaris yang
membawakan gaya ini, di antaranya adalah Waljinah.
Selain langgam jawa,
keroncong juga banyak memiliki gaya lain dan berpadu dengan berbagai alat musik
lain. Kelompok musik Koes Plus, misalnya menciptakan komposisi berjudul
Keroncong Pertemuan, yakni memadukan antar keroncong dan rock. Ada juga istilah
congdut, mengacu pada perpaduan antara keroncong dan musik dangdut yang
belakangan lebih digandrungi masyarakat.
Keroncong semakin
pudar sejak masuknya musik rock pada dekade 1950-an, serta genre-genre musik
baru dari luar yang masuk ke Indonesia setelah periode tersebut. Hari ini,
keroncong masih di mainkan oleh sejumlah kelompok musik, termasuk anak-anak
muda yang kembali tertarik terhadap kesenian tersebut.
Cara Keroncong
Menyapa Kaum Muda
Foto: www.spanel.server1. natamedia.com |
Bagi gernerasi muda
hari ini, musik keroncong boleh jadi dianggap sebagai kesenian dari masa lalu,
yang tersisa hanya untuk dinikmati kakek-nenek mereka. Jarang terdengar para remaja
berbondong-bondong mendatangi pertunjukan keroncong. Atau bisa jadi karena
keroncong sudah tak banyak lagi tampil di depan publik, utamanya di lingkaran
pergaulan anak muda.
Cerita miring
tersebut agaknya ingin dikikis sejumah akademisi Institut Kesenian Jakarta
(IKJ). Kamis malam, 19 Juni 2014, mereka menginisiasi sebuah pertunjukan
bertema “KRL, Keroncong, Rhytm and Light”, yang mengambil tempat di Bentara
Budaya Jakarta (BBJ), Jakarta Barat. Tak hanya menyuguhkan musik keroncong, KRL
menawarkan konsep pertunjukan eksperimental yang unik dan berhasil mengundang
decak kagum para hadirin.
Digelar di pelataran
terbuka, pertunjukan diawali dengan sebuah kejutan kecil. Begitu pengarah acara
memanggil para musisi, mereka yang ditunggu-tunggu hadirin tak datang dari
belakang panggung, melainkan dari kerumunan penonton. Tiga puluhan pemusik yang
didominasi wajah-wajah muda tampil ke panggung, membuat formasi orkestra yang
sudah ditata sebelumnya.
Di bawah pimpinan
Liliek Jasqee, komponis yang juga pengajar di Jurusan Seni Musik IKJ, KRL
menyuguhkan sejumlah komposisi gubahan mereka sendiri. Setiap nomor dikarang
dengan eskplorasi musik yang unik. Ada yang bergaya jazz, dengan sentuhan
permainan flute yang lembut, seperti pada lagu “Rindu”. Ada yang bertempo
dinamis didominasi permainan ukulele dan petikan kontrabas, seperti pada
tembang “Langgam Tsunami”. Ada pula suguhan harmonisasi keroncong dan orkestra
klasik dalam nomor berjudul “Keroncong Concerto”.
Sebagai bagian dari
keunikan konsep pertunjukan, setiap lagu dibawakan oleh penyanyi berbeda, yang
hadir bergantian dari balik panggung. Mereka terdiri dari penyanyi muda,
sejumlah nama yang sudah tersohor di dunia keroncong, seperti Tuti Maryati dan
Endah Laras, serta ada juga penampilan khusus musisi Singapura, Rudy Djoe.
Dalam beberapa jeda,
disuguhkan pemutara video dokumenter pendek bertema keroncong, perkembangan
keroncong hari ini, serta petikan-petikan pendapat para pelaku seni keroncong.
Selain itu, ada juga sejumlah kejutan-kejutan kecil yang dihadirkan ke dalam
pertunjukan. Dalam tembang berjudul
“Lumpia Semarang”, misalnya, tiba-tiba beberapa orang masuk ke dalam barisan
penonton. Sambil melenggak-lenggok, mereka menjajakan lupia di atas nampan yang
mereka bawa.
Dalam penampilan
tembang “Lumpia Semarang” tersebut, juga hadir secara tiba-tiba dua anak muda
berpenampilan hiphop memasukan musik rap dalam tembang mendayu tersebut. Sontak
aksi bagi-bagi lumpia dan kejutan musik rap tersebut mengundang tepuk tangan
dari para hadirin. Sang komponis Liliek Jasqee pun sempat beberapa kali
berganti kostum, termasuk mengenakan pakaian adat Jawa dalam tembang berjudul
“Gethuk Magelang”.
Liliek menutup
suguhan musik yang menghibur tersebut setelah lagu kesepuluh. Namun dari bangku
pentonton, beberap orang memaksa mereka tampil kembali. Liliek dan orkestranya
menyanggupi, penonton pun bersorak senang. Namun rupanya hal tersebut juga
bagian dari sekenario pertunjukan. Dalam persembahan lagu Jali-Jali yang
dimainkan, sejumlah hadirin berdiri dari duduknya, lalu menjadi paduan suara mengisi
penampilan tersebut. Itulah kreativitas yang sengaja disiapkan, dan terbukti
berhasil menjadi klimaks dalam pertunjukan.
Suguhan Keroncong,
Rhytm and Light tersebut sejatinya merupakan kolaborasi tiga mahasiswa
pascasarjana IKJ, yakni Liliek Jasqee di bidang musik, Rika Hindra di bidang
film, serta Koes Adiati yang berlatar belakang Ekonomi Manajemen. Dengan
kemampuan masing-masing, mereka bekerjasama atas dukungan IKJ dan BBJ untuk
menciptakan pertunjukan KRL tersebut. Di akhir pertunjukan, ketiganya tampil
memberikan salam penutup. Berdiri berjejer Koes Adiati, Rika Hindra, serta
Liliek Jasqee. Dari huruf depan nama merekalah rupanya pertunjukan digagas.
Pertunjukan
berdurasi sekitar dua jam tersebut dihadiri seratusan pengunjung. Selain orang
tua, sebagian penonton adalah remaja. Salah seorang dari mereka, Arum (20),
mengaku datang ke tempat pertunjukan tersebut karena diundang salah seorang
temannya yang juga turut tampil dalam orkestra. Arum mengaku terkesan dengan
pertunjukan keroncong pertamanya itu. “Saya
excited, ternyata keroncong yang
jadul bisa juga dibuat modern, jadi menarik,” ujar dia.
Selain Arum, ada
juga Shafira, siswi kelas 2 SMP, yang juga adalah putri Liliek Jasqee, komponis
dalam pertunjukan tersebut. Shafira bercerita, mula-mula mengenal keroncong
dari sang ayah, seperti remaja lain dia merasa ngantuk mendengarkan musik
tersebut. Tapi kesan tersebut kemudian berubah begitu dia mulai dijarkan cara
bermain musik dan menyanyikan keroncong.
Cat.:tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Surga Pewayangan Bernama Indonesia
Foto: Chimezombie/deviantart.com |
Rasanya tak ada yang lebih pantas menyandang predikat surga pewayangan selain Indonesia. Negara lain tentu ada yang memiliki teater boneka. Sebagian bangsa juga punya pertunjukan teater tradisional. Tapi wayang adalah wayang. Milik Indonesia. Untuk urusan yang satu ini, bangsa kita tidak pernah tunduk pada penafsiran dan teori para pemikir luar.
Di Indonesia, wayang mencakup seni pertunjukan, baik figur tiruan maupun manusia, mengangkat cerita mitologi, babad, atau kisah rekaan baru, dengan iringan musik tradisional atau terkadang modern. Di luar wayang orang, medium karakter wayang amat beragam, dari mulai kulit, kayu, fiber, rumput, kertas, hingga video animasi.
Wayang dimainkan dengan berbagai medium bahasa, mulai dari bahasa daerah, Bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Konsep pertunjukan pun semakin kaya dalam perkembangannya akhir-akhir ini, tak hanya dengan gaya tradisional, tetapi banyak juga yang mengadopsi konsep tata panggung dan konsep pertunjukan modern.
Dari sejumlah kekhasan tersebut, jelas, tak ada bangsa lain yang memiliki wayang, termasuk India, tempat lahir cerita Ramayana dan Mahabarata yang kini jadi kisah utama dalam pewayangan tanah air. Tak heran, UNESCO, lembaga kebudayaan PBB, pada 2003 menobatkan wayang dari Indonesia sebagai warisan agung tak benda dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Tingginya apresiasi dunia terhadap wayang, serta semakin tercerahkannya kalangan terdidik soal pentingnya merawat kesenian tradisional, menepis pesimisme bahwa wayang akan segera punah. Buktinya, berbagai kreasi baru di dunia pewayangan terus bermunculan, di samping wayang tradisional yang juga terus sibuk berbenah.
Sejak hadirnya tradisi wayang sebagai media penyebaran agama Hindu pada abad-abad awal Masehi, telah hadir berbagai jenis wayang di Nusantara. Beberapa ragam wayang yang mucul pada beberapa abad terakhir terdokumentasikan di Museum Wayang, Jakarta.
Museum Wayang
Foto: niza-lilac.blogspot.com |
Bersamaan dengan kunjungan saya ke Festival Wayang Indonesia 2014 di kawasan Kota Tua Juni 2014 lalu, sejenak saya menengok koleksi wayang milik Museum Wayang. Museum Wayang sendiri berada persis menghadap Lapangan Fatahilah. Menempati bangunan bersejarah bekas Gereja Lama Belanda yang dibangun pada 1640.
Wayang-wayang koleksi Museum Wayang terkategorikan berdasarkan jenis material, desain, serta fungsi. Prinsip penamaan wayang-wayang tersebut didasarkan pada kekhususan yang dimiliki wayang terkait, misalnya asal daerah, lakon, atau karakter khusus yang dimiliki wayang terkait.
Dari segi jenis material, desain, dan fungsi, koleksi Museum Wayang dibedakan menjadi empat, yakni wayang kulit, wayang golek, wayang klitik, dan wayang mainan. Sebagaimana umum diketahui, wayang kulit dibuat dari kulit, utamanya kulit kerbau atau sapi. Sementara, wayang golek terbuat dari kayu, seperti kayu cendana.
Sementara itu, perpaduan antara material dan desain wayang kulit dan wayang golek menghasilkan wayang klitik yang unik. Wayang klitik berbadan kayu, namun pipipih seperti wayang kulit, sementara tangannya menggunakan bahan kulit. Wayang klitik atau disebut juga wayang kurcil dibuat oleh Raden Pekik di Surabaya pada 1648. Wayang tersebut dipentaskan siang hari tanpa layar, membawakan cerita rakyat, seperti Damarwulan dan Minakjinggo.
Dari segi fungsi, ada sejumlah koleksi wayang milik Museum Wayang yang tidak ditujukan untuk pertunjukan, yakni koleksi wayang-wayang mainan. Terdapat sejumlah wayang mainan dari bahan rumput, bambu, serta karton. Wayang-wayang tersebut dalam sejarahnya merupakan mainan yang dibuat untuk dimainkan anak-anak. Koleksi wayang karton milik Museum Wayang Indonesia bertitimangsa tahun 1963.
Terdapat 23 jenis wayang kulit koleksi Museum Wayang, yang dibernama berasarkan tempat, seperti wayang kulit banyumas, wayang kulit betawi, atau wayang kulit sumatera. Ada juga koleksi wayang yang dinamai berdasarkan nama lakon yang dibawakan, misalnya wayang kulit calon arang, wayang kulit revolusi, serta wayang kulit wahyu. Dua jenis yang terkahir tergolong sangat unik.
Wayang kulit revolusi, atau sebelumnya bernama wayang perdjoeangan, dibuat RM Syahid pada periode 1950-an. Mengangkat tema berlatar pergerakan kemerdekaan, tokoh-tokohnya mengadopsi figure-figur pejuang, seperti Bung Karno dan Bung Hatta. Sementara itu, wayang kulit wahyu merupakan ekspresi kesenian umat Kristiani yang mengangkat cerita yang bersumber pada wahyu atau firman Tuhan. Wayang tersebut diprakarsai oleh Booeder Timo Heus Wignyosubroto, seorang pastur dari Surakarta pada 1959.
Dari kategori wayang golek, terdapat tujuh jenis koleksi jenis tersebut di Museum Wayang, yakni wayang golek bogor, wayang golek bandung, wayang golek ciawi, wayang golek lenong betawi, wayang golek menak cirebon, wayang golek pakuan, serta wayang golek mini pakuan.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Mencuci Pakaian dari Zaman ke Zaman
Foto: pkmart.pk |
Mencuci pakaian merupakan salah satu budaya tertua dalam sejarah peradaban manusia. Sejak nenek moyang manusia mengenal sandang untuk menutupi tubuh dan auratnya, sejak itu juga mereka biasa membersihkan pakaian untuk menghilangkan kotoran dan bau yang menempel. Sebelum manusia mengenal teknologi mesin pencuci dan pengering dewasa ini, orang-orang terdahulu menggunakan berbagai teknik dan perlengkapan dalam membersihkan pakaian mereka.
Hampir semua bangsa di dunia mula-mula melakukan aktivitas mencuci di sungai, yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Mereka memanfaatkan arus air untuk membersihkan noda-noda dan bau tak sedap pada pakaian mereka. Agar noda dan bau tersapu air lebih optimal, mereka mamanfaatkan bebatuan untuk menggilas kain-kain yang dicuci. Lalu, mereka menjemur pakaian-pakaian itu pada dahan dan ranting yang terkena sinar matahari.
Foto: invention.yukozimo.com |
Proses mencuci di sungai telah berlangsung ribuan tahun, bahkan masih bisa dijumpai di negara-negara berkembang hingga hari ini, termasuk di Indonesia. Sementara di Eropa, selain memanfaatkan bantuan alam, sabun cuci mulai digunakan pada abad ke-16. Lemak, abu dan air seni merupakan beberapa bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sabun ketika itu.
Bagi masyarakat yang jauh dari sungai, proses mencuci dilakukan dengan merendam pakaian dalam bejana yang dipanaskan di atas tungku. Setelah diangkat dari bejana, kain-kain yang dicuci dipilin dan dipukul-pukul dengan tongkat kayu untuk membersihkan kotoran, kemudian dibilas dengan air bersih.
Selain mencuci di sungai, sekitar abad ke-18 dan ke-19, di Eropa juga bermuculan rumah-rumah cuci bersama atau wash-house di sekitar pemukiman warga. Pada prinsipnya, fasilitas yang dibangun pemerintah tersebut memiliki dua kolam, yakni kolam tempat mencuci dan kolam untuk membilas bersih pakaian. Air yang mengaliri kolam biasanya berasal dari sungai atau mata air. Di tempat ini, para ibu tidak perlu lagi khawatir akan derasnya air sungai, serta terhindar dari sengatan sinar matahari karena terpayungi atap.
Bersamaan dengan munculnya budaya mencuci bersama, hadir sejumlah teknologi awal alat pencuci yang utamanya dimiliki oleh keluarga-keluarga mampu. Sejumlah model pertama mesin cuci diperkenalkan sejumlah penemu, di antaranya Jacob Christian Schaffer (Jerman) tahun 1752 dan Henry Sidgier (Inggris) pada 1782.
Mesin-mesin tersebut terbuat dari tabung kayu dengan rangka besi, di mana tuas digerakan oleh tangan untuk menguras rendaman cucian di dalam tabung. Namun demikian, untuk noda-noda yang membandel, mesin-mesin tersebut dinilai tidak lebih ampuh dibandingkan dengan mencuci dengan tangan.
Awal abad ke-19 dan abad ke-20, tercatat sejumlah nama peneliti yang mendaftarkan paten produk mereka. Sempat berkembang catatan sejarah yang menyebutkan Alva J Fisher asal Amerika Serikat (AS) sebagai penemu pertama mesin cuci listrik, yakni tahun 1908.
Namun kemudian, informasi tersebut banyak dibantah dan sejumlah nama lain dianggap sebagai penemu yang lebih awal. Di antaranya adalah James King pada 1851 dan Hamilton Smith pada 1858. Hingga hari ini, wacana penemu mesin cuci masih simpang siur dan menuai perdebatan. Karya Fisher dan sejumlah penemu mesin cuci lainnnya pada waktu itu apda dasarnya berupa tabung kayu dengan gerigi di dalam yang digerakan oleh motor listrik. Pada 1928, 913.000 unit mesin cuci tercatat terjual di AS. Pada 1932, jasa gerai cuci (laundromat) dengan sistem koin dibuka di Fort Worth, Teksas.
Baru selepas Perang Dunia II, pada akhir 1940-an dan awal 1950-an, sejumlah pabrikan AS meluncurkan dan bersaing memasarkan mesin-mesin otomatis dengan model buka-tutup di bagian atas. Pada 1947, perusahaan Bendix Dulux mengenalkan model buka-tutup di bagian depan. Sejak saat itu, mesin cucui, mesin pengering, dan berbagai inovasi di bidang laundry terus berkembang hingga produk-produk mutakhir yang kita kenal hari ini.
Foto: Helmy Chandra |
Laundry Koin, Menyongsong Budaya Mandiri
Lebih dari setengah abad berkembang di negara-negara Barat, teknologi laundry koin kini sampai juga di Indonesia. Mulai awal 2014, seorang pengusaha laundry di Jakarta memrakarsai berdirinya sejumlah gerai laundry koin yang dioperasikan secara swalayan. Digadang-gadang memiliki banyak kelebihan, laundry koin diprediksi segera membudaya di tengah masyarakat Indonesia.
Dari sang pengusaha, Helmy Chandra, saya mendapat banyak cerita tentang laundry koin dan perkembangan bisnis di bidang tersebut. Helmy bercerita, salah satu motivasinya memelopori bisnis tersebut karena konsep laundry koin terbukti berkembang tak hanya di negeri-negeri Barat, tetapi juga di negara-negar tetangga, seperti Malaysia, Thailand, bahkan Filipina.
“Malaysia sudah lebih dahulu memulai sejak tiga tahun lalu. Di sana fasilitas seperti ini sudah sangat banyak dan membudaya,” Ujar Helmy, dijumpai di salah satu gerai miliknya di kawasan Depok, Jawa Barat.
Menurut Helmy, dibandingkan laundry sistem kiloan yang kini menjadi pilihan utama masyarakat, laundry koin memiliki sejumlah kelebihan. Menurut dia, beberapa kelebihan tersebu di antaranya adalah praktis, murah, higienis dan bersifat privat.
Dijelaskan Helmy, layanan laundry koin praktis karena tidak memerlukan waktu lama. Kata dia, hanya butuh waktu 1 hingga 1,5 jam untuk satu kali mencuci dan mengeringkan pakaian. Satu kali mencuci tersebut, lanjut dia, cukup dengan memasukan tiga hingga empat koin, tergantung jenis bahan pakaian yang dicuci. “Satu koin harganya Rp 10 ribu, maksimal satu kali mencuci enam kilogram. Jadi bisa dihitung, per kilogramnya jauh lebih murah dibandingkan dengan laundry kiloan,” ujar Helmy antusias.
Helmy menjelaskan, setelah dikeluarkan dari mesin pengering, pakaian tidak musti disetrika. Menurut dia, bahan-bahan pakaian sehari-hari, seperti kaos atau kemeja-kemeja tipis sebenarnya tidak perlu disetrika, dengan catatan pakaian-pakaian tersebut langsung dilipat.
Kata Helmy, yang biasanya membuat pakaian kusut adalah proses penjemuran di bawah sinar matahari yang menjadikan pakaian kaku dan tidak rapi. Namun, ia menambahkan, jika konsumen laundry kiloan belum merasa puas dan ingin menyetrika pakaiannya, fasilitas setrika bisa didapat dengan sedikit biaya tambahan. Proses menyetrika pun bisa dilakukan di gerai laundry kiloan.
Lalu menurut Helmy, laundry koin higienis karena konsumen mendapatkan mesin sendiri. Sehingga, kata dia, pakaian mereka tidak bercampur dengan milik konsumen lain. Helmy menjelaskan, di laundry- laundry biasa, pakaian beberapa orang pelanggan umumnya dicampurkan, sehingga sering terjadi pakaian konsumen tertukar.
“Di tempat laundry biasa, konsumen perempuan, misalnya, sering malu kalau mau mencuci pakaian dalam, apa lagi penjaganya mas-mas. Nah, di sini mereka bisa nyaman karena mencuci sendiri dan privasinya terjaga,” tutur Helmy.
Gerai Helmy tempat kami bertemu berada di sebuah apartemen, di sekitar kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok. Di tempat yang dia beri nama Laundry Cafe tersebut, terdapat sejumlah mesin cuci dan mesin pengering, yang beberapa di antaranya berukuran besar. Kata Helmy, mesin yang lebih besar untuk mencucui bed cover.
Di satu sisi, terdapat meja memanjang yang menempel pada dinding dilengkapi beberapa kursi. Di sudut, ada stan operator yang juga memajang makanan dan minuman instan. Dalam konsep Helmy, seperti yang dia kembangkan, fasilitas laundry swalayan bisa dibuat nyaman, agar selama mencuci, konsumen bisa mengerjakan banyak hal, dari mulai mengakses internet dengan fasilitas wi-fi gratis, atau makan minum sambil bersosialisasi.
Di gerai Laundry Cafe itu Helmy mempekerjakan dua orang staf. Seperti kami lihat, ketika itu mereka tampak sibuk merapikan pakaian-pakaian. Lalu Hemy bercerita, salah satu tantangan yang dia hadapi saat ini adalah merubah paradigma masyarakat yang biasa dilayani. Kadang, menurut dia, ada saja konsumen yang menitipkan pakaiannya, lalu mengambilnya kemudian waktu. Rupanya para pekerja yang saya lihat saat itu sedang menjalankan tugasnya, membantu para konsumen yang ‘nitip’.
“Tapi itu tidak masalah, ini fase transisi. Tidak semua begitu. Banyak juga yang suka nongkrong di sini, terutama mahasiswa. Semua kami lakukan bertahap, mobil juga tidak tiba-tiba matik, tapi manual terlebih dahulu, ” kata dia dengan nada guyon.
Beberapa gerai Laundry Cafe yang dibuat Helmy diakuinya hanya sebagai contoh. Karena menurut pria 40 tahunan itu, bisnis perusahaannya bergerak di bidang penyediaan mesin dan berbagai perlengkapan bisnis laundry, juga memberikan pelatihan-pelatihan bisnis laundry.
Setelah diluncurkan pada akhir Novemeber 2013, mesin-mesin laundry koin yang dia impor dari Amerika Serikat (AS) itu sudah banyak mendapatkan pesanan. Dalam cataan mereka, sudah ada 40 gerai yang tersebar di sejumlah kota besar di Indonesia. Helmy percaya, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan semakin tingginya tingkat pendidikan masyarakat, sistem laundry swalayan akan populer dan membudaya.
Cat.: tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
Foto: AUWH/celesteprize.com |
Fotografi kini menjadi salah satu tren yang paling digemari kaum muda perkotaan. Ramai-ramai budaya fotografi terasa, mulai dari munculnya banyak komunitas penghobi fotografi hingga perdebatan berbagai isu fotografi. Salah satu tema yang sedang hangat diperbincangkan adalah soal street photography atau fotografi jalanan.
Turut menyemarakan
diskursus fotografi jalanan, Selasa malam, 10 Juni 2014, Komunitas Salihara
menyelenggarakan dikusi publik bertema “Jakarta and Street Photography”.
Bertempat di Serambi Salihara, kompleks Komunitas Salihara di Jakarta Selatan,
acara tersebut ramai dihadiri seratusan orang, yang didominasi wajah muda-mudi
. Sebagai pembicara, hadir Erik Prasetia, praktisi fotografi senior, serta Irma
Chantily, pengajar fotografi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
Sebagai fotografer
yang sudah 25 tahun menekuni genre fotografi jalanan, Erik menarik satu
kesimpulan bahwa di Indonesia, konsep fotografi jalanan masih belum dipahami
sepenuhnya, terutama oleh para pehobi muda.
Menurut Erik, meskipun memiliki irisan, fotografi jalanan dapat
dibedakan dari fotografi dokumenter atau fotografi jurnalistik. Sebagai titik
pangkal, Erik mengemukakan pemahamannya bahwa fotografi jalanan adalah sebuah
pendekatan yang berusaha menangkap emosi sebuah kota dengan berbegai cara.
Foto: David Parker/urbantimes.co |
Menurut Erik,
cara-cara dalam pendekatan tersebut khas, dan bisa dibedakan dari jenis
pendeketan lain. Dia mencontohkan, berbeda dengan fotografi dokumenter,
fotografi jalanan bersifat subjektif, diambil secara candid atau alami, serta
mengutamakan estetika daripada kelengkapan informasi. Sebaliknya, menurut dia,
fotografi dokumenter bersifat objektif, bisa direka, serta lebih mengutamakan
kelengkapan informasi daripada estetika.
Sementara
dibandingkan dengan fotografi jurnalistik, menurut Erik, fotografi jalanan
bersifat mengabadikan peristiwa bertegangan rendah dan bersifat keseharian,
sedangkan fotografi jurnalistik, membidik peristiwa bertegangan tinggi serta
bersifat dramatis. “Tapi semua memiliki irisan, sehingga masing-masing genre
kadang memiliki unsur dari genre-genre lain,” ujar dia.
Beberapa kali Erik
menekankan, fotografi jalanan adalah sebuah pendekatan, bukan semata-mata genre
yang berhubungan dengan lokasi (jalanan). Istilah jalanan digunakan mengacu
pada sejarah kemunculannya yang banyak mengabadikan peristiwa-peristiwa di sekitar
jalan. “Fotografi jurnalistik intinya memotret di ruang publik, bukan ruang
privat. Ruang publik, bisa bersifat konkret, seperti jalan, taman, pasar atau
kendaraan umum. Bisa juga bersifat konseptual, yakni relasi manusia dengan
dunia publik, bukan dunia batin,” kata dia.
Sementara itu, Irma
Chantily berpendapat, pendekatan fotografi jalanan semakin populer seiring
dengan perkembangan teknologi kamera, serta media informasi internet dan media
sosial. Namun demikian, menurut Irma, foto-foto yang mengabadikan aktivitas
jalanan kota dan manusianya sudah ada sejak akhir abad ke-19, meskipun istilah
“street photography” atau fotografi
jalanan baru mucul pada tahun 1990-an.
Di antara sejumlah
generasi awal fotografer jalanan, Irma menyebut fotografer Prancis Henri
Cartier-Bresson (1908-2004) berjasa dalam meletakan dasar-dasar fotografi
jalanan. Menurut Irma, prinsip Bresson tentang “decisive moment” masih dijadikan acuan oleh para pelaku fotografi
jalanan. Dikutip Irma, Bresson menganggap ada momen puncak di dalam suatu
peristiwa, dan keberhasilan fotografer adalah menangkap peristiwa tersebut.
Di Jakarta sendiri,
menurut Irma, tradisi awal fotografi jalanan bisa dikaitkan dengan keberadaan
para penjaja jasa foto di sekitar Monas sejak 1970-an. Irma berpendapat, pada
prinsipnya, mereka mempraktikan apa yang sekarang dikenal sebagai fotografi
jalanan. “Sang fotografer akan memanfaatkan perfeksi, kedalaman serta cara
pandang lensa, sehingga Anda bisa berlagak menyentuh, memeluk, atau menduduki
Monas,” ujar Irma.
Berlangsung sekitar
dua jam, diskusi berjalan hangat. Berbagai tanggapan dan pertanyaan mengemuka,
dari mulai soal etika memotret wajah orang, hingga kiat-kiat memotret suasana
Kota Jakarta.
Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Gandrung, Seni Tari Berbalut Mitologi
Foto: musicamoviles.com |
Membicarakan gandrung tidak bisa hanya sebatas menyangkut kesenian tari. Latar belakang sejarahnya begitu pajang dan banyak bersinggungan dengan wacana politik, keyakinan, juga mitologi. Teori paling umum meriwayatkan gandrung lahir dari lingkungan masyarakat Suku Osing, warga Kerjaan Hindu Blambangan yang disebut-sebut sebagai penduduk awal Banyuwangi, Jawa Timur.
Tahun 1767, Blambangan yang berada dalam penguasaan kerajaan Mengwi, Bali, mendapatkan serangan besar-besaran dari balapasukan Belanda yang dibantu Mataram dan Madura. Upaya penaklukan itu telah mengobarkan perlawanan hebat dari rakyat Blambangan yang dikenal dengan perang Puputan Bayu pada 1771. Peperangan yang berakhir dengan kemenangan tenara Belanda pada 1772 tersebut, konon berlangsung sangat tragis. Sekitar enam puluh ribu jiwa rakyat Blambangan dikabarkan tewas, tertawan, hilang, hingga melarikan diri ke hutan-hutan.
Diriwayatkan, hanya sekitar lima ribu orang rakyat Blambangan tersisa, didominasi oleh anak-anak, janda, serta para orang tua. Mereka tersebar di desa-desa dan tempat persembunyian di hutan-hutan. Keadaan mereka sangat mengenaskan. Tak lama berselang, sejumlah pria Suku Osing memulai tradisi menari berkeliling ke desa-desa luar dengan berdandan sebagai perempuan.
Hal tersebut mereka lakukan untuk menyambung hidup, serta menyebarkan intrik-intrik terhadap penjajah Belanda. Warga desa yang mampu biasa memberi imbalan berupa beras atau hasil bumi kepada para penari gandrung. Oleh gandrung dan anggota kelompok penabuh musik, hasil tersebut lalu dibagi dengan para pengungsi yang hidup dengan derita berkepanjangan di hutan-huntan.
Meski perang telah usai, tradisi gandrung terus berkembang dengan mengalami sejumlah pergeseran konsep. Gandrung yang semula dimainkan laki-laki (gandrung lanang), kemudian punah dan digantikan para penari perempuan (gandrung wadhon). Catatan sejarah menyebutkan, tahun 1890 gandrung laki-laki lenyap dari Banyuwangi. Hal tersebut tidak terlepas dari desakan para pengajur Islam yang tidak menghendaki laki-laki berdandan seperti perempuan.
Selain merupakan nama kesenian yang dimainkan, istilah ‘gandrung’ juga merujuk pada diri sang penari. Penari gandrung perempuan pertama dikenal dengan sebutan gandrung Semi, yang pada 1895 masih berusia 10 tahun. Namun demikian, gandrung disebut baru benar-benar hilang pada 1914 setlah wafatnya Marsan, yang merupakan gandrung lanang terakhir.
Setelah dibawakan perempuan, gandrung berkembang sebagai seni hiburan dalam berbagai hajatan di desa. Gandrung biasanya dimulai sekitar pukul 21.00 dan berakhir menjelang subuh. Pertunjukan gandrung terbagi ke dalam tiga babak, yakni jejer, ngibing, dan seblang subuh. Jejer merupakan pembuka, di mana gandrung menembang secara solo. Dalam babak selanjutnya, ngibing, para tamu bergantian menari bersama sang gandrung.
Gandrung akan memilih pasangan menarinya, dengan mula-mula menarik orang yang paling dianggap penting dengan selendangnya. Pada kesempatan tersebut, tak jarang terjadi keributan karena para lelaki berebutan menari, serta tak jarang sebagian di antaranya dalam kondisi mabuk. Ketika itu gandrung akan mendapatkan saweran dari rekan dia menari.
Selanjutnya, babak seblang subuh adalah penutup. Temabang-tembang bertema sedih dilantunkan. Suasana mistis terasa pada bagian tersebut, di mana fase tersebut masih terkait dengan ritual seblang, yakni prosesi penyembuhan atau penyucian jiwa.
Koreografer sekaligus peneliti tari gandrung, Elly D Luthan menjelaskan, pada saat seblang subuh, biasanya para perempuan dan anak-anak akan datang. “Pada saat itu, gandrung akan meminta maaf kepada para perempuan, jika saja mereka terganggu karena suami-suami menari bersama dia,” ujar Elly, dijumpai seusai pertunjukan “Gama Gandrung”, di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu, 11 Juni 2014.
Elly bersyukur, hari ini gandrung masih lestari di Banyuwangi, meskipun suasana mistis tidak terasa lagi. Selain tarian gandrung tradisional, menurut Elly gandrung juga banyak menginspirasi penciptaan tari kreasi kontemporer yang banyak dimotori anak-anak muda.
Tiga penari cantik itu memainkan tubuh dan
selendangnya dengan begitu gemulai. Berbalut pakaian tradisional dan mahkota
emas berpendaran, ketiganya menjadi primadona di antara para penari pengiring
yang melingkung di sekitar mereka. Namun meskipun berdandan dan bergaya
feminin, tiga primadona panggung itu terang adalah kaum pria. Mereka adalah
para gandrung lanang.
Pria-pria cantik itu membawakan tarian kreasi berlakon “Gama Gandrung”,
interpretasi atas sejarah tari gandrung dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dikarang
koreografer muda Bathara Saverigadi Dewandoro, “Gama Gandrung” dipentaskan Rabu
malam, 11 Juni 2014. Pertunjukan bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta
Pusat.
Dalam bahasa Sanksekerta, kata ‘gama’ berarti ‘perjalanan’. “Gama
Gandrung” sendiri meriwayatkan rentang sejarah dan perkembangan tari gandrung,
kesenian yang hari ini menjadi ikon Kabupaten Banyuwangi. Cerita dimulai dengan
babak kelahiran gandrung, ketika sejumlah lelaki menari berkeliling desa demi
menyambung hidup. Tak hanya ‘mengamen’, para penari itu sekaligus menyebar
intrik politik terhadap pasukan Belanda yang telah memporak-porandakan
desa-desa mereka.
Pada perkembangannya, konflik dalam budaya
gandrung tak terhindarkan ketika sejumlah kalangan mengharamkan laki-laki
berdandan seperti perempuan. Maka babak baru gandrung lahir, di mana para
perempuan sesungguhnya yang membawakan tarian penghibur yang penuh energi
mistis itu. Namun para gandrung wadhon (penari gandrung perempuan)
tersebut juga tak luput mendapat cibiran. Sebagian orang menganggap mereka
perempuan sundal yang membuat kaum pria keblinger, tergila-gila.
“Gama Gandrung” dibawakan belasan penari,
laki-laki dan perempuan. Sebagian besar gerak adalah rekaan sang kreator,
dengan mengambil sejumlah bagian dari komposisi tari gandrung. Misalnya adalah egol
atau goyang pinggul, permainan kipas, serta permainan mengibas dan mebeberkan
sempur (selendang). Para penari keluar-masuk panggung membawakan berbagai
peran, termasuk sosok para prajurit kompeni, yang berhubungan dengan latar
sejarah lahirnya tari gandrung.
Bathara, sang koregrafer, memainkan peran
Marsan, sosok gandrung lanang (penari gandrung laki-laki) terakhir.
Sementara peran Semi, gandrung wadhon pertama, dimainkan khusus
oleh Cahwati, penari muda yang lebih dahulu bersinar di panggung kesenian tari
tradisional. Pergantian dua zaman gandrung, dari lanang ke wadhon,
divisualisasikan secara cantik dengan berpindahnya omprok, mahkota
gandrung, dari kepala Marsan ke kepala Semi. Lantunan tembang Banyuwangi
mengalun khidmat sekaligus penuh kegetiran, membuat perasaan sedih sekaligus
mencekam.
Tak hanya melalui gerak, cerita juga
dihantarkan lewat narasi dan tembang. Narasi terkadang dibawakan seseorang di
luar penggung, kadang juga oleh penari, utamanya tokoh Marsan. Tembang syahdu
dilantunkan, baik lagu rakyat Banyuwangi maupun lagu gubahan baru berbahasa
Indonesia. Penata musik, dalang Sri Waluyo, menghadirkan tak hanya aransemen
tradisional yang khas gandrung, tetapi juga memberi sentuhan musik kontemporer
melalui gitar listrik.
Panggung dan pencahayaan dirancang teatrikal.
Di sudut kanan, replika omprok besar berdiri dengan jaring-jaring
selendang terpancang ke segala penjuru. Ditembak lampu warna-warni, instalasi
tersebut menambah pesona pertunjukan.
Tentang Koreorafer
Bathara Saverigadi Dewandoro, sang koreografer
adalah remaja berusia 17 tahun. Pada usianya yang masih belia, Bathara
telah menjadi seniman tari muda yang bersinar. Sejumlah penghargaan dia terima
dari berbagai ajang perlombaan, baik di dalam dan luar negeri. Tak heran,
beberapa stasiun televisi Ibu Kota pernah secara khusus mengangkat
profilnya.
Bathara mewarisi darah tari dari kedua orang
tuanya. Ayahnya, Suryandoro, adalah seniman wayang orang dan penari senior
alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Sementara sang ibu, Dewi
Sulastri, juga penari kenamaan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI)
Yogyakarta. Keluarga tersebut kini mengelola lembaga seni tradisional Swargaloka
di Jakarta.
Menurut Bathara, proses penciptaan "Gama
Gandrung" berlangsung lebih kurang empat bulan. Dua bulan merupakan proses
pengumpulan bahan, yakni berbagai pengetahuan tentang gandrung Banyuwangi, dan
dua bulan merupakan proses penciptaan komposisi gerak.
Dijumpai seusai pertunjukan, pemuda kelas 2
SMA Angkasa 2, Jakarta Timur, degan fasih menceritakan sejarah dan motivasinya
mengangkat tema gandrung dalam pementasannya. "Saya suka tari gandrung,
dan saya berharap anak-anak muda hari ini paham sejarah tarian tersebut,"
ujar dia.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Ragam Seni Lakon Petani
Foto: beritadaerah.co.id |
Petani dan alam pedesaan adalah jati diri dan wajah Indonesia. Dari gerak laku petani di alam desa, lahirlah nilai-nilai dan ekspresi budaya yang kita warisi hari ini. Sayang, pergeseran tatanan sosial membuat bangsa ini gagap dan semakin kehilangan identitas. Di hadapkan pada kondisi tersebut, sebagian kecil orang kini tengah bekerja keras merawat, bahkan menggali kembali kultur petani yang telah, atau nyaris hilang dari tengah masyarakat.
Mengangkat tema “Daulat Para Jagoan”, lembaga
Bentara Budaya Jakarta (BBJ) menampilkan empat ragam seni tentang petani awal
Juni 2014. Keempat bentuk kesenian tersebut, yakni drama tari, lukisan, lukisan
kaca, dan wayang hama, mengeksplorasi nilai dan budaya petani, dipersembahkan
oleh pekarya yang merupakan maestro di bidang masing-masing.
Bukan sekedar mempertontonkan seni, hajatan
tersebut secara khusus mengangkat kisah perjuangan petani dalam memperjuangkan
kemandirian atas pupuk, obat, dan benih. Beberapa orang petani yang bergiat
dalam Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) asal Kabupaten
Indramayu, Jawa Barat, didaulat untuk berbagi kisah. Melengkapi cerita para
petani tersebut, dipamerkan juga sejumlah instalasi berbagai perlengkapan
aktivitas mereka sehari-hari.
Bertempat di kompleks BBJ, kawasan Palmerah,
Jakarta Pusat, kegiatan yang berlangsung sepekan lebih itu dibuka dengan
suasana meriah dan artistik. Drama tari dengan lakon “Lesungku” dipentaskan
oleh Sanggar Tari Mulya Bhakti asal Indramayu, asuhan koreografer dan dalang
perempuan Wangi Indriya.
Drama tari tersebut digali Indriya dari tari
tradisi Grombyangan yang kini sudah hampir hilang, bahkan di daerah asalnya
Indramayu. Berkisah tentang suasana desa ketika gerhana bulan, “Lesungku”
dimainkan 20-an penari, perempuan dan laki-laki. Kaum pria tampil mengenakan
baju pangsi hitam-hitam dan berikat kepala, sementara para wanita
berbusana kebaya dengan kain melilit pinggang.
Diiringi ketukan lesung dan tetabuhan
alat-alat musik bambu dan tembang berbahasa Jawa Indramayu, empat orang remaja
putri bercaping melenggak-lenggok di atas panggung. Dalam beberapa bagian,
tetabuhan lesap digantikan alunan seruliing, menyeruakan suasana purba yang
terasa mistis.
Dikisahkan, malam tiba-tiba gelap. Bunyi
kentongan bertalu-talu, diikuti masuknya sejumlah pria ke atas panggung. “Telah
terjadi gerhana, bulan di makan Betara Kala”. Begitu pergunjingan yang terjadi
di antara mereka. Salah seorang dari mereka lalu tersadar bahwa istrinya tengah
mengandung. Tergesa dia pulang menuju rumahnya.
Setiba di rumah, sang istri langsung dia suruh
masuk ke bawah ranjang, sementara si lelaki menaburkan abu di atas tempat
tidur. Begitulah sang koregrafer mengangkat sepenggal kepercayaan lokal ke atas
panggung. Didukung oleh tata panggung yang artistik, dikelilingi oleh tanaman
padi menguning serta orang-orangan sawah, penonton diajak merasakan suasana
kehidupan leluhur pada zaman lampau.
Sementara itu, kesenian lain disuguhkan untuk
publik di ruang pameran. Ada koleksi lukisan-lukisan kaca karya maestro seni
lukis kaca asal Cirebon, Rastika. Sejalan dengan tema besar acara, sejumlah
karya mengangkat tema petani yang diramu dengan kisah dan visualisasi dunia
pewayangan.
Karya berjudul “Bima Meluku” (cat minyak pada
kaca) menggambarkan kesatria Bima tengah membajak sawah bersama dua ekor kerbau
berwarna merah muda, dengan latar belakang gunung biru dan mentari yang
mengintip dari balik awan. Termasuk karya “Bima Meluku”, lukisan-lukisan Rastika
yang ditampilkan sangat memikat, dengan warna dan komposisi gradasi yang
memanjakan mata.
Dua jenis karya lainnya, puluhan lukisan karya
perupa Yogyakarta Herjaka HS, serta ‘wayang hama’ karya perupa Magelang Sujono,
juga tidak kalah menariknya. Karya-karya Herjaka mengangkat tokoh Dewi Sri,
sang dewi pelindung tanaman dalam bentuk karakter wayang. Sementara itu,
‘wayang hama’ karya Sudjono merupakan eksperimen atas rupa-rupa hama, semisal
kinjeng, kepik, gasir, yang diangkat dalam bentuk wayang.
Kisah Para Petani Jagoan dari Indramayu
Foto: fao.org |
Awal Juni 2014, Bentara Budaya Jakarta (BBJ)
punya hajatan unik bertema “Daulat Para Jagoan”. Sejumlah seni yang hendak
ditampilkan, termasuk drama tari dan lukisan kaca, disebut-sebut hanya dipasang
sebagai pendamping. Banyak hadirin, termasuk wartawan, datang membawa rasa
penasaran. Barulah semua terang begitu Direktur BBJ Hariadi Saptono memberikan
sambutan.
Rupanya kegiatan tersebut mengetengahkan isu
soal kultur dan perjuangan petani. Sebuah komunitas petani padi asal Indramayu,
Jawa Barat, yakni Ikatan Petani Pengendali Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI)
diboyong ke Jakarta untuk berbagi cerita. Menurut Hariadi, pihaknya terkesan
dengan keberhasilan kelompok petani tersebut dalam mengelola pertanian secara
mandiri. Termasuk menciptaan pestisida alami, pupuk alami, serta penemuan
berbagai varietas benih baru.
Hadir mewakili teman-teman mereka di desa,
enam orang petani diminta tampil ke atas penggung. Pentolan mereka adalah
Warsyiah, lelaki 57 tahun, asal Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten
Indramayu. Pria yang hanya tamat sekolah dasar tersebut menjadi salah satu
motor dalam menggalang gerakan pertanian mandiri di lingkungan Kabupaten
Indramayu dan sekitarnya.
Bermodal pengetahuan sekedarnya yang didapat
dari program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Tanaman (SLPHT) yang
diselenggarakan Bappenas pada tahun 1990-an, Warsiyah memulai eksperimennya. Ia
dan sejumlah kawannya alumni program tersebut dengan tekun melakukan berbagai
penelitian soal tanam-menanam padi.
Sekitar periode 1998, keberhasilan mereka
meramu iinsektisida dan pupuk organik menguatkan kepercayaan diri mereka untuk
melakukan lebih banyak percobaan. Saat itu, Warsiyah dan kawan-kawan sukses
mengoplos kecubung, kencing sapi dan kencing kambing untuk insektisida, serta
limbah buah-sayur dan kotoran sapi untuk pupuk organik. Sejak saat itu, berbagai
bahan lain semakin banyak ditemukan untuk menciptakan bermacam pestisida juga
pupuk yang ampuh. Hal itu membuat mereka berhasil meninggalkan sama sekali
pestisi dan pupuk kimia.
Tahun 2002 Warsiyah dan 40-an anggota IPPHTI
Indramayu mendapat kesempatan mengikuti Sekolah Pemuliaan Tanaman
Parsitipatoris (SPTP). Program tersebut difasilitasi LSM internasional,
Farmer’s Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (Field). Dari
sana, Warsiyah dan rekan-rekan mendapat pengetahuan soal silang-menyilang padi
untuk menemukan varietas baru. Sejak saat itu mereka berhasil memproduksi
varietas padi baru, bahkan menemuakan kembali jenis-jenis padi lokal yang
banyak dilupakan.
Dengan tulus, para petani tersebut menyebarkan
ilmu bertani kepada sesama petani, tanpa pernah menuruti nafsu serakan untuk
menguangkan hasil-hasil penemuan mereka. Dalam perjalanannya, perjuangan
menegakan kemandirian kultur bertani yang digalakkan Warsiyah dan rekan-rekan
tidaklah mudah.
Para bandar pestida, pupuk, dan benih menjadi
penentang yang hebat bagi gerakan mereka. Alih-alih membela, pemerintah
setempat tak jarang malah menjadi agen-agen perusahaan sarana produksi
pertanian yang turut menekan mereka. Namun Warsiyah dan rekan-rekannya tetap
teguh di jalan mereka untuk mewujudkan upaya kemandirian bertani lewat cara
yang alami dan sederhana.
Keberhasilan komunitas petani tersebut dalam
membangun kultur pertanian mandiri mendapat apresiasi dari Organisasi Pangan
Dunia (FAO) PBB. FAO menganggap IPPHTI sebagai slah satu kelompok petani yang
berhasil mengembangkan paradigma petani baru yang siap mengantisipasi perubahan
iklim dan pemanasan global.
Karena kesungguhannya, Warsyiah yang dianggap
paling cakap di antara kelompok lainnya, mulai November 2013 terpilih menjadi
salah satu penyuluh pertanian FAO. Warsiyah kini mengemban misi mendidik para
petani di berbagai daerah untuk beralih pada model pertanian yang aman dan
ramah lingkungan. Kelompok-kelompok binaan Warsiyah yang berjumlah 25-27 orang
sudah tersebar di berbagai desa di Indramayu, bahkan hingga ke luar kota.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
Foto: totoutart.org |
Akar sejarah hip hop bisa ditarik mulai periode 1940-1950, ketika sejumlah musisi kulit hitam Amerika Serikat (AS) mereka-reka efek suara sound system dan bernyanyi memainkan kata-kata dengan tempo cepat. Sejak saat itu, hip hop terus berkembang dari sekedar ekspresi musik menjadi sebuah budaya.
Belum ada argumen
yang kuat menjelaskan asal-usul istilah “hip hop”. Konon, hip hop mula-mula dikenal sebagai
improvisasi yang dilontarkan ketika musisi kulit hitam bernyanyi. Secara
etimologis, ada yang menyebut istilah ‘hip’
mengacu pada kosakata slang Bahasa Inggris Afrika-Amerika yang berarti sadar
atau mengetahui, sementara ‘hop’
adalah kata Bahasa Inggris yang bermakna lompatan. Atau kurang lebih bisa
dimaknai melompat dan bergerak secara sadar.
Dekade 1970 istilah
“hip hop” muncul di Bronx Selatan, pinggiran New York, sebagai gerakan budaya
yang diperkenalkan Clive “Kool Herc” Campbell. Kool Herc merupakan imigran asal
Jamaika yang kelak dikenal sebagai bapak hip hop. Herc dan rekan-rekan di
komunitasnya mengembangkan minat terhadap aktivitas emceeing (bernyanyi rap), breakbeats
(musik elektronik), serta kerap menjadikan musik tersebut sebagai hiburan dalam
pesta-pesta rumahan (house party).
Pada periode yang
sama, terinspirasi oleh Kool Herc, tokoh hip hop lainnya, Afrika Bambaataa,
mendirikan komunitas bernama Universal Zulu Nation. Kelompok tersebut
menjadikan hip hop sebagai media mengurangi budaya kekerasan dan kehidupan gang
di kalangan remaja pinggiran, khususnya kaum miskin kulit hitam.
Lahir dan berkembang
dari kalangan para imigran pinggiran, generasi awal musisi hip hop banyak
memasukan isu-isu sosial-politik dalam lagu-lagu mereka. Pada 1980-1990-an,
kelompok Young Black American menjadikan hip hop sebagai media kampanye dalam
gerakan HAM. Dari sana hip hop banyak ditentang kaum konservatif karena
dianggap menyulut kekerasan dan pelanggaran hukum.
Sejak kemunculannya
pada dekade 1970, budaya hip hop terus berkembang. Dalam perjalannya, berbagai subkultur
lahir dari budaya hip hop, di antaranya musik rap DJ, breakdance, grafiti,
beatbox, serta kostum kedodoran yang khas
. Sifatnya yang ringan sekaligus progresif membuat budaya hip hop dengan
mudah diterima oleh kaum muda di seluruh dunia.
Musik hip hop
disebut berakar pada musik funk, disco, rhytmn and blues atau RnB, serta
mendapat pengaruh dari sejumlah aliran musik lainnya, termasuk musik-musik
daerah Afrika yang dibawa para imigran kulit hitam. Bersamaan dengan tumbuh dan
berkembangnya musik hip hop, tari hip hop juga hari ini begitu digemari kaum
muda di dunia. Tari hip hop adalah ekspresi gerak dinamis, yang dikembangkan
dari dari gerakan street dancing,
tarian Afrika-Brazil, seni bela diri Asia, dan tarian rakyat Russia.
Hip hop hari ini
menjadi salah satu budaya besar di dunia. Di satu sisi, hip hop kini semakin
mapan sebagai komoditas industri hiburan. Di sisi yang lain, tradisi kritis hip
hop masih dilajuntkan oleh sebagian kelompok kaum muda, termasuk berperan dalam
memberikan sokongan kultural pada gerakan Musim Semi Arab atau Arab Springs beberapa
tahun lalu. Sebagai budaya, hip hop ibarat kembang api yang tak pernah padam. Terus memercikan warna-warni bunga api yang semarak dan meninggalkan kesan.
Menikmati Hip Hop
Rasa Perancis
Foto: frequence-sud.fr |
Budaya hip hop memang lahir dan besar di
Amerika Serikat (AS). Namun universalitas nilai yang terkandung di dalamnya
membuat kultur tersebut dengan mudah diterima dan digandrungi masyarakat di
hampir seluruh belahan dunia. Hip hop kini berkembang semakin kaya di berbagai
negara, tak terkecuali di Perancis, negeri yang selama ini dikenal dengan
tradisi seninya yang adiluhung.
Selasa, awal Juni 2014, lewat penampilan
kelompok penari Pockemon Crew, publik Jakarta berkesempatan menikmati hip hop yang
dibawakan para penari asal Perancis. Bertempat di Gedung Kesenian Jakarta
(GKJ), grup pernari hip hop asal Kota Lyon tersebut diboyong Insitiut Perancis
Indonesia (IFI) untuk menampilkan tarian kreasi baru mereka yang diberi judul
“Silence on Tourne!”.
Dibawakan oleh sembian pemuda, “Silance on
Tourne!” mengangkat dua latar cerita, yakni sejarah hip hop dan sejarah sinema.
Dua tema tersebut dijalin menjadi sebuah alur yang membentuk cerita. Tema
sejarah hip hop menyuguhkan kehidupan dan suasana pinggiran New York tahun
1940-1950-an, periode yang menjadi tonggak kelahiran kultur hip hop dari
kalangan para imigran Afrika dan kaum Hispanik. Dalam tema sejarah sinema,
penonton diajak merasakan atmosfir kota asal para penari, Lyon, tahun 1940-an,
babak yang dianggap menandai lahirnya dunia sinematografi modern.
Berbagai koreografi memukau mereka peragakan
membawakan cerita, lengkap dengan konflik dan sisipan adegan komedi yang
membuat hadirin tertawa. Atraksi-atraksi dari sejumlah genre tarian hip hop
mereka pertontonkan, mulai dari b-boying, yakni gerakan meliuk-liukan
badan dengan posisi tangan dan kepala di lantai, locking, yaitu tarian
berdiri dengan kaki bergerak maju-mundur dengan iringan musik funk, hingga popping,
alias gerakan kaku bergaya robot.
Semua gerakan tersebut mereka bawakan, dari
mulai dengan teknik sederhana hingga gerakan-gerakan baru yang jarang dilihat
dalam pertunjukan tari hip hop pada umumnya. Tak jarang atraksi memukau
dihadirkan secara mengejutkan. Sebagai contoh, dalam suasana hening, tiba-tiba
seorang penari salto berjumpalitan dari belakang layar, lalu ditangkap dengan
akurasi yang sempurna oleh rekannya yang berada di panggung.
Dengan kostum khas periode 1940-150-an,
seperti kemeja dengan bretel atau topi pet, para penari membawakan peran
masing-masing. Salah satu babak misalnya menghadirkan drama perseteruan para
pekerja hotel dengan tuan-tuan kaya tamu mereka. Cerita itu bisa ditafsirkan
berlatar sejarah hip hop di Amerika yang memang lahir dari kelompok sosial
pinggiran.
Sementara babak lain menghadirkan gerak
artistik salah seorang pemain dalam suasana gedung pertunjukan sinema jaman
dulu, lengkap dengan proyektor yang menembak pada layar serta tata suara jadul
yang khas. Dia menari memperminkan siluet tubuhnya di layar. Penonton pun
bersorak menikmati pertunjukan solo sang penari.
Musik pengiring direka begitu kaya. Tak hanya
rap atau musik elektronik, ada juga iringan jazz big band, funk, juga piano
tunggal. Panggung pertunjukan ditata mewakili tema, dengan properti yang tak
hanya menjadi hiasan, tetapi juga mendukung koregrafi, seperti tangga atau rel
kamera. Tata cahaya pun dimanfaatkan betul untuk memberikan efek kejut.
Sewaktu-waktu lampu bisa menyorot tempat yang tidak terduga menandai kehadiran
penari.
Sebagai pertunjukan atraktif yang penuh dengan
risiko kesalahan, nyaris tak terlihat sama sekali cela dalam suguhan seni
tersebut. Semarak tepuk tangan dan elu-elu hadirin menggema di akhir
pertunjukan. Alih-alih meninggalkan ruangan, ada-ada saja, sejumlah remaja
meneriakan permintaan agar para penari tampil kembali. “We want more,
we want more...,” teriak mereka.
Cat.: tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Juni 2014
Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota
Foto: Komunitas Salihara |
Pemuda 30 tahunan itu menyandarkan tubuhnya yang kurus pada tiang-tiang besi di suatu sudut kota. Bercelana jins, mengenakan kaos lusuh, air wajahnya menyiratkan kelelahan panjang dan kepasrahan menghadapi hari depan. Rambutnya yang panjang dan kusut, serta larik-larik tato di tangan kiri-kanannya ibarat sebuah pengakuan atas perjuangan kerasnya mempertahankan hidup di jalanan kota.
Bertrand Meunier
Foto: Komunitas Salihara
|
Adegan di atas terrekam dalam salah satu foto
jepretan fotografer Perancis Bertrand Meunier, yang dipamerkan di Galeri
Salihara, Jakarta Selatan, 25 Mei-10 Juni, 2014. Mengangkat tema “Hub Side
Down”, pameran tersebut menghadirkan puluhan foto hitam-putih berlatar
kehidupan orang-orang pinggiran di lima kota besar dunia, yakni Hong Kong,
Bangkok, Tokyo, Shanghai, dan Jakarta.
Di ruang pameran yang bergaya melingkar,
foto-foto Meunier dicetak dalam ukuran besar. Gambar-gambar tersebut
dikelompokan dalam beberapa bagian yang mewakili subtema yang serupa. Foto pria
bertato yang diceritakan sebelumnya, sebagai misal, bersandingan dengan dua
gambar sosok lainnya. Satu adalah foto seorang pemuda yang tengah duduk melamun
di emperan toko sambil memainkan bibirnya, yang lainnya adalah gambar seorang
nenek berwajah kepayahan tengah berjalan meninggalkan hiruk-pikuk cafe-cafe
tenda.
Berbagai subtema ditampilkan dengan
mencampurkan berbagai foto yang diambil dari kota-kota berbeda. Si pemuda
bertato sepertinya adalah orang Indonesia, diduga begitu karena pada kaosnya
bertuliskan “Republik Malioboro”. Pemuda di emperan toko juga terlihat berwajah
Indonesia, atau mungkin juga Thailand. Sementara si nenek tampaknya berasal
dari Shanghai atau Hong Kong, terlihat dari dandanannya yang cenderung modis
dan latar belang cafe-cafe di belakangnya yang rapi.
Selain subtema ‘wajah’ dengan tiga sosok di
atas ada sejumlah subtema lain, salah satunya menghimpun foto-foto aktivitas
‘seorang’ warga kota dalam berbagai aktivitas. Ada seorang gelandangan tengah
mengemis mengenakan topeng, ada kuli dengan punggung penuh tato sedang duduk
beristirahat, ada seorang perempuan muda tidur tertunduk di bangku kereta, dan
beberapa gambar lainnya.
Ditemui dalam pembukaan pameran, Meunier, sang
juru foto mengatakan, gambar-gambar tersebut dia abadikan setiap kali dia
mengunjungi kota-kota besar tersebut. Selama sepuluh tahun mendatangi kota-kota
itu,kata dia, semakin resah jiwanya mencari jawaban, apa yang terjadi dengan
kota dan manusia-manusia tersebut.
“Apa sebenarnya yang kita cari? Apa artinya
hidup ini dengan ketimpangan sosial yang begitu mengganggu? Kebahagiaan seperti
apa yang kita mau? iPhone? Mall, atau apa?” ujar Meunier kepada saya dan sejumlah
wartawan lain.
Memerhatikan saksama foto-foto Meunier, jelas
persoalan teknis memotret menjadi topik yang tidak terlalu menarik
diperbincangkan. Berbagai pertanyaan filosofis yang dilayangkan sang juru foto
tanpa basa-basi langsung menghinggapi perasan para pengunjung yang hadir
mengapresiasi karya-karyanya.
“Kota boleh berbeda, tapi maslah sosial
ternyata sama. Lihatlah foto-foto mereka,” ujar Muenir menutup pernyataannya.
Foto: Bertrand Meunier |
Foto: Bertrand Meunier |
Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, April 2014.
Terpikat Pesona Golek Pesisiran
Foto: jakculture.com |
Menyaksikan pementasan wayang golek pesisiran, Sabtu malam pada akhir Mei 2014, menjadi keberuntungan tersendiri bagi sebagian kecil warga Jakarta. Bertempat di Gedung Kesenian Jakarta, satu setengah jam emosi penonton dibongkar-pasang. Dagelannya berhasil membuat hadirin terkekeh, begitupun lakonnya yang romantis sukses membuat pemirsa nelangsa.
Membawakan cerita "Jamaludin The Robber”, lima dalang bermain di atas panggung secara kolosal. Ilustrasi tari yang cantik, tata musik yang kaya, serta alur pertunjukan yang penuh kejutan menghadirkan sebuah kebaruan yang mengesankan. Cerita dan tembang disuguhkan dalam Bahasa Indonesia, membuat pertunjukan begitu renyah dinikmati.
Sang sutrada sekaligus dalang utama adalah Sri Waluyo (37), seniman pewayangan asal Tegal, jebolan Institut Seni Seni (ISI) Surakarta. Dengan latar belakang kedaerahannya, Sri Waluyo memboyong kekayaan tradisi Tegal ke atas panggung. Golek pesisiran yang dia mainkan tak lain merupakan pembaruan dari wayang golek cepak tegal yang telah ada sebelumnya. Lakon “Jamaludin The Robber” dia adaptasi dari babad rakyat Tegal. Sementara para pementas tampil dengan balutan batik khas Tegal dari desa Pangkah.
Lakon “Jamaludin The Robber” mengisahkan cerita sepasang kekasih Jamaludin-Sutijah yang kandas dipisahkan kasta dan kekuasaan. Diceritakan, Jamaludin, seorang pemuda miskin dari Pedukuhan Sembung, terliibat hubungan asmara dengan Sutijah, putri Raja Anggrengturna dari Kerjaan Kali Kemiri. Cerita tersebut konon merupakan kisah nyata yang terus hidup di tengah masyarakat Tegal.
Niat hati melamar pujaan, Jamaludin mendapat penolakan dan hinaan yang menyakitkan dari sang Raja. Terbakar dendam, si pemuda mengobarkan perlawanan. Dia menjadi begal yang merampok upeti-upeti yang hendak dipersembahkan untuk raja. Di saat yang bersamaan, hasil rampasan tersebut dia bagikan kepada kaum jelata. Aksi heroiknya membuat dia dicintai rakyat.
Dengan konsep pertunjukan teater, tata panggung dan pencahayaan dibuat tidak konvensional. Selain panggung layar utama, ada beberapa panggung layar tambahan di bagian belakang dan di kanan-kiri bagian depan. Dengan berdiri, dari pangung satu ke panggung lain para dalang berbagi peran memainkan golek-golek mereka dengan begitu hidup.
Alur pertunjukan benar-benar penuh kejutan yang sangat tidak terduga. Romantisme percintaan Jamaludin-Sutijah dikisahkan oleh narator dalam Bahasa Indonesia yang puitis. Sepasang golek Jamaludin-Sutijah di panggung wayang terkadang lesap, lalu digantikan Jamaludin-Sutijah versi manusia yang menari-nari dengan gemulai.
Dagelan dan parodi dihadirkan melalui anak-anak wayang tak bernama, memotret realitas keseharian masyarakat pesisir. Guyonan terkadang disisipi dengan istilah-istilah lokal, yang membuat sebagian hadirin (warga Tegal) tertawa lebih keras. Sosok golek berandalan, misalnya, dikisahkan dengan jenaka tengah menenggak botol miras lalu menutupnya dengan ucapan astagfirullah. “Biar aman, tetap di tengah-tengah, tidak masuk surga, tapi jangan juga masuk neraka” jawab dia ketika diumpat teman-temannya.
Di antara cerita Jamaludin-Sutijah tersisip berbagai pertunjukan atraktif. Bisa saja para dalang tiba-tiba keluar dari balik panggung layar dan menari-nari kocak di penggung depan. Musik pengiring dihadirkan dalam tangga nada diatonis, dengan aransmen tradisional-modern yang sesekali terdengar seperti komposisi jazz. Di badian-bagian lawakan, musik berubah heboh dengan gaya panturaan.
Diceritakan, perlawanan yang dilakukan Jamaludin telah membuat kerjaan kacau balau. Raja Anggrengturna akhirnya merelakan sang putri, Sutijah, untuk menerima cinta Jamaludin. Sebagai syarat, raja meminta putrinya membujuk Jamaludin menghentikan keonaran yang dia buat.
Namun semua itu ternyata hanya siasat licik si Raja. Anak panah melesat menghujam tubuh Jamaludin, ketika si pemuda sedang memadu kasih bersama pujaan hatinya. Kegaduhan menjadi hening, musik mengalun lembut. Di panggung layar, golek Jamaludin meregang nyawa dalam dekapan golek Sutijah. Di panggung depan, penari Sutijah menangis meratapi kepergian kekasih hatinya.
Tepuk tangan penonton bergemuruh di seluruh ruangan. Tim penampil yang lalu menghambur ke lobi gedung pertunjukan banyak mendapat berbagai pujian dari para tamu, termasuk beberapa orang asing yang meminta berfoto. “Bagus banget, Mas. Sering-sering dong main di Jakarta,” ujar salah seorang Ibu kepada sang dalang.
Di Balik Layar Golek Pesisiran
Foto: chich-id.com |
Berbagai bentuk kesenian tradisional kini mulai susah ditemui di tengah masyarakat. Dahulu desa dan perkampung rakyat adalah arena pentas seni-budaya leluhur. Kini, semua serempak berganti ingar-bingar budaya populer. Tak pelak lagi, kampus-kampus seni menjadi benteng pertahanan terakhir bagi kesenian tradisional.
Lebih dari sekedar menjaga, para cendekia jebolan kempus-kampus seni tersebut ternyata sanggup menghadirkan kebaruan dalam seni tradisional. Salah satu contoh adalah wayang golek pesisiran karya dalang muda Sri Waluyo, alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Keprihatinan terhadap terasingnya kalangan remaja dari pertunjukan wayang menjadi motivasi bagi Waluyo. Sejak tahun 2008, pria 37 tahun itu berupaya mewujudkan angan-angannya membuat sebuah pertunjukan wayang yang bisa dinikmati orang banyak. Kecintaannya pada tanah kelahiran, Tegal, Jawa Tengah, mendorong Waluyo untuk menggali tradisi dari kampung halamannya sendiri.
Semula, gagasannya membuat gebrakan dalam pertunjukan wayang banyak diragukan kawan-kawannya sesama dalang Tegal. Namun dengan ketekukan Waluyo, lahir juga kesenian yang dia inginkan, yang dia beri nama Wayang Golek Pesisiran. Wayang Golek Pesisiran dikembangkan Waluyo dari wayang golek cepak tegal, kesenian wayang yang telah ada sebelumnya.
Golek cepak tegal yang tadinya kecil dan bertelanjang dada, oleh Waluyo diperbesar hingga tiga kali lipat dan didandani dengan pakaian agar terlihat lebih gagah. Tema cerita golek cepak tegal yang berpusar pada kisah-kisah rakyat lokal dia pertahankan sebagai poin positif. Dengan begitu, cerita wayang di tidaknya kisah Ramayana atau Mahabarata.
Setelah beres dengan polesan pada golek dan urusan cerita, konsep pertunjukan baru dia reka. Tak cukup hanya satu dalang, Waluyo menciptakan pertunjukan kolosal dengan banyak dalang. Seperti yang dia pentaskan di gedung Kesenian Jakarta, mei 2014 lalu. Tak tanggung, lima dalang dia kerahkan membawakan cerita. “Saya, tuh suka nonton film kolosal. Jadi ketika saya main wayang, saya ingin orang seperti menonton film,” ujar Waluyo, ditemui seusai pementasan.
Dengan konsep pertunjukan teater, para dalang tidak duduk, melainkan berdiri di balik panggung layar sehingga bisa leluasa bergerak, bahkan menari-nari. Bahasa Indonesia digunakan Waluyo sebagai bahasa pengantar, dengan alasan biar lebih dekat dengan kalangan lebih luas. Tak kalah penting, gamelan yang bernada pentatonis dia ubah menjadi diatonis. Dia beralasan, nada diatonis lebih akrab di telinga pemirsa.
Tak cukup sampai di situ, pertunjukan dia ramu dengan tari-tarian, dengan didukung oleh tata panggung dan pencahayaan yang tidak konvensional. Walhasil, jadilah pertunjukan Wayang Golek Pesisiran begitu menghibur. Satu setengah jam pertunjukan berhasil mengusir stigma pertunjukan wayang yang membosankan. “Target saya sederhana, anak muda tahu wayang dan tahu gamelan, syukur-syukur mereka mau sekolah dan belajar itu,” kata Waluyo menutup percakapan.
Cat.: Tulisan ini, dengan penyuntingan redaktur, pernah terbit di Harian Republika, April 2014.
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Maret
(22)
- Keroncong, Sejarah Panjang Akulturasi Budaya
- Surga Pewayangan Bernama Indonesia
- Mencuci Pakaian dari Zaman ke Zaman
- Ramai-Ramai Fotografi Jalanan
- Gandrung, Seni Tari Berbalut Mitologi
- Ragam Seni Lakon Petani
- Hip Hop, Kembang Api yang tak Pernah Padam
- Cara Fotografi Menggugat Peradaban Kota
- Terpikat Pesona Golek Pesisiran
- Jawa dalam Peta Teh Dunia
- Fin Komodo, Ketangguhan Mobil Patriotik
- Kopi Jawa di Takhta Dunia
- 100 Tahun Ismail Marzuki
- Kanvas Protes Yayak Yatmaka
- Menengok PDS HB Jassin, Sebuah Museum Sastra
- Ketika Mahluk Galaksi Hebohkan Jakarta
- Perjalanan Mudah dan Murah Ala Backpacker
- Mengudara ke Zaman Radio
- Tersenyum Bersama Barang Jadul
- Balada Ojek Ibu Kota
- Orang Manggil Saya ‘Ibrahim Belalang’
- Sabtu Sore di Taman Suropati
-
▼
Maret
(22)