Rumah Munir, Sepuluh Tahun Setelah Dia Pergi


Foto: Andi Nurroni
Ahad, 7 September 2014, rumah dua lantai di Jalan Bukit Berbunga, Kota Batu, Jawa Timur, mendadak riuh. Tenda, kursi, serta panggung tertata di halaman bak dekorasi pesta perkawinan. Tapi orang-orang di sekitar tahu belaka itu bukan perayaan pernikahan.
Rumah tua di pinggir jalan itu milik Munir Said Thalib, pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) yang kini sudah almarhum. Sepuluh tahun lalu, 7 September 2004, pria kelahiran Malang 1965 itu ditemukan tak bernyawa dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam.

Pada 7 September tahun ini, persis satu dekade dia berpulang. Para pegiat HAM, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa dan banyak kalangan lainnya memperingati hari bersejarah tersebut. Di Kota Batu, kawasan wisata berhawa sejuk dekat Kabupaten Malang, peringatan berlangsung di rumah Munir.

Rumah tua itu tak lagi menjadi hunian sejak Istri Munir, Suciwati, merelakannya menjadi ruang publik pada Desember 2013. Rumah itu kini bernama Omah Munir. Sebuah museum kecil bertema HAM yang secara khusus didedikasikan mengenang sosok dan pemikiran Munir.

‘Omah’ dalam bahasa Jawa berarti rumah.  “Kalau namanya museum terkesannya tua dan dingin. Kalau ‘omah’ itu kan jadi terasa seperti tempat tinggal yang hidup,” ujar Nong Darol Mahmada, salah satu pentolan relawan.

Omah Munir menyajikan berbagai informasi tentang Munir dan isu HAM di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan Munir.  Sosok Munir, ditampilkan dalam berbagai media. Ada sejumlah panel poster berisi info grafik, foto, patung, serta video. Selain itu, dipajang juga berbagai benda memorabilia, dari mulai sepatu, jam tangan, hingga rompi antipeluru.

Dibandingkan peringatan serupa di sejumlah kota, baik di dalam maupun luar negeri, acara menganang satu dekade Munir di kediamannya terbilang istimewa. Cukup banyak pesohor dari Jakarta menyempatkan hadir. Sebut saja budayawan Butet Kertaradjasa, duet sineas Riri Riza dan Mira Lesmana, penyanyi Glenn Fredly, komika Ernest Prakasa dan kawan-kawan, serta sejumlah wajah layar kaca lainnya.

“Munir Ada dan Berlipat Ganda” begitu bunyi tema kegiatan tersebut, seperti tertulis dalam spanduk yang menjadi latar panggung. “Jika Anda bertanya siapa itu Munir, pulang dan bercerminlah. Anda adalah Munir. Anda yang memperuangkan kehidupan adalah Munir,” ujar Vincent, pegiat HAM yang didaulat mencjadi pemandu acara.

Kampanye “melawan lupa” yang terus digaungkan rekan-rekan Munir dan para pegiat HAM di Tanah Air terbukti tak sia-sia. Di salah satu sudut di Omah Munir, saya bertemu Zeze dan Bai. Keduanya adalah mahasiswa Universitas Brawijaya Malang, kampus almamater Munir.

Sebelum berkuliah, Zeze mengaku tak mengenal sama sekali Munir. “Pertama kali tahu Munir itu tahun 2012. Waktu itu banyak mahasiswa berdemonstrasi di jalan. Oh, baru saya tahu, mereka memperingati meninggalnya Munir,” ujar dia.

Sejak tahu tentang Munir, Zeze tak lantas menjadi aktivis atau demonstran. Dia malah mengaku tidak terlalu simpatik dengan demonstrasi. Zeze tetap hanya mahasiswa biasa yang belajar, pulang dan main bersama kawan-kawannya.

Meski begitu, perempuan berkerudung itu mengaku, sosok Munir adalah teladan yang bisa menjadi contoh. “Ya, kita harus peduli sama sesama. Misal kalau teman saya perlu bantuan, saya akan mengusahakan untuk membantu,” ujar dia sambil melirik kawannya yang menyungging senyum.

Pendapat lebih ‘politis’ diutarakan Fajar (24). Fajar adalah salah seorang komika asal Malang yang tampil menghibur hadirin dengan lelucon bermuatan isu politik dan HAM. Bagi Fajar, Munir mengajarkan satu pesan, bahwa HAM adalah mutlak menjadi milik setiap orang. “Tapi harus ingat, hak orang lain adalah batasan dari hak kita,” ujar dia.

Ahad sore itu, Omah Munir didominasi wajah muda-mudi. Jumlahnya ratusan, hingga meleber tak tertampung kursi dan tenda. Di dalam, museum kecil Omah Munir juga disesaki pengunjung. Sebagian sibuk mengambil gambar berlatarbelakang replika, patung dan foto-foto Munir.

Beruntunglah mereka. Generasi muda yang telah berkenalan dengan sosok dan pemikiran Munir. Merekalah adalah tunas-tunas Munir yang kini tersebar di seluruh penjuru negeri. Sementara itu, Suciwati, pejuang HAM yang juga istri almarhum Munir, tampak sibuk hilir-mudik menyapa orang-orang. Saya tak menyia-nyiakan kesempatan begitu melihat Ibu dua anak itu lepas dari kerumunan orang.

Singkat saja Suciwati memberi komentar. Seperti biasa, air wajahnya selalu emosional jika diminta berpendapat soal tragedi yang merengggut suaminya. “Boleh saja pemerintah tidak peduli, tapi masih banyak rakyat yang akan menyuarakan ini. Tak hanya di di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia. Kami akan menagih sampai kapanpun,” ujar dia.  

Cat.: Tulisan ini pernah terbit di Harian Republika, 8 September 2014. 


POSTED BY
POSTED IN , ,
DISCUSSION 0 Comments

Leave a Reply