Bayangan Sukarno di Rumah HOS Tjokro
Foto: Wikipedia/KITLV |
“Kamarku tidak pakai jendela sama sekali. Dan tidak berpintu. Di dalam sangat gelap, sehingga aku terpaksa menghidupkan lampu terus-menerus sekalipun di siang hari.”
Begitu Sukarno menceritakan kisahnya semasa indekost di rumah HOS Tjokroaminoto. Cerita itu ia tuturkan kepada penulis biografinya, Cindy Adams.
Hunian yang diceritakan Sukarno itu hingga kini masih terjaga dan diabadikan sebagai cagar budaya. Bangunan
sederhana itu terletak di Gang Peneleh VII, Surabaya. Di sana, Sokearno, atau
dahulu masih bernama Koesno Sosrodihardjo, dititipkan ayahnya untuk ‘mondok’ di tempat tokoh pergerakan HOS Tjokroaminoto. Sukarno kala itu tengah menempuh pendidikan Hogere Burgerlijks School (HBS). Pada 1916 saat itu, usianya baru 15 tahun.
Bertamu
ke rumah HOS Tjokro suatu sore di akhir Februari 2015, saya menelusuri cerita
Sukarno tentang rumah tersebut. “Kalau dari perkataan Pak Karno, kemungkinan
sih kamar dia di sini,” ujar Eko Hadiratno, penjaga rumah, menunjukan ruangan
yang kami jejak.
Eko
bercerita, selain berdasarkan cerita Seokarno, jejak sang Proklamator itu di
rumah tersebut juga ditunjukan oleh sebuah foto. Pose Seokarno bergambar di
bawah pohon belimbing diyakini Eko berada di halaman belakang rumah tersebut.
Sayang, halaman belakang itu kini telah hilang dan tersekat benteng sekolah.
Di
rumah itu, Sukarno muda mulai mengasah wawasan politik dan pengetahuan tentang
gerakan sosial. Sementara sekolah menyediakan pelajaran formal sebagai latar
pengetahuan umum, pelajaran politik dia dapat dari HOS Tjokroaminoto, sang
bapak kost yang tak lain adalah ketua Sarikat Islam. Organisasi itu, pada
zamannya merupakan perkumpulan pribumi terbesar beranggotakan 2,5 juta orang.
Tak
hanya Sukarno, sejumlah pemuda indekost lainnya juga mendapatkan
gemblengan HOS Tjokro. Beberapa di antaranya, kelak berseberangan jalan dengan
Sukarno, bahkan dengan sang guru sendiri. Mereka adalah Semaoen, Muso, Alimin
dan Darsono yang kemudian menjadi pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Sementara, pemuda lainnya, yakni SM Kartosuwijo, di masa tuanya menyatakan
perang terhadap Republik Indonesia dan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia.
Di
rumah itu pula, Sukarno mengenal tokoh-tokoh pergerakan lainnya yang kerap datang
bertamu. Mereka di antaranya adalah Tan Malaka, KH Agus Salim, Suwardi
Suryadiningrat (Ki Hadjar Dewantara), pentolan Perhimpunan Sosial-Demokratik
Hindia (ISDV) Henk Sneevliet, dan masih banyak lagi.
Di
kamar kost-nya yang pengap itu, di depan cermin, Seokarno muda gemar berlatih
orasi. Dia mengaku terilhami oleh perkataan HOS Tjokro, demimenjadi orang
besar, pemuda harus menulis seperti wartawan dan berbicara seperti orator.
Polah
Sukarno yang gemar teriak-teriak itu, terkadang membuat kawan-kawannya
jengkel. Di antara mereka, Kartoseowirdjo yang merupakan kawan karibnya sering
menyebutnya orang gila karena hobi berbicara sendiri. Sementara dari Muso yang
berusia empat tahun lebih tua, Sukarno mengaku belajar tenatang Marxisme.
Tahun
1921, ketika berusia 20 tahun, Sukarno dinikahkan HOS Tjokro dengan putri
sulungnya, Siti Oetari. Ketika itu, sang gadis yang juga menjadi rebutan para
pemuda indekost masih berumur 16 tahun. Pascapernikahan mereka, sang
mertua pidah rumah ke daerah Plampitan, yang berjarak tak jauh dari Peneleh.
Sayang,
pernikahan Sukarno dan Oetari tak bertahan lama. Begitu lulus HBS dan
melanjutkan pendidikan ke Tecnische Hogeschool (kini ITB) di Bandung, pada
1923, Sukarno mengembalikan Oetari pada ayahnya, HOS Tjokroaminoto. Konon,
sejak semula, keduanya sudah tak saling cinta. Dan pernikahan itu, mereka
lakukan untuk menyenangkan HOS Tjokro.
Setelah
menjadi presiden, Sukarno pernah pulang ke Gang Peneleh VII. Di depan rumah
joglo itu, dia mengumpulkan warga dan mengajak mereka diskusi tentang berbagai
hal. Cerita itu disampaikan Eko, penjaga rumah yang juga Ketu RT. “Nenek saya
pernah cerita begitu. Makanya, orang-orang tua sampai sekarang nyebut rumah
ini, ya Rumah Pak Karno,” kata dia.
Di
rumah itu, yang disembunyikan rapat sepanjang sejarah Orde Baru, Sukarno
melewati babak penting dalam sejarah hidupnya. Rumah itu kini bukan hanya
menjadi bagian sejarah presiden pertama Indonesia bernama Sukarno. Sejarah itu
hari ini telah menjadi warisan bangsa yang wajib dilestarikan.
Sejarawan
Surabaya Dukut Imam Widodo berharap, situs rumah HOS Tjokroaminoto yang masih
sepi pengunjung itu terus dikembangkan. “Paling tidak ada perpustakaan atau
ruang pemutaran film. Jadi orang punya banyak alasan untuk datang dan betah
lama di sana,” ujar dia.
Suatu Sore di Rumah HOS Tjokro
Rumah HOS Tjokroaminoto. Foto: Andi Nurroni |
Ashar hampir menjelang ketika saya
berhasil menemukan rumah tua berpagar hijau itu di Gang Peneleh VII, Surabaya,
akhir Februari lalu. Penampakan rumah joglo dari akhir abad ke-19 itu persis
seperti saya lihat di catatan blog sejumlah peminat wisata sejarah.
Itulah rumah peninggalan HOS Tjokroaminoto, seorang bapak bangsa yang namanya kini banyak diabadikan menandai jalan-jalan protokol di negeri ini. Tak hanya HOS Tjokro, hunian sederhana itu juga memiliki ikatan sejarah dengan sejumlah tokoh politik penting zaman pergerakan. Sebut saja Sukarno, Semaun, Muso, dan Kartosuwirjo.
Di rumah itu, Sukarno indekost selama beberapa tahun sejak 1916, semasa dia bersekolah di Hogere Burgerlijks School (HBS). Tak hanya menyewa kamar, Soekarno dan kawan-kawannya yang kelak menjadi tokoh-tokoh penting mendapatkan wawasan politik, pergerakan sosial, hingga ilmu agama dari sang bapak kos, HOS Tjokroaminoto. Ketika, ia sudah memimpim perhimpunan Sarekat Islam.
Melihat pintu pagar tumah itu disegel gembok, rasa senang saya menjadi tercampur waswas. Sementara, gang yang tak seberapa lebar tempat rumah itu berdiri saya dapati sepi. Hanya kain bendera dujung tiang yang bergerak-gerak tersibak angin. Beberapa menit saya tertegun mencari orang untuk dimintai tanya.
Memasuki gang, seorang bapak turun dari sepeda motornya, lalu mendorong kuda besinya itu hendak melintas di depan saya. Oh, rupanya pengendara sepeda motor harus turun jika memasuki gang dan melintas di rumah itu—hal yang tidak saya lakukan sebelumnya. Peringatan itu, kemudian saya lihat dari jauh terpasang di pintu gerbang gang. Dari si Bapak, saya diberi petunjuk ke mana harus menemukan sang penjaga rumah.
Berjalan ke ujung gang hingga seratus meter jauhnya, saya menemukan rumah sang penjaga, Eko Hadiratno. Pria 40-an tahun yang dipercaya mengelola rumah HOS Tjokro itu adalah Ketua RT di lingkungan setempat. “Silakan masuk,” ujar dia ramah, setiba kami di joglo HOS Tjokro.
Memasuki rumah berukuran sekitar 13 x 9 meter itu, saya merasa diserbu berbagai bayangan sejarah. Meja-kursi kayu lawas, bufet, meja rias, foto-foto, benda-benda itu satu per satu menarik saya untuk mendekat. Gambar-gambar HOS Tjokro dalam berbagai suasana, juga foto-foto Sukarno dan yang lainnya, dipasang di sepanjang dinding rumah. “Foto-foto ini sebagian didatangkan dari Belanda,” ujar Eko yang menyertai langkah saya.
Memasuki joglo itu, pengunjung akan menemukan beberapa ruangan. Ruangan utama, tempat meja-kuris kayu diletakkan, adalah ruang tamu. Melewati lorong menuju bagian belakang, di kanan-kiri terdapat ruangan. Ruangan di sebelah kanan terlihat jelas seperti kamar, lengkap dengan daun pintu yang masih tersisa.
Di kamar itu, tergantung logo Partai Sarikat Islam Indonesia dalam bingkai besar. Menurut Eko, itulah benda paling bernilai yang diwanti-wanti pihak ahli waris untuk dijaga benar-benar. Sementara, ia melanjutkan, perabot dan barang-barang lain, sebagian besar ditambahkan sebagai pelengkap. Barang-barang asli sendiri, menurtu dia, sudah tidak jelas rimbnya, sejak rumah tersebut dijadikan tempat kost, hingga tahun 1998.
Eko bercerita, tata ruang di rumah tersebut adalah hasil dari beberapa kali pemugaran. Sejumlah dinding penyekatdi bagian depan dan tengah, kata dia, terpaksa dihilangkan agar rumah lebih leluasa menerima pengunjung.
Di belakang, masih ada satu ruangan lain. Ruangan itu juga menjadi akses untuk menemukan ruangan lainnya di bagian atap. Menaiki anak-anak tangga dari besi, saya menghadapi ruangan paling luas di rumah tersebut. Berukuran sekitar 10 x 5 meter, ruangan itu berdipan kayu dan hampir tak berjarak dengan atap.
Eko sendiri mengaku kurang yakin peruntukan ruangan tersebut. Berdasarkan pengakuan Sukarno, bahwa pemuda yang indekost hingga 30 orang, kemungkinan ruang tersebt disekat untuk kamar-kamar tidur.
Puas menjelajah setiap bagian rumah, Eko mengundang saya duduk di ruang tamu. Berbagai pertanyaan saya ajukan, setelah sebelumnya menyetel ponsel untuk merekam cerita dia. Mengawali kisahnya, Eko menyampaikan, sebelum tahun 1996, rumah HOS Tjokro boleh disebut ‘hilang’.
Sejarah joglo itu, kata dia, dirahasiakan keluarga HOS Tjokro, begitupun keluarga Soenarjo, warga kampung yang dititipi kunci. Menurut Eko, hingga kunci dipegang anak perempuan Soenarjo yang bernama Ema, sejarah rumah tersebut masih disimpan rapat-rapat. “Sepertinya karena alasan politik, waktu itu kan masih jaman Orde Baru, segala sesuatu yang berbau Sukarno tidak aman,” kata Eko.
Baru pada 1996, Eko bercerita, puteri Sukarno, Sukmawati membuka sejarah rumah tersebut kepada publik. Bersama dengan itu, Eko bercerita, kepemilikan rumah tersebut juga diserahkan kepada Pemkot Surabaya, dengan harapan menjadi cagar budaya.
Eko bercerita, perbaikan situs bersejarah tersesbut dilakukan secara berkala, terutama dalam tiga tahun terakhir. Genting dan flafon yang dulu bocor, kata dia, telah diperbaiki. Begitu juga dengan pengadaan berbagai bukti dokumentasi, seperti foto. Termasuk, perabot dan fasilitas penunjang, seperti perangkat audio untuk memeutar lagu-lagu perjangan.
Meski telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan dipugar beberapa kali, menurut Eko, promosi rumah tersebut sebagai situs wisata sejarah masih kurang. Bahkan, kata dia, satu hari bisa sama sekali tidak ada yang datang berkunjung. Ia berharap, ke depan rumah tersebut terus disempurnakan, termasuk menyediakan pemutaran film dan menyediakan suvenir.
Berada satu jam di sana, langit semakin mendung ketika saya pamit untuk pulang. Senyum Eko yang ramah menyertrai saya mendorong sepeda motor menuju gerbang di depan sana.
Cat.: tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, Maret 2015
Transmigrasi, Ketika Harapan Terbentur Kenyataan (Bagian 5-Habis)
Keluarga transmigran. Foto: Andi Nurroni |
Lebih dari satu abad berlalu sejak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda memulai program transmigrasi di Nusantara pada 1905. Sejak saat itu, program pemindahan penduduk atas nama pemerataan pembangunan dan upaya mengurai kepadatan populasi itu berlanjut hingga hari ini.
Program
transmigrasi digadang-gadang telah berhasil mendorong kemajuan banyak daerah di
luar Pulau Jawa yang dahulu tertinggal. Meski begitu, kisah transmigrasi
ternyata tidak semuanya tentang keberhasilan. Semakin kemari, berbagai
persoalan mengemuka, mulai dari konflik transmigran dengan warga setempat,
perselisihan dengan perusahaan perkebunan, hingga prilaku curang onkum
birokrat.
Jumat,
21 Agustus lalu, Pemerintah Jokowi-JK, melalui Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, memberangkatkan rombongan transmigran
pertama di era Kabinet Kerja. Sebanyak 30 keluarga dari Jawa Timur dan Jawa
Barat dilepas dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah.
Demi
memahami lebih banyak tentang isu transmigrasi di Indonesia, saya turut serta
dalam rombongan. Melalui catatan-catatan sebelumnya, saya telah
meceritakan suasan perjalanan, profil para transmigran, suasana kampung
transmigran di daerah tujuan, serta potret keberhasilan transmigrasi. Melalui
tulisan terakhir ini, saya ingin menyampaikan beberapa temuan masalah dalam
program transmigrasi yang saya jumpai di lapangan.
Sabtu,
22 Agustus, atau malam kedua perjalanan kapal yang kami tempuh, seorang ibu
datang menghampiri kami. Saat itu, saya dan beberapa pendamping transmigran
sedang mengobrol santai di atas ranjang kami yang berimpitan. Si ibu
menghampiri Imam Koedhori, pendamping dari Disnakertrasduk Jawa Timur. Ibu itu
mengaku sebagai transmigran yang tempo hari pernah Koedhori antar.
Ibu
51 tahun itu mengenalkan diri bernama Sri, transmigran asal Bojonegoro, Jawa
Timur. Ia menyebut diberangkatkan pada tahun 2012 silam, dengan tujuan daerah
penempatan di Kecamatan Mopu, Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Sekilas,
Koedhori tampak merenung mencari rekamanan sosok Sri di kepalanya.
Namun,
ia lalu menyerah dan meminta maaf karena tidak mengingat tentang Sri secara
spesifik. Meski begitu, Koedhori sepakat bahwa tahun itu, ia memang mengantar
rombongan dengan tujuan Kabupaten Buol, seperti disebutkan Sri. Setelah sedikit
percakapan basa-basi, akhirnya Sri mengutarakan maksud kedatangannya.
Sri
bercerita, saat ini ia dan teman-temannya di daerah penempatan sana, tengah
mengalami kesuilitan. Sudah hampir tiga tahun mereka mengikuti program
transmigrasi di sana, mereka tidak kunjung menerima 2 hektare tanah yang
diijanjikan. Padahal, menurut Sri, dahulu mereka dijanjikan lahan tambahan
setelah bisa mengolah lahan awal yang diberikan.
Karena
tidak juga diberikan lahan tambahan, menurut Sri, para transmigran kecewa dan
sebagian besar pulang kembali ke kampung halaman masing-masing. “Dulu,
rombongan saya 33 KK (kepala keluarga), sekrang tinggal 18 KK. Sekarang, 5 KK
lagi mau pulang,” ujar ibu berwajah polos itu.
Saya
menyimak cerita Sri dengan antusias, sembari menimpali dia dengan berbagai
pertanyaan. Sri lanjut bercerita, saat ini, para transmigran di sana hanya
mengolah tanah 0,5 hektare. Tanah tersebut terdiri dari 0,25 hekatare lahan
rumah dan pekarangan, serta 0,25 hektare lahan kebun yang jaraknya setengah jam
perjalanan dari permukiman.
“Kalau
lahan segitu, untuk hidup sehari-hari juga susah. Saya nanam jagung,
baru bisa dipanen 4 bulan. Sekali panen paling dapat 1 kwintal. Kalau
diitung-itung, 4 bulan cuma dapat Rp 2,8 juta,” ujar Sri.
Untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, Sri bercerita, ia dan suaminya, Pasidin (55),
berjualan kangkung ke kota. Menurut Sri, setiap dua hari satu kali, ia memetik
kangkung di hutan yang jaraknya cukup jauh. Ia mengaku pergi berjalan kaki di
pagi hari, lalu pulang sekitar pukul 02.00 siang. “Nanti jam 02.00 malam kita
ke pasar di kota, di sana sampai sekitar jam 07.00 pagi, terus pulang,” kata
ibu yang mengaku tidak bisa baca-tulis itu.
Sekali
berjualan, Sri berkisah, ia dan suami mendapat penghasilan kotor Rp 100 ribu.
Menurut Sri, para transmigran di sana sebenarnya sudah kerasan karena
lingkungan tanah di sana subur. Tapi, karena tidak kunjung mendapatkan hak
lahan, menurut Sri, warga transmigran menganggap tempat itu tidak bermasa
depan.
Masalah
selanjutnya, Sri bercerita, karena tidak punya ongkos, keluarga transmigran
yang mau pulang berusaha memindahtangankan rumah, lahan pekarangan serta kebun
yang menjadi hak garapnya kepada warga setempat. Namun, usaha itu sangat susah
dilakukan, karena seolah tidak ada calo atau warga setempat yang mau.
Tapi,
menurut Sri, cerita berbeda jika pihak unit pelaksana tugas atau UPT permukiman
transmigran setempat yang melakukan itu. “Kalau kita, mau jual Rp 2 jtua saja
susah. Tapi kalau transmigran sudah pulang, itu bisa dijual orang UPT sampai Rp
4 juta juga bisa,” kata Sri.
Transmigran. Foto: Andi Nurroni
|
Para
pendamping yang turut mendengarkan cerita Sri hanya bisa mengurut dada dan
menggelengkan kepala. Menurut mereka, aset program transmigrasi, baik rumah
maupun tanah tidak boleh diperjualbelikan sebelum ada penyerahan sebagai hak
milik.
Apalagi,
pihak yang menjual adalah birokrat yang seharunya melayani dan melindungi warga
transmigran. Kalau sudah begitu, mereka merasa, kerja keras yang mereka lakukan
untuk mengajak orang ikut transmigrasi seolah sia-sia.
Joko
Susilohati, pendamping dari Dinas Sosial dan Transmigrasi Kabupaten Sidoarjo
membenarkan, kecurangan-kecurangan seperti itu memang tidak aneh dalam program
transmigrasi. Joko bercerita, saat ini, warga transmigran dari Jawa Timur di
Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, juga sedang mengalami persoalan serupa.
Menurut
Joko, salah seorang warga transmigran asal Sidoarjo yang pulang kembali ke
kampung halamannya mengadukan kepada dia berbagai indikasi kecurangan yang
dilakukan otoritas transmigrasi di sana. Dari Joko, saya mendapatkan nomor
kontak orang yang dia ceritakan.
Melalui
sambungan telepon, saya melakukan wawancara dengan mantan transmigran asal Sidoarjo
yang dimaksud Joko. Menurut pria berusia 51 tahun itu, program transmigrasi di
Desa Sebakis, Kelurahan Nunukna Barat, Kecamatan Nunukan, tidak berjalan dengan
baik. Karena dia mewanti-wanti namanya tidak disebut, kita akan
memanggilnya “Joni”.
Seperti
kasus di Kabupaten Buol yang dialami Sri, hingga lebih dari dua tahun, jatah
lahan 2 hektare yang dijanjikan tidak kunjung diterima Joni dan rekan-rekannya.
Menurut Joni, dengan kondisi demikian, warga transmigran hanya bisa mengolah
lahan pekarangan seluas 0,25 hektare.
Karena
komoditas unggulan di wilayah tersebut adalah sawit, Joni berkisah, warga
transmigran sedari awal menanami lahannya yang terbatas itu dengan tanaman
sawit. Mengingat sawit baru bisa dipanen setelah empat tahun, kata Joni, secara
otomatis warga tidak memiliki pemasukan untuk kebutuhan hidup sehari-hari,
bahkan untuk melakukan perawatan tanaman mereka.
Di
tengah kondisi tersebut, Joni melanjutkan, bantuan sembako yang mereka terima
sering kali mengecewakan. “Beras itu seperti beras raskin. Terus ikan asin
sudah busuk dan banyak belatungnya. Bantuan pupuk juga mereka timbun,” ujar
Joni mengenang masa-masa dia di Nunukan sana.
Joni
menjelaskan, di tempat penempatan mereka di Desa Sebakis, saat ini beroperasi
beeberapa perusahaan sawit. Perusahaan sawit itu, menurut Joni, telah terlebih
dahulu mempekerjakan warga Indonesia yang terimbas eksodus deportasi dari
Malaysia. Para “korban” deportasi itu, kata Joni, hari ini menguasai wilayah
tersebut dan membangun sindikat serupa mafia yang menguasai proyek-proyek
“pengamanan” berbagai kegiatan perekonomian di sana, termasuk perkebunan sawit.
Pada
praktiknya, menurut Joni, warga transmigran tersisihkan oleh keberadaan
jaringan WNI eks Malaysia itu. Karena suasan yang tidak menguntungkan, banyak transmigran
yang menjual rumah berikut lahan pekarangan mereka pada jaringan WNi eks
Malaysia itu.
Joni
melaporkan, dari 140 keluarga transmigran dari Pulau Jawa yang dikirim ke sana
pada 2013 lalu, saat ini hanya tersisa kurang lebih sepertempatnya saja. Ia
mencontohkan, dari total 10 keluarga asal Sidoarjo, saat ini di sana hanya
tersisa dua keluarga saja. Masalah selanjutnya, menurut Joni, warga yang mau
pulang dipersulit mengurus surat-surat di kantor Dinas Kependudukan setempat.
Joni
mengaku curiga, hal itu dilakukan untuk menahan para transmigran agar tidak
pulang. Jika pun pulang, menurut Joni, mereka akan dinilai tidak koorperatif
dan sulit berhubungan dengan Dinas Transmigrasi di daerah masing-masing. Joni
mencontohkan, karena tidak membawa dokumen kepindahan, beberapa mantan
transmigran asal Sidoarjo hari ini menjadi gelandangan.
“Ada
yang jadi pemulung, pengamen, ada juga yang jadi pengemis. Saya serius. Saya
bisa tunjukin orangnya,” ujar ayah beranak lima itu meyakinkan.
Mereka,
menurut Joni, mengaku enggan berurusan dengan Dinas Kependudukan karena tidak
tidak memiliki surat-surat kepindahan. Joni melanjutkan, mereka juga enggan
melapor ke Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Sidoarjo karena trauma dan takut tidak
dipercaya karena telah kabur dari daerah penempatan transmigrasi.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Transmigrasi, Berkah Kemajuan dari Tangan Perantau (Bagian 4)
Warga keturunan Bali di Poso. Foto: Andi Nurroni |
Pemerintahan Jokowi-JK, 21 Agustus 2015 lalu, memberangkatkan transmigran untuk pertama kalinya pada era kepemimpinan mereka. Sebanyak 30 keluarga dari Jawa Timur dan Jawa Barat, diberangkatkan dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Rombongan transmigran dilepas Menteri Desa, Pambangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Marwan Jafar.
Pemberangkatan
tersebut memastikan komitmen Pemerintahan Jokowi-JK atas keberlanjutan program
yang telah dimulai sejak Pemerintah Kolonial Belanda itu. Pada 1905, untuk
pertama kali Pemerintah Hindia Belanda memberangkatkan sejumlah penduduk dari
Pulau Jawa ke Pulau Sumatera.
Ketika
itu, 115 keluarga, terdiri dari 815 jiwa, dikirim dari Keresidenan Kedu di Jawa
Tengah ke daerah Gedong Tataan di Keresidenan Lampung. Transmigrasi, atau waktu
disebut belanda sebagai “kolonisasi”, bersama “edukasi” dan “irigasi”, disebut
sebagai tiga program politik balas budi Belanda.
Program
transmigrasi dilakukan Belanda untuk mengurai kepadatan penduduk di Pulau Jawa,
sekaligus memindahkan tenaga-tenaga yang relatif lebih terampil dari Pulau Jawa
untuk membuka perkebunan-perkebunan baru di tanah yang belum tergarap. Program
transmigrasi kemudian diadopsi Pemerintah Indonesia dan tidak pernah terputus
hingga saat ini.
Setelah
Sumatra, pulau-pulau lain juga menjadi tujuan pengiriman transmigran, mulai
dari Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Di luar berbagai kotroversi
dan kritik yang menyertainya, program transmigrasi harus diakui memberi andil
terhadap pemerataan pembangunan di daerah-daerah yang sebelumnya tertinggal.
Mengutip
laporan Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi, Kementerian Desa,
PDT dan Transmigrasi, titik-titik penempatan transmigrasi di luar Pulau Jawa
telah berkembang menjadi pusat pembangunan daerah. Hingga 2013, tercatat 104
titik penempatan transmigrasi telah berkembang menjadi kabupaten maupun kota.
Dari
jumlah tersebut, dua di antaranya bahkan menjadi ibu kota provinsi, yakni
Mamuju di Sulawesi Barat dan Bulungan di Kalimantan Utara. Selain itu, dari
total total 3.055 perkampungan transmigran, 183 di antaranya menjadi ibu kota
kecamatan dan 1.183 lainnya menjadi desa definitif.
Perkembangan
dalam aspek kewilayahan tersebut tidak terlepas dari faktor penguatan
perekonomian kantung-kantung wilayah transmigran. Banyak daerah muncul sebagai
sentra produksi pangan, perkebunan atau agribisnsis. Selain itu, komunitas
transmigran yang telah beranak-pinak juga banyak melahirkan SDM yang unggul,
mulai dari akademisi hingga perwira polisi.
Bersamaan
dengan keikutsertaan saya dalam rombongan transmigran yang diberangkatkan dari
Pelabuhan Tanjung Perak, 21 Agustus lalu, saya menyusuri satu-dua wilayah
penempatan transmigran terdahulu di Sulawesi Tengah. Dari sana saya
berkesimpulan, pencapaian program transmigrasi memang bukan isapan jempol
semata.
Jika
Anda menjelajah Sulawesi Tengah dari Kota Palu menuju Kabupaten Poso, Anda akan
melewati bebrapa titik perkampungan gaya Bali yang eksotis. Kawasan itu bukan
sengaja dibuat untuk kepentingan wisata. Rumah-rumah dan pura berasitektur Bali
yang khas itu dibangun para transmigran adari Pulau Dewata.
Perkampungan
Bali di sejumlah Kabupaten di Sulawesi Tengah hanya sekedar penanda bahwa
transmigrasi telah memberikan perubahan bagi kawasan-kawasan tersebut.
Berdasarkan catatan Disnakertrans setempat, di Kabupaten Poso, generasi
transmigran pertama datang dari Bali dan Jawa Tengah pada 1966.
Sebanyak
100 keluarga (565 transmigran) asal Bali dan 98 keluarga (453 transmigran) asal
Jawa Tengah ditempatkan Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir. Masing-masing mereka
mendapatkan beberapa hektare tanah, yang kemudian ditanami padi, sawit, cokelat
serta sejumlah tanaman komoditas lainnya.
Di
temani Pak Bejo (56), salah seorang pegawai senior di Disnakertrans Kabupaten
Poso, saya mengunjungi Kecamatan Poso Pesisir. Sebuah keberuntungan kecil
menghampiri kami ketika itu. Tanpa disengaja, kedatangan kami ke sana disambut
keriuhan warga keturunan Bali yang sedang menyiapkan prosesi upacara ngaben.
Ngaben merupakan tradisi pemakaman dalam keyakinan dan adat umat Hindu
Bali.
Setelah
beruluk salam, kami dipersilakan menemui I Nyoman Widana (37), Ketua Parisada
Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kecamatan Poso Pesisir. Widana menjelaskan, hari
itu, mereka tengah menyiapkan prosesi ngaben atas meninggalnya seorang
warga sepuh bernama I Ketut Lasia (55). Prosesi ngaben sendiri, menurut
Widana, baru akan dilaksanakan dua hari lagi. “Sekarang, kami sedang menyiapkan
berbagai kebutuhannya, mulai dari sesajen dan lain sebagainya,” kata dia.
Warga keturunan Bali di Poso. Foto: Andi Nurroni |
Widana
bercerita, ia lahir di Poso dan menjadi generasi kedua warga keturunan Bali di
sana. Warga keturunan Bali di desanya, menurut Widana, karena telah
beranak-pinak, kini jumlahnya mencapai 250 KK. Bersama para transmigran asal
Jawa Tengah, mereka membentuk desa sendiri, yang diberinama Desa Trimulya.
Nama
“Trimulya”, menurut Widana, merupakan harapan agar tiga umat, yakni Hindu,
Islam dan Kristen di desa tersebut selalu hidup dalam kerukunan. Di Desa
Trimulya, menurut Widana, umat Hindu adalah mayoritas, lalu disusul Muslim dan
Kristiani. Hal unik, umat Kristiani yang dimaksud Widana bukanlah warga
setempat, melainkan umat Kristen Bali yang kini juga beranak pinak. Menurut
Widana, ada dua gereja Kristen Bali di desa mereka.
Widana
bercerita, meski hidup di luar Pulau Bali, warga keturunan Bali di desanya,
termasuk di daerah-daerah lain di Poso dan Sulawsi Tengah, tetap memegang teguh
adat istiadat. “Sesekali, kami juga pulang ke Bali kalau ada upacara keluarga,
misalnya ngaben,” ujar Widana.
Sebagai
generasi yang hidup di luar Pulau Bali, menurut Widana, ada sedikit perbedaan
antara warga keturunan Bali di desanya dengan warga asli Pulau Bali sana. Ia
mencntohkan, meski mereka berbicara Bahasa Bali, namun logatnya sudah sedah
sedikit berbeda. Dalam acara-acara resmi komunitas warga keturunan Bali di desa
tersebut, menurut Widana, mereka lebih sering berbahasa Indonesia.
Hal
itu dilakukan, bukan karena mereka tidak bisa Bahasa Bali. Menurut dia, itu
karena warga keturunan Bali di sana berasal dari daerah dan kasta yang berbeda.
“Jadi, biar semua mengerti, kita pakai Bahasa Indonesia,” ujar dia.
Sedikit-banyak,
menurut Widana, warga keturunan Bali di Kabupaten Poso juga turut memberikan
sumbangsih bagi pembangunan Kabupaten Poso. Selain dalam hal ekonomi, kata dia,
beberapa warga keturunan Bali juga menjadi pejabat publik. Periode ini saja,
Widana bercerita, ada dua warga keturunan Bali yang menjadi anggota dewan di
tingkat kabupaten.
Dari
Desa Trimulya, kami bergerak ke Desa Bhakti Agung, Kecamatan Tambarana.
Jaraknya kurang -lebih 15 menit perjalanan mobil. Desa Bhakti Agung merupakan
desa yang dibentuk warga transmigran generasi tahun 1980-1981. Menurut Sujito,
mantan Kepala Desa yang menjabat sejak 1993 hingga 2007, di desa tersebut
terdapat sekitar 550 kepala keluarga.
Menurut
Sujito, Desa Bhakti Agung dibangun oleh masyarakat transmigran asal Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Bali, serta DKI Jakarta. Sujito bercerita, ketika datang
pada tahun 1980, daerah tersebut adalah padang ilalang dan kawasan rawa-rawa
yang berbatasan langsung dengan laut. Dengan kehadiran para transmigran,
menurut dia, perlahan-lahan, daerah itu berkembang dan semakin modern.
“Kami
membuat jalan, jembatan, pasar. Dan desa kami ini menjadi contoh bagi desa-desa
pribumi yang ada di sekitar pada waktu itu,” ujar transmigran asal Blora, Jawa
Tengah itu, ketika kami bertamu ke rumahnya.
Desa
Trimulya dan Desa Bhakti Agung adalah gambaran bagaimana besarnya peran
warga transmigran terhadap pembangunan di Kabupaten Poso. Kondisi tersebut juga
tentunya berlaku bagi daerah-daerah transmigrasi lain. Sebagai gambaran, berkat
peran transmigran juga, Kabuaten Poso telah memekarkan tiga kabupaten baru,
yakni Kabupaten Morowali (1999), Kabupaten Tojo Una-Una (2003), serta Kabupaten
Morowali Utara, yang mekar dari Kabupaten Morowali pada 2013 lalu.
Masyarakat
Poso yang majemuk, mulai dari sisi etnisitas hingga keyakinan pernah mengalami
fase pahit kerusuhan SARA pada tahun 1998 dan tahun 2000. Seperti warga Poso
lainnya, warga kampung transmigran, termasuk I Nyoman Widana dan Sujito
berharap, kejadian yang penuh luka dan trauma itu tidak kembali terulang.
Harapan
mereka tentu sangat beralasan. Pasalnya, pada pertengahan Agustus lalu, terjadi
kontak senjata antara aparat keamanan dengan kelompok garis keras di Pegunungan
Langka. Kawasan tersebut, hanya berjarak 4 kilometer dari Desa Trimulya.
Akibatnya,
untuk sementara waktu, warga yang menggarap lahan di hutan Pegungungan Langka
diimbau tidak meladang terlebih dahulu. “Kami mohon konflik tidak lagi terjadi.
Kami hanya ingin hidup tentang dan bercocok tanam,” ujar I Nyoman Widana.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Transmigrasi, Hari Pertama yang Penuh Tanda Tanya (Bagian 3)
Transmigran. Foto: Andi Nurroni |
“Para penumpang yang terhormat, 30 menit lagi, kita akan tiba di Pelabuhan Pantoloan, Kota Palu. Bagi Anda yang akan turun di Pelabuhan Pantoloan, diharapkan bersiap-siap.”
Suara
operator tersiar ke seluruh sudut kapal melalui jaringan parangkat audio.
Wajah-wajah para transmigran yang kuyu disengat lelah kembali semringah.
Akhirnya, setelah berlayar sejak Jumat (21/8) sore dari Pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya, pada Ahad (23/8) pagi, kapal sampai juga di Sulawesi Tengah,
provinsi yang dituju.
Dengan
gesit, para bapak memikul berkarung-karung perabot mereka turun dari kapal. Tak
hanya pakaian atau perlatan dapur, mereka juga membawa perabot pertanian, mulai
dari cangkul hingga tanki punggung penyemprot hama. Beberapa dari mereka bahkan
ada juga yang membawa sepeda.
Dari
pelabuhan, para transmigran diangkut beberapa bus ke tempat transit milik
Disnakertrans setempat. Jaraknya 10 menit perjalanan. Para transmigran memang
tidak akan dibrengkatkan langsung ke lokasi. Kami diberi waktu istirahat hingga
pukul 09.00 malam. Perjalan malam sudah diperhitungkan agar rombongan
tiba di lokasi pagi hari.
Jika
kami tiba di sana malam, bisa dibayangkan, situasi akan berabe karena harus
membongkar dan memindahkan barang-barang bawaan para transmigran dalam keadaan
gelap. Rombongan diangkut menggunakan lima bus. Sedangkan seabrek logistik para
transmigran dibawa oleh dua unit truk.
Pukul
21.00, rombongan transmigran memulai perjalan jilid ke dua dari Kota Palu
menuju Kabupaten Poso. Menurut panitia, jika lancar, perjalanan dari Kota Palu
ke Poso kota bisa ditempuh selama 5 jam. Sementara dari Poso kota ke area
transmigrasi di Desa Kancu’u, Kecamatan Pamona Timur, bisa dicapai selama 4
jam.
Perjalan
malam membuat kami tidak leluasa menikmati pemandangan. Kami hanya merasa
dibawa melintasi kawasaan pegunungan yang berkelak-kelok seperti ular sedang
melata. Kendaraan yang saya tumpangi bersama sejumlah transmigran dari Jawa
Barat adalah bus sekolah dengan kursi berbahan plastik.
Kondisi
itu membuat saya dan hampir seluruh penumpang tidak cukup leluasa beristirahat.
Beberapa kali rombongan kami terhenti. Salah satu bus yang membawa kami
mengeluarkan asap karena air radiatornya habis. Di lain kesempatan, giliran bus
yang saya tumpangi kehabisan solar. “Ah, ada-ada saja,” umpat saya dalam hati.
Karena
jok plastik, serta rute ekstrem yang mebuat bus selalu berguncang, badan saya
serasa remuk dan perut terasa mual . Tapi untunglah, pemandangan di pagi
harisedikit menghibur. Ketika mentari pagi mulai menebar cahayannya yang merah
keemasan, kami mendapati diri tengah berada di kawsan pegunungan dengan
hamparan lembah, hutan serta bukit-bukti cadas di sekeliling kami. Perkebunan
kakao, kopi serta serta sawit timbul tenggelam di sepanjang jalur yang kami
lalui.
Kami
melewati beberapa perkampungan warga setempat dan titk-titik kampung
transmigran terdahulu. Di sepanjang jalan yang kami lewati, kami lebih banyak
menjumpai gereja daripada masjid. Pemandangan ini tentu berbeda dengan di Pulau
Jawa sana. Di Poso, presentase penganut Islam dan Kristen memang hampir sama
besarnya. Namun, jalur yang kami lalui pagi itu adalah bagian wilayah dengan
mayoritas warga pemeluk Protestan.
Pukul
08.00, setelah melewati jalanan tanah bergelombang yang cukup terjal, bus yang
membawa kami tiba di di lokasi permukiman transmigran di Desa Kancu’u. Lokasi
perumahan para transmigran berada puncak-puncak bukit di kawasan lahan gambut
yang subur ditumbuhi ilalang.
Transmigran. Foto: Andi Nurroni |
Terdapat
100 unit rumah di daerah tersebut, yang terbagi menjadi tiga blok.
Masing-masing blok berada di kawasan perbuktian dan berjarak kurang lebih 500
meter saatu sama lain. Jalan penghubung masih berupa tanah kapur, sehingga
kerap menebarkan debu.
Rumah
yang diperuntukan bagi para transmigran berukuran kurang lebih 5x7 meter per
segi. Bagian bawahnya berupa tembok, sementara dinding bagian atasnya
menggunakan papan. Lantai rumah itu dicor semen alakadarnya. Sedangkan atapnya
adalah seng, tanpa langit-langit. Di dalam, terdapat satu ruang tamu, dua
kamar, serta sepetak kecil dapur dan kamar mandi.
Setibanya
kami di lokasi, terlebih dahulu rombongan mendapatkan penyambutan di balai
terbuka di tengah permukiman. Sejumlah pejabat lokal dan warga setempat telah
ada sejak pagi menunggu kami. Tiga orang ibu berpakaian adat Pamona menyalami
rombongan yang datang. Memulai kegiatan, pemuka agama dipersilakan memimpin
doa. Hal unik yang jarang terjadi dalam acara publik di Jawa, prosesi doa
dipimpin dengan cara Kristiani.
Pertemuan
warga setempat yang mayoritas berama Kristen dengan para pendatang dari Jawa
yang seluruhnya Muslim menghadirkan pengalaman sosial yang jarang kami alami.
Terlebih, pertemuan itu terjadi di Poso, wilayah yang pernah disinggahi
kerusuhan berbau SARA. Tapi justeru dengan penyambutan itu, kami merasakan
hangatnya persaudaraan dan ketulusan penerimaan mereka.
Usai
prosesi penyambutan, para transmigran membongkar truk yang mengangkut
barang-barang mereka. Dibantu satu mobil bak, para transmigran mengangkut
perabot mereka ke rumah masing-masing. Rumah-rumah itu sebelumnya telah diundi
ketika transmigran beristirahat di Palu.
Di
perkampungan baru transmigran itu, dari total 100 rumah, 50 di antaranya sudah
berpenghuni. Rumah-rumah itu diisi transmigran penduduk setempat atau disebut
TPS. Mereka berasal dari desa dan kecamatan di sekitar lokasi transmigrasi.
Saya
mengunjungi beberapa rumah transmigran untuk melihat apa yang mereka lakukan di
hari pertama mereka. Saya di antaranya menjumpai Zaeni (49), transmigran asal
Karawang. Di rumah barunya di Blok A, saya mendapati Zaeni dan keempat anaknya
sedang beres-beres. Dua anaknya, Iwan (17) dan Ririn (16) bahu-membahu mengepel
lantai kamar.
Anaknya
yang lain, Ombih (12) tertidur lelap di di ranjang papan, di antara tumpukan
bebagai perabot. Sedangkan si bungsu Cici (10) sedang bermain di rumah uwaknya
yang juga transmigran dari Karawang. Dari tujuh anaknya, empat yang paling
kecil ikut Zaeni ke Poso. Setelah ibu mereka meninggal beberapa bulan lalu,
kini praktis Zaeni menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka.
Sebagai
orang desa yang pernah bertani, menurut Zaeni, tanah di sana cukup subur,
sehingga cocok ditanami padi atau palawija. Hanya saja, Zaeni bercerita,
seperti disampaikan petugas Disnakertrans sebelum mereka berangkat, di sana
mereka akan diarahkan untuk menanam sawit dengan cara bekerjasama bagi hasil
dengan perusahaan. Di samping pemukiman mereka, perkebunan sawit seluas 3050
hektare milik PT Sawit Jaya Abadi memang sudah beroperasi.
Seperti
yang dijanjikan, menurut Zaeni, di sana mereka akan menerima 1,6 hektare lahan
secara bertahap. Tahap pertama, mereka menerima 0,6 hektare, yang terdiri dari
lahan rumah dan pekarangan seluas 0,1 hektare, serta lahan pertama atau L1,
seluas 0,5 hekatre.
Jika
mereka sudah berhasil mengolah lahan tersebut, satu-dua tahun selanjutnya,
mereka akan mendapatkan lahan kedua atau L2 seluas 1 hekatare lagi. “Tidak
apa-apa erjasama sama perusahaan sawit juga. Asal, bagi hasilnya yang adil,”
ujar Zaeni.
Selain
Zaeni, saya mengunjungi rumah Abdul Kudus (48) di Blok C. Ketika saya bertamu,
transmigran asal Kabupaten Sidoarjo itu sedang uring-uringan. Pasalnya, bloknya
itu terjangkau saluran air. Untuk mengambil air, ia harus turun ke blok B yang
berjarak 500 meter. “Kalau keadaan rumah, bagaimanapun kondisinya, bisa kita
maklumi. Tapi kalau tidak ada air, ini repot. Apalagi anak saya dua dan mau
saya daftarkan sekolah,” kata dia.
Program
transmigrasi memang terkadang menjumpai berbagai persoalan, termasuk gesekan
dengan perusahaan perkebunan, konflik dengan warga sekitar, serta kecurangan
yang dilakukan oknum-oknum pejabat publik. Permukiman transmigrasi yang saya
kunjungi agaknya juga tidak luput dari persoalan.
Sepertiyang
saya dengar dari beberapa warga yang sudah menempati rumah sejak Januari, sudah
lima bulan mereka tidak mendapatkan sembako atau disebut jatah hidup (jadup),
yang seharunya menjadi hak mereka setiap bulan. Hak atas sembako yang
seharusnya mereka terima dalam bentuk berbagai kebutuhan pokok, sudah lima
bulan ini ditunggak.
Menurut
Kabid Pembainaan Transmigrasi dan Pengembangan Kawasan Disnakertrans Poso
Alfian Samudin, keterlambatan penyerahan sembako terjadi karena terlambatanya
pencairan dana dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi akibat perubahan
nomenklatur.
Tiga
hari berselang setelah saya berpisah dengan para transmigran, salah seorang
dari transmigran yang saya antar menelepon saya dan mengeluhkan hal serupa. Dia
mengaku hanya mendapatkan sebagian dari sembako yang dijanjikan. Kata dia,
selain beras, mereka hanya mendapatkan 1 kg ikan asin, 1 liter minyak goreng,
dan 1 kg gula pasir.
Padahal
seharusnya, mereka mendapatkan 5 kg ikan asin, 3 liter minyak goreng, 3 kg gula
pasir, ditambah 3 botol kecap, 2 kg garam, 3 batang sabun dan 8 liter minyak
tanah. “Tolong, Bang, ini harus disampaikan kepada Pak Menteri. Pak Menteri kan
kemarin yang melepas kami,” kata dia dengan nada kecewa.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Transmigrasi, Membawa Luka ke Tanah Harapan (Bagian 2)
Keluarga Arif Albes Korea. Foto: Andi Nurroni |
Mereka adalah orang-orang yang terluka. Luka sosial yang mereka rasakan tak jarang sangat perih. Namun mereka adalah para pejuang kehidupan yang tangguh. Luka itu menjadi energi yang mengeraskan tekad mereka untuk bertarung melawan kekalahan. Mereka menerima tantangan untuk hijrah ke tanah orang sebagai transmigran.
Bertolak
dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jumat (21/8), sebanyak 30 keluarga,
terdiri dari 114 jiwa, berlayar menuju Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Di
tempat yang pernah dilanda kerusuhan SARA itu, mereka akan memulai hidup baru
sebagai transmigran. Saya menyertai perjalan mereka, ingin merasakan suka-duka
mereka menuju tanah harapan.
Di
lambung KM Doro Londa, kapal milik PT Pelni yang kami tumpangi, saya menggali
cerita dari para calon transmigran. Mereka berasal dari dua provinsi, yakni
Jawa Timur dan Jawa Barat. Kedua provinsi itu mendapat jatah masing-masing 15
keluarga. Menilik latar belakang etnis mereka, dalam rombongan kami, paling
banyak adalah Orang Sunda dari Jawa Barat.
Sebanyak
10 keluarga berasal dari Kabupaten Karawang, sementara 5 keluarga sisanya dari
Kabupaten Sumedang. Kelompok etnis terbanyak kedua adalah Orang Jawa. Mereka berasal
dari Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Lalu kelompok etnis
ketiga adalah Madura. Mereka berasal dari Kabupaten Bondowoso.
Meski
Bondowoso ada di Pulau Jawa, mayoritas penduduknya memang keturunan Madura.
Meskipun begitu, sebagian dari mereka tidak terlalu suka disebut Orang Madura.
Mereka lebih suka menyebut diri Orang Bondowoso. Di antara para transmigran
beragam etnis itu, ada seorang yang tidak termasuk ketiga kelompok suku yang
saya absen tadi.
Ketika
saya mengunjungi dia, lelaki berkulit gelap itu sedang bercengkrama dengan
anak-anaknya di atas ranjang. “Merono sik, bapak arep ngobrol.” Pria 49
tahun itu meminta anak bungsunya bergeser dari pangkuannya ketika saya meminta
waktunya. Meski berbicara Bahasa Jawa, aksen Indonesia timur tidak bisa ia
sembunyikan.
Keluarga Arif Albes Korea. Foto: Andi Nurroni |
Lelaki
berbadan kurus itu terlahir dengan nama Fransisco Albes Korea. Tahun 1966, dia
lahir di daerah bernama Timor-Portugis, wilayah yang kemudian bergabung menjadi
provinsi ke-27 Indonesia dengan nama Timor Timur. Sejak 2002, wilayah itu
menjadi negara merdeka bernama Republik Demokratik Timor Leste.
Di
ranjang berkasur lepek tempat tidur Fransisco dan keluarga, saya mengorek kisah
hidupnya hingga bisa menjadi seorang transmigran. Oh, ya, kita tidak akan
memanggil dia dengan sebutan Fransisco. Sejak 2009, ia sekeluarga menjadi
mualaf. Sejak memeluk Islam, Fransisco mengganti namanya menjadi Arif Albes
Korea.
Membongkar-bongkar
masa lalu Arif membuat saya sangat antusias. Pria itu memiliki kisah perjalanan
hidup yang istimewa. Bagaimana tidak, di kampung halamannya di daerah Liquica
(kini Distrik Liquica), Arif adalah keluarga bangsawan. Kakeknya adalah raja
atau kepala adat bernama Nobuti Albes Korea.
“Dahulu
itu, kalau orang ketemu keluarga kami. Kalau mereka pakai kuda, harus turun.
Kalau pakai topi, harus dibuka,” ujar Arif mengenang masa lalunya.
Sebagai
seorang bangsawan, Arif dimasukan ke sekolah jenjang kemiliteran milik
Pemerintah Portugis. Di sekolah itu pula, ia mengenal sosok Xanana Gusmao. Ia
mengenang, ketika Xanana duduk di kelas tiga SMA, ia baru masuk SMP. Kelak
Xanana menjadi salah satu sosok kunci perjuangan kemerdekaan Timor Leste dan
menjadi presiden pertama negara itu pascamerdeka dari Indonesia.
Sepanjang
tahun 1975 hingga 1978, Arif menjadi tenaga bantuan operasi atu TBO bagi TNI
yang berperang melawan pemerintahan dan miter Fretilin di Timor Timur. Di bawah
pimpinan Prabowo Subianto, yang saat itu masih berpangkat Letnan, ia bertugas
membawa perbekalan dan senjata. Meski begitu, menurut Arif, ia juga mendapatkan
platihan perang dan beeberapa kali terlibat pertempuran.
Ia
masih ingat persis satu babak pertempuran yang mengakhiri karirnya sebagai
seorangTBO. Pada 9 September 1977, dalam hiruk-pikuk baku tembak antara TNI dan
Fretilin, ia terkena pecahan granat di bagian wajah. “Ini, lihat,” ujar Arif
sambil mengangkat bagian pipi kanan yang menyisakan bekas luka.
Bersama
prajurit lain yang terluka, Arif dikirim ke rumah sakit di Dili dengan
helikopter. Beberapa waktu kemudian, ia dikirim ke Malang untuk mendapatkan
perawatan. Empat bulan harus ia lalui di rumah sakit militer di Malang untuk
menyembuhkan lukanya. Sejak saat itu, ia menetap di Pulau Jawa.
Arif
bercerita, ia pernah ditawari untuk bergabung dengan TNI. Dengan alasan ingin
menjadi warga sipil yang bebas, ia tidak mengambil kesempatan itu. Di Jawa,
Arif bekerja serabutan dari satu kota ke kota lainnya. Hingga tahun 1994,
ketika menjadi pekerja bangunan di Jepara, Jawa Tengah, ia bertemu dengan Sri
Widiyanti. Anak petani itu kemudian ia nikahi pada tahun 1995.
Tahun
1997, setelah kelahiran anak pertama mereka, Arif mengajak Sri pulang ke Timor
Timur. Kepada anggota keluarga yang pernah berseteru secara politk, Arif
meminta pengampunan. Keluarga menerima dia kembali. Di sana, kehidupan keluarga
kecil Arif terbilang mencukupi. Mereka mengurus perkebunan kopi warisan kedua
orangtuanya. Pada referendum penentuan kemerdekaan Timor Timur, Arif tetap
berkukuh memilih Indonesia.
Referendum
yang berakhir dengan kemenangan kelompok pro kemerdekaan 78,5 berbanding 21,5
persen itu, kembali merubah jalan takdir dia. Arif terusir dari tanah
kelahirannya bersama hampir 100 ribu warga Timor Timur pro Indonesia lainnya.
Bersama istrinya, ia kembali ke Jawa dan menjalani hidup tidak menentu. Ia
kembali bekerja serabutan, mulai dari menjadi kuli bangunan, hingga menjadi
buruh perkebunan sawit di Kalimantan dan Papua.
Rasa
cintanya terhadap Indonesia yang selalau ia perjuangkan rupanya tak banyak
mendapatkan perhatian dari pemerintah. Satu dekade terakhir, ia dan keluarga
menetap di Kabupaten Sidoarjo. Pekerjaan terakhirnya terbilang memprihatinkan.
Untuk menghidupi kelima anaknya, Arif bersama istri menjadi pengumpul barang
bekas.
“Ya,
begitulah hidup saya, Bang. Tragis!” ujar Arif dengan wajah sendu. Saya hanya
membalasnya dengan senyuman.
Jauh
di dasar hatinya, Arif mengaku selalu terkenang kampung halaman dan masa-masa
kecilnya yang indah di Timor Lorosa’e sana. Ia mengaku sering meratapi kenapa
peperangan itu harus terjadi. Meskipun memilih Indonesia, Arif juga sebenarnya
tidak ingin meninggalkan kampung halamannya. Ia juga tetap menyayangi saudara
sebangsanya yang berperang untuk kemerdekaan Timor Leste.
Ketika
Xanana Gusmao ditangkap dan ditahan di LP Kelas I Kedungpane Semarang pada
1991, Arif menyempatkan untuk menjenguk dia. “Walaupun kita pernah beda
politik, tapi secara adat, kami bersaudara. Saya bawakan dia tembakau dan
makanan. Saya kasih nomor telepon, ‘kalau butuh apa-apa, telepon saya’,” ujar
Arif, menirukan kata-katanya kepada Xanana.
Selain
itu, karena kerinduannya pada tanah leluhur dan saudara sebangsanya, Arif juga
memberi nama anak kelimanya “Nicolau Lobato”. Nama itu ia ambil dari nama
panglima pejuang awal kemerdekaan Timor Leste, Nicolau dos Reis Lobato, yang
tewas oleh Kopassus pada 1978.
Begitulah
kisah hidup Arif yang penuh tragedi dan ironi. Meski hidupnya pahit, Arif tidak
pernah menyerah memperjuangkan hidup yang lebih baik. Bagi dia, cukup anak
cikalnya saja, Fredi (18), yang hidup dalam konflik hinga tidak bisa menamatkan
sekolah dasarnya. Ia ingin keempat anaknya yang lain, yang masih SD dan SMP,
bisa menggapai hidup yang lebih baik.
Demi
anak-anaknya itu, Arif mendaftarkan diri mengikuti program transmigrasi yang
ditawarkan pemerintah. “Saya belum tahu bagaimana kondisi di sana. Saya hanya
ingin merubah nasib. Saya akan bekerja keras dan sabar. Pasti berhasil,” ujar
dia dengan nada yakin.
Kisah
Arif menjadi gambaran bagaimana semangat para transmigran ditempa oleh keadaan
yang serba sulit. Di kapal kami, ada juga kisah Ahmad Zaeni (49). Bapak
beranak tujuh itu baru tiga bulan lalu ditinggal sang istri untuk
selama-lamanya. Dengan kepergian saang istri, pupuslah sudah harapan Zaeni
mewujudkan hidup baru sebagai transmigran bersama istri yang sangat ia kasihi.
Di
kapal itu, saya juga mencatat kisah Ubay, pemuda 32 tahun yang ditinggal kabur
istrinya. Sang istri meninggalkan Ubay dan anak mereka yang masih bayi karena
rencana keluarga kecil itu pergi transmigrasi terkatung-katung hingga hampir
setahun lamanya. Pemerintah beralasan, perubahan nomenklatur kementerian
menjadi penyebab keterlambatan pemberangkatan tersebut.
Menurut
Ubay, istrinya lalu tertekan dan malu karena mereka telah menjual segala harta
benda dan berpamitan dengan saudara-sarudara dan tetangga. “Dia bilang ke saya,
‘kalau kita tidak jadi pergi, saya yang pergi’,” tutur Ubay.
Arif, Zaeni, Ubay, para petarung kehidupan itu datang ke tanah harapan membawa luka sosial dan kepedihan. Di sana, mereka berharap semua luka tersembuhkan. Mereka berdoa, suatu hari, mereka akan dikenang sebagai pemenang.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Arif, Zaeni, Ubay, para petarung kehidupan itu datang ke tanah harapan membawa luka sosial dan kepedihan. Di sana, mereka berharap semua luka tersembuhkan. Mereka berdoa, suatu hari, mereka akan dikenang sebagai pemenang.
Cat.: Tulisan ini, dengan suntingan editor, pernah terbit di Harian Republika, September 2015
Selamat Datang
Blog ini memuat sekumpulan karya jurnalistik yang saya buat. Tulisan-tulisan di blog ini [dengan suntingan editor] pernah terbit di Harian Republika.
Pos Populer
Arsip
-
▼
2015
(47)
-
▼
Oktober
(6)
- Bayangan Sukarno di Rumah HOS Tjokro
- Transmigrasi, Ketika Harapan Terbentur Kenyataan (...
- Transmigrasi, Berkah Kemajuan dari Tangan Perantau...
- Transmigrasi, Hari Pertama yang Penuh Tanda Tanya ...
- Transmigrasi, Membawa Luka ke Tanah Harapan (Bagia...
- Transmigrasi, Mengejar Mimpi Sampai Jauh (Bagian 1)
-
▼
Oktober
(6)